Kini mereka bertiga duduk di sofa ruang tamu. Alan yang menuntun sang ibu untuk duduk di sebelahnya, sedangkan Amira duduk pada sofa lain yang berseberangan dengan sofa yang kini diduduki Alan dan ibunya. Sejujurnya Amira masih syok dengan kehadiran ibu mertuanya. Amira hanya menelepon dua hari yang lalu dan mengabarkan tentang perceraian ini. Sejak saat itu Amira belum siap untuk bertemu dan meminta maaf secara langsung kepada keluarga Alan. Namun, kedatangan ibu Alan membuat Amira lebih sakit hati."Amira, kamu sudah dewasa. Mengapa masih berpikiran seperti anak-anak?" tanya Ratna ketus sekali, Amira termenung lebih tepatnya ingin mendengar lebih jauh ungkapan dari ibu Alan. "Kayla saja tahu bahwa Alan menikahi kamu, dia tidak marah, dia tidak menggugat apapun. Mengapa kamu tidak bisa menerima seperti Kayla?"Deg...Dibandingkan seperti itu membuat batin Amira bergejolak kembali. Amira tidak suka dibedakan dengan orang lain, apalagi dibandingkan dengan wanita yang telah merebut Al
Pintu kamar dibuka, saat terdengar suara langkah kaki, Amira semakin memejamkan kedua matanya. Alan memeluknya dari belakang, tetapi Amira segera menepis tangan suaminya itu. Amira bangkit, dia menatap sinis wajah Alan yang tampak memelas. Alan meraih tangan Amira, dia merasa bersalah atas perkataan sang ibu yang menyakiti perasaan Amira. Amira memang pantas marah besar tehadap Alan, selain perbuatan Alan yang tidak bisa dimaafkan, sekarang ditambah dengan ibu Alan yang tidak bisa memahami perasaan Amira.Alan pun juga terkejut dengan sikap sang ibu yang menyalahkan Amira atas retaknya rumah tangga mereka ini. Alan sadar dan mengakui kesalahannya, tetapi tidak dengan sang ibu yang justru membelanya di depan Amira. "Maaf." Satu kata itu yang berhasil keluar dari mulut Alan. Amira memutar bola matanya malas, maaf dan maaf yang selalu Aln ucapkan. Kata maaf tidak akan mengubah keadaan, justru membuat Amira semakin lelah dengan masalah yang mereka hadapi ini. "Maaf, maaf dan maaf teru
"Perjanjian apa maksud kamu?" Alan ikut bangkit setelah mendengar kata perjanjian yang diucapkan sang istri. Amira berjalan menuju koper yang teronggoh dengan tenang di samping lemari. Kontan Alan membulatkan mata karena Amira menyeret kopernya yang berat. Amira belum membongkar ataupun mengeluarkan semua isi yang ada di dalam koper, dia berpikir jika sewaktu-waktu harus pergi dari rumah ini tidak perlu repot-repot mengemas barangnya lagi. "Tidak. Jika kamu berpikir untuk pergi dari rumah ini, Mas tidak akan pernah mengabulkannya," kata Alan seraya menggelengkan kepalanya. "Oke." Amira memutar bola matanya jengah.Amira mengambil bantal dan selimut cadangan yang ada di dalam lemari. Alan mengerutkan dahinya tidak paham dengan apa yang akan dilakukan oleh sang istri. Amira berpikir dan memutuskannya sendiri tanpa berunding dengan Alan. "Perjanjiannya adalah kita pisah ranjang dan pisah kamar," ujar Amira mengungkapkan keinginannya. "APA?" Tanpa menunggu jawaban dari Alan, Amira
Amira dan Luna masih belum bertegur sapa. Padahal mereka berdua duduk bersebelahan. Amira berpikir bahwa dia yang harus meminta maaf terlebih dahulu. Masa bodo dengan harga diri, meminta maaf lebih dulu bukan masalah besar. Amira sudah menyusun banyak kata di dalam otaknya, dia hanya perlu mengeluarkan kata-kata itu dari mulutnya, tetapi rasa gugup entah mengapa tiba-tiba datang dan degup jantungnya berdetak kencang. Hanya bicara dengan Luna saja gugup seperti ini, apalagi berbicara dengan bos besar. Amira melirik meja sebelah, Luna tampak tenang dan biasa saja dalam mengerjakan pekerjaannya. Amira mendesah panjang, rasanya hanya dirinya yang gusar atau Luna memang tidak ingin berbaikan dengannya. Kalau begitu Amira yang akan memulai dari pada mereka berdua tetap diam dan dingin sikap seperti sekarang. "Lun.""Mir."Mereka berdua tertegun dan saling pandang. Amira balik badan karena gugup, begitu pula dengan Luna. Mereka berdua selalu seperti ini, jika bertengkar dan mau berbaikan
“Mm-masuklah,” ucap Bram terbata-bata. Amira dan Luna mengikuti pria di depannya yang masuk ke dalam villa berlantai dua ini. Bram belum berani menyapa Luna, mungkin gugup atau takut untuk menyapa lebih dahulu. Luna pun diam saja, enggan membuka suara atau sekedar tersenyum ke arah Bram.Mereka bertiga duduk berseberangan. Bram menatap Luna sejak tadi, sedangkan yang ditatap hanya menunduk. Amira bisa melihat interaksi canggung diantara Bram dan Luna, dia memutar otak untuk mencairkan suasana. “Kamu menyambut tamu dengan kosongan seperti ini,” ujar Amira memutus tatapan Bram pada sang sahabat. “Oh iya maaf.” Bram bangkit, pria itu masih mengenakan jas dan setelan kantornya. Entah urusan apa yang mengharuskan Amira datang ke villanya yang luas ini, tetapi tidak apa di sini lebih nyaman dan tidak ada orang yang bisa mendengar percakapan mereka. Bram kembali dengan nampan yang di atasnya tersuguhkan satu teko bening yang Amira yakini berisi teh. Ada tiga cangkir dan sepiring biskui
Hari sudah gelap, Amira kembali ke rumah sedikit larut. Dia pulang sehabis adzan isya’ tanpa memberi kabar apapun kepada Alan. Amira sengaja mematikan ponselnya agar Alan tidak bisa menghubunginya. Benar saja saat Amira turun dari taxi, Alan tengah berdiri di depan gerbang karena menunggunya kembali ke rumah. Raut wajah Alan menegang, pasti pria itu marah dan sangat khawatir dengan keberadaan Amira yang tidak diketahui sebelumnya. “Assalamu’alaikum,” salam Amira lirih, dia sangat lelah setelah melalui hari yang begitu panjang. Amira menyalami tangan kanan Alan. Bagaimanapun juga, Alan masih berstatus sebagai suaminya. Setelah itu Amira masuk begitu saja ke dalam rumah. Alan menarik tangan Amira, Amira pun menghentikan langkahnya lalu menghadap Alan. Suaminya itu tampak memendam emosi, dahinya berkerut dan alisnya hampir bertaut. Amira sudah menyiapkan diri sebelum kembali ke rumah, dia siap menerima teguran ataupun amarah dari suaminya itu. “Dari mana kamu?” tanya Alan tanpa sada
Amira tidak bisa tidur, dia sangat penasaran dengan tamunya yang datang. Namun, dari kamarnya ini tidak terdengar suara Alan, seharusnya Alan menyambut tamu itu atau menyuruhnya masuk ke dalam rumah. Amira keluar dari kamar untuk melihat situasi sekaligus akan menyambut tamu itu sebagai penghormatan. Amira berjalan dengan hati-hati, dia memegang kepalanya dan menekannya sedikit agar rasa pusingnya mereda. “Siapa yang datang, Mas?” tanya Amira setelah keluar dari kamarnya. Alan menoleh ke belakang dengan rasa terkejutnya, sedangkan Amira melongok ke luar pintu untuk melihat tamunya yang datang dipagi hari ini. Amira pun juga terkejut dengan tamu yang tiba-tiba mengunjungi rumah mereka.“Beri mama jalan,” ucap Ratna sekaligus mendorong tubuh Alan dan Amira. Amira dan Alan saling bergeser. Hari masih pagi sekali, tetapi ibu Alan sudah berdiri di depan rumah mereka dan entah apa maunya. Amira mengerutkan dahi, ternyata tidak hanya ibu Alan saja yang datang, kakak perempuan Alan juga d
