"Assalamu'alaikum." Salam dari Alan yang tidak dijawab oleh Amira.
Amira pun menjauh saat Alan hendak mengecup keningnya. Biasanya Alan selalu disambut baik oleh Amira. Amira menyalami tangan Alan dan sebaliknya Alan mengecup kening sang istri. Namun, malam ini Amira hanya cemberut dan menjauhi Alan.
Pria dua puluh delapan tahun itu mengernyitkan dahi, dia tidak mengerti dengan sikap sang istri yang berubah dingin. Amira pun tidak ingin membuka suara. Dia berjalan menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.
Amira melirik sekilas suaminya yang masih berdiri di ruang tamu. Pria itu tampak kebingungan, tetapi Amira tetap mengabaikannya. Amira masih kesal terhadap suaminya itu karena beberapa hari ini selalu pulang malam tanpa memberi kabar.
Amira mengira Alan telah berubah. Nomor telepon Alan yang sulit sekali dihubungi, pesan Amira yang juga jarang dibalas, dan dihitung dari satu minggu lalu Alan selalu pulang larut tanpa memberi kabar bahkan beberapa kali tidak pulang ke rumah.
Amira tidak pernah keberatan dengan pekerjaan Alan yang menuntut pria itu untuk selalu siap siaga di manapun berada. Tetapi, yang membuat Amira marah karena Alan mulai mengabaikannya. Karena itulah Amira memiliki pemikiran buruk tentang suaminya itu.
"Apa aku punya salah?" tanya Alan setelah menyusul Amira dan berdiri di belakangnya.
Amira memutar bola matanya malas. Alan saja tidak sadar akan kesalahan yang telah diperbuatnya sendiri. Amira semakin meradang, mendiamkan Alan adalah pilihan yang tepat untuk Amira.
"Amira, jawab pertanyaan Mas, dong." Alan mengikuti ke mana kaki Amira melangkah, seperti anak kecil yang merengek kepada ibunya.
"Kalau Mas ada salah, Mas minta maaf."
Brak...
Amira membanting piring di atas telenan kayu. Untung saja tidak pecah, kalau saja pecah, mungkin pecahannya sudah melayang-layang di udara.
"Mas tidak sadar sama apa yang telah Mas perbuat?" sentak Amira tiba-tiba, amarahnya sudah tidak bisa dipendam lagi. Alan hanya berkedip dan bergeming di depan Amira. Pria itu tampak berusaha memahami apa yang dikatakan oleh Amira.
"Ya...karena Mas tidak tahu makanya bertanya, Amira." Alan meraih kedua tangan Amira. Alan tidak membiarkan istrinya itu lepas dari genggamannya.
"Amira tahu kalau Mas Alan selingkuh." Amira mulai membuka suara, apa yang ada dipikirannya selama ini akhirnya terucapkan juga. Amira hanya bisa memendam dan memendam. Namun, setelah perubahan sikap Alan, Amira mulai berani mengungkapkan keresahannya.
Wajah Alan mendadak pias, dahinya berkerut sampai-sampai kedua alisnya hampir bertaut dan menyatu. Alan semakin mengeratkan genggamannya pada kedua tangan Amira. Kedua netranya mengisyaratkan ketakutan yang sampai kini Amira tidak mengetahui alasannya.
"Kamu bicara apa, sih? Siapa yang telah memberi gosip buruk itu, Sayang?" Alan menangkup wajah Amira. Kini keduanya saling menyelami perasaan masing-masing.
Bodohnya, air mata sudah mengapung di atas kelopak mata Amira. Dia tidak ingin terus menerus curiga terhadap suaminya tanpa menemukan jawaban yang pasti. Sikap Alan dan semua perubahan pada pria itu membuat Amira yakin bahwa Alan ada wanita lain di belakangnya.
"Mas Alan sudah tidak sayang lagi sama Amira seperti dulu. Mas Alan mulai mengabaikan seorang istri yang selalu menunggu kepulangan sang suami. Mas Alan tidak pernah memahami bagaimana khawatirnya Amira saat Mas Alan tidak memberi kabar apalagi sampai tidak pulang ke rumah."
