["Jangan lupa membeli susu untuk anak kita, Mas."] Satu pesan tak dikenal itu membuat Amira resah. Sebagai seorang istri, Amira takut jika sang suami berselingkuh darinya. Tak hanya itu, Amira merasakan perubahan dari sikap Alan setelah tiga bulan pernikahan mereka. Alan lebih suka beraktifitas di luar rumah dan selalu pulang larut malam. Hingga suatu hari, datanglah seorang wanita hamil ke rumah Amira. Dia mengatakan tengah mendandung anak Alan. Dunia Amira seketika hancur, kepercayaannya dikhinati oleh sang suami. Akankah Amira mempertahankan rumah tangganya atau justru mengakhiri pernikahannya dengan Alan? Edited photo by : @connie_rabbit IG : @byrosebloom_
View More"Sejak aku melihatmu, aku sudah jatuh hati padamu." Suara Bram menggema di sudut-sudut bangunan yang masih separuh jadi itu. Tangan Amira yang hendak mengambil beberapa material terhenti seketika saat mendengar pengakuan Bram yang kesekian kalinya. Amira masih saja syok saat Bram mengungkapkan perasaan padanya. Padahal suasana sebelumnya tidak secanggung ini, tetapi Bram membuat Amira tidak enak hati terhadap pria itu. BrukBrukTerdengar suara langkah kaki seseorang yang sedang berlari, Bram menengok ke belakang dan benar saja ada seorang pekerja berlari ke arahnya. Seharusnya pekerja tersebut melihat Bram yang sedang berdiri di depannya, tetapi pekerja tersebut malah mendekat dan seperti sengaja menabrak tubuh Bram.Gerakan tubuhnya yang secara impulsif seketika menabrak tubuh Amira. Keduanya pun terkejut, Bram menubruk Amira yang saat itu memegang material besi-besi kecil. Besi-besi itu pun tanpa sengaja berjatuhan mengenai punggung Bram yang berusaha melindungi Amira. Nas sekali
"Aku ingin kamu bekerja dengan becus."Kayla melirik kesekitar karena takut ada yang melihatnya sedang berbicara dengan seorang pria asing. Suara bising dari decitan besi dan alat-alat berat tak menyurutkan semangat Kayla untuk melancarkan rencananya. "Jangan sampai gagal," perintah Kayla lagi dengan kedua matanya yang memelotot tajam. "Baik, Bu. Serahkan saja pada saya," jawab pria yang memakai topi berwarna kuning. Kayla tersenyum dengan puas saat pria itu pergi dari hadapannya. Senyuman licik di bibirnya karena dendamnya terhadap Amira. Rencananya harus berhasil, dengan begitu dia bisa mendapatkan cinta dan perhatian dari Alan. Kayla mengintip dari balik tembok dan melihat pria suruhannya itu melaksanakan tugas seperti yang diperintahkan olehnya. Bukan hanya senyuman yang terbit di bibir Kayla, kini tawa kecil akan kemenangan seolah tak mau pergi dari mulut kecilnya. Kayla pergi dari bagunan proyek setengah jadi yang digarap oleh perusahaan Amira dan yang menjadi tanggungjawab
"Apa kamu sadar saat mengatakan itu?"Alan berkacak pinggang seolah-olah syok mendengar pengakuan dari Kayla. Kayla memaku di tempatnya, dia menunggu jawaban dari Alan atas pengakuannya tersebut. Dia berharap ada harapan besar dari suaminya ini, berharap pula bahwa suaminya juga memiliki perasaan yang sama terhadapnya. "Aku sangat sadar saat mengatakan itu, Mas." Kayla mendekati Alan kembali, tetapi pria itu malah menjauh darinya. "Bagaimana pun juga aku istrimu, Mas. Tidak ada yang salah dengan perasaanku ini," lanjutnya lagi berusaha meyakinkan Alan. "Tentu saja salah!!!"Brak!!!Brak!!!Alan menggebrak meja beberapa kali yang ada di depannya, sejenak Kayla menutup kedua matanya dan merasakan sakit yang berdenyut di dasar hatinya. Ya, bodoh sekali bahwa dirinya berharap bahwa Alan akan mencintainya seperti pria itu mencintai Amira. Pada kenyataannya dia tidak pernah mendapatkan bagian sedikit pun di hati Alan. Bukan Kayla namanya jika dia menyerah hanya sampai di sini saja, dia
