Tidak ada jawaban lebih tepatnya wanita tak dikenal itu mematikan ponselnya. Amira tidak bisa menghubungi wanita itu lagi. Dia sangat kecewa karena tidak bisa menemukan fakta tentang hubungan Alan dengan wanita itu.
Alan segera merampas ponselnya sangat kasar dari tangan Amira. Tatapan hangat Alan entah menghilang ke mana, Amira tidak lagi diperlakukan lembut seperti sebelum kejadian ini terjadi. Alan berubah dalam waktu yang teramat singkat.
"Apa kamu benar-benar selingkuh, Mas? Jelaskan padaku siapa wanita itu sebelum aku tahu sendiri dari orang lain," desak Amira tidak sabar.
Bukannya menjawab, Alan memberikan Amira tatapan marah. Alan balik badan dan membiarkan istrinya dibuai penasaran. Pria itu menuju lemari dan mengambil sebuah jaket berwana hitam dari dalamnya.
Amira mengerutkan kening, Alan memilih kabur dari pertanyaan Amira dan juga ingin menjauh dari masalah yang dibuat oleh pria itu sendiri. Amira menarik lengan Alan sampai-sampai pria itu bertatapan mata.
"Mau ke mana, Mas?" tanya Amira dengan nada suaranya yang menggebu-gebu.
"Mas, jawab pertanyaanku!" Amira menarik lengan Alan, yang diharapkan jawabannya hanya menepis tangan Amira sampai memerah.
Alan berlalu begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun. Pundak Amira naik turun berusaha menetralkan pengap yang memenuhi dadanya. Amira luruh ke lantai, tangisnya ia biarkan terbuang meratapi kehidupan rumah tangga yang berusaha ia bangun seindah mungkin.
Suara mesin mobil milik Alan terdengar. Kontan Amira bangkit dan berlari ke luar rumah untuk menahan Alan. Sayangnya, sebelum Amira sempat menahan sang suami, mobil Alan telah menghilang dari pandangan Amira.
Berjam-jam Amira menunggu Alan kembali ke rumah, sampai-sampai dirinya melupakan belum memasukkan sesuap makanan ke dalam perutnya. Amira tidak merasa lapar padahal tubuhnya mulai lemas tak bertenaga.
Dia memikirkan sang suami. Entah di mana pria itu berada, bersama siapa saat ini, dan bagaimana keadaannya apakah serapuh Amira atau terlihat bahagia. Amira banyak berspekulasi sendiri saat ini. Banyak pikiran buruk yang mengaungi otaknya. Amira hanya bisa menangis dan mengharap Alan pulang ke rumah malam ini juga.
Sayang seribu sayang hingga keesokan paginya Alan juga tak kunjung datang. Tak terasa Amira telah menunggu Alan lebih dari sepuluh jam hingga tertidur di atas sofa yang ada di ruang tamu. Amira meraup wajahnya kasar.
"Ada di mana kamu, Mas?" Amira mondar-mandir di tepi jendela, dia berusaha menelepon ponsel Alan tetapi nomornya tidak aktif.
Pandangan Amira mendadak mengabur, kepalanya pening dan dia kehilangan pijakannya. Amira bertumpu pada dinding, mungkin karena perutnya kosong sejak kemarin sehingga membuat Amira tumbang seperti sekarang.
Amira menuju dapur dan mencari makanan yang bisa ia makan sekarang juga. Roti dengan selai kacang menjadi santapan pertama dipagi hari ini.
Tiba-tiba Amira dikejutkan dengan ponselnya yang berdering nyaring. Dengan cepat angan Amira meraih ponsel, mungkin saja panggilan dari Alan. Tanpa melihat namanya terlebih dahulu, amira mendial ikon hijau untuk menjawab telepon.
"Halo, Mas. Kamu di mana?" tanya Amira dengan nada terburu-buru.
["Hah? Mas katamu? Ini aku, Luna."] Suara wanita di seberang telepon mengejutkan Amira. Amira kontan mendesah berat, dia berpikir bahwa panggilan tersebut dari suaminya.
"Maaf, aku tidak fokus," jawab Amira lemah.
