Bram mengangkat wajahnya dari ipad di pangkuannya. Melihat pada wanita yang sudah tiga tahun tak dilihatnya. Wanita itu sepertinya telah banyak berubah.
Gadis pendiam berumur 20 tahun yang dinikahinya dulu, kini terlihat semakin menarik dan cantik. Wajah lembutnya bak malaikat yang membawa penenangan, bibir tipis bewarna pink merah itu terlihat basah dan lembut, bagai embun di pagi hari yang membawa kelembapan. Mata yang membulat karena terkejut itu, terlihat jernih mencerminkan dunia yang indah. Tanpa ekspresi berarti di wajahnya, Bram mengalihkan pandangan. Aliyah masih terpaku melihat pada sosok pria yang terlihat sangat, sangat, sangat jauh dari perkiraannya. Dimana kepala putih yang penuh dengan uban itu? Apakah ini masih Bramie Atmaja, suaminya yang menghilang selama tiga tahun dengan alasan membangun pasar di Amerika? Kenapa ia masih terlihat sama tampannya seperti tiga tahun yang lalu? “Mas Bram … Aliyah gak nyangka! Akhirnya setelah tiga tahun lamanya, mas Bram pulang hari ini!” seru Aliyah dengan wajah berbinar yang terlihat sangat bahagia. Dengan semangat ia menerjang pada suaminya itu, memeluk leher Bram dengan kedua tangan lalu dengan mati-matian memeras air mata. Dengan rengekan kecil menyedihkan yang keluar dari bibirnya, Aliyah mencibir sedih. “Aliyah udah putus asa selama ini, aku pikir suamiku ini … akan datang saat melihat istrinya hanya tinggal tubuh yang terbujur kaku!” rengek Aliyah manja. Perkataan wanita itu sukses membuat Bram mengerutkan keningnya tak suka. Tubuh harum yang menggantung pada tubuhnya saat ini, membuatnya merasa terganggu. Kurva tubuh Aliyah yang curam membuat Bram merasakan rasa asing yang tak biasa pada tubuhnya. “Turun!” sahut Bram dengan dingin. “Mas Bram … Aliyah kan kangen.” Mata wanita itu berkedip dengan sedih, Bram bisa melihat pada bayangan bulu matanya yang panjang dan sangat lentik di bawah matanya itu, terlihat alami tanpa ada campur tangan kosmetik lain seperti yang ia lihat pada kebanyakan wanita. Bram akui, Aliyah benar-benar diberkati sebagai seorang wanita, ia sangat cantik dan menawan. Menahan senyum di bibir, Aliyah mengeratkan pelukannya, wajahnya yang tersenyum lebar dari balik tubuh Bram terlihat sangat bahagia. Terbuktikan! Tubuh gay suaminya ini pasti sedang memberontak tidak nyaman karena sentuhannya. Aliyah menopang tubuhnya dengan memegang kedua bahu Bram yang tebal dan keras. Mencubit beberapa kali ia terpekik kagum di hatinya, “Wah … Mas Bram ternyata se maskulin ini! Tapi kenapa orientasi mas Bram melenceng? Kalau gak ‘kan Aliyah masih bisa pikirin ulang untuk jadi istri Mas Bram.” Bram itu adalah tipe laki-laki maco yang terlihat sangat gagah, jika biasanya gadis-gadis sekarang banyak menyukai pria berkulit putih, bertubuh tinggi, yang bahkan ketampanannya dapat mengalahkan kecantikan wanita, maka Bramie Atmaja adalah kebalikannya. Dengan batang hidung yang lurus tinggi, bibir tipis yang terlihat mencibir pada dunia, dan mata tajam setajam pisaunya, pria itu terlihat mematikan dengan tatapannya yang menggoda. Kulit gandumnya yang sehat, dan otot yang mencuat dari kemejanya membuat hormon kejantanannya terasa sangat kental. Bram merasakan panas menjalar ditubuhnya, 30 tahun adalah umur seorang pria yang penuh dengan gairah, apalagi diumur yang sudah kepala tiga ia belum pernah mencoba rasa seorang wanita. Ditambah wanita yang menempel padanya saat ini adalah kecantikan tiada tara yang diakui oleh banyak orang. Dengan rahang mengeras dan tubuh yang menegang, Bram memegang bahu wanita itu yang terasa kecil ditangannya. Mendorong menjauh dari tubuhnya. “Aliyah …!” geram Bram di telinga wanita itu. Aliyah turun dari pangkuan Bram, tertawa bahagia di hatinya. Lalu duduk tanpa jarak disamping pria itu. Dengan mata yang