“AH …” pekik Aliyah keras, tubuhnya terpaku karena kejutan yang tiba-tiba ini.
Kontak gaib itu tiba-tiba mengirimkan pesan. Dugaannya yang selama ini mengira bahwa kontaknya telah diblokir ternyata salah. Bola mata bewarna hazelnya yang indah melebar, mulutnya ternganga cantik, dan dengan syok tanpa sengaja ponsel barunya itu terlepas dari genggamannya. Dengan kalang kabut Aliyah menjulurkan tangan, tapi sayangnya ia gagal menjangkau, wanita itu sontak menarik napas tertahan saat akhirnya mendengar suara renyah dari pantulan ponsel yang mencium lantai. Untuk sesaat dunia hening sejenak. Dan ia pun tersadar dari lamunanya, “Astaga …” seru Aliyah panik, berlutut di depan ponsel itu dan segera mengambilnya. Napasnya memburu karena syok. Bagaimana tidak! Ini pertama kalinya setelah 3 tahun mereka menikah, Bram mengirimkan pesan secara pribadi. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya, jangankan pesan! Aliyah sendiri bisa menghitung dengan jarinya berapa banyak kata yang pernah ia dengar keluar dari mulut pria itu. Aliyah memegang ponsel itu dan membaliknya, lalu melihat pada layar LCD, Ia dibuat tercengang saat melihat pada layar yang telah berubah menjadi jaring laba-laba. Dengan jantung yang berdebar, ia menggesek layar ponsel, tapi sayangnya sia-sia. Layar itu masih menampilkan bar notifikasi pesan yang terpotong. [Besok pagi saya—] Dengan gigih ia mengklik pada notifikasi itu, tapi usahanya tak kunjung membuahkan hasil. “Besok pagi ngapain?” tanya Aliyah pada dirinya sendiri. “AAA … Tuhan kenapa?” teriaknya frustasi. Menangis tanpa air mata, wanita itu menjambak rambut hitam bergelombang sepinggang yang bagaikan rumput laut. Apa isi pesan yang dikirimkan oleh Bram? Apakah itu tentang perceraian mereka? Apakah akhirnya pria itu tercerahkan? Dan menyadari kalau ia harus segera menceraikan dirinya? Lalu yang dimaksud dengan besok pagi adalah persidangan cerai? Dengan gugup Aliyah menggigit kuku dijari tangan kanannya, sungguh kebiasaan yang buruk. Tapi rasa penasaran semangat dan antusias menjadi satu membayangkan sebentar lagi ia akan mendapatkan kebebasannya. Isi pesan yang belum diketahui itu membuat Aliyah pada akhirnya masih membuka matanya hingga subuh. Tak pernah ia mengalami hal ini sebelumnya, hidupnya selalu teratur, dan jam tidurnya selalu tepat waktu. Tapi, malam itu untuk pertama kalinya lingkaran hitam kantung mata yang terlihat samar di wajah tanpa cela itu muncul. Ranjang king size kokoh yang tak pernah mengeluarkan suara mengerit kini terdengar sesekali karena tubuhnya yang tak bisa diam. Dadanya terasa sesak seakan ada batu yang menekan dengan kuat, ini pasti rasa penasarannya yang sebesar gunung! --- “Ugh …!” seru Aliyah tersintak dari tidurnya. Refleks kedua tangan menahan rambatan sinar matahari yang menembus dari balkon yang terbuka. Ia lupa menutup tirai itu tadi malam. Cahaya matahari kini sudah terik menyinari setiap sudut kamar. Mata wanita itu membola melihat pada jam digital yang menunjukkan pukul 11.00. Ia telah lupa dengan pesan yang tiba-tiba dari suaminya malam tadi. Hari ini dia ada syuting adegan, untuk film ‘The Truth of The Love’! Film yang ia yang ambil kemarin, dengan perannya sebagai Ayumi. Reka adegan akan diambil pada jam 12.00 siang ini. Hanya satu jam lagi, dan ia harus cepat-cepat bersiap. Sementara itu, di lantai bawah. Kepala pelayan yang telah terjaga sejak pukul 05.00 sama paniknya dengan majikannya. Dengan kepala menunduk ia sesekali mengusap keringat dingin di tengkuknya. Melihat pada bos besar sebenarnya, yang kini duduk dengan wajah dingin di sofa ruang tamu mansion. “Pak … apa saya harus membangunkan Nyonya Aliyah sekarang?” Pria itu mengangkat tangannya, mengisyaratkan kepala pelayan itu pergi. Tepat