Alan menuju resepsionis dan dia disambut oleh seorang wanita berpakaian serba hitam. Alan akan menanyakan apakah nama Amira terdaftar dalam pelanggan hotel hari ini. Tangan Alan terasa dingin, dia sangat gugup sekali dan berharap bahwa orang yang dicintainya benar-benar ada di dalam salah satu kamar hotel ini. Alan akan membawanya pulang segera dan mendekapnya erat agar tidak pergi lagi dari sisinya."Permisi, apakah ada seseorang bernama Amira menginap di hotel ini?" tanya Alan berterus terang. Alan bisa melihat raut wajah wanita itu mengerut heran. Tersadar karena petugas hotel tidak bisa memberikan informasi secara sembarangan, Alan segera menunjukkan bukti bahwa dirinya adalah suami Amira."Ini KTP saya dan ini foto saya dengan istri." Petugas itu menunjukkan raut wajah cerah, sepertinya pencarian Alan membuahkan hasil. Amira ada di hotel ini."Tunggu sebentar ya, Pak. Nona Amira check in jam setengah satu tadi malam. Saya akan cek kamarnya," ucap wanita itu sembari mengontrol ko
"Mas akan menghubungi ayah dan ibu kalau kamu tidak mau pulang ke rumah," ancam Alan sangat percaya diri. Mendengar hal itu, kontan Amira membulatkan kedua matanya. Alan sangat tahu kelemahan Amira yaitu tidak bisa membuat kedua orang tunya risau. Alan mengacungkan ponselnya tinggi-tinggi. Alan harus bisa membuat Amira mau kembali ke rumah. Amira mematung di tempatnya berdiri, dia tidak bisa menjawab perkataan Alan. "Apa-apaan kamu, Mas?" sentak Amira emosinya mulai menjad-jadi. "Kalau kamu tidak mau membuat ayah dan ibu khawatir, ikut sama Mas pulang ke rumah."Alan memainkan ponselnya dengan berpura-pura ingin menelepon ayah dan ibu Amira. Alan tidak sungguh-sungguh untuk memberi tahu masalah mereka berdua ini. Dia hanya ingin Amira pulang ke rumah dan Alan ingin memperbaiki semuanya mulai dari awal. "Aku tidak mau." Amira berusaha meraih ponsel Alan agar suaminya itu tidak nekat memberi tahu kedua orang tuanya. Amira tidak akan sanggup melihat kedua orang tuanya sedih jika hub
Alan pun turut bangkit, dia mengikuti ke mana perginya langkah kaki Amira. Amira menuju lemari dan hendak membuka pintunya, tetapi tangan Alan menepis tangan Amira."Kamu mau ke mana?" tanya Alan tergesa-gesa. Dia tahu bahwa Amira ingin pergi lagi dari sisinya. "Biarkan....""Tidak. Sampai kapanpun tidak akan pernah," potong Alan cepat sebelum Amira mengutarakan keinginannya. Alan meninggalkan Amira yang masih mematung setelah mendengar perkataan Alan. Alan mengambil kunci mobil yang ada di atas nakas, lalu berbalik menuju pintu kamar. Amira melihat semua gerak-gerik Alan yang mencabut kunci pintu kamar. "Mas Alan mau kunci Amira di kamar lagi?" celetuk Amira saat Alan hendak keluar dari kamar. Alan memandangnya serius, tanpa menjawab Alan langsung mengunci kamarnya. Amira terlonjak dan tak bisa menahan Alan untuk tidak meninggalkannya sendirian di kamar ini. Terlebih Alan mengurungnya di kamar tanpa persetujuan Amira terlebih dahulu. Alan terlalu kelewatan sampai-sampai tidak mem
