Sedangkan Rasya telah dulu menjatuhkan tubuhnya ke kolam itu.
Rasya tersenyum di sela-sela tindakan, demi menghilangkan kecurigaan ia bahkan rela basah kuyup sekali lagi. Semua ini seperti yang telah ia rencanakan. Memberi pelajaran pada wanita jalang yang suka menggoda semua pria menurutnya. Para kru terkejut dengan apa yang terjadi, tidak ada yang melihat kelainan dari insiden itu. Mereka hanya melihat bahwa Aliyah tidak sengaja salah dalam mengambil tindakan dan membuatnya celaka. Otomatis adegan itu harus gagal, para kru terdekat membantu Aliyah untuk berdiri dan membawanya duduk di kursi terdekat. "Aliyah kamu gak papa?" Romi bertanya dengan khawatir. Aliyah jelas tidak baik-baik saja, lututnya yang seputih salju dan kemerahan sebelumnya, kini telah membengkak bewarna ungu kebiruan. Siapapun yang melihat akan meringis memegangi lututnya sendiri. Dewi segera datang membawa kotak p3k, ia menyingkap sedikit gaun rumahan milik Aliyah diatas lutut. "Mbak, tahan sebentar ya ... Dewi kasih salep dulu." Aliyah menganggukkan kepalanya, ia tak bisa mengucapkan sepatah kata lagi. Sensasi kejang listrik di kedua lututnya masih tersisa. "Apa yang terjadi?" tanya Jery saat melihat kerumunan orang di tepi kolam. Jery melihat Rasya yang kini telah terduduk dalam keadaan basah di sana, dan tidak ditemukannya keberadaan Aliyah, membuat dahinya mengernyit. "Bang Jery bisa bantu Rasya naik keatas gak?" Rasya segera menahan pria itu. Demi kesopanan sebagai kolega kerja, Jery masih berbaik hati mengulurkan tangannya. "Makasih, Bang." Jery tak mengiyakan, ia tengah mengkhawatirkan keadaan Aliyah saat ini. Saat melihat kesisi lain, ia melihat Dewi sedang membantu Aliyah berjalan menuju ruang istirahat. "Mbak, hati-hati!" Dewi berteriak keras saat melihat Rasya yang berjalan didekat mereka. Ia sudah melihat kejanggalan dari kejatuhan Aliyah sebelumnya. Aliyah duduk di sebuah kursi santai dengan bantuan Dewi, dan menwangkan gadis itu, "Aku gak papa kok, bentar lagi juga oke." Aliyah yang dibesarkan bagai boneka, adalah seorang wanita yang rapuh dan lembut. Kulitnya akan mudah memar bila terkena benturan. Apalagi tadi lututnya membentur sudut sisi dinding kolam. Sensasinya membuatnya kesemutan sampai ke ujung kepala. Romi datang mendekat, "Sebaiknya segera bawa ke rumah sakit, jangan sampai ada sesuatu yang salah." "Gak perlu Bang, Aliyah masih aman kok." Romi mengerutkan keningnya, "Kalau gitu kamu saya kasih libur beberapa hari, datang waktu kamu udah mendingan." Pergantian adegan yang disarankan sebelumnya tidak jadi terlaksanakan. Sang sutradara muda itu memutuskan untuk menggunakan adegan yang telah diambil sebelumnya. Dengan begitu Aliyah dipulangkan. "Tuan, anda sudah kembali?" sapa kepala pelayan dengan hormat saat Bram melangkahkan kakinya di mansion. Bram menganggukan kepala, sambil menarik dasi yang mencekiknya seharian ini. Kakinya melangkah duduk di sofa terdekat. Melihat keadaan rumah yang terlihat kosong, ia mengerutkan keningnya. Dengan wajah datar Bram menanyakan keberadaan Aliyah, "Dimana wanita itu?" Ia sebelumnya sudah menyempatkan diri untuk datang menjemput wanita itu di vila Lewis, tempat Aliyah syuting hari ini, tapi setelah menunggu setengah jam dan menghubungi nomor ponselnya beberapa kali, ia tak kunjung melihat keberadaannya dimanapun. Merasakan suhu malam ini yang terasa dingin, pak Rusdi dengan sigap membawakan air putih hangat untuk Bram. Ia dengan sopan menjawab pertanyaan tuannya, "Nyonya sudah kembali dari sore tadi Tuan, dan sedang beristirahat di kamarnya." Bibir Bram mencibir