Marah pun rasanya hanya membuang-buang tenaga, apa yang Amira lakukan pasti akan berujung sia-sia. Percuma saja jika Amira berusaha tampak baik di depan Alan, ibu mertua dan kakaknya, harga diri Amira tetap saja diinjak-injak. Padahal sebelumnya Amira berpikir mengalah adalah keputusan yang tepat, nyatanya dia semakin dibuat sakit hati. Jika dirinya hany dimaki sebagai istri yang tidak becus, kemungkinan Amira bisa menahannya. Namun, lagi- dan lagi ibu mertuanya membandingkan Amira dengan Kayla. Amira belum pernah bertatap muka langsung dengan wanita itu apalagi berbicara satu sama lain, dia juga tidak tahu sebaik apakah wanita itu sampai-sampai ibu mertuanya sangat mengidamkan Kayla. Namun, bukan berarti dirinya harus dibandingkan bahkan diolok-olok lebih buruk. Istri manapun tidak akan rela jika harga dirinya dicaci maki bahkan dibandingkan dnegan wanita lain. Amira tidak sehebat dan sekuat itu, dia juga punya hati nurani yang bisa terluka kapan saja. Masa bodo dengan Kayla, jika
"Aku ingin bertemu Mas Alan, apakah dia sibuk?"Ibu hamil yang kini sudah memasuki trimester ketiga itu sedikit terengah-engah setelah menyusuri jalanan rumah sakit dan kini berdiri tepat di depan ruangan dokter. Kayla dengan tentengan tas besar yang di dalamnya sudah ia siapkan bekal untuk suaminya. Dia berhadapan dengan tiga orang perawat yang berjaga di lantai tiga, di mana ruangan Alan juga ada di lantai ini. Kayla tidak ingin langsung masuk ke ruangan suaminya, karena terakhir kali dia ke sini tanpa izin terlebih dahulu, dia mendapat amukan dari Alan. "Oh maaf, Dokter Alan sedang keliling," ucap salah satu perawat. Kayla pun mengangguk, dia memahami apa yang sedang dilakukan suaminya. Tugas penting memang harus didahulukan. "Oke baiklah, aku akan tunggu di depan ruangannya."Setelah itu, Kayla duduk di ruang tunggu. Dia tersenyum kecil karena setelah ini dialah satu-satunya nyonya dari Alando Bagaskara. Hanya menunggu beberapa hari lagi Alan dan Amira akan bercerai, mereka aka
Bisakah kita bertemu?Satu hari itu Amira gunakan untuk beristirahat di rumah Luna. Luna tidak mengizinkannya untuk kembali ke rumah bibinya, melihat kondisi Amira saat ini membuat Luna khawatir. Sedangkan Luna pergi bekerja, Luna yang meminta izin cuti kepada manager mereka. Sampai-sampai manager mereka mempertanyakan keberadaan Amira dan juga merasa khawatir. Siang ini dia mendapatkan pesan dari Sandi. Asisten dokter itu ingin menemuinya dilokasi yang tak jauh dari rumah sakit. Amira ragu-ragu, tetapi akhirnya dia menyetujui untuk bertemu dengan pria itu. Amira juga memahami bahwa Sandi tidak bisa pergi jauh-jauh dari rumah sakit. Amira menunggu Sandi disebuah kafe estetik yang nuansanya sangat modern. Duduk di sini sembari menyesap jus alpukat kesukaannya begitu menenangkan. Bau margarin dari roti bakar yang baru saja dipesan, membuat perut Amira bergejolak. Amira bisa menahannya dan memakannya. Entah apa yang ingin disampaikan oleh Sandi. Dia sangat penasaran karena itu Amira d
Pagi-pagi sekali, Amira telah bersiap dengan pakaian rapinya untuk memperbaiki semua masalah yang terjadi kemarinnya. Amira telah menyiapkan mental dan hatinya karena dirinya tahu setelah ini dia akan mendapatkan sakit yang luar biasa. Walau wajahnya masih terlihat pucat, dan tubuhnya kian hari kian lemah. Amira akan tetap melanjutkan rencanya hari ini. Dia akan pergi ke rumah Alan, dia harus menjelaskan bahkan meminta maaf jika pria itu menginginkannya. Sebesar itu rasa cintanya, meskipun dirinya tidak bersalah dia akan meminta maaf, meskipun dia tahu Alan yang berselingkuh darinya Amira akan tetap merendahkan dirinya. Tepat di depan rumah yang dulu pernah ia tempati, Amira meraup banyak-banyak udara. Dadanya terasa sesak, tetapi tidak apa-apa dia adalah wanita yang kuat. Amira mengetuk pintu, dia menunggu dengan degup jantung yang bertalu-talu. "Assalamualaikum," ucap Amira saat pintu dibuka lebar-lebar. Salamnya tidak dijawab, kedatangannya tidak disambut dengan baik. Wajah-waj
"Luna?" Suara Bram menggantung di udara, Amira pun juga menoleh mencari seseorang yang Bram sebutkan baru saja. Wajah Amira ikut cemas, dia takut bahwa Luna menyaksikan semua kejadian dan pertengkaran barusan. Luna akan sangat kecewa padanya, Amira tidak ingin hal itu terjadi. "Luna? Ka-kamu...." "Aku melihat semuanya dan aku mendengar semuanya," kata Luna memotong perkataan Amira. Amira semakin menegang, dia bangkit walau kesusahan untuk berdiri. Amira menghampiri sahabatnya yang kini sudah berkaca-kaca. "Apa yang aku dengar barusan itu bohong, kan?" Luna mencari jawaban, dia sudah kecewa karena telah berpisah dengan pria yang masih dia kasihi hingga sekarang. Dan sekarang dia tidak ingin mendengar pengakuan yang semakin membuatnya patah hati. "Lun, apa yang kamu dengar tolong lupakan!" Amira menggenggam kedua tangan Luna dan berusaha menenangkannya. "Tidak." Kini Amira dan Luna menatap Bram secara bersamaan. "Bram, jangan!" "Lun, sebenarnya aku mencintai Amira jauh dari sebe
"Sejak aku melihatmu, aku sudah jatuh hati padamu." Suara Bram menggema di sudut-sudut bangunan yang masih separuh jadi itu. Tangan Amira yang hendak mengambil beberapa material terhenti seketika saat mendengar pengakuan Bram yang kesekian kalinya. Amira masih saja syok saat Bram mengungkapkan perasaan padanya. Padahal suasana sebelumnya tidak secanggung ini, tetapi Bram membuat Amira tidak enak hati terhadap pria itu. BrukBrukTerdengar suara langkah kaki seseorang yang sedang berlari, Bram menengok ke belakang dan benar saja ada seorang pekerja berlari ke arahnya. Seharusnya pekerja tersebut melihat Bram yang sedang berdiri di depannya, tetapi pekerja tersebut malah mendekat dan seperti sengaja menabrak tubuh Bram.Gerakan tubuhnya yang secara impulsif seketika menabrak tubuh Amira. Keduanya pun terkejut, Bram menubruk Amira yang saat itu memegang material besi-besi kecil. Besi-besi itu pun tanpa sengaja berjatuhan mengenai punggung Bram yang berusaha melindungi Amira. Nas sekali
"Aku ingin kamu bekerja dengan becus."Kayla melirik kesekitar karena takut ada yang melihatnya sedang berbicara dengan seorang pria asing. Suara bising dari decitan besi dan alat-alat berat tak menyurutkan semangat Kayla untuk melancarkan rencananya. "Jangan sampai gagal," perintah Kayla lagi dengan kedua matanya yang memelotot tajam. "Baik, Bu. Serahkan saja pada saya," jawab pria yang memakai topi berwarna kuning. Kayla tersenyum dengan puas saat pria itu pergi dari hadapannya. Senyuman licik di bibirnya karena dendamnya terhadap Amira. Rencananya harus berhasil, dengan begitu dia bisa mendapatkan cinta dan perhatian dari Alan. Kayla mengintip dari balik tembok dan melihat pria suruhannya itu melaksanakan tugas seperti yang diperintahkan olehnya. Bukan hanya senyuman yang terbit di bibir Kayla, kini tawa kecil akan kemenangan seolah tak mau pergi dari mulut kecilnya. Kayla pergi dari bagunan proyek setengah jadi yang digarap oleh perusahaan Amira dan yang menjadi tanggungjawab
"Apa kamu sadar saat mengatakan itu?"Alan berkacak pinggang seolah-olah syok mendengar pengakuan dari Kayla. Kayla memaku di tempatnya, dia menunggu jawaban dari Alan atas pengakuannya tersebut. Dia berharap ada harapan besar dari suaminya ini, berharap pula bahwa suaminya juga memiliki perasaan yang sama terhadapnya. "Aku sangat sadar saat mengatakan itu, Mas." Kayla mendekati Alan kembali, tetapi pria itu malah menjauh darinya. "Bagaimana pun juga aku istrimu, Mas. Tidak ada yang salah dengan perasaanku ini," lanjutnya lagi berusaha meyakinkan Alan. "Tentu saja salah!!!"Brak!!!Brak!!!Alan menggebrak meja beberapa kali yang ada di depannya, sejenak Kayla menutup kedua matanya dan merasakan sakit yang berdenyut di dasar hatinya. Ya, bodoh sekali bahwa dirinya berharap bahwa Alan akan mencintainya seperti pria itu mencintai Amira. Pada kenyataannya dia tidak pernah mendapatkan bagian sedikit pun di hati Alan. Bukan Kayla namanya jika dia menyerah hanya sampai di sini saja, dia
"Apa salahnya mesra-mesraan dengan suami sahku?" Amira menatap Kayla penuh kemenangan. Tawa Amira sedikit mengejek saat melihat wajah Kayla yang pias. Kayla pun balik menertawakan Amira, wanita itu pun tidak mau mengalah dan semakin menunjukkan taringnya. Amira menaikkan sebelah alisnya, lalu kakinya mundur beberapa langkah saat perut buncit Kayla hampir menyentuh bagian perutnya. "Masih bilang kalau Mas Alan adalah suamimu? Bukannya kamu sendiri yang meminta cerai darinya?" Kayla berkacak pinggang, Amira melihatnya saja terasa begah dengan perut buncit Kayla yang sepertinya membuat Kayla kesulitan bernapas. "Masih punya muka ternyata kamu ya, padahal kamu sendiri yang membuang Mas Alan." Kayla membuat emosi Amira terpancing. Namun, Amira tidak ingin membuang-buang tenaga hanya untuk meladeni Kayla. Mood paginya harus baik untuk bekerja, sebisa mungkin Amira mengatur napas dan mengembalikan perasaannya seperti semula. "Bagaimana kalau aku dan Mas Alan tidak jadi bercerai?" Sejujur
"Apa benar kamu baik-baik saja?" Alan membuntuti ke manapun Amira pergi. Amira menghela napas panjang, dia menghentikan langkahnya saat sudah berada di ruang tamu. Alan pun turut berhenti tepat di belakang sang istri. Amira membalikkan badannya, lalu menatap serius wajah Alan yang terlihat sangat khawatir padanya. "Aku baik-baik saja, Mas. Lihat aku sudah lebih kuat dari pada kemarin. Jangan melihatku seperti anak kecil, okay." Amira menyelempangkan tasnya. Jika berlama-lama di atas tempat tidur rasanya akan lebih sakit. Amira lebih suka bergerak dan bebas melakukan apapun dari pada bermalas-malasan di rumah. Apalagi saat ini dia ada di rumah yang tidak ingin ia tempati. Alan tidak membiarkan Amira begitu saja untuk pergi bekerja. Dia mengambil kunci mobil dan menyusul Amira yang sudah ada di halaman rumah. Alan menarik lengan Amira sampai wanita itu memekik karena bertubrukan dengan dada bidang Alan. "Ahh ada apa lagi, Mas?" Amira semakin jengkel dengan sikap antusias Alan. "Ak