Pecah sudah tangis Amira. Mungkin bagi Alan masalah ini dinilai biasa-biasa saja, namun bagi Amira satu kabar itu sangat penting dan sesingkat apapun pesan dari sang suami mampu menenangkan hati Amira. Sayangnya, Alan mengabaikan satu perhatian kecil itu.
"Mas Alan berubah, Mas Alan sudah tidak cinta Amira lagi."
"Hei... Kata siapa itu? Amira, di hidup Mas...hanya ada satu wanita yang sangat Mas sayangi setelah ibu. Yaitu kamu, Sayang." Lagi, Alan menangkup wajah Amira dan mengusap air matanya.
"Maafkan Mas jika beberapa hari ini kurang perhatian sama kamu. Mas sayang dan cinta banget sama Amira. Setelah kamu tenang akan Mas jelaskan alasannya."
Alan memeluk tubuh Amira, wanita mungil yang tidak bisa berbuat apa-apa itu balik memeluk tubuh Alan sangat erat. Amira sangat merindukan sang suami, merindukan Alan yang menurutnya telah berubah.
Amira akan dengarkan penjelasan Alan sesuai janji pria itu. Amira akan berusaha mengerti jika memang hal itu yang terbaik untuk mereka berdua. Tetapi, sejatinya wanita dan seorang istri hanya butuh sang suami selalu ada di sampingnya dan mengerti perasaannya.
Amira menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Sebisa mungkin dia tidak ingin menjadi wanita yang egois. Namun, batin Amira selalu mengatakan bahwa Alan sedang berbohong padanya.
Amira mempunyai firasat aneh setelah pesan-pesan asing itu masuk beberapa kali pada ponsel Alan. Perasaan itu berlanjut dengan sikap Alan saat ini yang membuat firasatnya semakin kuat.
Hingga waktu subuh pun menjelang, Amira bangun dari tidurnya. Dia berusaha menata hati kembali dan mungkin lebih baik melupakan kejadian tadi malam. Amira tidak ingin suasana hatinya memburuk terus menerus.
Amira berusaha memahami sang suami, pekerjaannya dan juga kesibukannya. Jika selalu curiga akan berakibat fatal terhadap rumah tangganya. Amira tidak ingin keharmonisan di dalam rumah tangganya ini runtuh hanya karena rasa cemburu yang dialami Amira.
"Kamu sudah bangun?" Belum sempat menoleh, tubuh Amira ditarik hingga terbelenggu dalam dekapan Alan.
Amira tersenyum kecil, sikap manis Alan mampu meruntuhkan kecemasannya. Amira balik memeluk tubuh kekar Alan dan menghirup aroma khas tubuh suaminya itu. Di dalam hati, Amira berdoa agar hubungannya dengan Alan semakin dekat dan harmonis.
"Amira mau sholat subuh, Mas," rengek Amira karena Alan terus-menerus mengecup kedua pipinya.
"Bukan cuma kamu, Mas juga."
"Ya sudah lepaskan!" Amira mendorong dada Alan agar menjauh darinya.
"Katanya kangen, dipeluk-peluk kok tidak mau?"
Mata bulat Amira kontan melebar, mungkin saat ini kedua pipinya tengah merona merah.
"Ka-kata siapa Amira kangen?" Amira gugup bahkan tidak sanggup menatap manik mata milik suaminya itu.
"Tadi malam marah-marah itu kan bentuk protes karena kangen."
"Apaan sih, Mas? Amira biasa saja, kok."
Setelah mengatakan itu, Amira bangkit berdiri. Dia tidak ingin jika Alan memergokinya salah tingkah dan menggoda Amira lagi. Perkataan Alan itu membuat Amira sangat malu, Amira menepuk kedua pipinya yang terasa hangat. Alan memang pandai membuat Amira melayang-layang ke udara.
Sreeekkk...
Tangan Amira dirarik paksa, Amira yang tak siap pun terkejut bahkan setengah berteriak. Alan menahan tengkuk sang istri dan mendekatkan bibirnya ke bibir Amira.
Setengah terkejut, namun Amira dibuat mabuk kepayang. Lumatan demi lumatan yang memanggut bibir Amira membuat wanita itu semakin mencintai Alan. Amira memejamkan kedua matanya mengikuti ritme panggutan Alan yang semakin dalam memainkan perannya sebagai suami.