Sesuai perkataan Amira sebelumnya, dia mendatangi rumah sakit dan menyerahkan surat gugatan cerai kepada Alan. Amira datang tanpa memberi kabar dan masuk begitu saja ke dalam ruang kerja Alan. Saat ini di ruangan Alan tidak hanya pria itu, tetapi ada Sandi dan juga Dokter Salma yang sepertinya sedang membahas sesuatu yang serius. Mereka juga sangat terkejut dengan kehadiran Amira yang tiba-tiba. Alan berdiri dari duduknya dan menghampiri Amira. Map berwarna cokelat digenggam erat oleh Amira. Alan pun juga melihat Amira dengan wajah tegasnya yang saat ini membawa map itu, dapat dilihat bahwa Alan saat ini tampak ketakutan. "Sayang, ada apa kemari?" tanya Alan gugup. Saat hendak meraih tangan sang istri, Amira mundur dua langkah. Degup jantung Alan berdetak tak karuan, dia bisa membaca situasi saat ini. Amira memandang Sandi dan Dokter Salma secara bergantian, lalu setelahnya menatap Alan dengan serius. Alan berusaha tersenyum walau perasaannya mulai tidak enak karena map yang dibawa
Alan yang berada di ujung pintu mengusap wajahnya kasar. Dia mendengar pembicaraan Amira dengan ibunya. Semuanya sangat kacau, Alan tidak bisa menghentikan Amira untuk tidak berpisah darinya. Tangis Amira menjadi-jadi setelah menelepon orang tuanya. Niat untuk mengemas barang akhirnya tertunda karena dadanya begitu sesak. Amira menepuk-nepuk kedua pundak untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia baru merasakan tangis yang begitu menyesakkan, karena orang yang dicintainyalah yang membuatnya terluka. "Sayang." Alan tiba-tiba datang dan memeluk tubuh Amira yang jatuh ke lantai. Alan memeluknya sangat erat, pria itu juga mengeluarkan air mata kesedihan karena melihat Amira yang menangis pilu. "Lepasin, Mas." Amira memberontak pelan, tenaganya sudah terkuras habis. "Maafkan, Mas." Alan mengecup puncak kepala sang istri yang terbalut hijab. Keduanya pun menangis deras menyalurkan kesedihan masing-masing. Seujung kuku pun tak ada niatan bagi Alan untuk mendua, tak pernah terbesit unuk
Lima menit yang lalu Salma dijemput oleh suaminya dan lebih dulu meninggalkan restoran. Sedangkan Amira memilih menetap sejenak sambil menghabiskan cokelat hangat yang sebelumnya telah dipesan.Setelah dirasa bosan berdiam diri di restoran, Amira bangkit hendak pulang ke rumah. Pikirannya berkecamuk antara kembali ke rumah Alan, atau pergi menginap disuatu tempat. Alan tidak akan mengizinkannya pergi dari rumah, tetapi Amira tidak mau lagi serumah dengan pria itu. Amira sibuk dengan pikirannya sendiri sampai tidak sadar bahwa Alan kini berada di depannya. Alan menghadang tubuh Amira dan berdiri begitu saja di depannya. Amira menabrak Alan bahkan hampir terjatuh. Untung saja Alan siap tanggap dan meraih tubuh Amira. "Mas Alan?" Amira melepaskan diri dari rangkulan sang suami. "Mas ngapain di sini?" tanyanya kebingungan. Entah sejak kapan suaminya itu berada di daerah restoran. "Oh... Mas buntutin Amira, ya." Amira menuding kesal, dia tidak menyangka jika Alan sampai mengikuti Amira
Perselingkuhan dan proses perceraian membuat kepribadian Amira berubah total. Amira menjadi lebih pendiam, bahkan di kantor dia memilih menyendiri dan menetap di bilik meja kerjanya. Luna berusaha membujuk sahabatnya itu, tetapi Amira hanya menggelengkan kepala saat Luna mengajaknya bicara atau pergi ke kantin saat jam istirahat. Hanya Luna yang tahu masalah yang dihadapi oleh Amira, meskipun rekan-rekan kerja yang lain penasaran dengan keadaan Amira, Luna tidak memberitahu mereka sedikitpun. Kali ini Luna berusaha lagi membujuk Amira untuk pergi ke kantin. Sudah kedelapan kalinya Amira menolak ajakan Luna. Meskipun lelah, Luna tidak menyerah dan terus menarik lengan Amira untuk pergi bersamanya. "Tidak, Lun. Aku bawa bekal," kata Amira dengan nada sendunya. Luna menggeleng keras, dia tidak ingin sahabatnya itu berlarut-larut dalam kesedihan. Karena itulah dia ingin membuat Amira bersemangat lagi. "Kalau begitu aku tidak mau makan jika kamu tidak ikut ke kantin," rengek Luna dan