Sudah pasti Luna mengolokolok Amira yang teralu mencintai Alan. Terkadang sikap Amira tersebut membuat Luna cemburu karena Amira lebih perhatian terhadap Alan dari pada sahabatnya. Ya, statusnya sudah berubah, otomatis Amira akan mendahului Alan sebagai masa depannya.
Tidak salah jika sebagai sahabat Luna cemburu terhadap Alan. Karena sebelum menikah, Amira lebih dekat dengan Luna dan saling bergantung satu sama lain. Setelah Amira menikah, Luna merasa kesepian.
["Mengapa kamu tidak bisa dihubungi sejak tadi malam?"] tanya Luna berterus terang.
"Emm...." Amira mencoba mencari jawaban. "Aku menghabiskan hari libur bersama Mas Alan." Amira terkekeh kecil dengan kebohongan yang ia buat. Faktanya Amira betengkar dengan sang suami.
["Oh, sekarang hari Senin. Cepat bersiap ke kantor karena jam delapan akan ada rapat,"] ujar Luna justru membuat Amira terkejut.
"Rapat?"
["Ya. Sampai jumpa di kantor."]
"Tunggu, tunggu. Rapat apa?"
Bip....
Panggilan terputus dan akhirnya Amira sangat penasaran dengan rapat yang dikatakan oleh sahabatnya itu. Jika sudah urusan pekerjaan, Amira harus tepat waktu. Amira segera bangkit untuk bersiap pergi bekerja.
***
Bunga-bunga di taman terlihat menyejukkan. Kelopak-kelopaknya bergoyang-goyang saat terhembus angin. Hati Amira menjadi damai saat melihat bunga bermekaran sangat indah.
Amira termenung di bangku taman yang letaknya ada di roof top gedung kantor. Tempat ini selalu menjadi pelarian ketika Amira merasa penat. Sekarang juga taman ini menjadi tempat pelarian Amira setelah sekelabat pertengkaran dengan Alan melintas kembali di pikirannya.
Amira memegangi ponsel dan berharap panggilannya terhubung ke ponsel Alan ataupun Alan terlebih dahulu menghubunginya. Namun, sampai detik ini pada jam makan siang ponsel Amira masih senyap.
"Huuuuffffttttt...."
Hembusan napas Amirapun menjadi sangat berat, dia berpikir kembali mungkin perbuatannya kemarin sangat keterlaluan sehingga membuat Alan marah besar. Amira berpikir ulang bisa saja dirinya yang salah.
"Haruskah aku meminta maaf?" lirih Amira berbicara pada ponselnya.
"Apa aku kirim pesan saja pada Mas Alan?"
Monolognya sama sekali tak bisa membantu Amira memecahkan masalah. Amira membuka aplikasi pesan, disaat mengetik suatu kalimat ia menjadi ragu dan menghapusnya kembali.
Masa bodo dengan harga dirinya, toh Amira mengirim pesan kepada Alan bukan kepada pria lain. Amira mengetikkan sesuatu di atas layar ponsel. Jari-jari Amira terlihat luwes saat mengetik pesan.
Tentu saja Amira mengatakan permintaan maaf atas sikapnya yang terlalu lancang memainkan ponel Alan tanpa seizin pria itu. Dan juga Amira meminta maaf karena telah berkata kasr terhadap Alan.
Klik.
Satu ketukan berhasil mengirimkan isi hati Amira kepada suaminya. Amira sedikit lega, semoga saja pesan Amira ini menjadi bahan pertimbangan bagi Alan untuk pulang ke rumah. Setelah kembali Amira akan meminta maaf secara langsung kepada Alan.
Lima menit bahkan sepuluh menit Amira menunggu, tetapi tidak ada balasan. Amira menggigiti kukunya karena gugup. Status nomor Alan masih online, tetapi pesan Amira tidak dibuka apalafgi dibaca. Amira menjadi risau, degup jantungnya mendadak berdetak tak karuan.
"Apa aku keterlaluan tadi malam?" gumam Amira sedangkan suaranya nyaris gemetar.
Tak sabar lagi, Amira menelepon ponsel suaminya itu. Pada dering ketiga panggilan diterima oleh Alan. Amira menghembuskan napas lega. Senyumnya mengembang karena Alan tidak mengabaikannya.