Tidak mau melepaskan sang suami, Amira melingkarkan kedua tanggannya ke leher Alan.
Alan pun tersenyum sembari mengatakan kalimat ampuh yang membuat Amira kehilangan pijakannya, "Amira untuk Alan, bukan yang lainnya."
Langit semakin cerah dengan warna birunya yang sangat cantik. Awan putih pun ikut berkumpul menambah hiasan di atas sana. Amira termenung di tepi jendela sembari merasakan angin yang berhembus sejuk. Sesekali menghela napas agar sesak di dadanya berhasil keluar dari tubuh. Pagi ini sangat cerah, Amira pun juga harus ceria. Toh, Alan juga memutuskan untuk tinggal di rumah menghabiskan hari Minggu bersama Amira. Seharusnya Amira senang karena ada Alan yang setia menemani hari liburnya. Ting... Amira menoleh ke belakang, dering pesan masuk terdengar dan entah ponsel Amira atau ponsel Alan, karena kedua ponsel mereka memiliki nada dering yang sama. Amira mendekati nakas yang ada di samping ranjang. Amira meraih ponselnya sendiri, namun tidak ada satu pesan masuk di ponselnya. Amira melirik ponsel Alan yang sebelumnya berada di samping ponsel Amira. Awalnya dia sangat ragu untuk mengecek ponsel milik suaminya itu, meskipun begitu rasa penasaran Amira sangat tinggi. Terpaksa Amira men
Tidak ada jawaban lebih tepatnya wanita tak dikenal itu mematikan ponselnya. Amira tidak bisa menghubungi wanita itu lagi. Dia sangat kecewa karena tidak bisa menemukan fakta tentang hubungan Alan dengan wanita itu. Alan segera merampas ponselnya sangat kasar dari tangan Amira. Tatapan hangat Alan entah menghilang ke mana, Amira tidak lagi diperlakukan lembut seperti sebelum kejadian ini terjadi. Alan berubah dalam waktu yang teramat singkat. "Apa kamu benar-benar selingkuh, Mas? Jelaskan padaku siapa wanita itu sebelum aku tahu sendiri dari orang lain," desak Amira tidak sabar. Bukannya menjawab, Alan memberikan Amira tatapan marah. Alan balik badan dan membiarkan istrinya dibuai penasaran. Pria itu menuju lemari dan mengambil sebuah jaket berwana hitam dari dalamnya. Amira mengerutkan kening, Alan memilih kabur dari pertanyaan Amira dan juga ingin menjauh dari masalah yang dibuat oleh pria itu sendiri. Amira menarik lengan Alan sampai-sampai pria itu bertatapan mata. "Mau k
Menurut Amira melepas penat terbaik adalah berdiam diri di kamar sembari membaca buku dan disuguhi camilan ringan. Berbeda dengan Luna, sahabat Amira itu melepas lelahnya dengan berbelanja dan menghabiskan uang. Menurut Luna melihat barang-barang bagus membuatnya bersemangat lagi. Alhasil Amira dipaksa oleh Luna untuk mengikutinya ke mall. Sudah lima toko yang mereka kunjungi, tetapi Luna masih belum puas berbelanja. Luna menatik Amira menuju toko perhiasan padahal kaki Amira rasanya ingin lepas dari sarangnya. Selagi Luna memilah dan memilih perhiasan, Amira duduk di salah satu sofa yang tersedia di dalam toko. Amira menyandarkan punggungnya yang lelah. Dia kembali memikirkan Alan yang tidak menyahut sedikitpun saat Amira menelepon pria itu. Alan hanya diam bahkan senyap di seberang sana. Baru sepuluh menit Amira berbicara sendirian di telepon, panggilannya terputus begitu saja. Amira semakin penasaran, seharusnya dia yang marah karena pesan tidak mengenakkan itu. Justru Alan yang