saat pak Rusdi baru saja akan melangkah. Bunyi hentakan sepatu yang terdengar terburu-buru menuruni tangga tiba-tiba saja mengisi keheningan ruang tamu yang mencekam. “Ini semua gara-gara mas Bram!” Sambil menggerutu kesal, wanita itu berlari menuruni tangga. Dia yang biasanya terlihat mempesona dengan gaun bermerek keluaran terbaru, dan rambut yang tertata dengan berbagai macam gaya, sekarang harus bersiap seadanya. Sudah bisa mandi membersihkan tubuh saja adalah hal yang sangat baik saat ini. Aliyah yang selalu disiplin dan tepat waktu jarang merasakan panik karena takut terlambat. Selama ini, semenjak memasuki dunia hiburan, ia selalu dipuji karena profesionalitas kerjanya yang tinggi. Ia selalu sukses membawakan nama besar untuk sebuah merek, pendapatan yang didatangkannya kepada perusahaan karena nilai jualnya, bisa berkali-kali lipat bahkan lebih. “Awas aja kalau Mas Bram ada didepan aku sekarang, bakalan aku gigit lehernya, dan hisap darahnya sampai habis!” ucap Aliyah dengan keras. Pak Rusdi yang bisa mendengar dengan jelas, menghela napas tertahan dan memejamkan mata pasrah saat melihat rahang bos didepannya, yang terlihat semakin mengetat. Demi kedamaian dunia, ia berinisiatif untuk bergerak, mendekat menuju ujung tangga bawah. “Nyo-nyonya?!” Sapa pak Rusdi sambil menelan salivanya dengan susah payah. Nyonya besarnya itu, yang bahkan dalam dandanan biasa saja masih terlihat anggun dan sangat cantik, semoga saja bisa menenangkan kemarahan tuannya. Mendengar sapaan itu, Aliyah melihat pada pak Rusdi yang berdiri di ujung tangga terlihat gugup dan ketakutan, membuatnya juga ikut mengerutkan keningnya. “Selamat pagi, eh siang maksud Aliyah pak. Oh iya segera minta pak Tomo untuk siapkan mobil!” Perintahnya terburu-buru. Ponsel bewarna ungu muda, keluaran seri sebelumnya kini tergeletak dalam genggaman Aliyah, sejak tadi getaran karena panggilan yang tak henti-hentinya dari Dewi membuat Aliyah semakin panik. Sambil menunggu mobil ia menjawab panggilan asistennya itu segera. Berdiri di bawah tangga itu, Pak Rusdi melihat bolak balik pada bos besar di sofa yang duduk membelakangi mereka dan pada nyonya besar yang sibuk menjawab telepon. “Ya Tuhan ... keadaan macam apa ini?” teriak kepala pelayan frustasi dalam pikirannya. “Nyonya Pak Bram--” Perkataan pak Rusdi terpotong saat Aliyah mengangkat tangan kanannya. Aliyah masih sibuk menjawab panggilan Dewi sambil mebujuk, “Iya-Iya ini aku udah jalan, bentar lagi nyampe kok. Maaf hape aku rusak, layarnya pecah, jadi ini hape lama.” Ponsel itu akhirnya tenang untuk sejenak, “Fyuh ...” Aliyah menghembuskan napas panjang sambil merapikan rambutnya yang tergerai. Ia berbalik melihat pada pak Rusdi, “Pak kenapa masih disini? Tolong bantu saya, minta Pak Tomo untuk siapkan mobil, hari ini mobil yang biasa aja.” Kepala pelayan itu ingin mencari lubang sekarang, menguburkan dirinya dimana saja, menjauh dari dua majikannya itu. “Kenapa Pak?” tanya Aliyah. Belum sempat pak Rusdi menjawab, Aliyah teralihkan dengan siluet di sofa ruang tamu. Dahinya yang halus mengernyit bingung, “Loh? Ada tamu pak? Siapa?” tanyanya pada kepala pelayan itu. Dengan terpaksa Aliyah berjalan menuju sofa, meski terdesak waktu, tapi sebagai tuan rumah ia harus bersikap sopan terlebih dahulu kepada tamunya. Kepala pelayan memukul kepalanya sendiri dengan fustasi, dengan cepat mengikuti Aliyah dan memberi peringatan pada majikannya itu, “Nyonya itu pak Br—” “Astagfirullahalazim, MAS BRAM?” pekik Aliyah keras.Bram mengangkat wajahnya dari ipad di pangkuannya. Melihat pada wanita yang sudah tiga tahun tak dilihatnya. Wanita itu sepertinya telah banyak berubah.Gadis pendiam berumur 20 tahun yang dinikahinya dulu, kini terlihat semakin menarik dan