Share

Bab 2

Keluar dari kantor catatan sipil, keduanya masing-masing membawa selembar akta nikah. Namun, bukannya tampak seperti pasangan pengantin baru yang berbahagia, mereka malah berjalan ke arah berlawanan. Situasinya ini lebih mirip sepasang mantan yang baru saja bercerai. Di luar, Melvin sudah tidak lagi terlihat, mungkin ada urusan yang membuatnya pergi terlebih dulu.

Odessa melirik sosok Kenzo yang tinggi dan tegap di hadapannya. Setelah ragu sejenak, dia lalu memanggil, "Pak Kenzo ...."

Kenzo menghentikan langkahnya.

"Tadi ucapanku belum selesai, tapi kamu langsung memotongnya. Menurutku, aku tetap perlu menjelaskan. Aku nggak mikir berlebihan, justru kamu yang mikir terlalu jauh."

Setelah memberi penjelasan, Odessa berbalik dan hendak pergi, tetapi tiba-tiba suara Kenzo menghentikannya lagi, "Tunggu sebentar."

Odessa berbalik dan menatapnya.

"Bu Odessa memutuskan untuk menikah denganku dalam waktu singkat begini ... apa kamu sudah tahu tentang kondisi keluargaku?"

Selama sebulan mengenal Melvin, Odessa memang lebih sering mengobrol tentang kehidupan dan filosofi. Mereka jarang sekali membahas hal pribadi. Jadi, Odessa menggelengkan kepala dengan terus terang. "Nggak terlalu tahu."

"Kalau begitu, biar kujelaskan sedikit. Kami lima bersaudara,Aku punya empat adik laki-laki, semuanya belum menikah dan kondisi keluarga kami bukanlah yang kaya. Dari cara ayahku bekerja keras berjualan setiap hari, seharusnya kamu bisa melihatnya. Jadi, kalau kamu berharap akan ada rumah pernikahan, aku harus jelaskan dulu bahwa kami nggak punya."

Odessa mengangguk. "Oke, nggak masalah."

"Kalau rumah nggak ada, mobil pengantin pun jangan harap ada. Sekarang aku cuma mengendarai mobil murah yang kubeli dengan pinjaman tahun lalu. Nggak ada uang lebih untuk beliin kamu mobil baru."

Odessa mengangguk lagi. "Oke, nggak masalah."

"Nggak ada rumah dan mobil, jadi kamu juga jangan berharap ada uang mahar. Keluarga kami sangat pas-pasan. Ibuku mengalami keterbatasan intelektual dan penghasilan Ayah dari berdagang di jalan saja sudah susah payah mencukupi kebutuhan kami."

"Kalau kamu berharap kami bisa mengumpulkan ratusan juta untuk mahar, mungkin lebih masuk akal bagi kita sekarang untuk kembali ke dalam dan menukar akta nikah ini dengan surat cerai."

Odessa kembali mengangguk. "Oke, nggak usah mahar."

Kenzo menatap Odessa dengan sorot mata yang agak aneh, bahkan tersirat sedikit ejekan. Namun, Odessa tidak memperhatikannya. "Kamu nggak keberatan aku nggak punya mobil, rumah, ataupun mahar. Jadi, sebenarnya, apa yang kamu harapkan dari menikah denganku?"

Sambil melambaikan akta nikahnya dengan santai, Odessa menjawab, "Ya, cuma butuh ini."

"Jadi, kamu tertarik dengan pribadiku?" tanya Kenzo.

"Kamu tinggal di mana sekarang?" tanya Odessa.

"Aku menyewa apartemen di luar," jawab Kenzo.

"Aku boleh pindah dan ikut menyewanya bersamamu?" tanya Odessa.

Odessa jelas mengatakan ingin "menyewa" bersama, tetapi Kenzo malah menafsirkan ucapan itu sebagai "tinggal" bersamanya. Kenzo berdeham pelan dan melirik Odessa dengan sudut matanya.

"Satu hal lagi yang belum kusampaikan. Penampilanku mungkin terlihat bagus, tapi kesehatanku kurang bagus, terutama dalam hal kejantanan. Jadi, mungkin aku nggak bisa memenuhi kebutuhanmu di bagian itu. Apa kamu bisa terima?"

Odessa terdiam sejenak, terpaku oleh ucapan itu. Apakah ini alasan sebenarnya kenapa pria ini masih lajang? Oh, jadi begitu ....

Melihat Odessa tiba-tiba tak berbicara lagi, Kenzo menyunggingkan senyuman tipis. "Gimana, menyesal?"