Disaat dalam kesulitan seperti ini, hanya Luna yang siap menjadi teman Amira. Amira memeluk sang sahabat sangat erat. Dia ingin meluapkan amarahnya, tetapi seperti kata Luna jangan bersikap gegabah. Semua bukti yang Amira temukan ia ingat baik-baik. Alan tidak akan bisa mengelak dengan semua bukti yang Amira temui. Alan juga tampak tidak peduli dengan perasaan Amira. Pria itu pergi begitu saja tanpa menjelaskan apapun, seharusnya jika Alan tidak berbuat kesalahan dia akan mengelak atau memberi pengertian kepada Amira bukannya marah seperti kemarin.Suara deru mesin mobil milik suami Amira terdengar dari luar rumah. Amira telah bersiap untuk menghadapi Alan, sedangkan Luna bersiap diri untuk meninggalkan rumah Amira ini. Menurut Luna, dia tidak seharusnya ada dalam masalah yang sahabatnya hadapi. Yang Luna lakukan hanya memberi semangat kepada Amira."Dia sudah datang, aku harus kembali. Kabari aku jika terjadi sesuatu," pinta Luna yang diangguki kepala oleh Amira. Luna berpapasan d
"Maafkan, Mas. Jangan sedih lagi." Alan mengusap wajah Amira yang basah karena air mata.Alan juga mengatakan bahwa alasannya tidak memberi kabar kepada Amira karena sedang berpikir untuk memberikan sang istri sebuah hadiah. Alan segera bergegas ke mall untuk mencari hadiah yang berkesan. Tak disangka dia bertemu dengan istri temannya saat di mall. Sayangnya, pertemuan itu diketahui oleh Amira sehingga membuat kesalahpahaman diantara Alan dan Amira semakin rumit. Alan juga tidak menyangka Amira ada di mall siang tadi. Alan memeluk tubuh Amira sangat erat, seolah-olah dia tidak membiarkan Amira untuk pergi dari sisinya. Amira yang masih bimbang dengan keadaan saat ini mencoba meredakan emosi. Amira balik memeluk tubuh sang suami dan menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Alan yang terasa nyaman. Keduanya kembali berbaikan, Amira memaafkan Alan setelah mempertimbangkan alasan yang suaminya itu berikan. Amira meneguhkan hati mungkin dirinya yang salah karena sudah berperasangka buru
Beberapa rekan kantor Amira yang satu divisi dengannya melongok heran saat Amira merapikan meja kerjanya. Tak hanya itu, Amira menyampiran tas selempangnya ke pundak. Luna pun turut mendongakkan kepala ketika Amira terlihat sangat buru-buru. Luna menahan lengan Amira sebelum sahabatnya itu pergi. Amira pun terkejut dengan sentuhan tangan Luna, dia melirik sekitarnya yang tengah menatap Amira penasaran. "Kamu mau ke mana?" tanya Luna tak rela membiarkan Amira pergi. "Aku ada urusan di rumah." Tanpa melihat Luna lagi, Amira balik badan begitu saja hendak meninggalkan kantor ini. Sayangnya, Luna tidak membiarkan hal itu terjadi sebelum Amira menjelaskan sedikit apa yang tengah dialami Amira. Luna masih khawatir tentang kejadian kemarin. Amira tidak memberi kabar bahkan saat masuk kerja Amira tidak mengatakan apapun. Amira tidak bercerita dan memilih memendamnya sendirian. "Apa ada masalah lagi," tanya Luna mencoba mengulik informasi. Amira hanya menggelengkan kepalanya lemah, setel
Hampir dua puluh menit Amira menunggu di luar karena Alan dan wanita itu masuk ke dalam ruangan dokter. Perasaan Amira semakin tidak tenang, Siapa wanita itu sebenarnya? Anak siapa yang dikandungnya?Mengapa Alan mengantr wanita yang kataya isri temannya itu?Banyak pertanyaan yang saat ini bersarang di otak Amira. Amira ingin membantingkan dirinya sendiri ke tengah lapang karena resah dan kalut atas ketidakpastian ini. Amira ingin marah, dia ingin berteriak bahkan di depan wajah Alan. Tetapi dia tahu adab sebagai seorang istri tidak seharusnya meninggikan suara kepada imam rumah tangganya. Karena itulah Amira marah terhadap dirinya sendiri karena tidak bisa mengondisikan perasaannya. "Jadi aku harus sering-sering makan ice cream, Mas?" Suara wanita yang sudah tidak asing di telinga Amira membuat Amira mendongak tinggi-tinggi. Wanita itu tampak ceria dan berusaha merangkul lengan Alan, tetapi yang Amira lihat Alan melepaskan rangkulan tangan wanita itu dengan lembut. Amira duduk