cantik. Wajah lembutnya bak malaikat yang membawa penenangan, bibir tipis bewarna pink merah itu terlihat basah dan lembut, bagai embun di pagi hari yang membawa kelembapan.Mata yang membulat karena terkejut itu, terlihat jernih mencerminkan dunia yang indah.Tanpa ekspresi berarti di wajahnya, Bram mengalihkan pandangan.Aliyah masih terpaku melihat pada sosok pria yang terlihat sangat, sangat, sangat jauh dari perkiraannya.Dimana kepala putih yang penuh dengan uban itu? Apakah ini masih Bramie Atmaja, suaminya yang menghilang selama tiga tahun dengan alasan membangun pasar di Amerika?Kenapa ia masih terlihat sama tampannya seperti tiga tahun yang lalu? “Mas Bram … Aliyah gak nyangka! Akhirnya setelah tiga tahun lamanya, mas Bram pula
Tubuh Aliyah kaku dan matanya membelalak terkejut.Ini bukan reaksi yang seharusnya!Tanpa Aliyah sadari, sudut bibir Bram naik ke atas saat merasakan tubuh lembut yang bersandar disampingnya, kini terasa kaku dan tegang.Hampir 15 menit lamanya perjalanan, dan Aliyah bisa merasakan bahwa Bram tertidur disampingnya. "Mas Bram?!" "Mas?"Aliyah memanggil berulang kali, tapi tak juga mendapatkan jawaban. Melihat itu, dengan lembut ia menarik tangannya keluar dari cengkeraman jemari pria itu.Aliyah mengusap pada posisi jantung yang berdetak tak karuan."Jantung ... plis calm down!" lirihnya kecil."Ekhm ..." deheman Bram terdengar tak lama setelah itu.Aliyah terkejut dan dengan spontan berkata, "Mas Bram kayaknya kelelahan deh, kalau Mas mau kita pulang aja, nanti Aliyah bantu pijitin Mas. Gimana?"Suasana hening seketika. Aliyah terpaku dan dalam sepersekian detik ia memejamkan matanya dengan kesal, merasa menyesal setelah mengatakan itu.Bagaimana mungkin mulutnya dengan spontan me
Sedangkan Rasya telah dulu menjatuhkan tubuhnya ke kolam itu. Rasya tersenyum di sela-sela tindakan, demi menghilangkan kecurigaan ia bahkan rela basah kuyup sekali lagi. Semua ini seperti yang telah ia rencanakan. Memberi pelajaran pada wanita jalang yang suka menggoda semua pria menurutnya. Para kru terkejut dengan apa yang terjadi, tidak ada yang melihat kelainan dari insiden itu. Mereka hanya melihat bahwa Aliyah tidak sengaja salah dalam mengambil tindakan dan membuatnya celaka. Otomatis adegan itu harus gagal, para kru terdekat membantu Aliyah untuk berdiri dan membawanya duduk di kursi terdekat. "Aliyah kamu gak papa?" Romi bertanya dengan khawatir. Aliyah jelas tidak baik-baik saja, lututnya yang seputih salju dan kemerahan sebelumnya, kini telah membengkak bewarna ungu kebiruan. Siapapun yang melihat akan meringis memegangi lututnya sendiri. Dewi segera datang membawa kotak p3k, ia menyingkap sedikit gaun rumah
Aliyah mencaci maki Bram sambil berjalan menuju wardrobe. Sesampainya di depan pintu khusus itu, ia menekan tombol yang melekat pada dinding, Dalam sekejap pintu otomatis terbuka melebar, memperlihatkan berbagai macam barang di dalamnya. Tepat di paling ujung ruang itu, terdapat lemari yang sudah lama tak terbuka. Meski begitu para pelayan tetap siaga membersihkannya. Aliyah membuka pintu lemari pakaian khusus miliknya, dan terlihat jejeran piyama, gaun tidur hingga jenis yang tak ia ketahui, berderet di satu lemari dalam berbagai macam warna dan gaya. Masing-masingnya lebih seksi dari yang lain. Dirinya yang seorang wanita bahkan tersipu saat melihat gaun-gaun kecil itu. "Siapa sih yang ide buat ini, ckckck." ucapnya menggelengkan kepala dengan heran. Pilihan akhirnya jatuh pada gaun sutra putih dengan tali spaghetti. Tidak terlalu seksi dan juga tidak terlalu konservatif. Menurutnya, gaun itu adalah pilihan yang paling tepat. Sambil berdandan, senandung berantakan terdengar d
