Beranda / Romansa / Aku Mau Cerai, Mas! / Bab 4 Kembalinya Bram

Share

Bab 4 Kembalinya Bram

“AH …” pekik Aliyah keras, tubuhnya terpaku karena kejutan yang tiba-tiba ini.

Kontak gaib itu tiba-tiba mengirimkan pesan. Dugaannya yang selama ini mengira bahwa kontaknya telah diblokir ternyata salah.

Bola mata bewarna hazelnya yang indah melebar, mulutnya ternganga cantik, dan dengan syok tanpa sengaja ponsel barunya itu terlepas dari genggamannya.

Dengan kalang kabut Aliyah menjulurkan tangan, tapi sayangnya ia gagal menjangkau, wanita itu sontak menarik napas tertahan saat akhirnya mendengar suara renyah dari pantulan ponsel yang mencium lantai.

Untuk sesaat dunia hening sejenak.

Dan ia pun tersadar dari lamunanya, “Astaga …” seru Aliyah panik, berlutut di depan ponsel itu dan segera mengambilnya. Napasnya memburu karena syok.

Bagaimana tidak!

Ini pertama kalinya setelah 3 tahun mereka menikah, Bram mengirimkan pesan secara pribadi. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya, jangankan pesan! Aliyah sendiri bisa menghitung dengan jarinya berapa banyak kata yang pernah ia dengar keluar dari mulut pria itu.

Aliyah memegang ponsel itu dan membaliknya, lalu melihat pada layar LCD, Ia dibuat tercengang saat melihat pada layar yang telah berubah menjadi jaring laba-laba.

Dengan jantung yang berdebar, ia menggesek layar ponsel, tapi sayangnya sia-sia. Layar itu masih menampilkan bar notifikasi pesan yang terpotong.

[Besok pagi saya—]

Dengan gigih ia mengklik pada notifikasi itu, tapi usahanya tak kunjung membuahkan hasil.

“Besok pagi ngapain?” tanya Aliyah pada dirinya sendiri.

“AAA … Tuhan kenapa?” teriaknya frustasi.

Menangis tanpa air mata, wanita itu menjambak rambut hitam bergelombang sepinggang yang bagaikan rumput laut.

Apa isi pesan yang dikirimkan oleh Bram?

Apakah itu tentang perceraian mereka? Apakah akhirnya pria itu tercerahkan? Dan menyadari kalau ia harus segera menceraikan dirinya?

Lalu yang dimaksud dengan besok pagi adalah persidangan cerai?

Dengan gugup Aliyah menggigit kuku dijari tangan kanannya, sungguh kebiasaan yang buruk.

Tapi rasa penasaran semangat dan antusias menjadi satu membayangkan sebentar lagi ia akan mendapatkan kebebasannya.

Isi pesan yang belum diketahui itu membuat Aliyah pada akhirnya masih membuka matanya hingga subuh. Tak pernah ia mengalami hal ini sebelumnya, hidupnya selalu teratur, dan jam tidurnya selalu tepat waktu.

Tapi, malam itu untuk pertama kalinya lingkaran hitam kantung mata yang terlihat samar di wajah tanpa cela itu muncul. Ranjang king size kokoh yang tak pernah mengeluarkan suara mengerit kini terdengar sesekali karena tubuhnya yang tak bisa diam.

Dadanya terasa sesak seakan ada batu yang menekan dengan kuat, ini pasti rasa penasarannya yang sebesar gunung!

---

“Ugh …!” seru Aliyah tersintak dari tidurnya.

Refleks kedua tangan menahan rambatan sinar matahari yang menembus dari balkon yang terbuka. Ia lupa menutup tirai itu tadi malam. Cahaya matahari kini sudah terik menyinari setiap sudut kamar.

Mata wanita itu membola melihat pada jam digital yang menunjukkan pukul 11.00.

Ia telah lupa dengan pesan yang tiba-tiba dari suaminya malam tadi.

Hari ini dia ada syuting adegan, untuk film ‘The Truth of The Love’!

Film yang ia yang ambil kemarin, dengan perannya sebagai Ayumi. Reka adegan akan diambil pada jam 12.00 siang ini. Hanya satu jam lagi, dan ia harus cepat-cepat bersiap.

Sementara itu, di lantai bawah. Kepala pelayan yang telah terjaga sejak pukul 05.00 sama paniknya dengan majikannya. Dengan kepala menunduk ia sesekali mengusap keringat dingin di tengkuknya.

Melihat pada bos besar sebenarnya, yang kini duduk dengan wajah dingin di sofa ruang tamu mansion.

“Pak … apa saya harus membangunkan Nyonya Aliyah sekarang?”