Tak menunggu lama, Amira pun baru lima menit duduk di kursi taman dan orang yang ia tunggu telah tiba di depannya. Pria itu terlihat ngos-ngosan mungkin karena berlari untuk sampai di taman ini. Raut wajah Amira tidak sehangat kemarin-kemarin, wajahnya kini lebih tegas karena kekecewaan. "Maaf, apa sudah lama Mbak Amira menunggu di sini?" tanya seorang pria yang tak lain adalah Sandi memandang ke arah Amira.Amira memanggil Sandi dan hanya pria itu yang tahu tentang hubungan Amira dengan Alan. Seharusnya Sandi juga tahu hubungan Alan dengan wanita yang bernama Kayla seperti yang disebutkan Salma sebelumnya. Amira bergeser tempat duduk dan menyuruh Sandi untuk duduk di sampingnya. Dokter muda itu terlihat kikuk saat di samping Amira. Hanya saja Amira tidak peduli, dia hanya ingin menginterogasi Sandi perihal masalah rumah tangganya yang telah hancur ini. "Kalau boleh tahu apa yang ingin Mbak Amira bahas dengan saya?" tanya Sandi berusaha mencairkan suasan. "Em... Dokter Alan sedang
"Aku ingin bertemu Mas Alan, apakah dia sibuk?"Ibu hamil yang kini sudah memasuki trimester ketiga itu sedikit terengah-engah setelah menyusuri jalanan rumah sakit dan kini berdiri tepat di depan ruangan dokter. Kayla dengan tentengan tas besar yang di dalamnya sudah ia siapkan bekal untuk suaminya. Dia berhadapan dengan tiga orang perawat yang berjaga di lantai tiga, di mana ruangan Alan juga ada di lantai ini. Kayla tidak ingin langsung masuk ke ruangan suaminya, karena terakhir kali dia ke sini tanpa izin terlebih dahulu, dia mendapat amukan dari Alan. "Oh maaf, Dokter Alan sedang keliling," ucap salah satu perawat. Kayla pun mengangguk, dia memahami apa yang sedang dilakukan suaminya. Tugas penting memang harus didahulukan. "Oke baiklah, aku akan tunggu di depan ruangannya."Setelah itu, Kayla duduk di ruang tunggu. Dia tersenyum kecil karena setelah ini dialah satu-satunya nyonya dari Alando Bagaskara. Hanya menunggu beberapa hari lagi Alan dan Amira akan bercerai, mereka aka
Bisakah kita bertemu?Satu hari itu Amira gunakan untuk beristirahat di rumah Luna. Luna tidak mengizinkannya untuk kembali ke rumah bibinya, melihat kondisi Amira saat ini membuat Luna khawatir. Sedangkan Luna pergi bekerja, Luna yang meminta izin cuti kepada manager mereka. Sampai-sampai manager mereka mempertanyakan keberadaan Amira dan juga merasa khawatir. Siang ini dia mendapatkan pesan dari Sandi. Asisten dokter itu ingin menemuinya dilokasi yang tak jauh dari rumah sakit. Amira ragu-ragu, tetapi akhirnya dia menyetujui untuk bertemu dengan pria itu. Amira juga memahami bahwa Sandi tidak bisa pergi jauh-jauh dari rumah sakit. Amira menunggu Sandi disebuah kafe estetik yang nuansanya sangat modern. Duduk di sini sembari menyesap jus alpukat kesukaannya begitu menenangkan. Bau margarin dari roti bakar yang baru saja dipesan, membuat perut Amira bergejolak. Amira bisa menahannya dan memakannya. Entah apa yang ingin disampaikan oleh Sandi. Dia sangat penasaran karena itu Amira d