dengan datar, wanita itu bilang dia akan memijatnya malam ini. Lihat, kata-kata wanita tidak bisa dipercaya. "Siapkan kamar di sebalah kamar Aliyah untuk saya!" "Baik, Tuan." Rusdi segera memanggil beberapa pelayan wanita dan menyiapkan permintaan dari Bram. Bram awalnya ingin membicarakan mengenai status pernikahannya bersama Aliyah. Dia hanya berharap mereka bisa memulai semuanya dengan baik. Adapun masalah cinta, Bram tak membutuhkan hal sepele seperti itu. Ia hanya ingin Aliyah menjadi istrinya, dan tak ingin repot-repot untuk mencari pasangan baru. Tapi jika Aliyah keberatan dengan kehidupan pernikahan tanpa cinta, maka Bram tak akan memaksa wanita itu. --- "Ugh ..." Sesosok tubuh indah di atas ranjang menggeliat dengan lemah, Aliyah dengan perlahan menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. Bulu mata yang panjang dan lentik itu berkedip beberapa kali, memperlihatkan gerakan pada bayangan di bawah matanya. "Huhuhu ... sakit," ringis Aliyah saat merasakan rasa sakit dari lututnya. Wanita itu duduk segera dan mulai meregangkan otot-otot yang kaku, ia menolehkan pandangan pada jam digital diatas nakas. "Ya ampun, setengah sepuluh?" serunya terkejut. Aliyah ternganga, pasalnya sehabis magrib ia tidur dengan lelapnya bahkan lupa dengan rencananya yang ingin mengoleskan salep pada memar di lututnya. Dan kini ia bisa merasakan denyutan rasa sakit dari sana. Aliyah mengusap keningnya yang terasa pusing, setelah beberapa saat ia teringat akan rencananya untuk malam ini. "Apa Mas Bram udah pulang?" tanyanya dengan linglung. Jantungnya mulai berdetak tak karuan, ia gugup dengan apa yang akan ia lakukan saat suami nya itu pulang. Dengan hati-hati, Aliyah melangkahkan kakinya menuju pintu lalu melihat pada ruang tamu dibawah. Melihat bayangan tegap seorang pria tengah duduk di atas sofa, Aliyah segera merasakan tubuhnya kaku. Benar saja, pria itu sudah pulang dan duduk sambil memainkan laptopnya. Aliyah mencemeeh, dan tersenyum miring di sudut bibirnya. "Tampaknya kamu gak sabar ya, Mas!" bisiknya pelan dengan tangan yang berkacak pinggang. Aliyah menggertakkan giginya, "Kalau gitu kamu akan lihat, bagaimana gilanya aku nanti!" Kegugupan Aliyah sebelumnya dalam sekejap kini telah tergantikan dengan semangat yang membara. Demi kebebasan hidupnya, Aliyah akan berkorban dan rela menderita sedikit kerugian. Ia berbalik dan berjalan masuk kembali, tak menyadari bahwa Bram dibawah sana menolehkan kepala dan melihat padanya. "Ada apa dengan dia?" tanya Bram pada pak Rusdi. Kepala pelayan itu bingung, "Siapa yang anda maksud Tuan?" "Tidak jadi," Bram melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Sementara itu dilantai atas, Aliyah tengah berperang dengan segala macam perawatan kulit yang dimilikinya. Dibutuhkan hampir satu jam untuk ritual mandi istimewa itu, ia keluar dari kamar mandi dengan napas yang terengah-rengah. "Ya Tuhan, kalau sampai malam ini aku gagal bikin om-om itu jijik sama aku, aku udah gak tahu lagi harus apa."Aliyah mencaci maki Bram sambil berjalan menuju wardrobe. Sesampainya di depan pintu khusus itu, ia menekan tombol yang melekat pada dinding, Dalam sekejap pintu otomatis terbuka melebar, memperlihatkan berbagai macam barang di dalamnya. Tepat di paling ujung ruang itu, terdapat lemari yang sudah lama tak terbuka. Meski begitu para pelayan tetap siaga membersihkannya. Aliyah membuka pintu lemari pakaian khusus miliknya, dan terlihat jejeran piyama, gaun tidur hingga jenis yang tak ia ketahui, berderet di satu lemari dalam berbagai macam warna dan gaya. Masing-masingnya lebih seksi dari yang lain. Dirinya yang seorang wanita bahkan tersipu saat melihat gaun-gaun kecil itu. "Siapa sih yang ide buat ini, ckckck." ucapnya menggelengkan kepala dengan heran. Pilihan akhirnya jatuh pada gaun sutra putih dengan tali spaghetti. Tidak terlalu seksi dan juga tidak terlalu konservatif. Menurutnya, gaun itu adalah pilihan yang paling tepat. Sambil berdandan, senandung berantakan terdengar d
"Minyak essential?" Pak Rusdi mengangguk sopan, "Benar, Nyonya." Aliyah tak bisa berkata-kata. Apa maksudnya semua ini, ia merasa tak pernah meminta barang-barang itu kepada pak Rusdi. Aliyah melirik ke belakang, dan mendapati Bram kini telah berpakaian lengkap. Melihat wajah dingin yang seakan tak peduli pada dunia, sebenarnya terkandung serigala ganas yang membuatnya ingin sekali mencekik wajah itu. Lihatlah, bahkan pria itu sendiri yang menyiapkan segala kebutuhan untuk pijatnya. "Dasar bejat! Bajingan! Bram SIALAN!" teriaknya di dalam hati. Nyatanya Ia hanya bisa menerima barang-barang yang dibawa Pak Rusdi, dan berkata dengan lembut, "Terimaksih Pak," sambil tersenyum dengan manis. Kepala pelayan itu pergi, sementara Aliyah kini menarik napas dan menghembuskannya perlahan-lahan. Mencoba menahan untuk tidak melemparkan peralatan pijat di tangannya. Setelah tenang ia berbalik dengan anggun, lalu berjalan deng
Bram terasa dihipnotis dalam sekejap. Ia terpana melihat kecantikan Aliyah yang semakin terpancar dalam kesedihan yang ditunjukkan wanita itu. Ekspresi wajah Bram terlihat linglung, mencoba mencerna pertanyaan yang begitu tiba-tiba dan menyentuh. Aliyah menatap Bram dengan penuh harap, menunggu jawaban dari suaminya. Wajahnya yang cantik terlihat semakin bersinar meskipun dipenuhi oleh kesedihan yang mendalam. Ia berusaha menahan air mata yang ingin mengalir, namun kecantikannya tetap memancar dengan gemilang. Bram akhirnya mengangguk perlahan, ekspresi wajahnya terlihat bingung. Ia merasa sedikit terganggu dengan kecantikan Aliyah. "Saya tidak tahu, Aliyah. Kita harus memikirkannya dengan baik," ucap Bram dengan suara yang sedikit berat. Aliyah mengangguk pelan, tetap mempertahankan ekspresi sedih namun cantik di wajahnya. Melihat cinta yang membara dari mata wanita itu, entah kenapa Bram tak sampai hati untuk mengatakan bahwa sebe
Dewi ketakutan setelah mendengar hal itu. Ia melambaikan tangannya kiri dan kanan dengan keras, "Gak mungkin!"Dengan tergagap ia berkata pada Aliyah, "Mbak, Dewi aja kerja baru dua tahun dengan mbak, sedangkan pak Bram udah tiga tahun di Amerika! Yang bener aja Mbak! Gimana caranya aku bisa kenal?"Aliyah mengangguk setuju, "Benar juga.""Untung Mbak tau ... fyuhh ..." Dewi kali ini mengusap jantungnya yang berdisko. Di dalam hatinya ia merasa sangat bersalah karena telah berbohong. Pasalnya pagi ini ia benar-benar telah bertemu dengan seseorang, meskipun dia bukanlah Bramie Atmaja yang sedang mereka bicarakan. Akan tetapi, orang tersebut memperkenalkan diri sebagai tangan kanan pria terhormat itu.Dengan segala keuntungan dan paksaan pihak lain, Dewi resmi menjadi mata-mata pihak mereka."Mbak Aliyah Dewi minta maaf ..." pikir Dewi dengan rasa bersalah melihat pada majikannya yang tampak sangat percaya pada dirinya.Tak lama kemudian, panggilan untuk
