Tubuh Aliyah kaku dan matanya membelalak terkejut.
Ini bukan reaksi yang seharusnya! Tanpa Aliyah sadari, sudut bibir Bram naik ke atas saat merasakan tubuh lembut yang bersandar disampingnya, kini terasa kaku dan tegang. Hampir 15 menit lamanya perjalanan, dan Aliyah bisa merasakan bahwa Bram tertidur disampingnya. "Mas Bram?!" "Mas?" Aliyah memanggil berulang kali, tapi tak juga mendapatkan jawaban. Melihat itu, dengan lembut ia menarik tangannya keluar dari cengkeraman jemari pria itu. Aliyah mengusap pada posisi jantung yang berdetak tak karuan. "Jantung ... plis calm down!" lirihnya kecil. "Ekhm ..." deheman Bram terdengar tak lama setelah itu. Aliyah terkejut dan dengan spontan berkata, "Mas Bram kayaknya kelelahan deh, kalau Mas mau kita pulang aja, nanti Aliyah bantu pijitin Mas. Gimana?" Suasana hening seketika. Aliyah terpaku dan dalam sepersekian detik ia memejamkan matanya dengan kesal, merasa menyesal setelah mengatakan itu. Bagaimana mungkin mulutnya dengan spontan memberikan tawaran seperti itu. Ini pasti karena sudah terseting otomatis karena kebiasaannya selama tiga tahun ini. Tiba-tiba saja jawaban yang tak disangka datang dari Bram. "Kalau gitu nanti malam saya akan terima kebaikan kamu," jawab pria itu sedikit serak. Aliyah tergagap seketika, "Mas ... Mas. Aliyah kan cuman ber ..." Bram melihat pada wajah Aliyah dengan tatapan bertanya. Aliyah berkedip beberapa kali, "Hmm ... anu ... itu." Memutar otaknya dengan cepat Aliyah segera melontarkan jawaban yang memuaskan, "Gak Mas. Maksudnya ber ... Aliyah akan beri pelayanan yang baik." Dengan canggung Aliyah terkekeh lalu mengedipkan sebelah mata, terlihat melihat Bram yang kembali fokus pada jalan ia segera menjauh dan duduk dengan berjarak. Ia takut jika harus berdekatan dengan pria itu lagi, otaknya akan spontan menyebutkan janji manis dengan mudahnya. Bram kembali melihat ke depan dan tak lama kemudian mereka sampai di Vila Lewis yang terletak pusat kota. Dika, supir sekaligus pengawal pribadi Bram membukakan pintu segera untuk istri bosnya itu. "Silahkan nyonya." Aliyah turun dengan cepat, seakan-akan keluar dari kandang macan ia berkata kepada Bram dari luar. "Mas Bram jangan kelelahan ya! Kalau gitu Aliyah pergi dulu Mas." Tepat di depan vila itu, seorang wanita yang terlihat geram sedang menunggunya. Aliyah tanpa sadar berlari lebih kencang, ia ingin segera menyampaikan kepada asistennya yang terkasih, bahwa pria yang baru saja mereka gosipkan kemarin kini sudah kembali. Dewi berteriak dengan keras, "Mbak, cepat!" Aliyah berlari masuk segera, dan langsung mendapatkan ketidakpuasan dari Dewi. "Mbak! Katanya udah mau nyampe dari tadi, kenapa datangnya masih telat 1 jam-an?" Aliyah ingin menjawab segera, tapi memperhatikan keadaan sekitar yang ramai ia menarik Dewi menuju ruang ganti pakaian. "Dewi ... ini bahaya banget! Mas Bram pulang!" bisiknya dengan panik ditelinga sang asisten. "APA? SUAMI MBAK PULANG?" teriakan Dewi menggelegar keras. "Shut... Dewi suara kamu!" peringat Aliyah segera. Ia dengan panik melihat ke arah kiri dan kanan. Dewi segera menutup mulutnya dengan kedua tangan, tapi matanya yang syok masih terlihat membelalak. Terlihat mengancam pada Aliyah untuk segera menceritakan apa yang terjadi. Aliyah menutup pintu ruang ganti dan segera mengatakan dengan singkat pada Dewi. "Aku gak tau gimana, pagi ini dia udah tiba aja di mansion." Wajah Aliyah yang panik, bertolak