Setelah keluar dari kamar, Odessa tidak langsung pergi, melainkan berbelok menuju dapur. Dengan punggung yang tampak ringkih, Tiana sedang berdiri memotong sayuran sambil mengenakan celemek. Odessa menahan rasa perih di hatinya dan memanggil, "Ibu ...."Tiana berbalik melihat koper di sisi Odessa dan meletakkan pisau sayur yang dipegangnya. Dia mendekat dan bertanya, "Kamu mau pergi sekarang? Nggak mau makan malam dulu?""Nggak, Bu. Aku harus segera beresin semua barang-barang ini begitu sampai di tempat baru."Setelah memastikan Sugian tidak mengikuti mereka, Odessa buru-buru menyelipkan kartu ATM ke tangan ibunya."Apa ini?""Ibu, ini uang mahar dari menantumu, meski nominalnya cuma 100 juta. Nanti kalau dia sudah punya lebih banyak uang, dia akan ngasih tambahan untukmu.""Nggak, aku nggak mau!" tolak Tiana."Bu, simpan saja. Nanti Howie pasti masih butuh banyak biaya dan kita nggak bisa mengandalkan dari Sugian.""Lebih baik kamu simpan saja. Kamu baru mulai menjalani kehidupan bar
Kelvin dan Kenneth langsung membandingkan nama di kontak itu. Setelah memastikan itu adalah orang yang sama, mereka berkata serempak, "Kak Kenzo, Kakak Ipar nelepon!"Kenzo baru membuka matanya perlahan-lahan. Padahal dia sudah mengatakan dengan jelas kepada Odessa untuk menghubunginya hanya kalau ada masalah. Apa ucapannya tadi belum cukup jelas?Sambil menahan amarah dalam hatinya, Kenzo menarik napas dalam-dalam, lalu membuka ponsel itu dengan tidak sabaran, "Kenapa?""Kamu boleh jemput aku nggak?" tanya Odessa."Mau jemput ke mana?"Setelah hening sejenak, Odessa mengisyaratkan, "Kita sudah nikah.""Lalu?" tanya Kenzo."Aku mau pindah ke rumahmu."Saat Kenzo baru saja hendak mencari alasan untuk menolaknya, tiba-tiba terdengar suara koper besar yang diletakkan di hadapannya. Kenzo mendongak perlahan-lahan dan melihat ayahnya yang sedang berkacak pinggang di hadapannya.Melvin menunjuk koper yang ada di depan Kenzo, lalu menunjuk tumpukan panci dan wajan yang menumpuk di sudut vila.
Di depan Klinik Semi.Odessa sedang menunggu teman Kenzo untuk menjemputnya. Ibunya juga ikut menunggu bersamanya. Meski tidak mengatakan apa pun, wajah Tiana tampaknya tidak senang. Entah itu hanya firasatnya atau bukan, Tiana merasa bahwa menantu yang tidak pernah dijumpainya ini tidak terlalu peduli dengan Odessa."Odessa, cepat atur pertemuan dengan keluarga suamimu ya. Jangan lupa," pesan Tiana."Aku mengerti, Bu. Kamu sudah ingatin aku tiga kali. Nanti setelah Howie pulang akhir pekan, aku akan mengaturnya."Adiknya, Howie, adalah murid kelas 3 SMA. Biasanya Howie tinggal di asrama sekolah dan hanya pulang di akhir pekan."Kamu sudah kasih tahu Howie soal pernikahanmu?" tanya Tiana."Belum. Ujiannya sudah dekat, sebaiknya fokus belajar dulu. Nanti baru kita bicarakan setelah dia pulang akhir pekan supaya fokusnya nggak teralihkan."Tiana mengangguk, "Benar juga."Di saat keduanya tengah asyik mengobrol, sebuah mobil melaju ke arah depan pintu klinik dengan perlahan. Dari mobil it
Kenzo merasa telah meremehkan keberanian wanita ini. Enggan berdebat lebih jauh, dia menarik salah satu koper Odessa dan mulai berjalan terlebih dulu. Setelah beberapa langkah, dia mendengar wanita itu memanggil dari belakang, "Hei, tunggu sebentar ...."Dengan kesal, dia menoleh.Odessa menunjuk ke arah kompleks perumahan di sebelah mereka dengan ragu-ragu. "Kamu tinggal di sini?""Ya.""Ini Kompleks Sawarna, lho?" tanya Odessa."Apa ada masalah?" tanya Kenzo lagi."Di sini termasuk perumahan elite. Terlepas dari uang sewanya, biaya listrik dan air di sini saja butuh setidaknya jutaan, 'kan?" lanjut Odessa."Lalu? Apa yang mau kamu bilang?" tanya Kenzo lagi."Maksudku, kalau ekonomi keluargamu kurang bagus, nggak perlu segengsi ini nyewa rumah di sini, 'kan?" Odessa benar-benar tulus saat mengatakan hal ini. Namun, nasihatnya yang tulus ini malah terkesan konyol bagi Kenzo.Padahal Odessa jelas-jelas mengincar statusnya sebagai orang terkaya, tapi sekarang malah berpura-pura sederhana