“Berani-beraninya kamu muncul di hadapanku,” teriak Luna bersiap-siap melayangkan tasnya ke tubuh Alan. Secepat kilat Amira berlari menghampiri Luna dan memeluk sahabatnya itu dari belakang. Alan pun mundur beberapa langkah untuk menghindari Luna. Banyak pasang mata yang kini menyaksikan pertengkaran Luna dan Alan. Mereka terlihat seperti anak kecil yang sedang berebut mainan, lalu bertengkar saat ini. Tak lupa, Amira juga membekap mulut Luna agar wanita itu tidak lepas membocorkan tentang perceraian Amira dan Alan. Kalau sudah emosi dan marah seperti sekarang ini, apapun yang ada di otak Luna akan keluar begitu saja dan bisa saja sahabatnya itu kelepasan membocorkan kepada semua orang. “Luna malu dilihat banyak orang,” kata Amira berusaha menenangkan sahabatnya itu. “Ti... emm pemm am....” Luna berkata tidak jelas karena Amira membekap mulutnya. Luna menepuk punggung tangan Amira dan meminta untuk dilepaskan, tentu saja Amira tidak akan melepaskannya. "Tidak akan sebelum kamu
"Aku ingin bertemu Mas Alan, apakah dia sibuk?"Ibu hamil yang kini sudah memasuki trimester ketiga itu sedikit terengah-engah setelah menyusuri jalanan rumah sakit dan kini berdiri tepat di depan ruangan dokter. Kayla dengan tentengan tas besar yang di dalamnya sudah ia siapkan bekal untuk suaminya. Dia berhadapan dengan tiga orang perawat yang berjaga di lantai tiga, di mana ruangan Alan juga ada di lantai ini. Kayla tidak ingin langsung masuk ke ruangan suaminya, karena terakhir kali dia ke sini tanpa izin terlebih dahulu, dia mendapat amukan dari Alan. "Oh maaf, Dokter Alan sedang keliling," ucap salah satu perawat. Kayla pun mengangguk, dia memahami apa yang sedang dilakukan suaminya. Tugas penting memang harus didahulukan. "Oke baiklah, aku akan tunggu di depan ruangannya."Setelah itu, Kayla duduk di ruang tunggu. Dia tersenyum kecil karena setelah ini dialah satu-satunya nyonya dari Alando Bagaskara. Hanya menunggu beberapa hari lagi Alan dan Amira akan bercerai, mereka aka
Bisakah kita bertemu?Satu hari itu Amira gunakan untuk beristirahat di rumah Luna. Luna tidak mengizinkannya untuk kembali ke rumah bibinya, melihat kondisi Amira saat ini membuat Luna khawatir. Sedangkan Luna pergi bekerja, Luna yang meminta izin cuti kepada manager mereka. Sampai-sampai manager mereka mempertanyakan keberadaan Amira dan juga merasa khawatir. Siang ini dia mendapatkan pesan dari Sandi. Asisten dokter itu ingin menemuinya dilokasi yang tak jauh dari rumah sakit. Amira ragu-ragu, tetapi akhirnya dia menyetujui untuk bertemu dengan pria itu. Amira juga memahami bahwa Sandi tidak bisa pergi jauh-jauh dari rumah sakit. Amira menunggu Sandi disebuah kafe estetik yang nuansanya sangat modern. Duduk di sini sembari menyesap jus alpukat kesukaannya begitu menenangkan. Bau margarin dari roti bakar yang baru saja dipesan, membuat perut Amira bergejolak. Amira bisa menahannya dan memakannya. Entah apa yang ingin disampaikan oleh Sandi. Dia sangat penasaran karena itu Amira d