Pagi-pagi sekali, Amira telah bersiap dengan pakaian rapinya untuk memperbaiki semua masalah yang terjadi kemarinnya. Amira telah menyiapkan mental dan hatinya karena dirinya tahu setelah ini dia akan mendapatkan sakit yang luar biasa. Walau wajahnya masih terlihat pucat, dan tubuhnya kian hari kian lemah. Amira akan tetap melanjutkan rencanya hari ini. Dia akan pergi ke rumah Alan, dia harus menjelaskan bahkan meminta maaf jika pria itu menginginkannya. Sebesar itu rasa cintanya, meskipun dirinya tidak bersalah dia akan meminta maaf, meskipun dia tahu Alan yang berselingkuh darinya Amira akan tetap merendahkan dirinya. Tepat di depan rumah yang dulu pernah ia tempati, Amira meraup banyak-banyak udara. Dadanya terasa sesak, tetapi tidak apa-apa dia adalah wanita yang kuat. Amira mengetuk pintu, dia menunggu dengan degup jantung yang bertalu-talu. "Assalamualaikum," ucap Amira saat pintu dibuka lebar-lebar. Salamnya tidak dijawab, kedatangannya tidak disambut dengan baik. Wajah-waj
"Luna?" Suara Bram menggantung di udara, Amira pun juga menoleh mencari seseorang yang Bram sebutkan baru saja. Wajah Amira ikut cemas, dia takut bahwa Luna menyaksikan semua kejadian dan pertengkaran barusan. Luna akan sangat kecewa padanya, Amira tidak ingin hal itu terjadi. "Luna? Ka-kamu...." "Aku melihat semuanya dan aku mendengar semuanya," kata Luna memotong perkataan Amira. Amira semakin menegang, dia bangkit walau kesusahan untuk berdiri. Amira menghampiri sahabatnya yang kini sudah berkaca-kaca. "Apa yang aku dengar barusan itu bohong, kan?" Luna mencari jawaban, dia sudah kecewa karena telah berpisah dengan pria yang masih dia kasihi hingga sekarang. Dan sekarang dia tidak ingin mendengar pengakuan yang semakin membuatnya patah hati. "Lun, apa yang kamu dengar tolong lupakan!" Amira menggenggam kedua tangan Luna dan berusaha menenangkannya. "Tidak." Kini Amira dan Luna menatap Bram secara bersamaan. "Bram, jangan!" "Lun, sebenarnya aku mencintai Amira jauh dari sebe
"Sejak aku melihatmu, aku sudah jatuh hati padamu." Suara Bram menggema di sudut-sudut bangunan yang masih separuh jadi itu. Tangan Amira yang hendak mengambil beberapa material terhenti seketika saat mendengar pengakuan Bram yang kesekian kalinya. Amira masih saja syok saat Bram mengungkapkan perasaan padanya. Padahal suasana sebelumnya tidak secanggung ini, tetapi Bram membuat Amira tidak enak hati terhadap pria itu. BrukBrukTerdengar suara langkah kaki seseorang yang sedang berlari, Bram menengok ke belakang dan benar saja ada seorang pekerja berlari ke arahnya. Seharusnya pekerja tersebut melihat Bram yang sedang berdiri di depannya, tetapi pekerja tersebut malah mendekat dan seperti sengaja menabrak tubuh Bram.Gerakan tubuhnya yang secara impulsif seketika menabrak tubuh Amira. Keduanya pun terkejut, Bram menubruk Amira yang saat itu memegang material besi-besi kecil. Besi-besi itu pun tanpa sengaja berjatuhan mengenai punggung Bram yang berusaha melindungi Amira. Nas sekali
"Aku ingin kamu bekerja dengan becus."Kayla melirik kesekitar karena takut ada yang melihatnya sedang berbicara dengan seorang pria asing. Suara bising dari decitan besi dan alat-alat berat tak menyurutkan semangat Kayla untuk melancarkan rencananya. "Jangan sampai gagal," perintah Kayla lagi dengan kedua matanya yang memelotot tajam. "Baik, Bu. Serahkan saja pada saya," jawab pria yang memakai topi berwarna kuning. Kayla tersenyum dengan puas saat pria itu pergi dari hadapannya. Senyuman licik di bibirnya karena dendamnya terhadap Amira. Rencananya harus berhasil, dengan begitu dia bisa mendapatkan cinta dan perhatian dari Alan. Kayla mengintip dari balik tembok dan melihat pria suruhannya itu melaksanakan tugas seperti yang diperintahkan olehnya. Bukan hanya senyuman yang terbit di bibir Kayla, kini tawa kecil akan kemenangan seolah tak mau pergi dari mulut kecilnya. Kayla pergi dari bagunan proyek setengah jadi yang digarap oleh perusahaan Amira dan yang menjadi tanggungjawab