"Pekerjaanku nggak tetap," balas Kenzo dengan tak acuh.Odessa mendongak dengan kaget. "Nggak tetap?" Setelah menenangkan diri selama beberapa detik, dia kembali bertanya dengan hati-hati, "Kalau begitu, apa boleh kuartikan sama dengan pengangguran?"Odessa menunggu lama, tetapi tidak ada bantahan dari Kenzo. Dalam hati, dia menghela napas. Sepertinya dugaannya benar. Seharusnya dia sudah menyadarinya.Di abad 21 ini, bahkan jika tidak punya prestasi besar sekalipun, seorang pria yang memiliki tekad setidaknya tidak akan mengandalkan keluarganya untuk menyewa rumah. Dia mengamati Kenzo dari ujung kepala hingga kaki lagi, lalu kembali mendesah dalam hati.Ckck! Sayang sekali, padahal wajahnya tampan, tapi malah malas bekerja .... Sia-sia saja!"Pak Kenzo, aku nggak tahu situasimu seperti ini. Tapi sekarang kita sudah menikah, jadi anggap saja aku memberi nasihat tulus sebagai keluargamu. 'Seorang pemimpin nggak dilahirkan begitu saja, melainkan diperoleh dari usahanya sendiri'."Setelah
Kenzo bahkan tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Dia mengulurkan tangannya untuk mengambil ponsel itu dan melihatnya dengan saksama. Di layar ponsel, terlihat tiga buah pesan baru.[ Sudah tidur? ][ Odessa, aku kangen kamu. ][ Aku pingin memelukmu dengan erat dalam pelukanku yang hangat. ]Ketiga pesan itu berasal dari orang yang sama ... "Tua Tua Keladi".Huh! Dilihat dari namanya, jelas sekali itu adalah nama pria tua! Seketika, Kenzo merasa harga dirinya terinjak. Wanita yang tadinya masih berceramah panjang lebar soal kemandirian, kini sudah dicari selingkuhannya? Ironis sekali!Tatapan Kenzo dipenuhi amarah. Baru hari pertama pernikahan saja dia sudah diselingkuhi. Kenzo menggenggam erat ponsel itu dan hendak menanyakannya pada Odessa. Namun setelah menenangkan diri dan berpikir sejenak, Kenzo meragukan apakah Odessa akan mengakui perbuatannya hanya dengan beberapa pesan singkat ini?Kecuali dia bisa memergoki mereka secara langsung. Jika tidak, wanita itu pasti mati-ma
Tak lama setelah Kenzo pergi, Odessa juga keluar untuk bekerja. Rumah barunya di Kompleks Sawarna ternyata lebih dekat ke tempat kerjanya di Grup Alaya, perusahaan yang berfokus pada fesyen.Setelah lulus, dia langsung bekerja di sana sebagai asisten desainer dan sekarang sudah hampir tiga tahun. Meski kemampuannya sudah mencapai level seorang desainer, entah mengapa dia belum pernah mendapat kesempatan promosi. Odessa menduga dirinya ditekan oleh atasan, satu-satunya alasan yang menurutnya masuk akal di dunia kerja yang kadang penuh intrik.Meski merasa tidak puas, dia tetap bekerja dengan tekun. Pukul tiga sore, Odessa punya sedikit waktu luang setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan. Mengingat pembicaraannya tadi pagi dengan Kenzo, dia menduga pria itu tidak akan menanggapi serius soal pertemuan keluarga.Setelah mempertimbangkan sejenak, dia memutuskan untuk langsung menelepon Melvin dan memintanya untuk mengatur pertemuan tersebut.Setelah telepon tersambung, terdengar suara Melv
Pukul lima tepat, Odessa selesai kerja dan keluar dari kantor. Setelah merapikan barang-barangnya, dia memesan taksi menuju Klub Wiyata. Bella sudah tiba lebih dulu dan menunggu di depan pintu masuk.Odessa dan Bella sudah berteman lama, mereka lebih seperti saudara kandung daripada teman. Begitu Odessa turun dari taksi dengan wajah serius, Bella segera menghampirinya dan berbisik, "Tolong kondisikan ekspresimu. Jangan terlalu jelas."Odessa mendengus, "Siapa sih yang bisa datang ke undangan begini sambil pasang wajah senyum?""Tenang saja. Target Frenny hari ini adalah Aliando. Dia akan sibuk cari perhatian, mana mungkin ingat kita? Nanti kita cari sudut yang sepi dan lewati saja acara ini.""Semoga saja!" balas Odessa.Keduanya lalu melangkah masuk ke klub dan berjalan menuju ruang yang sudah disebutkan di pesan grup. Di depan pintu, mereka menarik napas dalam-alam secara bersamaan. Begitu mendorong pintu, suasana hangat di dalam ruangan itu mendadak menjadi senyap begitu melihat mer