Gemericik air menjadi peredam suara tangis Amira. Tetes demi tetes Amira biarkan mengalir di pipinya. Setelah makan malam bersama, Ratna memerintahkan kepada Amira untuk membersihkan semua piring dan gelas yang kotor. Amira hanya bisa mengangguk dan menjalankan tugas dari ibu mertuanya itu. Amira tidak ingin Ratna mengolok-oloknya lagi di depan semua orang yang ada di rumah ini. Amira menyesali dirinya yang mau datang ke acara makan malam ini, yang dia dapat adalah tekanan batin dari keluarga Alan. Tidak hanya itu, kedatangan Kayla merusak citra baiknya di depan keluarga Alan. Amira selalu dimaki-maki, sedangkan wanita itu dipuji dan lebih disayang. Buktinya saat ini, Amira dijadikan seperti pembantu dan Kayla tidak diizinkan menginjak lantai dapur. "Apa salahku, Tuhan, sampai-sampai mereka sangat jahat padaku?" Amira sesegukan, air matanya terus membasahi pipi hingga hidung dan matanya memerah. Amira mengelap air matanya menggunakan hijab yang dikenakannya. Tak peduli jika hijbny
Prang...Suara gaduh dari arah dapur terdengar hingga ke ruang tengah. Alan dan kedua orang tuanya yang sedang berbincang-bincang, kontan berdiri dan buru-buru menuju dapur. Amira segera membersihkan pecahan-pecahan gelas itu agar tidak terinjak oleh yang lainnya. Tak lupa Amira mengambil kain lap untuk mengeringkan air minum yang tumpah. "Astaga, ada apa ini?" tanya Asna dengan kerutan di dahinya. Amira tidak menjawab, dia fokus mengeringkan lantai yang basah. alan berjongkok menghadap Amira. Pria itu meraih tangan Amira dan mengeceknya, takut ada luka di tangan Amira. "Alhamdulillah tidak ada luka," kata Alan mengucap syukur karena Amira baik-baik saja. "Ya ampun Kayla... Bagaimana bisa baju kamu basah kaya gini?" Ratna sangat terkejut karena wajah dan baju dari menantu kesayangan itu basah. Kayla hanya diam memasang wajah memelasnya. Amira mendongak dan melihat betapa menyedihkannya wajah wanita buruk hatinya itu. Jika tidak buruk, tidak mungkin memasang wajah tanpa dosanya d
‘Tok... Tok... Tok...’Suara pintu terdengar tidak terlalu keras. Tak lama muncul seseorang yang tinggal di dalam rumah. Betapa terkejutnya Luna melihat wajah Amira yang basah karena air mata. Luna menengok ke belakang punggung Amira, tidak ada siapa pun yang artinya Amira datang sendiri ke rumahnya ini. “Assalamu’alaikum.” Amira mengucapkan salam. Wajah Luna mengerut karena penasaran dan juga khawatir.“Wa’alaikumsalam. Mir, ada apa?” tanya Luna dengan nada khawatirnya. Amira hanya menangis tergugu sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Ada apa? Cerita sama aku, kalau kamu diam aku tidak bisa bantu.” Luna mengusap pundak hingga lengan Amira, dia berusaha menenangkan sahabatnya itu. Amira memeluk tubuh Luna, dia menangis sedalam-dalamnya pada ceruk leher sahabatnya itu. Hanya Luna yang bisa Amira jadikan tempat pelarian dan hanya Luna yang bisa memahami perasaan Amira. Luna membalas pelukan Amira, dia melihat pakaian yang dikenakan Amira adalah pakaian khususnya. Pasti Ami
‘Gubrak....’Kertas-kertas dokumen yang dibawa Amira jatuh ke lantai dan berhamburan di sisi-sisi lantai. Memang salahnya membawa dokumen sebanyak itu sampai menggunung di tangan Amira. Amira hanya tidak mau merepotkan orang lain selagi dia masih bisa melakukannya sendiri. Amira memunguti kertas-kertas yang telah berserakan, tanpa sadar ada tangan seseorang yang membantunya. Amira mendongakkan kepala melihat seseorang yang dengan baik hati mau menolongnya. Amira terkejut karena orang yang menolongnya adalah Bram. Amira menegakkan punggungnya, sedangkan Bram melanjutkan aktivitasnya memunguti kertas-kertas itu. Merasa diperhatikan, Bram mendongak lalu tersenyum ke arah Amira. Amira pun balik tersenyum ke arah pria itu.“Kamu? Ngapain di sini?” tanya Amira penasaran karena pengacara yang super sibuk itu tiba-tiba ada di kantornya.Bram bangkit, begitu pula Amira turut berdiri tegap di depan pria itu. Amira masih penasaran dengan jawaban Bram. Tidak biasanya ada seorang pengacara yang