besar ia melihat kekiri dan kekanan pada ipad dan kertas-kertas dokumen diatas meja. Dimana surat perceraian itu? Sadar bahwa pria itu sedang memperhatikan pergerakannya, Aliyah berdehem canggung, dengan mata yang penuh kasih sayang dan kerinduan ia menatap suaminya itu. “Mas Bram kok tiba-tiba pulang, sih?” tanyanya dengan penasaran. Pertanyaannya sendiri membuat Aliyah terbelalak kaget, pesan tadi malam! Mas Bram pasti menyampaikan kabar kepulangannya, lalu setelah ini akan membawanya ke pengadilan? Untuk menghadiri sidang cerai mereka? Bram baru saja sampai pagi ini, keberangkatannya pukul 08.00 pagi kemaren di Amerika membuatnya mendarat pagi ini di Indonesia. 20 jam dalam penerbangan tidak membuatnya lelah sedikitpun. Selama tiga tahun membangun pasar Atmaja Group di Amerika, Bram kini dapat kembali ke Indonesia karena bisnis disana sudah berjalan dengan baik. Pagi ini awalnya ia berencana untuk langsung saja ke perusahaannya, tapi kepala pelayan menahannya, mengatakan bahwa Aliyah sedang ada di mansion. Jadi Bram berpikir, pagi ini mereka mungkin bisa membicarakan masalah mengenai hubungan mereka kedepannya. “Pak, siapkan mobil! Saya akan ke perusahaan sekarang,” perintah Bram pada pak Rusdi yang berdiri agak jauh dari mereka. Pak Rusdi akhirnya menghela napas lega, saat melihat ternyata tuannya tidak marah pada Nyonya. Apalagi melihat tuan yang tidak mengalami reaksi buruk saat Nyonya memeluknya dan menyentuh kulit tuannya. “Baik, Tuan.” Aliyah mengangkat sebelah alisnya dengan licik, “Mas Bram kebetulan Aliyah mau ada syuting di villa lewis sekarang, jadi Aliyah nebeng ya.” Bram tidak menolak dan dengan cepat melangkahkan kakinya, Aliyah berlari kecil mengikuti pria itu. “Oh iya Pak, bilang ke Pak Tomo kalau Aliyah pergi sama mas Bram yah,” ucap Aliyah sambil berjalan melalui kepala pelayan. Bram masuk ke kursi belakang, diikuti Aliyah yang duduk disampingnya. Bahkan masih di dalam mobil pun, pria itu terlihat sibuk dengan ipad di tangannya. Melihat jarak yang lumayan jauh antara mereka, Aliyah menggeser tubuhnya hingga menempel pada Bram. “Mas Bram harus makhlumi kalau Aliyah lengket banget sama, Mas. Ini semua karena Aliyah terlampau rindu, hampir setiap malam Aliyah mimpiin mas.” Cicitnya kecil dan terdengar manja. Tubuh wanita itu lesu, lemah gemulai bersandar pada suaminya, sambil memeluk lengan kanan pria itu, dan menyandarkan kepala pada bahunya yang kokoh. Meski begitu ia sudah besiap-siap saat Bram akan mendorongnya nanti. Tapi mengapa? Satu menit… Dua menit … Aliyah menunggu dengan sabar, tapi mengapa dorongan itu tidak kunjung datang juga, apakah dia kurang agresif? Melihat ke bawah pada jemari panjang milik Bram yang terlihat indah, dengan lembut Aliyah meraihnya. Menyatukan kedua tangan mereka, dan bersandar dengan lebih dekat lagi. Tangan pria itu yang sibuk menggulir layar berita keuangan kini terhenti karena tautan jemari wanita itu. Sejak tadi ia sudah tidak focus, apalagi wangi lembut tubuh wanita itu sepertinya hanya berkumpul di sekitar hidungnya saja. Jarang sekali Bram merasakan perasaan rileks yang menenangkan seperti ini. Bram mematikan ipadnya dan melemparkan ke depan, pada ruang khusus yang tersedia untuk barang-barang elektronik. Aliyah yang memejamkan mata dan siap untuk menampilkan raut kecewa karena penolakan pria itu, kini malah terdiam kaku, saat Bram menarik tangannya lebih erat. “Malam ini ada yang mau saya bicarakan dengan kamu,” ucap pria itu dengan mata terpejam bersandar ke belakang, tak menyadari mata istrinya yang kini melotot hampir melompat keluar.Tubuh Aliyah kaku dan matanya membelalak terkejut.Ini bukan reaksi yang seharusnya!Tanpa Aliyah sadari, sudut bibir Bram naik ke atas saat merasakan tubuh lembut yang bersandar disampingnya, kini