belakang dengan Dewi yang sekarang mulai tertawa. "Kenapa kamu ketawa?" tanya Aliyah heran. Dengan susah payah, Dewi menahan tawanya. "Aliyah!" Panggilan dari sutradara Romi terdengar tak lama kemudian. "Lebih baik Mbak siap-siap cepat!" Dewi tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan Aliyah, malah menarik tangan Aliyah menuju ruang make up segera. -- Jery melepaskan kemejanya yang basah, dan asistennya datang bersama tata rias membawakannya kemeja yang baru. "Bang Jery!" panggilan dari Rasya, lawan main Jery, sebagai pemeran utama wanita yang memerankan peran Aletha pada film ini memanggil pria itu dengan lembut. Tubuh Rasya basah kuyup sama seperti pria itu, baru saja mereka memainkan adegan dimana dia sebagai Aletha, kekasih Bray dalam film itu jatuh ke dalam kolam vila dan Bray datang menyelamatkannya. "Ada apa?" tanya Jery sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk. Jery mengerutkan keningnya dengan tak senang, melihat baju Rasya yang terlihat transparan karena basah kuyup. Kenapa wanita itu masih berkeliaran dalam keadaan yang basah seperti itu? "Rasya punya usulan adegan ini ke bang Romi, apa Bang Jery mau dengerin sebentar?" tanya Rasya dengan suara lembutnya. Jery menjawab spontan, "Kalau gitu kamu bisa tanyain langsung sama bang Romi." Pria itu pergi begitu saja, dan tak melihat kebelakang lagi. Rasya yang ditinggalkan dengan acuh mengepalkan tangannya. Dengan marah ia pergi menuju kursi santai tak jauh dari kolam, tempat dimana sutradara sedang berdiskusi dengan penulis skrip. Asistennya datang membawakan Rasya sebuah handuk besar membalut tubuhnya. Rasya memakainya dengan marah, dan berjalan menuju Romi. "Bang Rom!" Rasya memanggil dengan santai, seakan ia adalah teman akrab sutradara terkenal itu. Orang-orang yang melihatnya, tak bisa tak kagum saat berprasangka bahwa dirinya dekat dengan sutradara itu. Romi mengangkat kepalanya melihat pada Rasya. "Iya?" Rasya segera menjelaskan tujuannya, "Gini Bang, Rasya punya saran untuk adegan di kolam tadi." Romi dan penulis skrip disampingnya sontak mengerutkan kening. Tak jarang aktris menyarankan untuk menukar atau merombak adegan. Tapi kebanyakan dari mereka hanya omong kosong. "Apa saran kamu?" Tanya Romi. "Gimana kalau adegan jatuh ini karena aku gak sengaja tabrakan sama Aliyah, habis itu Jery datang dan memilih menyelamatkan salah satu dari kami berdua." Saran yang diberikan gadis itu tampaknya bagus dan Romi langsung mendiskusikannya dengan penulis. Berteriak melalui pengeras suaranya, Romi mengumumkan perombakan adegan. "Ok! Scene 12 diulang, Jery, Rasya dan Aliyah bersiap-siap dalam 10 menit." Aliyah dan Dewi, yang sedang sibuk memikirkan alasan kepulangan Bram terkejut mendengar seruan itu. "Mbak, cepat siap-siap sana!" ucap Dewi mendorongnya pada para stylis. Tak lama kemudian, Aliyah telah siap. Berbalutkan gaun rumahan yang indah dan menarik, ia memulai adegan awal dengan menyirami bunga di taman yang ada di dekat kolam. Dalam adegan itu ia sedikit menjauh dari suaminya yang sedang sibuk bersama sekretaris sang suami. "Bu Aliyah, saya sudah selesai dengan Pak Bray, saya mau izin pamit dulu, Bu." Dari belakangnya, Rasya datang menyapa dengan sopan. Aliyah berbalik dan berjalan mendekati wanita itu, scene selanjutnya mereka akan tidak sengaja saling bertabrakan dan terjatuh ke kolam. "Apa gak makan disini dulu?" ucap Aliyah dengan ramah sesuai scene. Setelah