Jery, yang terkejut dengan kejadian tersebut, berusaha menenangkan situasi dan membantu Aliyah bangkit dari lantai. Suasana yang tadinya penuh dengan keceriaan dan tawa, kini berubah menjadi tegang dan penuh dengan ketegangan. Semua orang di ruangan itu terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.Rasya memegang bagian tubuhnya yang seolah-olah terluka, menatap Aliyah dengan tatapan penuh kebencian namun juga penuh ketidakberdayaan.Rasya berkata dengan sedih, "Maaf, aku gak sengaja nabrak kamu. Aku harap kamu baik-baik aja."Aliyah yang terkejut dengan tindakan Rasya, menatapnya dengan ekspresi heran namun tetap menjaga ketenangan. Bagaimana mungkin ia tidak tau bahwa Rasya sengaja menabraknya. "Gak apa-apa, Rasya. Aku baik-baik aja."Jery yang akhirnya menyadari bahwa Rasya juga terjatuh akhirnya berkata, "Sini, biar aku bantu kalian berdua berdiri. Semuanya baik-baik aja, gak perlu terlalu tegang."Meskipun suasana tegang masih terasa di udara, Jery
Aliyah terdiam, terkejut dengan jawaban itu. Ia tidak menyangka bahwa Bram akan membawanya ke rumah sakit tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu. "Siapa yang sakit, Mas? Apa Mas Bram sakit?” tanya Aliyah sedikit khawatir.Bram tak menyangka dengan reaksi yang ditunjukkan wanita itu.“Kamu.” jawab Bram singkat, dengan melirik pada lutut Aliyah.Terlihat darah merembes pada gaun putih di bagian lutut wanita itu.“Aku baik-baik aja. Ini hanya luka kecil," seru Aliyah cepat. Tangannya bergerak menarik ujung gaunnya kebawah.Namun, Bram tetap diam, pandangannya lurus ke depan. Kekhawatiran yang ia rasakan tidak tergambar di wajahnya, tapi tindakannya sudah cukup jelas. Sesampainya di rumah sakit, Bram dengan cepat keluar dari mobil dan membantu Aliyah turun. Gerakannya tetap tenang dan terkontrol, menunjukkan ketegasan yang biasanya ia tunjukkan di ruang rapat perusahaan. Aliyah merasa sedikit terharu dengan perhatian Bram yang tersembunyi di balik sikap
Dokter Reynald memeriksa suhu tubuh Aliyah dengan termometer, mengecek tekanan darahnya, dan memeriksa luka di lututnya. Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam bagi Bram, Reynald akhirnya berdiri dan menatap Bram dengan pandangan profesional."Nyonya mengalami demam tinggi, mungkin disebabkan oleh infeksi pada lukanya. Luka di lututnya tidak terlalu parah, tetapi kemungkinan ada kuman yang masuk dan menyebabkan demam," jelasnya dengan tenang.Bram mengangguk, wajah tanpa ekspresi itu sekilas menunjukkan kekhawatiran. "Apa yang harus dilakukan selanjutnya?""Saya akan memberikan antibiotik untuk mengatasi infeksi dan obat penurun demam untuk menurunkan suhunya. Pastikan dia banyak istirahat dan tetap terhidrasi," jawab dokter Reynald sambil menyiapkan suntikan dan obat-obatan yang dibutuhkan.Dokter memberikan suntikan antibiotik pada Aliyah dan memberinya obat penurun demam. Bram duduk di samping tempat tidur, memperhatikan dengan cermat setiap gerakan
Dua pengawal yang menjaga ruang CEO dengan cepat mengambil tindakan dan menyeretnya pergi. Tidak butuh waktu lama bagi Bram untuk memutuskan tindakan yang harus diambil. Di dalam kantor CEO, Bram duduk di kursinya, memandang pada keriuhan kota di siang hari dan mencoba menenangkan pikirannya. Entah mengapa hari ini ia akan sangat terganggu dengan hal kecil apapun. Pikirannya seakan terpecah, bayangan wanita itu yang terbaring lemah dan sakit kini tengah sendirian di mansion membuatnya tak bisa tenang. Pertanyaan-pertanyaan berkelabat di pikirannya. Apakah dia sudah bangun? Apakah dia sudah makan dan minum obatnya? Bunyi keras memenuhi setiap sudut ruangan saat Bram melemparkan dokumen ditangannya, menghela napas berat ia mengusap wajahnya dan memutuskan untuk mengambil ponselnya yang tergeletak diatas meja kerja. Dengan tegas ia mengirimkan pesan pada kepala pelayan mansion. Ketika siang menjelang, Bra