“Apa kamu tidak ingin berpikir lagi?” tanya Bram sembari mengelus dagunya yang mulai ditumbuhi rambut. Amira mendongakkan kepala, dia menatap manik mata Bram akan kesungguhan. Meskipun Bram tahu posisi Amira yang sedang sulit, tetapi Bram tidak mau mengambil keputusan yang nantinya akan merugikan Amira.“Aku tidak ingin kamu menyesal nantinya,” lanjut Bram sesuai dugaan Amira. Amira mengangguk mantap, dia sudah tidak dibutuhkan lagi.Lalu, untuk apa bertahan?“Aku yakin,” kata Amira mantap. “Terimakasih telah membantuku, aku akan memulainya sendiri dari sekarang,” lanjutnya. Amira mengusap wajahnya yang basah dengan tisu. Amira tidak tahu lagi bagaimana dia harus mengekspresikan kesedihannya ini. Dia terlalu banyak menangis dan rasanya setiap hari mengeluarkan air mata di mulai jenuh dan bosan. Amira ingin mengakhiri kesedihannya ini dan memulai kehidupan yang baru. Perjalanannya masih panjang, Amira harus bangkit meskipun harus menjadi wanita janda sekalipun. “Kamu sangat berjasa
Hari-hari Amira menjadi tidak karuan, suasana hatinya selalu buruk baik dipagi hari ataupun malam hari. Baru saja dia dipanggil oleh ketua tim divisinya, pekerjaan Amira jadi berantakan dan tidak sesuai dengan intruksi. Banyak yang Amira pikirkan, tentu saja tentang masalah keluarganya.Untung saja Amira hanya diberi sanksi kerja lembur dan menyelesaikan semua bagiannya, ketua timnya masih berbaik hati untuk tidak mengeluarkan surat scors untuk Amira. Setelah keluar dari ruangan ketua tim, wajah Amira memerah. Dia merasa sangat bersalah untuk divisinya, karena dirinya proyek yang akan dikerjakan hampir saja gagal.Luna menghampiri Amira yang baru saja keluar dari ruangan ketua tim, dia mengelus pundak Amira dan merasa iba terhadap sahabatnya itu. Rekan-rekannya yang lain pun turut sedih, meskipun awalnya mereka merasa kesal kepada Amira karena tidak bisa bersikap profesional.“Jadikan sebagai pelajaran, Mir. Meskipun banyak masalah yang kamu hadapi, jangan diulangi lagi,” kata Samuel,
Bram mendesah panjang, berulang kali Amira hanya mengaduk-aduk sotonya. Bram sampai gemas karena Amira tak kunjung menyuapkan satu sendok ke dalam mulutnya. Bram menaruh sendok dan garpunya sedikit kencang, Amira sampai mendongakkan kepala lalu melihat Bram.“Ada apa?” tanya Amira dengan polosnya.“Sini aku suapin,” sahut Bram kontan menarik mangkok soto milik Amira. Amira terkejut dengan perlakuan Bram yang tiba-tiba. Amira menarik kembali mangkok sotonya.“Maksud kamu apa?”Bram mendesah panjang, sepertinya Amira perlu disuntik cairan kewarasan, “Sejak tadi kamu hanya mengaduk-aduk soto itu tanpa berniat mau memakannya.”Justru Amira tertawa lepas, ternyata alasan itu yang membuat Bram terlihat sangat khawatir padanya. Bram memutar bola matanya malas, dia sangat kesal karena Amira menganggap kekhawatirannya ini hanya lelucon.“Iya iya, ini aku makan,” kata Amira lalu menyuapkan soto ke dalam mulutnya. Bram bisa bernapas lega jika Amira mau menghabiskan makanannya ini. Amira tampak p
Kedua orang tua Amira telah siap menyambut sang putri yang baru saja turun dari mobil. Namun, mereka terkejut karena pria yang bersama dan mengantar Amira bukanlah Alan. Ayah dan ibu Amira menyimpan banyak pertanyaan untuk putrinya tersebut. “Bram, aku sangat berterima kasih padamu,” ungkap Amira dengan tulus. Jika bukan karena Bram, dia tidak tahu lagi harus meminta tolong kepada siapa. “Sstt, jangan berkata seperti itu. Kamu seperti tidak tahu siapa aku,” jawab Bram sekaligus menyunggingkan sneyumnya. “Aku pulang dulu, ya. Titip salam untuk kedua orang tuamu, sepertinya mereka penasaran mengapa kamu bisa bersamaku malam ini.” Bram melambaikan tangan, setelahnya dia masuk ke dalam mobil. Setelah kepergian Bram, Amira menghampiri kedua orang tuanya, tak lupa dia menyalami tangan ayah dan ibunya. Amira memeluk erat tubuh sang ibu, dia menumpahkan tangisnya dalam pelukan hangat dan tulus yang selalu ibunya berikan. Mendengar suara isakan Amira, Mina sang ibu turut meneteskan air mat