ini, tepat di tepi kolam, mereka akan saling bertabrakan dan jatuh kedalamnya. Rasya menyenggol bahunya, dan ia yang berperan sebagai penderita leukemia akan jatuh dengan mudah hanya dengan sedikit sentuhan. "Akh!" Aliyah menjatuhkan dirinya ke kolam, tapi entah mengapa ia merasakan tangan Rasya menahannya. Pergerakannya tertahan dan bukannya jatuh ke kolam, ia malah berlutut dengan lancar di tempatnya. Tuk ... Bunyi lututnya yang membentur lantai terdengar renyah. Bebatuan di tepi kolam terasa menusuk ke kulitnya. "Sakit ..." Aliyah meringis kesakitan.Sedangkan Rasya telah dulu menjatuhkan tubuhnya ke kolam itu. Rasya tersenyum di sela-sela tindakan, demi menghilangkan kecurigaan ia bahkan rela basah kuyup sekali lagi. Semua ini seperti yang telah ia rencanakan. Memberi pelajaran pada wanita jalang yang suka menggoda semua pria menurutnya. Para kru terkejut dengan apa yang terjadi, tidak ada yang melihat kelainan dari insiden itu. Mereka hanya melihat bahwa Aliyah tidak sengaja salah dalam mengambil tindakan dan membuatnya celaka. Otomatis adegan itu harus gagal, para kru terdekat membantu Aliyah untuk berdiri dan membawanya duduk di kursi terdekat. "Aliyah kamu gak papa?" Romi bertanya dengan khawatir. Aliyah jelas tidak baik-baik saja, lututnya yang seputih salju dan kemerahan sebelumnya, kini telah membengkak bewarna ungu kebiruan. Siapapun yang melihat akan meringis memegangi lututnya sendiri. Dewi segera datang membawa kotak p3k, ia menyingkap sedikit gaun rumah
Aliyah mencaci maki Bram sambil berjalan menuju wardrobe. Sesampainya di depan pintu khusus itu, ia menekan tombol yang melekat pada dinding, Dalam sekejap pintu otomatis terbuka melebar, memperlihatkan berbagai macam barang di dalamnya. Tepat di paling ujung ruang itu, terdapat lemari yang sudah lama tak terbuka. Meski begitu para pelayan tetap siaga membersihkannya. Aliyah membuka pintu lemari pakaian khusus miliknya, dan terlihat jejeran piyama, gaun tidur hingga jenis yang tak ia ketahui, berderet di satu lemari dalam berbagai macam warna dan gaya. Masing-masingnya lebih seksi dari yang lain. Dirinya yang seorang wanita bahkan tersipu saat melihat gaun-gaun kecil itu. "Siapa sih yang ide buat ini, ckckck." ucapnya menggelengkan kepala dengan heran. Pilihan akhirnya jatuh pada gaun sutra putih dengan tali spaghetti. Tidak terlalu seksi dan juga tidak terlalu konservatif. Menurutnya, gaun itu adalah pilihan yang paling tepat. Sambil berdandan, senandung berantakan terdengar d
"Minyak essential?" Pak Rusdi mengangguk sopan, "Benar, Nyonya." Aliyah tak bisa berkata-kata. Apa maksudnya semua ini, ia merasa tak pernah meminta barang-barang itu kepada pak Rusdi. Aliyah melirik ke belakang, dan mendapati Bram kini telah berpakaian lengkap. Melihat wajah dingin yang seakan tak peduli pada dunia, sebenarnya terkandung serigala ganas yang membuatnya ingin sekali mencekik wajah itu. Lihatlah, bahkan pria itu sendiri yang menyiapkan segala kebutuhan untuk pijatnya. "Dasar bejat! Bajingan! Bram SIALAN!" teriaknya di dalam hati. Nyatanya Ia hanya bisa menerima barang-barang yang dibawa Pak Rusdi, dan berkata dengan lembut, "Terimaksih Pak," sambil tersenyum dengan manis. Kepala pelayan itu pergi, sementara Aliyah kini menarik napas dan menghembuskannya perlahan-lahan. Mencoba menahan untuk tidak melemparkan peralatan pijat di tangannya. Setelah tenang ia berbalik dengan anggun, lalu berjalan deng