"Halo, Mas Alan. Amira minta maaf tentang kejadian kemarin. Mas kapan pulang? Amira akan minta maaf langsung saat Mas di rumah."
Amira mengernyitkan dahinya karena Aln tidak bersuara sedikitpun. Amira menengok layar ponsel yang masih tersambung ke ponsel Alan.
"Halo, Mas Alan ada di mana?"
Halo manteman, welcome di cerita Rosie yang pertama ini yah. Semoga kalian suka dan ikuti terus cerita Amira dan Alan.
Menurut Amira melepas penat terbaik adalah berdiam diri di kamar sembari membaca buku dan disuguhi camilan ringan. Berbeda dengan Luna, sahabat Amira itu melepas lelahnya dengan berbelanja dan menghabiskan uang. Menurut Luna melihat barang-barang bagus membuatnya bersemangat lagi. Alhasil Amira dipaksa oleh Luna untuk mengikutinya ke mall. Sudah lima toko yang mereka kunjungi, tetapi Luna masih belum puas berbelanja. Luna menatik Amira menuju toko perhiasan padahal kaki Amira rasanya ingin lepas dari sarangnya. Selagi Luna memilah dan memilih perhiasan, Amira duduk di salah satu sofa yang tersedia di dalam toko. Amira menyandarkan punggungnya yang lelah. Dia kembali memikirkan Alan yang tidak menyahut sedikitpun saat Amira menelepon pria itu. Alan hanya diam bahkan senyap di seberang sana. Baru sepuluh menit Amira berbicara sendirian di telepon, panggilannya terputus begitu saja. Amira semakin penasaran, seharusnya dia yang marah karena pesan tidak mengenakkan itu. Justru Alan yang
Disaat dalam kesulitan seperti ini, hanya Luna yang siap menjadi teman Amira. Amira memeluk sang sahabat sangat erat. Dia ingin meluapkan amarahnya, tetapi seperti kata Luna jangan bersikap gegabah. Semua bukti yang Amira temukan ia ingat baik-baik. Alan tidak akan bisa mengelak dengan semua bukti yang Amira temui. Alan juga tampak tidak peduli dengan perasaan Amira. Pria itu pergi begitu saja tanpa menjelaskan apapun, seharusnya jika Alan tidak berbuat kesalahan dia akan mengelak atau memberi pengertian kepada Amira bukannya marah seperti kemarin.Suara deru mesin mobil milik suami Amira terdengar dari luar rumah. Amira telah bersiap untuk menghadapi Alan, sedangkan Luna bersiap diri untuk meninggalkan rumah Amira ini. Menurut Luna, dia tidak seharusnya ada dalam masalah yang sahabatnya hadapi. Yang Luna lakukan hanya memberi semangat kepada Amira."Dia sudah datang, aku harus kembali. Kabari aku jika terjadi sesuatu," pinta Luna yang diangguki kepala oleh Amira. Luna berpapasan d
"Maafkan, Mas. Jangan sedih lagi." Alan mengusap wajah Amira yang basah karena air mata.Alan juga mengatakan bahwa alasannya tidak memberi kabar kepada Amira karena sedang berpikir untuk memberikan sang istri sebuah hadiah. Alan segera bergegas ke mall untuk mencari hadiah yang berkesan. Tak disangka dia bertemu dengan istri temannya saat di mall. Sayangnya, pertemuan itu diketahui oleh Amira sehingga membuat kesalahpahaman diantara Alan dan Amira semakin rumit. Alan juga tidak menyangka Amira ada di mall siang tadi. Alan memeluk tubuh Amira sangat erat, seolah-olah dia tidak membiarkan Amira untuk pergi dari sisinya. Amira yang masih bimbang dengan keadaan saat ini mencoba meredakan emosi. Amira balik memeluk tubuh sang suami dan menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Alan yang terasa nyaman. Keduanya kembali berbaikan, Amira memaafkan Alan setelah mempertimbangkan alasan yang suaminya itu berikan. Amira meneguhkan hati mungkin dirinya yang salah karena sudah berperasangka buru