Pagi-pagi sekali, Amira telah bersiap dengan pakaian rapinya untuk memperbaiki semua masalah yang terjadi kemarinnya. Amira telah menyiapkan mental dan hatinya karena dirinya tahu setelah ini dia akan mendapatkan sakit yang luar biasa. Walau wajahnya masih terlihat pucat, dan tubuhnya kian hari kian lemah. Amira akan tetap melanjutkan rencanya hari ini. Dia akan pergi ke rumah Alan, dia harus menjelaskan bahkan meminta maaf jika pria itu menginginkannya. Sebesar itu rasa cintanya, meskipun dirinya tidak bersalah dia akan meminta maaf, meskipun dia tahu Alan yang berselingkuh darinya Amira akan tetap merendahkan dirinya. Tepat di depan rumah yang dulu pernah ia tempati, Amira meraup banyak-banyak udara. Dadanya terasa sesak, tetapi tidak apa-apa dia adalah wanita yang kuat. Amira mengetuk pintu, dia menunggu dengan degup jantung yang bertalu-talu. "Assalamualaikum," ucap Amira saat pintu dibuka lebar-lebar. Salamnya tidak dijawab, kedatangannya tidak disambut dengan baik. Wajah-waj
"Luna?" Suara Bram menggantung di udara, Amira pun juga menoleh mencari seseorang yang Bram sebutkan baru saja. Wajah Amira ikut cemas, dia takut bahwa Luna menyaksikan semua kejadian dan pertengkaran barusan. Luna akan sangat kecewa padanya, Amira tidak ingin hal itu terjadi. "Luna? Ka-kamu...." "Aku melihat semuanya dan aku mendengar semuanya," kata Luna memotong perkataan Amira. Amira semakin menegang, dia bangkit walau kesusahan untuk berdiri. Amira menghampiri sahabatnya yang kini sudah berkaca-kaca. "Apa yang aku dengar barusan itu bohong, kan?" Luna mencari jawaban, dia sudah kecewa karena telah berpisah dengan pria yang masih dia kasihi hingga sekarang. Dan sekarang dia tidak ingin mendengar pengakuan yang semakin membuatnya patah hati. "Lun, apa yang kamu dengar tolong lupakan!" Amira menggenggam kedua tangan Luna dan berusaha menenangkannya. "Tidak." Kini Amira dan Luna menatap Bram secara bersamaan. "Bram, jangan!" "Lun, sebenarnya aku mencintai Amira jauh dari sebe
"Sejak aku melihatmu, aku sudah jatuh hati padamu." Suara Bram menggema di sudut-sudut bangunan yang masih separuh jadi itu. Tangan Amira yang hendak mengambil beberapa material terhenti seketika saat mendengar pengakuan Bram yang kesekian kalinya. Amira masih saja syok saat Bram mengungkapkan perasaan padanya. Padahal suasana sebelumnya tidak secanggung ini, tetapi Bram membuat Amira tidak enak hati terhadap pria itu. BrukBrukTerdengar suara langkah kaki seseorang yang sedang berlari, Bram menengok ke belakang dan benar saja ada seorang pekerja berlari ke arahnya. Seharusnya pekerja tersebut melihat Bram yang sedang berdiri di depannya, tetapi pekerja tersebut malah mendekat dan seperti sengaja menabrak tubuh Bram.Gerakan tubuhnya yang secara impulsif seketika menabrak tubuh Amira. Keduanya pun terkejut, Bram menubruk Amira yang saat itu memegang material besi-besi kecil. Besi-besi itu pun tanpa sengaja berjatuhan mengenai punggung Bram yang berusaha melindungi Amira. Nas sekali
"Aku ingin kamu bekerja dengan becus."Kayla melirik kesekitar karena takut ada yang melihatnya sedang berbicara dengan seorang pria asing. Suara bising dari decitan besi dan alat-alat berat tak menyurutkan semangat Kayla untuk melancarkan rencananya. "Jangan sampai gagal," perintah Kayla lagi dengan kedua matanya yang memelotot tajam. "Baik, Bu. Serahkan saja pada saya," jawab pria yang memakai topi berwarna kuning. Kayla tersenyum dengan puas saat pria itu pergi dari hadapannya. Senyuman licik di bibirnya karena dendamnya terhadap Amira. Rencananya harus berhasil, dengan begitu dia bisa mendapatkan cinta dan perhatian dari Alan. Kayla mengintip dari balik tembok dan melihat pria suruhannya itu melaksanakan tugas seperti yang diperintahkan olehnya. Bukan hanya senyuman yang terbit di bibir Kayla, kini tawa kecil akan kemenangan seolah tak mau pergi dari mulut kecilnya. Kayla pergi dari bagunan proyek setengah jadi yang digarap oleh perusahaan Amira dan yang menjadi tanggungjawab