Bram terasa dihipnotis dalam sekejap. Ia terpana melihat kecantikan Aliyah yang semakin terpancar dalam kesedihan yang ditunjukkan wanita itu. Ekspresi wajah Bram terlihat linglung, mencoba mencerna pertanyaan yang begitu tiba-tiba dan menyentuh. Aliyah menatap Bram dengan penuh harap, menunggu jawaban dari suaminya. Wajahnya yang cantik terlihat semakin bersinar meskipun dipenuhi oleh kesedihan yang mendalam. Ia berusaha menahan air mata yang ingin mengalir, namun kecantikannya tetap memancar dengan gemilang. Bram akhirnya mengangguk perlahan, ekspresi wajahnya terlihat bingung. Ia merasa sedikit terganggu dengan kecantikan Aliyah. "Saya tidak tahu, Aliyah. Kita harus memikirkannya dengan baik," ucap Bram dengan suara yang sedikit berat. Aliyah mengangguk pelan, tetap mempertahankan ekspresi sedih namun cantik di wajahnya. Melihat cinta yang membara dari mata wanita itu, entah kenapa Bram tak sampai hati untuk mengatakan bahwa sebe
Dewi ketakutan setelah mendengar hal itu. Ia melambaikan tangannya kiri dan kanan dengan keras, "Gak mungkin!"Dengan tergagap ia berkata pada Aliyah, "Mbak, Dewi aja kerja baru dua tahun dengan mbak, sedangkan pak Bram udah tiga tahun di Amerika! Yang bener aja Mbak! Gimana caranya aku bisa kenal?"Aliyah mengangguk setuju, "Benar juga.""Untung Mbak tau ... fyuhh ..." Dewi kali ini mengusap jantungnya yang berdisko. Di dalam hatinya ia merasa sangat bersalah karena telah berbohong. Pasalnya pagi ini ia benar-benar telah bertemu dengan seseorang, meskipun dia bukanlah Bramie Atmaja yang sedang mereka bicarakan. Akan tetapi, orang tersebut memperkenalkan diri sebagai tangan kanan pria terhormat itu.Dengan segala keuntungan dan paksaan pihak lain, Dewi resmi menjadi mata-mata pihak mereka."Mbak Aliyah Dewi minta maaf ..." pikir Dewi dengan rasa bersalah melihat pada majikannya yang tampak sangat percaya pada dirinya.Tak lama kemudian, panggilan untuk
Jery, yang terkejut dengan kejadian tersebut, berusaha menenangkan situasi dan membantu Aliyah bangkit dari lantai. Suasana yang tadinya penuh dengan keceriaan dan tawa, kini berubah menjadi tegang dan penuh dengan ketegangan. Semua orang di ruangan itu terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.Rasya memegang bagian tubuhnya yang seolah-olah terluka, menatap Aliyah dengan tatapan penuh kebencian namun juga penuh ketidakberdayaan.Rasya berkata dengan sedih, "Maaf, aku gak sengaja nabrak kamu. Aku harap kamu baik-baik aja."Aliyah yang terkejut dengan tindakan Rasya, menatapnya dengan ekspresi heran namun tetap menjaga ketenangan. Bagaimana mungkin ia tidak tau bahwa Rasya sengaja menabraknya. "Gak apa-apa, Rasya. Aku baik-baik aja."Jery yang akhirnya menyadari bahwa Rasya juga terjatuh akhirnya berkata, "Sini, biar aku bantu kalian berdua berdiri. Semuanya baik-baik aja, gak perlu terlalu tegang."Meskipun suasana tegang masih terasa di udara, Jery
Aliyah terdiam, terkejut dengan jawaban itu. Ia tidak menyangka bahwa Bram akan membawanya ke rumah sakit tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu. "Siapa yang sakit, Mas? Apa Mas Bram sakit?” tanya Aliyah sedikit khawatir.Bram tak menyangka dengan reaksi yang ditunjukkan wanita itu.“Kamu.” jawab Bram singkat, dengan melirik pada lutut Aliyah.Terlihat darah merembes pada gaun putih di bagian lutut wanita itu.“Aku baik-baik aja. Ini hanya luka kecil," seru Aliyah cepat. Tangannya bergerak menarik ujung gaunnya kebawah.Namun, Bram tetap diam, pandangannya lurus ke depan. Kekhawatiran yang ia rasakan tidak tergambar di wajahnya, tapi tindakannya sudah cukup jelas. Sesampainya di rumah sakit, Bram dengan cepat keluar dari mobil dan membantu Aliyah turun. Gerakannya tetap tenang dan terkontrol, menunjukkan ketegasan yang biasanya ia tunjukkan di ruang rapat perusahaan. Aliyah merasa sedikit terharu dengan perhatian Bram yang tersembunyi di balik sikap