terasa kaku dan tegang.Hampir 15 menit lamanya perjalanan, dan Aliyah bisa merasakan bahwa Bram tertidur disampingnya. "Mas Bram?!" "Mas?"Aliyah memanggil berulang kali, tapi tak juga mendapatkan jawaban. Melihat itu, dengan lembut ia menarik tangannya keluar dari cengkeraman jemari pria itu.Aliyah mengusap pada posisi jantung yang berdetak tak karuan."Jantung ... plis calm down!" lirihnya kecil."Ekhm ..." deheman Bram terdengar tak lama setelah itu.Aliyah terkejut dan dengan spontan berkata, "Mas Bram kayaknya kelelahan deh, kalau Mas mau kita pulang aja, nanti Aliyah bantu pijitin Mas. Gimana?"Suasana hening seketika. Aliyah terpaku dan dalam sepersekian detik ia memejamkan matanya dengan kesal, merasa menyesal setelah mengatakan itu.Bagaimana mungkin mulutnya dengan spontan me
Sedangkan Rasya telah dulu menjatuhkan tubuhnya ke kolam itu. Rasya tersenyum di sela-sela tindakan, demi menghilangkan kecurigaan ia bahkan rela basah kuyup sekali lagi. Semua ini seperti yang telah ia rencanakan. Memberi pelajaran pada wanita jalang yang suka menggoda semua pria menurutnya. Para kru terkejut dengan apa yang terjadi, tidak ada yang melihat kelainan dari insiden itu. Mereka hanya melihat bahwa Aliyah tidak sengaja salah dalam mengambil tindakan dan membuatnya celaka. Otomatis adegan itu harus gagal, para kru terdekat membantu Aliyah untuk berdiri dan membawanya duduk di kursi terdekat. "Aliyah kamu gak papa?" Romi bertanya dengan khawatir. Aliyah jelas tidak baik-baik saja, lututnya yang seputih salju dan kemerahan sebelumnya, kini telah membengkak bewarna ungu kebiruan. Siapapun yang melihat akan meringis memegangi lututnya sendiri. Dewi segera datang membawa kotak p3k, ia menyingkap sedikit gaun rumah
Aliyah mencaci maki Bram sambil berjalan menuju wardrobe. Sesampainya di depan pintu khusus itu, ia menekan tombol yang melekat pada dinding, Dalam sekejap pintu otomatis terbuka melebar, memperlihatkan berbagai macam barang di dalamnya. Tepat di paling ujung ruang itu, terdapat lemari yang sudah lama tak terbuka. Meski begitu para pelayan tetap siaga membersihkannya. Aliyah membuka pintu lemari pakaian khusus miliknya, dan terlihat jejeran piyama, gaun tidur hingga jenis yang tak ia ketahui, berderet di satu lemari dalam berbagai macam warna dan gaya. Masing-masingnya lebih seksi dari yang lain. Dirinya yang seorang wanita bahkan tersipu saat melihat gaun-gaun kecil itu. "Siapa sih yang ide buat ini, ckckck." ucapnya menggelengkan kepala dengan heran. Pilihan akhirnya jatuh pada gaun sutra putih dengan tali spaghetti. Tidak terlalu seksi dan juga tidak terlalu konservatif. Menurutnya, gaun itu adalah pilihan yang paling tepat. Sambil berdandan, senandung berantakan terdengar d
"Minyak essential?" Pak Rusdi mengangguk sopan, "Benar, Nyonya." Aliyah tak bisa berkata-kata. Apa maksudnya semua ini, ia merasa tak pernah meminta barang-barang itu kepada pak Rusdi. Aliyah melirik ke belakang, dan mendapati Bram kini telah berpakaian lengkap. Melihat wajah dingin yang seakan tak peduli pada dunia, sebenarnya terkandung serigala ganas yang membuatnya ingin sekali mencekik wajah itu. Lihatlah, bahkan pria itu sendiri yang menyiapkan segala kebutuhan untuk pijatnya. "Dasar bejat! Bajingan! Bram SIALAN!" teriaknya di dalam hati. Nyatanya Ia hanya bisa menerima barang-barang yang dibawa Pak Rusdi, dan berkata dengan lembut, "Terimaksih Pak," sambil tersenyum dengan manis. Kepala pelayan itu pergi, sementara Aliyah kini menarik napas dan menghembuskannya perlahan-lahan. Mencoba menahan untuk tidak melemparkan peralatan pijat di tangannya. Setelah tenang ia berbalik dengan anggun, lalu berjalan deng