Pria itu mengangkat tangannya, mengisyaratkan kepala pelayan itu pergi. Tepat saat pak Rusdi baru saja akan melangkah.

Bunyi hentakan sepatu yang terdengar terburu-buru menuruni tangga tiba-tiba saja mengisi keheningan ruang tamu yang mencekam.

“Ini semua gara-gara mas Bram!”

Sambil menggerutu kesal, wanita itu berlari menuruni tangga.

Dia yang biasanya terlihat mempesona dengan gaun bermerek keluaran terbaru, dan rambut yang tertata dengan berbagai macam gaya, sekarang harus bersiap seadanya.

Sudah bisa mandi membersihkan tubuh saja adalah hal yang sangat baik saat ini.

Aliyah yang selalu disiplin dan tepat waktu jarang merasakan panik karena takut terlambat.

Selama ini, semenjak memasuki dunia hiburan, ia selalu dipuji karena profesionalitas kerjanya yang tinggi.

Ia selalu sukses membawakan nama besar untuk sebuah merek, pendapatan yang didatangkannya kepada perusahaan karena nilai jualnya, bisa berkali-kali lipat bahkan lebih.

“Awas aja kalau Mas Bram ada didepan aku sekarang, bakalan aku gigit lehernya, dan hisap darahnya sampai habis!” ucap Aliyah dengan keras.

Pak Rusdi yang bisa mendengar dengan jelas, menghela napas tertahan dan memejamkan mata pasrah saat melihat rahang bos didepannya, yang terlihat semakin mengetat.

Demi kedamaian dunia, ia berinisiatif untuk bergerak, mendekat menuju ujung tangga bawah.

“Nyo-nyonya?!” Sapa pak Rusdi sambil menelan salivanya dengan susah payah.

Nyonya besarnya itu, yang bahkan dalam dandanan biasa saja masih terlihat anggun dan sangat cantik, semoga saja bisa menenangkan kemarahan tuannya.

Mendengar sapaan itu, Aliyah melihat pada pak Rusdi yang berdiri di ujung tangga terlihat gugup dan ketakutan, membuatnya juga ikut mengerutkan keningnya.

“Selamat pagi, eh siang maksud Aliyah pak. Oh iya segera minta pak Tomo untuk siapkan mobil!” Perintahnya terburu-buru.

Ponsel bewarna ungu muda, keluaran seri sebelumnya kini tergeletak dalam genggaman Aliyah, sejak tadi getaran karena panggilan yang tak henti-hentinya dari Dewi membuat Aliyah semakin panik.

Sambil menunggu mobil ia menjawab panggilan asistennya itu segera.

Berdiri di bawah tangga itu, Pak Rusdi melihat bolak balik pada bos besar di sofa yang duduk membelakangi mereka dan pada nyonya besar yang sibuk menjawab telepon.

“Ya Tuhan ... keadaan macam apa ini?” teriak kepala pelayan frustasi dalam pikirannya.

“Nyonya Pak Bram--”

Perkataan pak Rusdi terpotong saat Aliyah mengangkat tangan kanannya.

Aliyah masih sibuk menjawab panggilan Dewi sambil mebujuk, “Iya-Iya ini aku udah jalan, bentar lagi nyampe kok. Maaf hape aku rusak, layarnya pecah, jadi ini hape lama.”

Ponsel itu akhirnya tenang untuk sejenak, “Fyuh ...” Aliyah menghembuskan napas panjang sambil merapikan rambutnya yang tergerai.

Ia berbalik melihat pada pak Rusdi, “Pak kenapa masih disini? Tolong bantu saya, minta Pak Tomo untuk siapkan mobil, hari ini mobil yang biasa aja.”

Kepala pelayan itu ingin mencari lubang sekarang, menguburkan dirinya dimana saja, menjauh dari dua majikannya itu.

“Kenapa Pak?” tanya Aliyah.

Belum sempat pak Rusdi menjawab, Aliyah teralihkan dengan siluet di sofa ruang tamu.

Dahinya yang halus mengernyit bingung, “Loh? Ada tamu pak? Siapa?” tanyanya pada kepala pelayan itu.

Dengan terpaksa Aliyah berjalan menuju sofa, meski terdesak waktu, tapi sebagai tuan rumah ia harus bersikap sopan terlebih dahulu kepada tamunya.

Kepala pelayan memukul kepalanya sendiri dengan fustasi, dengan cepat mengikuti Aliyah dan memberi peringatan pada majikannya itu, “Nyonya itu pak Br—”

“Astagfirullahalazim, MAS BRAM?” pekik Aliyah keras.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status