Dokter Reynald memeriksa suhu tubuh Aliyah dengan termometer, mengecek tekanan darahnya, dan memeriksa luka di lututnya. Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam bagi Bram, Reynald akhirnya berdiri dan menatap Bram dengan pandangan profesional."Nyonya mengalami demam tinggi, mungkin disebabkan oleh infeksi pada lukanya. Luka di lututnya tidak terlalu parah, tetapi kemungkinan ada kuman yang masuk dan menyebabkan demam," jelasnya dengan tenang.Bram mengangguk, wajah tanpa ekspresi itu sekilas menunjukkan kekhawatiran. "Apa yang harus dilakukan selanjutnya?""Saya akan memberikan antibiotik untuk mengatasi infeksi dan obat penurun demam untuk menurunkan suhunya. Pastikan dia banyak istirahat dan tetap terhidrasi," jawab dokter Reynald sambil menyiapkan suntikan dan obat-obatan yang dibutuhkan.Dokter memberikan suntikan antibiotik pada Aliyah dan memberinya obat penurun demam. Bram duduk di samping tempat tidur, memperhatikan dengan cermat setiap gerakan
Sore itu berlalu dengan kemanisan yang memenuhi kamar Aliyah. Bram mengusap rambut Aliyah yang basah karena perbuatannya. Menatap pada wajah Aliyah yang terlihat lelah, Bram merasa menyesal karena tidak bisa mengendalikan diri dengan baik. “Gak papa, Mas. Ini udah kewajiban aku sebagai istri.”Aliyah senang dan kesakitan, pengalaman pertama yang diberikan Bram tak akan pernah bisa ia lupakan. Tersenyum manis di sudut bibirnya, Aliyah merasakan untuk pertama kalinya bahwa ia bisa sangat mencintai pria di hadapannya.Bram menatap Aliyah dalam diam, masih merasa terhimpit oleh rasa bersalah. Ia tahu bahwa Aliyah mungkin belum siap, dan ia seharusnya lebih peka. "Aku terlalu terbawa suasana, Aliyah... Maafkan aku," ucapnya pelan, penuh penyesalan.“Tapi ini sepenuhnya bukan salah aku …” bisik Bram di telinga Aliyah.Aliyah sontak mengerutkan keningnya, “Trus?”Bram mengeratkan pelukannya, dan dengan menggoga membisikan sesuatu ke telinga Aliyah, “Salahkan istriku ini yang terlalu menggo
Bram berdiri di tengah ruangan yang gelap, hanya terdengar suara langkah kakinya yang menggema di lantai marmer. Tanpa banyak berpikir, ia melangkah menuju jendela pertama, menarik gorden tebal yang menghalangi cahaya dari luar. Begitu jendela terbuka, angin sore yang dingin segera masuk, membawa bau khas hujan yang baru saja reda. Satu per satu jendela dibuka, membiarkan udara mengalir lebih banyak. Namun, meski kini ruangan sedikit lebih terang karena sinar matahari yang menyelinap melalui jendela, suasana tidak menjadi lebih ringan. Aliyah duduk di sudut tempat tidur, kedua tangannya menggenggam erat selimut, matanya kosong, namun di balik kekosongan itu ada sorot ketakutan. Bram berbalik, menatap Aliyah yang masih terdiam. Langkahnya perlahan mendekati wanita itu, kemudian ia berjongkok di hadapannya, menyamakan tingginya dengan Aliyah. “Aku tahu ini berat bagimu,” suaranya terdengar lembut, namun penuh keprihatinan. “Tapi aku harus memastikan kamu baik-baik saja.”
Keesokan harinya, berita tentang keluarnya Aliyah dari dunia hiburan telah menyebar dengan cepat, layaknya api yang menyambar rerumputan kering. Sinta mematuhi perintah Bram dan mengeluarkan pernyataan resmi kepada media tentang keputusan tersebut. Namun, tidak ada yang siap dengan respons yang akan datang.Berita itu langsung menduduki puncak trending topic di media sosial. Seluruh Indonesia seakan gempar. Aliyah adalah salah satu ikon paling terkenal, model dengan jutaan penggemar yang telah mengikuti perjalanan kariernya selama bertahun-tahun. Keluarnya dia dari dunia hiburan tanpa alasan yang jelas membuat semua orang bertanya-tanya. Netizen, penggemar, dan bahkan beberapa kolega selebriti lainnya bereaksi dengan berbagai spekulasi.Di Twitter, Instagram, dan TikTok, ribuan komentar membanjiri timeline. Hastag seperti AliyahRetires, SaveAliyah, dan WhyAliyah? mulai muncul di mana-mana. Penggemar setia Aliyah merasa terpukul, bingung, dan marah karena keputusan mendadak i
Saat malam tiba, keheningan yang menyelimuti rumah besar itu terasa begitu tegang. Bram duduk di ruang kerjanya, menatap jendela yang menghadap ke kebun, pikirannya dipenuhi oleh kecemasan. Di luar, bulan bersinar redup di balik awan, memberikan suasana yang suram dan penuh ketidakpastian. Tiba-tiba, suara langkah cepat terdengar mendekat."Pak Bram!" Seorang pelayan tergesa-gesa memasuki ruangan dengan wajah penuh kekhawatiran. "Nyonya Aliyah sudah bangun."Bram bergegas berdiri, hatinya berdebar kencang. "Apa dia baik-baik saja? Apakah dia sadar sepenuhnya?" tanyanya dengan nada yang hampir penuh kepanikan. Sudah berhari-hari Aliyah tidak sadarkan diri, dan kini dia akhirnya terbangun. Namun, Bram tak tahu apa yang akan ia temukan saat bertemu dengan wanita itu."Saya tidak tahu pasti, Pak," jawab pelayan itu, mencoba tetap tenang. "Tapi Nyonya kelihatan gelisah dan sepertinya bingung."Tanpa menunggu lebih lama, Bram segera keluar dari ruang kerjanya dan bergegas
Dr. Claire tersenyum tipis, “Kami akan melakukan yang terbaik untuk membantunya.” Mereka berjalan melewati lorong-lorong megah menuju kamar Aliyah. Di depan pintu, Bram sudah berdiri, wajahnya keras tapi sarat kecemasan. Tanpa basa-basi, ia menyambut mereka dengan anggukan singkat dan mempersilakan masuk ke dalam kamar, di mana Aliyah sedang terbaring lemah, wajahnya masih memerah karena demam. Dr. John dan Dr. Claire saling bertukar pandang sebelum mendekat ke tempat tidur. Dr. Claire memulai pemeriksaan psikologisnya terlebih dahulu, memperhatikan ekspresi Aliyah yang tampak tenang namun jelas terguncang dari dalam. “Kondisinya kompleks,” gumam Dr. Claire setelah beberapa saat. “Trauma masa kecil yang dia alami telah menciptakan luka mental yang dalam. Saya menduga, alam bawah sadarnya terus-menerus disiksa oleh ingatan buruk itu.” Dr. John mengangguk, menatap monitor medis yang menunjukkan detail vital Aliyah. “Secara neurologis, ada tanda-tanda stres ekstrem yang memengaruhi k
Dibalik kekacauan keadaan di Singapura, Indonesia bahkan lebih tidak baik lagi. Tidak adanya kabar dari sang model fenomenal membuat para fans dan netizen menjadi bertanya-tanya. Beberapa tagar penting yang bersangkutan dengan Aliyah bahkan muncul satu persatu. Berbagai spekulasi dan dugaan dari kalangan muncul, dipicu dengan berita terakhir yang viral saat Aliyah diduga melakukan percobaan bunuh diri, tak sedikit yang mengira wanita cantik itu sudah tiada. Beberapa orang ada yang beranggapan model itu sedang melangsungkan pernikahan privat di sebuah pulau. Dewi sang asisten dan Sinta sebagai manajer Aliyah dibuat tak bisa berkutik. "Gimana kak, bahkan udah dua minggu sekarang, tapi ... berita tentang mbak Aliyah masih jadi trending topik." Sinta mengalihkan pandangan dari ipad nya dan dengan kesal memarahi gadis itu, "Dewi kamu bisa diam dulu gak! Saya pusing liat kamu mondar-mandir dari tadi." Dewi tetunduk lesu, melangkah dengan pelan menuju sofa dan duduk disana. Sin
Penerbangan pribadi yang sudah dijadwalkan pagi ini harus tertunda karena keresahan Bram. Sepanjang hari ia sibuk menelusuri masa lalu Aliyah dengan bawahan yang paling terkemuka dalam bidang IT. “Pak, kami sudah menemukan beberapa CCTV yang mengarah ke jalan Timur Perdamaian tersebut.”Bram langsung saja memeriksa komputer yang ada di depan bawahannya, mata elangnya yang tajam melihat dengan seksama pada cuplikan hitam putih di layar.Pandangannya segera terhenti pada seorang gadis kecil yang berjalan dengan riang sambil memegang tangan ibunya. Es krim di tangan kecil itu tampak begitu lezat jika dinilai dari ekspresi bahagia gadis kecil tersebut. Bram tanpa ragu bisa memastikan bahwa gadis itu adalah Aliyah, saat gadis itu masih berumur sekitar lima atau enam tahun. Seorang wanita muda menggandengnya, terlihat linglung dan tak fokus.Aliyah kecil tampak begitu polos, dengan senyum cerah yang memperlihatkan betapa sederhananya dunia di mat
Aliyah berbaring dengan patuh, di sisi kanannya seorang dokter wanita sedang sibuk dengan peralatan medis. Sementara itu, Bram dengan kaku berdiri di sisi kiri Aliyah, tak sedikitpun melepaskan pandangan dari istrinya. Ada sedikit robekan di kulit kepala Aliyah, tergores karena perlawanannya saat disergap di kamar mandi sebelumnya. Seorang perawat telah siap akan menggundulkan rambut di bagian luka itu. “Jangan!” Aliyah berteriak dengan takut. Bertanya dengan bahasa Inggris ke perawat itu, “Apa kamu akan memotong rambutku?” Bram segera menahan tubuh Aliyah yang tersentak terkejut, dan menggenggam tangan wanita itu untuk menenangkannya. “Tidak apa-apa?” Aliyah melotot dengan marah, “Gak apa-apa gimana, Mas?” dengan cemberut ia berkata kesal, “Aku gak mau sampai dibotakin! Titik.” Perawat tersebut dengan hormat menjelaskan, “Nyonya ini hanya sekedar di area luka saja.” “Tidak! Tidak perlu dijahit!” ucap Aliyah keras kepala. Bram menatap dengan
Aliyah merasakan napasnya tersengal, dadanya bergetar karena ketakutan dan rasa sakit. Dion, yang awalnya terlihat tenang, kini berubah menjadi sosok yang tak terduga, emosinya berkecamuk antara rasa bersalah dan kemarahan yang tidak terkendali.Dion mengusap rambutnya dengan gelisah, seolah-olah berusaha mengendalikan dirinya sendiri. "Aku tidak bermaksud menyakitimu, Aliyah. Kamu harus mengerti...," suaranya mulai parau, tapi pria itu belum selesai. "Kita harus bersama. Sejak dulu aku mencintaimu, tapi kamu malah bersama dia." Matanya menunjukkan frustrasi yang mendalam, bahkan sedikit kebingungan.Aliyah berusaha menenangkan dirinya. Meski tubuhnya lemah, ia tetap berjuang menjaga kesadarannya agar tidak menyerah pada rasa takutnya. "Dion... aku gak pernah tahu tentang perasaan kamu. Kamu gak pernah …," suaranya pelan, tapi tegas. "Dan Bram ... dia adalah suamiku."Kata-kata itu membuat Dion tersentak. Wajahnya berubah seolah-olah di antara kemarahan dan kesedihan. "Bram tidak pant