Beberapa rekan kantor Amira yang satu divisi dengannya melongok heran saat Amira merapikan meja kerjanya. Tak hanya itu, Amira menyampiran tas selempangnya ke pundak. Luna pun turut mendongakkan kepala ketika Amira terlihat sangat buru-buru. Luna menahan lengan Amira sebelum sahabatnya itu pergi. Amira pun terkejut dengan sentuhan tangan Luna, dia melirik sekitarnya yang tengah menatap Amira penasaran. "Kamu mau ke mana?" tanya Luna tak rela membiarkan Amira pergi. "Aku ada urusan di rumah." Tanpa melihat Luna lagi, Amira balik badan begitu saja hendak meninggalkan kantor ini. Sayangnya, Luna tidak membiarkan hal itu terjadi sebelum Amira menjelaskan sedikit apa yang tengah dialami Amira. Luna masih khawatir tentang kejadian kemarin. Amira tidak memberi kabar bahkan saat masuk kerja Amira tidak mengatakan apapun. Amira tidak bercerita dan memilih memendamnya sendirian. "Apa ada masalah lagi," tanya Luna mencoba mengulik informasi. Amira hanya menggelengkan kepalanya lemah, setel
Hampir dua puluh menit Amira menunggu di luar karena Alan dan wanita itu masuk ke dalam ruangan dokter. Perasaan Amira semakin tidak tenang, Siapa wanita itu sebenarnya? Anak siapa yang dikandungnya?Mengapa Alan mengantr wanita yang kataya isri temannya itu?Banyak pertanyaan yang saat ini bersarang di otak Amira. Amira ingin membantingkan dirinya sendiri ke tengah lapang karena resah dan kalut atas ketidakpastian ini. Amira ingin marah, dia ingin berteriak bahkan di depan wajah Alan. Tetapi dia tahu adab sebagai seorang istri tidak seharusnya meninggikan suara kepada imam rumah tangganya. Karena itulah Amira marah terhadap dirinya sendiri karena tidak bisa mengondisikan perasaannya. "Jadi aku harus sering-sering makan ice cream, Mas?" Suara wanita yang sudah tidak asing di telinga Amira membuat Amira mendongak tinggi-tinggi. Wanita itu tampak ceria dan berusaha merangkul lengan Alan, tetapi yang Amira lihat Alan melepaskan rangkulan tangan wanita itu dengan lembut. Amira duduk
Tak menunggu lama, Amira pun baru lima menit duduk di kursi taman dan orang yang ia tunggu telah tiba di depannya. Pria itu terlihat ngos-ngosan mungkin karena berlari untuk sampai di taman ini. Raut wajah Amira tidak sehangat kemarin-kemarin, wajahnya kini lebih tegas karena kekecewaan. "Maaf, apa sudah lama Mbak Amira menunggu di sini?" tanya seorang pria yang tak lain adalah Sandi memandang ke arah Amira.Amira memanggil Sandi dan hanya pria itu yang tahu tentang hubungan Amira dengan Alan. Seharusnya Sandi juga tahu hubungan Alan dengan wanita yang bernama Kayla seperti yang disebutkan Salma sebelumnya. Amira bergeser tempat duduk dan menyuruh Sandi untuk duduk di sampingnya. Dokter muda itu terlihat kikuk saat di samping Amira. Hanya saja Amira tidak peduli, dia hanya ingin menginterogasi Sandi perihal masalah rumah tangganya yang telah hancur ini. "Kalau boleh tahu apa yang ingin Mbak Amira bahas dengan saya?" tanya Sandi berusaha mencairkan suasan. "Em... Dokter Alan sedang
Alan panik seolah-olah tidak tahu apa yang telah terjadi. Dia bahkan sampai berjongkok memohon kepada Amira agar tidak meninggalkannya. "Sayang, cerita sama Mas. Mas ada salah apa?" tanya Alan dengan raut wajah sedihnya. Pandangan Amira tentang Alan telah berubah, pasti raut wajah sedih itu hanya dibuat-buat ole Alan. Amira tidak bodoh, dia tidak akan masuk kembali ke dalam permainan kucing-kuingan yang Alan ciptakan. Brak...Amira menaruh map yang ia minta dari Salma. Map yang di dalamnya berisi catatan bahwa Alan adalah suami yang mengantar Kayla berobat ke rumah sakit. Salma pun membantu Amira dengan memberikan foto Alan dan Kayla saat memeriksakan kandungan.Sepertinya Salma juga tidak setuju dengan sebuah pengkhianatan ataupun perselingkuhan. Karena itulah Salma membocorkan kebohongan Alan itu kepada Amira. Amira juga memutar rekaman suara yang ia ambil saat bertemu dengan Sandi siang tadi. Semuanya sudah jelas, Alan tidak bisa lari ataupun mengelak dari masalah ini. Alan mem