"Apa salahnya mesra-mesraan dengan suami sahku?" Amira menatap Kayla penuh kemenangan. Tawa Amira sedikit mengejek saat melihat wajah Kayla yang pias. Kayla pun balik menertawakan Amira, wanita itu pun tidak mau mengalah dan semakin menunjukkan taringnya. Amira menaikkan sebelah alisnya, lalu kakinya mundur beberapa langkah saat perut buncit Kayla hampir menyentuh bagian perutnya. "Masih bilang kalau Mas Alan adalah suamimu? Bukannya kamu sendiri yang meminta cerai darinya?" Kayla berkacak pinggang, Amira melihatnya saja terasa begah dengan perut buncit Kayla yang sepertinya membuat Kayla kesulitan bernapas. "Masih punya muka ternyata kamu ya, padahal kamu sendiri yang membuang Mas Alan." Kayla membuat emosi Amira terpancing. Namun, Amira tidak ingin membuang-buang tenaga hanya untuk meladeni Kayla. Mood paginya harus baik untuk bekerja, sebisa mungkin Amira mengatur napas dan mengembalikan perasaannya seperti semula. "Bagaimana kalau aku dan Mas Alan tidak jadi bercerai?" Sejujur
"Apa benar kamu baik-baik saja?" Alan membuntuti ke manapun Amira pergi. Amira menghela napas panjang, dia menghentikan langkahnya saat sudah berada di ruang tamu. Alan pun turut berhenti tepat di belakang sang istri. Amira membalikkan badannya, lalu menatap serius wajah Alan yang terlihat sangat khawatir padanya. "Aku baik-baik saja, Mas. Lihat aku sudah lebih kuat dari pada kemarin. Jangan melihatku seperti anak kecil, okay." Amira menyelempangkan tasnya. Jika berlama-lama di atas tempat tidur rasanya akan lebih sakit. Amira lebih suka bergerak dan bebas melakukan apapun dari pada bermalas-malasan di rumah. Apalagi saat ini dia ada di rumah yang tidak ingin ia tempati. Alan tidak membiarkan Amira begitu saja untuk pergi bekerja. Dia mengambil kunci mobil dan menyusul Amira yang sudah ada di halaman rumah. Alan menarik lengan Amira sampai wanita itu memekik karena bertubrukan dengan dada bidang Alan. "Ahh ada apa lagi, Mas?" Amira semakin jengkel dengan sikap antusias Alan. "Ak
Layaknya seorang ratu, semua kebutuhan Amira dipenuhi oleh Alan. Bahkan Amira tidak diperbolehkan turun dari tempat tidur. Amira menebalkan hatinya, dia hanya bersikap biasa-biasa saja padahal kedua pipinya beberapa kali bersemu merah. "Dia pintar sekali membuatku tersipu malu," ucapnya lirih saat Alan pergi dari kamar untuk mengambilkan Amira air minum.Pantas saja Amira sangat jatuh hati terhadap Alan, pasalnya pria itu sangat pintar mengambil hatinya. Hanya segelas air saja mampu membuat Amira jatuh cinta kembali kepada pria itu. Kata-katanya terlalu manis sampai Amira tidak bisa membedakan dunia nyata dan kehidupan dongeng. Kisah cintanya terlalu abu-abu untuk saat ini. "Kamu butuh apa lagi?" tanya Alan sembari menaruh gelas bening di atas nakas tempat tidur. Amira hanya menggelengkan kepala. Selepas minum obat kedua matanya sangat berat untuk terbuka. "Ya sudah kalau begitu tidur saja. Kamu harus banyak istirahat," ujar Alan lembut. Amira menurut, dia memejamkan kedua matany