Bram terasa dihipnotis dalam sekejap. Ia terpana melihat kecantikan Aliyah yang semakin terpancar dalam kesedihan yang ditunjukkan wanita itu. Ekspresi wajah Bram terlihat linglung, mencoba mencerna pertanyaan yang begitu tiba-tiba dan menyentuh. Aliyah menatap Bram dengan penuh harap, menunggu jawaban dari suaminya. Wajahnya yang cantik terlihat semakin bersinar meskipun dipenuhi oleh kesedihan yang mendalam. Ia berusaha menahan air mata yang ingin mengalir, namun kecantikannya tetap memancar dengan gemilang. Bram akhirnya mengangguk perlahan, ekspresi wajahnya terlihat bingung. Ia merasa sedikit terganggu dengan kecantikan Aliyah. "Saya tidak tahu, Aliyah. Kita harus memikirkannya dengan baik," ucap Bram dengan suara yang sedikit berat. Aliyah mengangguk pelan, tetap mempertahankan ekspresi sedih namun cantik di wajahnya. Melihat cinta yang membara dari mata wanita itu, entah kenapa Bram tak sampai hati untuk mengatakan bahwa sebe
Dewi ketakutan setelah mendengar hal itu. Ia melambaikan tangannya kiri dan kanan dengan keras, "Gak mungkin!"Dengan tergagap ia berkata pada Aliyah, "Mbak, Dewi aja kerja baru dua tahun dengan mbak, sedangkan pak Bram udah tiga tahun di Amerika! Yang bener aja Mbak! Gimana caranya aku bisa kenal?"Aliyah mengangguk setuju, "Benar juga.""Untung Mbak tau ... fyuhh ..." Dewi kali ini mengusap jantungnya yang berdisko. Di dalam hatinya ia merasa sangat bersalah karena telah berbohong. Pasalnya pagi ini ia benar-benar telah bertemu dengan seseorang, meskipun dia bukanlah Bramie Atmaja yang sedang mereka bicarakan. Akan tetapi, orang tersebut memperkenalkan diri sebagai tangan kanan pria terhormat itu.Dengan segala keuntungan dan paksaan pihak lain, Dewi resmi menjadi mata-mata pihak mereka."Mbak Aliyah Dewi minta maaf ..." pikir Dewi dengan rasa bersalah melihat pada majikannya yang tampak sangat percaya pada dirinya.Tak lama kemudian, panggilan untuk
Jery, yang terkejut dengan kejadian tersebut, berusaha menenangkan situasi dan membantu Aliyah bangkit dari lantai. Suasana yang tadinya penuh dengan keceriaan dan tawa, kini berubah menjadi tegang dan penuh dengan ketegangan. Semua orang di ruangan itu terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.Rasya memegang bagian tubuhnya yang seolah-olah terluka, menatap Aliyah dengan tatapan penuh kebencian namun juga penuh ketidakberdayaan.Rasya berkata dengan sedih, "Maaf, aku gak sengaja nabrak kamu. Aku harap kamu baik-baik aja."Aliyah yang terkejut dengan tindakan Rasya, menatapnya dengan ekspresi heran namun tetap menjaga ketenangan. Bagaimana mungkin ia tidak tau bahwa Rasya sengaja menabraknya. "Gak apa-apa, Rasya. Aku baik-baik aja."Jery yang akhirnya menyadari bahwa Rasya juga terjatuh akhirnya berkata, "Sini, biar aku bantu kalian berdua berdiri. Semuanya baik-baik aja, gak perlu terlalu tegang."Meskipun suasana tegang masih terasa di udara, Jery
Aliyah terdiam, terkejut dengan jawaban itu. Ia tidak menyangka bahwa Bram akan membawanya ke rumah sakit tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu. "Siapa yang sakit, Mas? Apa Mas Bram sakit?” tanya Aliyah sedikit khawatir.Bram tak menyangka dengan reaksi yang ditunjukkan wanita itu.“Kamu.” jawab Bram singkat, dengan melirik pada lutut Aliyah.Terlihat darah merembes pada gaun putih di bagian lutut wanita itu.“Aku baik-baik aja. Ini hanya luka kecil," seru Aliyah cepat. Tangannya bergerak menarik ujung gaunnya kebawah.Namun, Bram tetap diam, pandangannya lurus ke depan. Kekhawatiran yang ia rasakan tidak tergambar di wajahnya, tapi tindakannya sudah cukup jelas. Sesampainya di rumah sakit, Bram dengan cepat keluar dari mobil dan membantu Aliyah turun. Gerakannya tetap tenang dan terkontrol, menunjukkan ketegasan yang biasanya ia tunjukkan di ruang rapat perusahaan. Aliyah merasa sedikit terharu dengan perhatian Bram yang tersembunyi di balik sikap