"Minyak essential?" Pak Rusdi mengangguk sopan, "Benar, Nyonya." Aliyah tak bisa berkata-kata. Apa maksudnya semua ini, ia merasa tak pernah meminta barang-barang itu kepada pak Rusdi. Aliyah melirik ke belakang, dan mendapati Bram kini telah berpakaian lengkap. Melihat wajah dingin yang seakan tak peduli pada dunia, sebenarnya terkandung serigala ganas yang membuatnya ingin sekali mencekik wajah itu. Lihatlah, bahkan pria itu sendiri yang menyiapkan segala kebutuhan untuk pijatnya. "Dasar bejat! Bajingan! Bram SIALAN!" teriaknya di dalam hati. Nyatanya Ia hanya bisa menerima barang-barang yang dibawa Pak Rusdi, dan berkata dengan lembut, "Terimaksih Pak," sambil tersenyum dengan manis. Kepala pelayan itu pergi, sementara Aliyah kini menarik napas dan menghembuskannya perlahan-lahan. Mencoba menahan untuk tidak melemparkan peralatan pijat di tangannya. Setelah tenang ia berbalik dengan anggun, lalu berjalan deng
Bram terasa dihipnotis dalam sekejap. Ia terpana melihat kecantikan Aliyah yang semakin terpancar dalam kesedihan yang ditunjukkan wanita itu. Ekspresi wajah Bram terlihat linglung, mencoba mencerna pertanyaan yang begitu tiba-tiba dan menyentuh. Aliyah menatap Bram dengan penuh harap, menunggu jawaban dari suaminya. Wajahnya yang cantik terlihat semakin bersinar meskipun dipenuhi oleh kesedihan yang mendalam. Ia berusaha menahan air mata yang ingin mengalir, namun kecantikannya tetap memancar dengan gemilang. Bram akhirnya mengangguk perlahan, ekspresi wajahnya terlihat bingung. Ia merasa sedikit terganggu dengan kecantikan Aliyah. "Saya tidak tahu, Aliyah. Kita harus memikirkannya dengan baik," ucap Bram dengan suara yang sedikit berat. Aliyah mengangguk pelan, tetap mempertahankan ekspresi sedih namun cantik di wajahnya. Melihat cinta yang membara dari mata wanita itu, entah kenapa Bram tak sampai hati untuk mengatakan bahwa sebe
Dewi ketakutan setelah mendengar hal itu. Ia melambaikan tangannya kiri dan kanan dengan keras, "Gak mungkin!"Dengan tergagap ia berkata pada Aliyah, "Mbak, Dewi aja kerja baru dua tahun dengan mbak, sedangkan pak Bram udah tiga tahun di Amerika! Yang bener aja Mbak! Gimana caranya aku bisa kenal?"Aliyah mengangguk setuju, "Benar juga.""Untung Mbak tau ... fyuhh ..." Dewi kali ini mengusap jantungnya yang berdisko. Di dalam hatinya ia merasa sangat bersalah karena telah berbohong. Pasalnya pagi ini ia benar-benar telah bertemu dengan seseorang, meskipun dia bukanlah Bramie Atmaja yang sedang mereka bicarakan. Akan tetapi, orang tersebut memperkenalkan diri sebagai tangan kanan pria terhormat itu.Dengan segala keuntungan dan paksaan pihak lain, Dewi resmi menjadi mata-mata pihak mereka."Mbak Aliyah Dewi minta maaf ..." pikir Dewi dengan rasa bersalah melihat pada majikannya yang tampak sangat percaya pada dirinya.Tak lama kemudian, panggilan untuk
Jery, yang terkejut dengan kejadian tersebut, berusaha menenangkan situasi dan membantu Aliyah bangkit dari lantai. Suasana yang tadinya penuh dengan keceriaan dan tawa, kini berubah menjadi tegang dan penuh dengan ketegangan. Semua orang di ruangan itu terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.Rasya memegang bagian tubuhnya yang seolah-olah terluka, menatap Aliyah dengan tatapan penuh kebencian namun juga penuh ketidakberdayaan.Rasya berkata dengan sedih, "Maaf, aku gak sengaja nabrak kamu. Aku harap kamu baik-baik aja."Aliyah yang terkejut dengan tindakan Rasya, menatapnya dengan ekspresi heran namun tetap menjaga ketenangan. Bagaimana mungkin ia tidak tau bahwa Rasya sengaja menabraknya. "Gak apa-apa, Rasya. Aku baik-baik aja."Jery yang akhirnya menyadari bahwa Rasya juga terjatuh akhirnya berkata, "Sini, biar aku bantu kalian berdua berdiri. Semuanya baik-baik aja, gak perlu terlalu tegang."Meskipun suasana tegang masih terasa di udara, Jery