"Apa kamu sadar saat mengatakan itu?"Alan berkacak pinggang seolah-olah syok mendengar pengakuan dari Kayla. Kayla memaku di tempatnya, dia menunggu jawaban dari Alan atas pengakuannya tersebut. Dia berharap ada harapan besar dari suaminya ini, berharap pula bahwa suaminya juga memiliki perasaan yang sama terhadapnya. "Aku sangat sadar saat mengatakan itu, Mas." Kayla mendekati Alan kembali, tetapi pria itu malah menjauh darinya. "Bagaimana pun juga aku istrimu, Mas. Tidak ada yang salah dengan perasaanku ini," lanjutnya lagi berusaha meyakinkan Alan. "Tentu saja salah!!!"Brak!!!Brak!!!Alan menggebrak meja beberapa kali yang ada di depannya, sejenak Kayla menutup kedua matanya dan merasakan sakit yang berdenyut di dasar hatinya. Ya, bodoh sekali bahwa dirinya berharap bahwa Alan akan mencintainya seperti pria itu mencintai Amira. Pada kenyataannya dia tidak pernah mendapatkan bagian sedikit pun di hati Alan. Bukan Kayla namanya jika dia menyerah hanya sampai di sini saja, dia
"Apa salahnya mesra-mesraan dengan suami sahku?" Amira menatap Kayla penuh kemenangan. Tawa Amira sedikit mengejek saat melihat wajah Kayla yang pias. Kayla pun balik menertawakan Amira, wanita itu pun tidak mau mengalah dan semakin menunjukkan taringnya. Amira menaikkan sebelah alisnya, lalu kakinya mundur beberapa langkah saat perut buncit Kayla hampir menyentuh bagian perutnya. "Masih bilang kalau Mas Alan adalah suamimu? Bukannya kamu sendiri yang meminta cerai darinya?" Kayla berkacak pinggang, Amira melihatnya saja terasa begah dengan perut buncit Kayla yang sepertinya membuat Kayla kesulitan bernapas. "Masih punya muka ternyata kamu ya, padahal kamu sendiri yang membuang Mas Alan." Kayla membuat emosi Amira terpancing. Namun, Amira tidak ingin membuang-buang tenaga hanya untuk meladeni Kayla. Mood paginya harus baik untuk bekerja, sebisa mungkin Amira mengatur napas dan mengembalikan perasaannya seperti semula. "Bagaimana kalau aku dan Mas Alan tidak jadi bercerai?" Sejujur
"Apa benar kamu baik-baik saja?" Alan membuntuti ke manapun Amira pergi. Amira menghela napas panjang, dia menghentikan langkahnya saat sudah berada di ruang tamu. Alan pun turut berhenti tepat di belakang sang istri. Amira membalikkan badannya, lalu menatap serius wajah Alan yang terlihat sangat khawatir padanya. "Aku baik-baik saja, Mas. Lihat aku sudah lebih kuat dari pada kemarin. Jangan melihatku seperti anak kecil, okay." Amira menyelempangkan tasnya. Jika berlama-lama di atas tempat tidur rasanya akan lebih sakit. Amira lebih suka bergerak dan bebas melakukan apapun dari pada bermalas-malasan di rumah. Apalagi saat ini dia ada di rumah yang tidak ingin ia tempati. Alan tidak membiarkan Amira begitu saja untuk pergi bekerja. Dia mengambil kunci mobil dan menyusul Amira yang sudah ada di halaman rumah. Alan menarik lengan Amira sampai wanita itu memekik karena bertubrukan dengan dada bidang Alan. "Ahh ada apa lagi, Mas?" Amira semakin jengkel dengan sikap antusias Alan. "Ak