"Apa kamu sadar saat mengatakan itu?"Alan berkacak pinggang seolah-olah syok mendengar pengakuan dari Kayla. Kayla memaku di tempatnya, dia menunggu jawaban dari Alan atas pengakuannya tersebut. Dia berharap ada harapan besar dari suaminya ini, berharap pula bahwa suaminya juga memiliki perasaan yang sama terhadapnya. "Aku sangat sadar saat mengatakan itu, Mas." Kayla mendekati Alan kembali, tetapi pria itu malah menjauh darinya. "Bagaimana pun juga aku istrimu, Mas. Tidak ada yang salah dengan perasaanku ini," lanjutnya lagi berusaha meyakinkan Alan. "Tentu saja salah!!!"Brak!!!Brak!!!Alan menggebrak meja beberapa kali yang ada di depannya, sejenak Kayla menutup kedua matanya dan merasakan sakit yang berdenyut di dasar hatinya. Ya, bodoh sekali bahwa dirinya berharap bahwa Alan akan mencintainya seperti pria itu mencintai Amira. Pada kenyataannya dia tidak pernah mendapatkan bagian sedikit pun di hati Alan. Bukan Kayla namanya jika dia menyerah hanya sampai di sini saja, dia
"Apa salahnya mesra-mesraan dengan suami sahku?" Amira menatap Kayla penuh kemenangan. Tawa Amira sedikit mengejek saat melihat wajah Kayla yang pias. Kayla pun balik menertawakan Amira, wanita itu pun tidak mau mengalah dan semakin menunjukkan taringnya. Amira menaikkan sebelah alisnya, lalu kakinya mundur beberapa langkah saat perut buncit Kayla hampir menyentuh bagian perutnya. "Masih bilang kalau Mas Alan adalah suamimu? Bukannya kamu sendiri yang meminta cerai darinya?" Kayla berkacak pinggang, Amira melihatnya saja terasa begah dengan perut buncit Kayla yang sepertinya membuat Kayla kesulitan bernapas. "Masih punya muka ternyata kamu ya, padahal kamu sendiri yang membuang Mas Alan." Kayla membuat emosi Amira terpancing. Namun, Amira tidak ingin membuang-buang tenaga hanya untuk meladeni Kayla. Mood paginya harus baik untuk bekerja, sebisa mungkin Amira mengatur napas dan mengembalikan perasaannya seperti semula. "Bagaimana kalau aku dan Mas Alan tidak jadi bercerai?" Sejujur
"Apa benar kamu baik-baik saja?" Alan membuntuti ke manapun Amira pergi. Amira menghela napas panjang, dia menghentikan langkahnya saat sudah berada di ruang tamu. Alan pun turut berhenti tepat di belakang sang istri. Amira membalikkan badannya, lalu menatap serius wajah Alan yang terlihat sangat khawatir padanya. "Aku baik-baik saja, Mas. Lihat aku sudah lebih kuat dari pada kemarin. Jangan melihatku seperti anak kecil, okay." Amira menyelempangkan tasnya. Jika berlama-lama di atas tempat tidur rasanya akan lebih sakit. Amira lebih suka bergerak dan bebas melakukan apapun dari pada bermalas-malasan di rumah. Apalagi saat ini dia ada di rumah yang tidak ingin ia tempati. Alan tidak membiarkan Amira begitu saja untuk pergi bekerja. Dia mengambil kunci mobil dan menyusul Amira yang sudah ada di halaman rumah. Alan menarik lengan Amira sampai wanita itu memekik karena bertubrukan dengan dada bidang Alan. "Ahh ada apa lagi, Mas?" Amira semakin jengkel dengan sikap antusias Alan. "Ak