Cahaya lampu menerobos masuk ke dalam netra Amira saat ia mencoba membuka mata. Amira mengernyitan dahi karena silau, beberapa kali pula ia berkedip dan menyesuaikan pandangan. Amira terkejut karena lengannya terasa berat, Alan tidur sambil memeluk lengan Amira seperti anak kecil. Amira mengingat kembali apa yang telah terjadi padanya. Setelah pertengkaran hebat antara dirinya dengan Alan, dia dikunci di kamar lalu merasa pusing dan akhirnya jatuh pingsan. Amira baru ingat bahwa dirinya belum makan sejak tadi pagi. Amira meneteskan air mata saat dadanya kembali sesak. Cintanya yang tulus telah terkoyak karena kebohongan sang suami.Amira menatap wajah suaminya yang terlihat damai saat tidur, Amira tak mengira pria sebaik dan seperhatian Alan bisa menyakitinya. Amira telah jatuh sedalam-dalamnya dengan buaian perkataan Alan yang sangat indah. Kata cinta yang selalu Alan ucapkan mampu membawa Amira jatuh ke dalam jurang asmara sedalam-dalamnya. Amira terlalu percaya bahkan tak sadar
"Aku ingin bertemu Mas Alan, apakah dia sibuk?"Ibu hamil yang kini sudah memasuki trimester ketiga itu sedikit terengah-engah setelah menyusuri jalanan rumah sakit dan kini berdiri tepat di depan ruangan dokter. Kayla dengan tentengan tas besar yang di dalamnya sudah ia siapkan bekal untuk suaminya. Dia berhadapan dengan tiga orang perawat yang berjaga di lantai tiga, di mana ruangan Alan juga ada di lantai ini. Kayla tidak ingin langsung masuk ke ruangan suaminya, karena terakhir kali dia ke sini tanpa izin terlebih dahulu, dia mendapat amukan dari Alan. "Oh maaf, Dokter Alan sedang keliling," ucap salah satu perawat. Kayla pun mengangguk, dia memahami apa yang sedang dilakukan suaminya. Tugas penting memang harus didahulukan. "Oke baiklah, aku akan tunggu di depan ruangannya."Setelah itu, Kayla duduk di ruang tunggu. Dia tersenyum kecil karena setelah ini dialah satu-satunya nyonya dari Alando Bagaskara. Hanya menunggu beberapa hari lagi Alan dan Amira akan bercerai, mereka aka
Bisakah kita bertemu?Satu hari itu Amira gunakan untuk beristirahat di rumah Luna. Luna tidak mengizinkannya untuk kembali ke rumah bibinya, melihat kondisi Amira saat ini membuat Luna khawatir. Sedangkan Luna pergi bekerja, Luna yang meminta izin cuti kepada manager mereka. Sampai-sampai manager mereka mempertanyakan keberadaan Amira dan juga merasa khawatir. Siang ini dia mendapatkan pesan dari Sandi. Asisten dokter itu ingin menemuinya dilokasi yang tak jauh dari rumah sakit. Amira ragu-ragu, tetapi akhirnya dia menyetujui untuk bertemu dengan pria itu. Amira juga memahami bahwa Sandi tidak bisa pergi jauh-jauh dari rumah sakit. Amira menunggu Sandi disebuah kafe estetik yang nuansanya sangat modern. Duduk di sini sembari menyesap jus alpukat kesukaannya begitu menenangkan. Bau margarin dari roti bakar yang baru saja dipesan, membuat perut Amira bergejolak. Amira bisa menahannya dan memakannya. Entah apa yang ingin disampaikan oleh Sandi. Dia sangat penasaran karena itu Amira d