"Aku tidak mau tahu, pokoknya harus dirawat."Suara yang sedikit lantang itu membuat banyak pasang mata memandang heran ke arah Luna. Bagaimana dia tidak khawatir jika sahabat satu-satunya pingsan dan terjatuh dari bis? Luna tidak ingin ada cedera serius pada Amira. Namun, Amira menentang keras keinginan Luna tersebut. Dia sadar sebelum sampai di rumah sakit. Luna menangis histeris, suaranya yang cempreng itu membangunkan Amira dari pingsannya. Bikin malu saja. Amira ingin sekali membekap mulut Luna, sayangnya tangan kirinya terpasang jarum infus sehingga tangannya terasa kebas dan sakit. "Aku bilang kalau aku baik-baik saja. Tidak ada luka-luka di tubuhku, kepalaku, atau wajahku." Amira meraba seluruh tubuhnya agar Luna percaya. Amira tidak ingin dirawat di tempat yang berbau obat-obatan ini. "Kamu itu sakit, AMIRA!" "Aku akan panggilkan dokter untuk memeriksamu secara menyeluruh. Kalau perlu kita lakukan saja CT Scan, tes MRI atau semacamnya lah."Amira menarik ujung kemeja Lun
"Untuk apa kamu ke sini?" Hari masih pagi, sinar matahari pun masih sembunyi-sembunyi untuk menampilkan kegagahannya. Alan menghela napas berat saat melihat Bram di depannya. Padahal sebelumnya dia telah berdoa agar dijauhkan dari hari buruk. Melihat Bram serasa dunianya saat ini menghitam.Bram pun menampakkan ketidaksukaannya terhadap Alan. Dua pria yang dulunya saling berteman baik menjadi musuh karena seorang wanita, ya...siapa lagi kalau bukan Amira wanita yang mereka sukai secara bersamaan. "Bukan urusan kamu." Bram membalas pertanyaan Alan dengan ogah-ogahan. Dua mobil mereka saling berhadapan, Alan dan Bram duduk di bagian depan mobil mereka dan sedang menunggu sesuatu. Alan menatap rumah kontrakan Amira, terlihat sangat kotor akibat debu-debu yang menempel di lantai. Bunga-bunga di halamannya pun sangat layu. Alan berpikir jauh bahwa Amira tidak pulang ke rumah ini. Lalu, di mana Amira? Paman, bibi, dan Luna pun tidak tahu di mana keberadaan Amira. "Tidak mungkin, dia...
"Bagaimana, Lun?" Luna yang baru saja keluar dari perusahaan terkejut akan kedatangan Alan. Luna memijit kedua pelipisnya, meskipun begitu tidak bisa menghilangkan denyut yang mendera kepalanya ini. Alan terus mengganggunya sejak kehilangan kontak dengan Amira. Luna saja juga tidak tahu dimana keberadaaan sahabat satu-satunya itu, seakan-akan Amira lenyap ditelan bumi. Luna sangat khawatir dengan keadaan Amira saat ini, sudah dua hari sahabatnya itu menghilang. Di kantor pun sudah tertera izin cuti tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengan Luna. "Aku juga tidak tahu, Lan." Luna menghela napas, dia merogoh tas untuk mengambil ponsel. Siapa tahu Amira telah mengiriminya pesan. Namun, saat dilihat tidak ada satu pesan pun dari Amira. "Aku juga mencarinya, tetapi teleponku saja tidak diangkat." Luna menghela napas berat, dia takut terjadi sesuatu dengan Amira."Apa dia diculik?" Alan memasang raut khawatir membuat Luna geli melihat wajahnya. "Yang benar saja kamu, Lan.""Atau dia dicu
Amira tidak bisa tidur karena membaca sebuah pesan masuk yang dikirimkan ke ponsel suaminya. Pasalnya, bukan hanya satu kali ataupun dua kali, melainkan pesan itu dikirim hampir setiap hari membuat Amira takut setengah mati. [Jangan lupa beli susu untuk anak kita, Mas.] Begitulah kiranya salah satu pesan yang masuk ke dalam ponsel Alan, suami Amira. Saat membacanya tangan Amira bergetar hebat. Namun, Amira berusaha menepis pikiran buruk di otaknya. Dia berpikir bahwa pesan itu dari orang iseng karena tidak ada nama yang tercantum. Bahkan, Alan tidak pernah membalas pesannya. Hingga jam satu malam Amira tetap terjaga karena memikirkan pesan masuk itu. Amira beringsut dari ranjang, dia bangkit menuju kamar mandi yang ada di pojok kamar. Amira membasuh wajahnya dengan air. "Tidak mungkin Mas Alan mengkhianatiku. Kita baru menikah tiga bulan," lirih Amira menguatkan hatinya. Tangis Amira lepas saking sesaknya. Alan sangat mencintainya, begitupun Amira. Setidaknya itu yang Amira ta...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments