Amira tidak bisa tidur, dia sangat penasaran dengan tamunya yang datang. Namun, dari kamarnya ini tidak terdengar suara Alan, seharusnya Alan menyambut tamu itu atau menyuruhnya masuk ke dalam rumah. Amira keluar dari kamar untuk melihat situasi sekaligus akan menyambut tamu itu sebagai penghormatan. Amira berjalan dengan hati-hati, dia memegang kepalanya dan menekannya sedikit agar rasa pusingnya mereda. “Siapa yang datang, Mas?” tanya Amira setelah keluar dari kamarnya. Alan menoleh ke belakang dengan rasa terkejutnya, sedangkan Amira melongok ke luar pintu untuk melihat tamunya yang datang dipagi hari ini. Amira pun juga terkejut dengan tamu yang tiba-tiba mengunjungi rumah mereka.“Beri mama jalan,” ucap Ratna sekaligus mendorong tubuh Alan dan Amira. Amira dan Alan saling bergeser. Hari masih pagi sekali, tetapi ibu Alan sudah berdiri di depan rumah mereka dan entah apa maunya. Amira mengerutkan dahi, ternyata tidak hanya ibu Alan saja yang datang, kakak perempuan Alan juga d
Marah pun rasanya hanya membuang-buang tenaga, apa yang Amira lakukan pasti akan berujung sia-sia. Percuma saja jika Amira berusaha tampak baik di depan Alan, ibu mertua dan kakaknya, harga diri Amira tetap saja diinjak-injak. Padahal sebelumnya Amira berpikir mengalah adalah keputusan yang tepat, nyatanya dia semakin dibuat sakit hati. Jika dirinya hany dimaki sebagai istri yang tidak becus, kemungkinan Amira bisa menahannya. Namun, lagi- dan lagi ibu mertuanya membandingkan Amira dengan Kayla. Amira belum pernah bertatap muka langsung dengan wanita itu apalagi berbicara satu sama lain, dia juga tidak tahu sebaik apakah wanita itu sampai-sampai ibu mertuanya sangat mengidamkan Kayla. Namun, bukan berarti dirinya harus dibandingkan bahkan diolok-olok lebih buruk. Istri manapun tidak akan rela jika harga dirinya dicaci maki bahkan dibandingkan dnegan wanita lain. Amira tidak sehebat dan sekuat itu, dia juga punya hati nurani yang bisa terluka kapan saja. Masa bodo dengan Kayla, jika
Pintu kamar mandi terbuka, Alan keluar sembari menggosok rambutnya yang basah. Dia terkejut karena ibunya tiba-tiba berdiri di depan pintu. Alan tersenyum karena ibunya berkacak pinggang seerti sedang marah padanya. "Ada apa si, Ma?" tanya Alan berusaha menggoda ibunya agar tidak marah. Alan juga menggelitiki pinggang sang ibu."Istri kamu itu... Oh bukan, sebentar lagi akan menjadi mantan istri."Alan membulatkan matanya lebar, dia terhenyak mendengar penuturan sang ibu. Alan mendesah panjang, dia mulai emosi padahal sejak tadi dia berusaha menahan amarah agar tidak meledak-ledak. Alan berusaha mentolerir perbuatan sang ibu terhadap Amira, dia masih berpikir bahwa wanita yang ia hadapi adalah ibunya sendiri.Namun, semakin Alan membiarkannya, sang ibu semakin membuat Alan takut. Alan takut karena keberadaan ibunya di rumah ini akan membut Amira semakin jauh, tak hanya itu ibunya juga menyakiti perasaan Amira dengan kata-katanya.Alan harus bertindak, dia tidak ingin Amira mengatakan
Sejak kedatangan ibu Alan ke rumahnya ini, hampir setiap hari Amira pulang larut malam. Amira masih sakit hati dengan ucapan yang dikatakan Ratna, dia juga lelah berpura-pura baik-baik saja disaat melihat wajah sang suami. Amira ingin bebas, meskipun hatinya belum sepenunya ikhlas, Amira akan tetap menceraikan Alan dan membiarkan pria itu bahagia bersama istri pertamanya. Amira hanya akan menjadi penonton dan melanjutkan hidupnya. Seperti yang dikatakan Ratna tempo hari, Amira memang tidak becus menjadi seorang istri. Amira akui bahwa dirinya banyak kekurangan berbanding terbalik dengan istri pertama Alan yang dinilai sebagai istri idaman. Asna pun juga meminta Amira untuk menceraikan Alan. Amira akan turuti kemauan mereka. Mereka takut bahwa Alan menjadi pria menyedihkan, tetapi mereka tidak bisa melihat kepedihan hati yang dirasakan Amira karena ulah Alan. Baik Ratna ataupun Asna, keduanya sama-sama egois. "Dari mana saja kamu?" sentak Alan tiba-tiba saat menyambut kedatangan A
Suasana canggung terjadi saat Amira dan Alan berada di satu meja makan untuk sarapan. Amira menundukkan kepalanya karena tidak berani memandang wajah sang suai. Dia terlalu malu sebab kejadian tadi malam yang mengharuskan Amira dan Alan berada di atas ranjang. Padahal mereka berdua adalah sepasang suami istri, dulu mereka sering melakukannya. Namun, setelah pertengkaran hebat yang membawa pernikahan mereka berdua berada di ujung tanduk, keduanya hampir tidak pernah bersentuhan.Karena itulah Amira sangat malu menunjukkan wajahnya. Begitu pula dengan Alan, pria itu kebingungan untuk mencari suatu pembahasan agar bisa memecahkan keheningan. Saat Amira diam, Alan pun ikut diam. Amira merutuki dirinya sendiri karena hasrat dalam dirinya tidak bisa ia tahan. Tangan Amira mencengkeram sendok sangat erat, untuk menyuapkan nasi ke dalam mulutnya pun dia kesusahan. Alan berpikir momen kebersamaan mereka tadi malam adalah pertanda yang baik. Itu tandanya hubungan keduanya boleh dibilang mula
Di perjalanan, degup jantung Amira berdetak tak karuan, dia sangat gugup bahkan rasanya memilih untuk datang ke acara makan malam ini adalah sebuah kesalahan. Berulang kali dia meremat kedua tangannya untuk meredakan gemetar pada tangan Amira. Namun, keringat dingin semakin menjadi-jadi.Sampai tikungan menuju rumah kedua orang tua Alan terlihat, Amira semakin resah. Dia tidak bisa mengendalikan perasaannya kali ini, rasa takut mulai menguasai diri Amira. Alan yang paham jika Amira sedang tidak baik-baik saja menggenggam tangan kanan sang istri. Mungkin dengan begitu rasa gugup yang dialami Amira bisa mereda. Tak lupa Alan memberikan senyuman lebar supaya menenangkan Amira. “Tenang, Sayang. Tidak akan terjadi hal buruk di sana,” kata Alan sangat lembut. Amira sedikit lega setelah mendengar perkataan Alan. Tepat di halaman rumah kedua orang tua Alan, Amira bisa melihat bahwa ibu dan ayah mertuanya sedang menunggu di depan rumah untuk menyambut kedatangan mereka berdua. Amira berusa
Amira turut bangkit dari duduknya. Dia... Sangat terkejut dengan kehadiran Kayla yang bergandengan tangan dengan Asna. Seolah-olah dua wanita itu sangat akrab dan terlihat serasi menjadi adik dan kakak. Napas Amira tercekat di kerongkongannya, pasokan udara mendadak sempit untuk masuk ke paru-paru. Amira meremat abaya yang dikenakannya saat ini. Hatinya terlalu sakit untuk melihat pemandangan yang sangat romantis antara Kayla dengan keluarga Alan. Semua orang menyambut Kayla sangat manis bahkan penuh kasih sayang. Berbeda dengan Amira, ibu Alan saja menatapnya sinis dan tidak mau menyambut tangan Amira saat hendak menyalaminya. Ahmad, ayah Alan memeluk erat tubuh Kayla. Amira masih punya hati, dia pun juga bisa iri saat ayah Alan sangat perhatian terhadap Kayla. Sedangkan Hasan malah terkejut saat melihat Amira ada di rumah ini. Amira pun merasa tidak dihargai kehadirannya, Asna seolah-olah mencemooh Amira dengan menunjukkan kedekatannya dengan Kayla. Amira memalingkan wajah, dia t
Gemericik air menjadi peredam suara tangis Amira. Tetes demi tetes Amira biarkan mengalir di pipinya. Setelah makan malam bersama, Ratna memerintahkan kepada Amira untuk membersihkan semua piring dan gelas yang kotor. Amira hanya bisa mengangguk dan menjalankan tugas dari ibu mertuanya itu. Amira tidak ingin Ratna mengolok-oloknya lagi di depan semua orang yang ada di rumah ini. Amira menyesali dirinya yang mau datang ke acara makan malam ini, yang dia dapat adalah tekanan batin dari keluarga Alan. Tidak hanya itu, kedatangan Kayla merusak citra baiknya di depan keluarga Alan. Amira selalu dimaki-maki, sedangkan wanita itu dipuji dan lebih disayang. Buktinya saat ini, Amira dijadikan seperti pembantu dan Kayla tidak diizinkan menginjak lantai dapur. "Apa salahku, Tuhan, sampai-sampai mereka sangat jahat padaku?" Amira sesegukan, air matanya terus membasahi pipi hingga hidung dan matanya memerah. Amira mengelap air matanya menggunakan hijab yang dikenakannya. Tak peduli jika hijbny
"Aku ingin bertemu Mas Alan, apakah dia sibuk?"Ibu hamil yang kini sudah memasuki trimester ketiga itu sedikit terengah-engah setelah menyusuri jalanan rumah sakit dan kini berdiri tepat di depan ruangan dokter. Kayla dengan tentengan tas besar yang di dalamnya sudah ia siapkan bekal untuk suaminya. Dia berhadapan dengan tiga orang perawat yang berjaga di lantai tiga, di mana ruangan Alan juga ada di lantai ini. Kayla tidak ingin langsung masuk ke ruangan suaminya, karena terakhir kali dia ke sini tanpa izin terlebih dahulu, dia mendapat amukan dari Alan. "Oh maaf, Dokter Alan sedang keliling," ucap salah satu perawat. Kayla pun mengangguk, dia memahami apa yang sedang dilakukan suaminya. Tugas penting memang harus didahulukan. "Oke baiklah, aku akan tunggu di depan ruangannya."Setelah itu, Kayla duduk di ruang tunggu. Dia tersenyum kecil karena setelah ini dialah satu-satunya nyonya dari Alando Bagaskara. Hanya menunggu beberapa hari lagi Alan dan Amira akan bercerai, mereka aka
Bisakah kita bertemu?Satu hari itu Amira gunakan untuk beristirahat di rumah Luna. Luna tidak mengizinkannya untuk kembali ke rumah bibinya, melihat kondisi Amira saat ini membuat Luna khawatir. Sedangkan Luna pergi bekerja, Luna yang meminta izin cuti kepada manager mereka. Sampai-sampai manager mereka mempertanyakan keberadaan Amira dan juga merasa khawatir. Siang ini dia mendapatkan pesan dari Sandi. Asisten dokter itu ingin menemuinya dilokasi yang tak jauh dari rumah sakit. Amira ragu-ragu, tetapi akhirnya dia menyetujui untuk bertemu dengan pria itu. Amira juga memahami bahwa Sandi tidak bisa pergi jauh-jauh dari rumah sakit. Amira menunggu Sandi disebuah kafe estetik yang nuansanya sangat modern. Duduk di sini sembari menyesap jus alpukat kesukaannya begitu menenangkan. Bau margarin dari roti bakar yang baru saja dipesan, membuat perut Amira bergejolak. Amira bisa menahannya dan memakannya. Entah apa yang ingin disampaikan oleh Sandi. Dia sangat penasaran karena itu Amira d
Pagi-pagi sekali, Amira telah bersiap dengan pakaian rapinya untuk memperbaiki semua masalah yang terjadi kemarinnya. Amira telah menyiapkan mental dan hatinya karena dirinya tahu setelah ini dia akan mendapatkan sakit yang luar biasa. Walau wajahnya masih terlihat pucat, dan tubuhnya kian hari kian lemah. Amira akan tetap melanjutkan rencanya hari ini. Dia akan pergi ke rumah Alan, dia harus menjelaskan bahkan meminta maaf jika pria itu menginginkannya. Sebesar itu rasa cintanya, meskipun dirinya tidak bersalah dia akan meminta maaf, meskipun dia tahu Alan yang berselingkuh darinya Amira akan tetap merendahkan dirinya. Tepat di depan rumah yang dulu pernah ia tempati, Amira meraup banyak-banyak udara. Dadanya terasa sesak, tetapi tidak apa-apa dia adalah wanita yang kuat. Amira mengetuk pintu, dia menunggu dengan degup jantung yang bertalu-talu. "Assalamualaikum," ucap Amira saat pintu dibuka lebar-lebar. Salamnya tidak dijawab, kedatangannya tidak disambut dengan baik. Wajah-waj
"Luna?" Suara Bram menggantung di udara, Amira pun juga menoleh mencari seseorang yang Bram sebutkan baru saja. Wajah Amira ikut cemas, dia takut bahwa Luna menyaksikan semua kejadian dan pertengkaran barusan. Luna akan sangat kecewa padanya, Amira tidak ingin hal itu terjadi. "Luna? Ka-kamu...." "Aku melihat semuanya dan aku mendengar semuanya," kata Luna memotong perkataan Amira. Amira semakin menegang, dia bangkit walau kesusahan untuk berdiri. Amira menghampiri sahabatnya yang kini sudah berkaca-kaca. "Apa yang aku dengar barusan itu bohong, kan?" Luna mencari jawaban, dia sudah kecewa karena telah berpisah dengan pria yang masih dia kasihi hingga sekarang. Dan sekarang dia tidak ingin mendengar pengakuan yang semakin membuatnya patah hati. "Lun, apa yang kamu dengar tolong lupakan!" Amira menggenggam kedua tangan Luna dan berusaha menenangkannya. "Tidak." Kini Amira dan Luna menatap Bram secara bersamaan. "Bram, jangan!" "Lun, sebenarnya aku mencintai Amira jauh dari sebe
"Sejak aku melihatmu, aku sudah jatuh hati padamu." Suara Bram menggema di sudut-sudut bangunan yang masih separuh jadi itu. Tangan Amira yang hendak mengambil beberapa material terhenti seketika saat mendengar pengakuan Bram yang kesekian kalinya. Amira masih saja syok saat Bram mengungkapkan perasaan padanya. Padahal suasana sebelumnya tidak secanggung ini, tetapi Bram membuat Amira tidak enak hati terhadap pria itu. BrukBrukTerdengar suara langkah kaki seseorang yang sedang berlari, Bram menengok ke belakang dan benar saja ada seorang pekerja berlari ke arahnya. Seharusnya pekerja tersebut melihat Bram yang sedang berdiri di depannya, tetapi pekerja tersebut malah mendekat dan seperti sengaja menabrak tubuh Bram.Gerakan tubuhnya yang secara impulsif seketika menabrak tubuh Amira. Keduanya pun terkejut, Bram menubruk Amira yang saat itu memegang material besi-besi kecil. Besi-besi itu pun tanpa sengaja berjatuhan mengenai punggung Bram yang berusaha melindungi Amira. Nas sekali
"Aku ingin kamu bekerja dengan becus."Kayla melirik kesekitar karena takut ada yang melihatnya sedang berbicara dengan seorang pria asing. Suara bising dari decitan besi dan alat-alat berat tak menyurutkan semangat Kayla untuk melancarkan rencananya. "Jangan sampai gagal," perintah Kayla lagi dengan kedua matanya yang memelotot tajam. "Baik, Bu. Serahkan saja pada saya," jawab pria yang memakai topi berwarna kuning. Kayla tersenyum dengan puas saat pria itu pergi dari hadapannya. Senyuman licik di bibirnya karena dendamnya terhadap Amira. Rencananya harus berhasil, dengan begitu dia bisa mendapatkan cinta dan perhatian dari Alan. Kayla mengintip dari balik tembok dan melihat pria suruhannya itu melaksanakan tugas seperti yang diperintahkan olehnya. Bukan hanya senyuman yang terbit di bibir Kayla, kini tawa kecil akan kemenangan seolah tak mau pergi dari mulut kecilnya. Kayla pergi dari bagunan proyek setengah jadi yang digarap oleh perusahaan Amira dan yang menjadi tanggungjawab
"Apa kamu sadar saat mengatakan itu?"Alan berkacak pinggang seolah-olah syok mendengar pengakuan dari Kayla. Kayla memaku di tempatnya, dia menunggu jawaban dari Alan atas pengakuannya tersebut. Dia berharap ada harapan besar dari suaminya ini, berharap pula bahwa suaminya juga memiliki perasaan yang sama terhadapnya. "Aku sangat sadar saat mengatakan itu, Mas." Kayla mendekati Alan kembali, tetapi pria itu malah menjauh darinya. "Bagaimana pun juga aku istrimu, Mas. Tidak ada yang salah dengan perasaanku ini," lanjutnya lagi berusaha meyakinkan Alan. "Tentu saja salah!!!"Brak!!!Brak!!!Alan menggebrak meja beberapa kali yang ada di depannya, sejenak Kayla menutup kedua matanya dan merasakan sakit yang berdenyut di dasar hatinya. Ya, bodoh sekali bahwa dirinya berharap bahwa Alan akan mencintainya seperti pria itu mencintai Amira. Pada kenyataannya dia tidak pernah mendapatkan bagian sedikit pun di hati Alan. Bukan Kayla namanya jika dia menyerah hanya sampai di sini saja, dia
"Apa salahnya mesra-mesraan dengan suami sahku?" Amira menatap Kayla penuh kemenangan. Tawa Amira sedikit mengejek saat melihat wajah Kayla yang pias. Kayla pun balik menertawakan Amira, wanita itu pun tidak mau mengalah dan semakin menunjukkan taringnya. Amira menaikkan sebelah alisnya, lalu kakinya mundur beberapa langkah saat perut buncit Kayla hampir menyentuh bagian perutnya. "Masih bilang kalau Mas Alan adalah suamimu? Bukannya kamu sendiri yang meminta cerai darinya?" Kayla berkacak pinggang, Amira melihatnya saja terasa begah dengan perut buncit Kayla yang sepertinya membuat Kayla kesulitan bernapas. "Masih punya muka ternyata kamu ya, padahal kamu sendiri yang membuang Mas Alan." Kayla membuat emosi Amira terpancing. Namun, Amira tidak ingin membuang-buang tenaga hanya untuk meladeni Kayla. Mood paginya harus baik untuk bekerja, sebisa mungkin Amira mengatur napas dan mengembalikan perasaannya seperti semula. "Bagaimana kalau aku dan Mas Alan tidak jadi bercerai?" Sejujur
"Apa benar kamu baik-baik saja?" Alan membuntuti ke manapun Amira pergi. Amira menghela napas panjang, dia menghentikan langkahnya saat sudah berada di ruang tamu. Alan pun turut berhenti tepat di belakang sang istri. Amira membalikkan badannya, lalu menatap serius wajah Alan yang terlihat sangat khawatir padanya. "Aku baik-baik saja, Mas. Lihat aku sudah lebih kuat dari pada kemarin. Jangan melihatku seperti anak kecil, okay." Amira menyelempangkan tasnya. Jika berlama-lama di atas tempat tidur rasanya akan lebih sakit. Amira lebih suka bergerak dan bebas melakukan apapun dari pada bermalas-malasan di rumah. Apalagi saat ini dia ada di rumah yang tidak ingin ia tempati. Alan tidak membiarkan Amira begitu saja untuk pergi bekerja. Dia mengambil kunci mobil dan menyusul Amira yang sudah ada di halaman rumah. Alan menarik lengan Amira sampai wanita itu memekik karena bertubrukan dengan dada bidang Alan. "Ahh ada apa lagi, Mas?" Amira semakin jengkel dengan sikap antusias Alan. "Ak