Pagi-pagi sekali, Amira telah bersiap dengan pakaian rapinya untuk memperbaiki semua masalah yang terjadi kemarinnya. Amira telah menyiapkan mental dan hatinya karena dirinya tahu setelah ini dia akan mendapatkan sakit yang luar biasa. Walau wajahnya masih terlihat pucat, dan tubuhnya kian hari kian lemah. Amira akan tetap melanjutkan rencanya hari ini. Dia akan pergi ke rumah Alan, dia harus menjelaskan bahkan meminta maaf jika pria itu menginginkannya. Sebesar itu rasa cintanya, meskipun dirinya tidak bersalah dia akan meminta maaf, meskipun dia tahu Alan yang berselingkuh darinya Amira akan tetap merendahkan dirinya. Tepat di depan rumah yang dulu pernah ia tempati, Amira meraup banyak-banyak udara. Dadanya terasa sesak, tetapi tidak apa-apa dia adalah wanita yang kuat. Amira mengetuk pintu, dia menunggu dengan degup jantung yang bertalu-talu. "Assalamualaikum," ucap Amira saat pintu dibuka lebar-lebar. Salamnya tidak dijawab, kedatangannya tidak disambut dengan baik. Wajah-waj
"Luna?" Suara Bram menggantung di udara, Amira pun juga menoleh mencari seseorang yang Bram sebutkan baru saja. Wajah Amira ikut cemas, dia takut bahwa Luna menyaksikan semua kejadian dan pertengkaran barusan. Luna akan sangat kecewa padanya, Amira tidak ingin hal itu terjadi. "Luna? Ka-kamu...." "Aku melihat semuanya dan aku mendengar semuanya," kata Luna memotong perkataan Amira. Amira semakin menegang, dia bangkit walau kesusahan untuk berdiri. Amira menghampiri sahabatnya yang kini sudah berkaca-kaca. "Apa yang aku dengar barusan itu bohong, kan?" Luna mencari jawaban, dia sudah kecewa karena telah berpisah dengan pria yang masih dia kasihi hingga sekarang. Dan sekarang dia tidak ingin mendengar pengakuan yang semakin membuatnya patah hati. "Lun, apa yang kamu dengar tolong lupakan!" Amira menggenggam kedua tangan Luna dan berusaha menenangkannya. "Tidak." Kini Amira dan Luna menatap Bram secara bersamaan. "Bram, jangan!" "Lun, sebenarnya aku mencintai Amira jauh dari sebe
"Sejak aku melihatmu, aku sudah jatuh hati padamu." Suara Bram menggema di sudut-sudut bangunan yang masih separuh jadi itu. Tangan Amira yang hendak mengambil beberapa material terhenti seketika saat mendengar pengakuan Bram yang kesekian kalinya. Amira masih saja syok saat Bram mengungkapkan perasaan padanya. Padahal suasana sebelumnya tidak secanggung ini, tetapi Bram membuat Amira tidak enak hati terhadap pria itu. BrukBrukTerdengar suara langkah kaki seseorang yang sedang berlari, Bram menengok ke belakang dan benar saja ada seorang pekerja berlari ke arahnya. Seharusnya pekerja tersebut melihat Bram yang sedang berdiri di depannya, tetapi pekerja tersebut malah mendekat dan seperti sengaja menabrak tubuh Bram.Gerakan tubuhnya yang secara impulsif seketika menabrak tubuh Amira. Keduanya pun terkejut, Bram menubruk Amira yang saat itu memegang material besi-besi kecil. Besi-besi itu pun tanpa sengaja berjatuhan mengenai punggung Bram yang berusaha melindungi Amira. Nas sekali
"Aku ingin kamu bekerja dengan becus."Kayla melirik kesekitar karena takut ada yang melihatnya sedang berbicara dengan seorang pria asing. Suara bising dari decitan besi dan alat-alat berat tak menyurutkan semangat Kayla untuk melancarkan rencananya. "Jangan sampai gagal," perintah Kayla lagi dengan kedua matanya yang memelotot tajam. "Baik, Bu. Serahkan saja pada saya," jawab pria yang memakai topi berwarna kuning. Kayla tersenyum dengan puas saat pria itu pergi dari hadapannya. Senyuman licik di bibirnya karena dendamnya terhadap Amira. Rencananya harus berhasil, dengan begitu dia bisa mendapatkan cinta dan perhatian dari Alan. Kayla mengintip dari balik tembok dan melihat pria suruhannya itu melaksanakan tugas seperti yang diperintahkan olehnya. Bukan hanya senyuman yang terbit di bibir Kayla, kini tawa kecil akan kemenangan seolah tak mau pergi dari mulut kecilnya. Kayla pergi dari bagunan proyek setengah jadi yang digarap oleh perusahaan Amira dan yang menjadi tanggungjawab