"Nggak, ini malah lebih baik." Odessa memang menikah dengan orang asing ini bukan untuk urusan fisik.

Mereka berdua sibuk dengan pikiran masing-masing sejenak, sebelum Kenzo mengeluarkan ponselnya dari saku. "Baguslah kalau kamu nggak keberatan. Ini akun WhatsApp-ku, silakan tambahkan. Jadi kita bisa saling kontak kalau ada keperluan."

Dengan kata lain, kalau tidak ada urusan, lebih baik tidak usah saling menghubungi. Odessa memindai kode QR kontaknya dan mereka pun saling menambahkan di WhatsApp.

"Gimana caranya kamu pulang?" tanya Kenzo.

"Aku akan naik bus dari depan."

"Perlu aku antar?"

"Nggak perlu."

"Oke, sampai jumpa."

Wajah tampan Kenzo memancarkan senyuman yang memikat. Namun saat dia berbalik, senyuman itu memudar perlahan-lahan. Dengan wajah muram, dia kembali ke mobil bekas yang baru saja dibelinya satu jam lalu, lalu membuka pintu dan duduk di dalam.

Melvin langsung mencondongkan kepalanya dari kursi belakang dengan wajah penuh senyuman. "Nak, tadi Ayah sengaja bersembunyi, biar kalian punya waktu untuk berduaan. Kelihatannya kalian akrab sekali. Ngobrolin apa kalian tadi?"

"Apa yang kami bicarakan tadi nggak penting. Yang penting adalah aku sudah menurutimu dan menikah dengannya. Sekarang, tolong Ayah tepati janji. Mulai besok, tinggalkan semua panci dan wajan itu. Tinggal di rumah dengan tenang!"

Kenyataannya, Kenzo sama sekali bukan pria miskin yang bekerja keras untuk bertahan hidup. Dia adalah pengusaha terkaya di Kota Blackwood dengan aset senilai ratusan triliun! Alasan Melvin berdagang di bawah jembatan adalah untuk bertentangan dengan Kenzo. Dia menggunakan metode ekstrem ini untuk mendesak Kenzo menikah.

Melvin yang sudah mundur dari dunia bisnis, seharusnya menikmati hidup dengan cucu-cucu di sisinya. Hanya saja, meski memiliki lima putra, tidak ada satu pun dari mereka yang bisa memberinya cucu. Mana mungkin dia tidak panik?

"Oke, oke, besok aku tinggal di rumah menunggu cucu!"

Lalu, pembicaraan kembali beralih ke Odessa. Melvin bertanya dengan antusias, "Nak, coba bicara yang jujur. Gimana pasangan yang Ayah pilihkan untukmu ini?"

"Kalau aku harus menilai, cuma ada satu kata. Suka pura-pura!"

Ya, berpura-pura ... itulah kesan satu-satunya yang dimiliki Kenzo tentang Odessa. Tidak mungkin wanita itu tidak mengejar pria atau harta, memangnya wanita itu malaikat? Entah apakah dia yang terlalu polos atau mengira orang lain yang mudah dibodohi!

"Aku tahu pernikahan ini membuatmu nggak senang, tapi suatu saat nanti kamu akan berterima kasih padaku. Aku pun bersyukur pada diriku sendiri karena memilih untuk berjualan di bawah jembatan selama sebulan terakhir."

"Kalau bukan karena itu, aku nggak akan menemukan menantu yang begitu sesuai dengan keinginanku!" Melvin tersenyum puas, seolah-olah telah meraih keuntungan besar.

Kenzo menatap ayahnya dengan sinis. "Menurutmu apa bedanya dia dengan wanita-wanita lainnya yang selalu mengelilingiku berpura-pura niat buruk?"

"Perbedaannya besar sekali. Aku memang belum lama mengenalnya, tapi Ayah tahu cara menilai orang dengan baik. Mungkin aku nggak bisa bilang banyak hal, tapi satu hal yang bisa aku jamin. Odessa bukan tipe gadis materialistis seperti yang kamu bayangkan."

Kenzo mendengus. Tidak materialistis? Sikap sinisnya semakin terlihat. "Nggak butuh rumah, mobil, ataupun mahar .... Di zaman yang penuh dengan godaan material ini, apa masih ada wanita yang benar-benar nggak ingin semua itu?"

Kenzo menginjak gas sampai habis, mengendarai mobil dengan cepat sambil melemparkan tiga kata terakhir pada ayahnya, "Jangan mimpi, Ayah!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status