"Apa kamu sadar saat mengatakan itu?"Alan berkacak pinggang seolah-olah syok mendengar pengakuan dari Kayla. Kayla memaku di tempatnya, dia menunggu jawaban dari Alan atas pengakuannya tersebut. Dia berharap ada harapan besar dari suaminya ini, berharap pula bahwa suaminya juga memiliki perasaan yang sama terhadapnya. "Aku sangat sadar saat mengatakan itu, Mas." Kayla mendekati Alan kembali, tetapi pria itu malah menjauh darinya. "Bagaimana pun juga aku istrimu, Mas. Tidak ada yang salah dengan perasaanku ini," lanjutnya lagi berusaha meyakinkan Alan. "Tentu saja salah!!!"Brak!!!Brak!!!Alan menggebrak meja beberapa kali yang ada di depannya, sejenak Kayla menutup kedua matanya dan merasakan sakit yang berdenyut di dasar hatinya. Ya, bodoh sekali bahwa dirinya berharap bahwa Alan akan mencintainya seperti pria itu mencintai Amira. Pada kenyataannya dia tidak pernah mendapatkan bagian sedikit pun di hati Alan. Bukan Kayla namanya jika dia menyerah hanya sampai di sini saja, dia
"Apa salahnya mesra-mesraan dengan suami sahku?" Amira menatap Kayla penuh kemenangan. Tawa Amira sedikit mengejek saat melihat wajah Kayla yang pias. Kayla pun balik menertawakan Amira, wanita itu pun tidak mau mengalah dan semakin menunjukkan taringnya. Amira menaikkan sebelah alisnya, lalu kakinya mundur beberapa langkah saat perut buncit Kayla hampir menyentuh bagian perutnya. "Masih bilang kalau Mas Alan adalah suamimu? Bukannya kamu sendiri yang meminta cerai darinya?" Kayla berkacak pinggang, Amira melihatnya saja terasa begah dengan perut buncit Kayla yang sepertinya membuat Kayla kesulitan bernapas. "Masih punya muka ternyata kamu ya, padahal kamu sendiri yang membuang Mas Alan." Kayla membuat emosi Amira terpancing. Namun, Amira tidak ingin membuang-buang tenaga hanya untuk meladeni Kayla. Mood paginya harus baik untuk bekerja, sebisa mungkin Amira mengatur napas dan mengembalikan perasaannya seperti semula. "Bagaimana kalau aku dan Mas Alan tidak jadi bercerai?" Sejujur
"Apa benar kamu baik-baik saja?" Alan membuntuti ke manapun Amira pergi. Amira menghela napas panjang, dia menghentikan langkahnya saat sudah berada di ruang tamu. Alan pun turut berhenti tepat di belakang sang istri. Amira membalikkan badannya, lalu menatap serius wajah Alan yang terlihat sangat khawatir padanya. "Aku baik-baik saja, Mas. Lihat aku sudah lebih kuat dari pada kemarin. Jangan melihatku seperti anak kecil, okay." Amira menyelempangkan tasnya. Jika berlama-lama di atas tempat tidur rasanya akan lebih sakit. Amira lebih suka bergerak dan bebas melakukan apapun dari pada bermalas-malasan di rumah. Apalagi saat ini dia ada di rumah yang tidak ingin ia tempati. Alan tidak membiarkan Amira begitu saja untuk pergi bekerja. Dia mengambil kunci mobil dan menyusul Amira yang sudah ada di halaman rumah. Alan menarik lengan Amira sampai wanita itu memekik karena bertubrukan dengan dada bidang Alan. "Ahh ada apa lagi, Mas?" Amira semakin jengkel dengan sikap antusias Alan. "Ak