"Aku ingin bertemu Mas Alan, apakah dia sibuk?"Ibu hamil yang kini sudah memasuki trimester ketiga itu sedikit terengah-engah setelah menyusuri jalanan rumah sakit dan kini berdiri tepat di depan ruangan dokter. Kayla dengan tentengan tas besar yang di dalamnya sudah ia siapkan bekal untuk suaminya. Dia berhadapan dengan tiga orang perawat yang berjaga di lantai tiga, di mana ruangan Alan juga ada di lantai ini. Kayla tidak ingin langsung masuk ke ruangan suaminya, karena terakhir kali dia ke sini tanpa izin terlebih dahulu, dia mendapat amukan dari Alan. "Oh maaf, Dokter Alan sedang keliling," ucap salah satu perawat. Kayla pun mengangguk, dia memahami apa yang sedang dilakukan suaminya. Tugas penting memang harus didahulukan. "Oke baiklah, aku akan tunggu di depan ruangannya."Setelah itu, Kayla duduk di ruang tunggu. Dia tersenyum kecil karena setelah ini dialah satu-satunya nyonya dari Alando Bagaskara. Hanya menunggu beberapa hari lagi Alan dan Amira akan bercerai, mereka aka
Bisakah kita bertemu?Satu hari itu Amira gunakan untuk beristirahat di rumah Luna. Luna tidak mengizinkannya untuk kembali ke rumah bibinya, melihat kondisi Amira saat ini membuat Luna khawatir. Sedangkan Luna pergi bekerja, Luna yang meminta izin cuti kepada manager mereka. Sampai-sampai manager mereka mempertanyakan keberadaan Amira dan juga merasa khawatir. Siang ini dia mendapatkan pesan dari Sandi. Asisten dokter itu ingin menemuinya dilokasi yang tak jauh dari rumah sakit. Amira ragu-ragu, tetapi akhirnya dia menyetujui untuk bertemu dengan pria itu. Amira juga memahami bahwa Sandi tidak bisa pergi jauh-jauh dari rumah sakit. Amira menunggu Sandi disebuah kafe estetik yang nuansanya sangat modern. Duduk di sini sembari menyesap jus alpukat kesukaannya begitu menenangkan. Bau margarin dari roti bakar yang baru saja dipesan, membuat perut Amira bergejolak. Amira bisa menahannya dan memakannya. Entah apa yang ingin disampaikan oleh Sandi. Dia sangat penasaran karena itu Amira d
Pagi-pagi sekali, Amira telah bersiap dengan pakaian rapinya untuk memperbaiki semua masalah yang terjadi kemarinnya. Amira telah menyiapkan mental dan hatinya karena dirinya tahu setelah ini dia akan mendapatkan sakit yang luar biasa. Walau wajahnya masih terlihat pucat, dan tubuhnya kian hari kian lemah. Amira akan tetap melanjutkan rencanya hari ini. Dia akan pergi ke rumah Alan, dia harus menjelaskan bahkan meminta maaf jika pria itu menginginkannya. Sebesar itu rasa cintanya, meskipun dirinya tidak bersalah dia akan meminta maaf, meskipun dia tahu Alan yang berselingkuh darinya Amira akan tetap merendahkan dirinya. Tepat di depan rumah yang dulu pernah ia tempati, Amira meraup banyak-banyak udara. Dadanya terasa sesak, tetapi tidak apa-apa dia adalah wanita yang kuat. Amira mengetuk pintu, dia menunggu dengan degup jantung yang bertalu-talu. "Assalamualaikum," ucap Amira saat pintu dibuka lebar-lebar. Salamnya tidak dijawab, kedatangannya tidak disambut dengan baik. Wajah-waj
"Luna?" Suara Bram menggantung di udara, Amira pun juga menoleh mencari seseorang yang Bram sebutkan baru saja. Wajah Amira ikut cemas, dia takut bahwa Luna menyaksikan semua kejadian dan pertengkaran barusan. Luna akan sangat kecewa padanya, Amira tidak ingin hal itu terjadi. "Luna? Ka-kamu...." "Aku melihat semuanya dan aku mendengar semuanya," kata Luna memotong perkataan Amira. Amira semakin menegang, dia bangkit walau kesusahan untuk berdiri. Amira menghampiri sahabatnya yang kini sudah berkaca-kaca. "Apa yang aku dengar barusan itu bohong, kan?" Luna mencari jawaban, dia sudah kecewa karena telah berpisah dengan pria yang masih dia kasihi hingga sekarang. Dan sekarang dia tidak ingin mendengar pengakuan yang semakin membuatnya patah hati. "Lun, apa yang kamu dengar tolong lupakan!" Amira menggenggam kedua tangan Luna dan berusaha menenangkannya. "Tidak." Kini Amira dan Luna menatap Bram secara bersamaan. "Bram, jangan!" "Lun, sebenarnya aku mencintai Amira jauh dari sebe
"Sejak aku melihatmu, aku sudah jatuh hati padamu." Suara Bram menggema di sudut-sudut bangunan yang masih separuh jadi itu. Tangan Amira yang hendak mengambil beberapa material terhenti seketika saat mendengar pengakuan Bram yang kesekian kalinya. Amira masih saja syok saat Bram mengungkapkan perasaan padanya. Padahal suasana sebelumnya tidak secanggung ini, tetapi Bram membuat Amira tidak enak hati terhadap pria itu. BrukBrukTerdengar suara langkah kaki seseorang yang sedang berlari, Bram menengok ke belakang dan benar saja ada seorang pekerja berlari ke arahnya. Seharusnya pekerja tersebut melihat Bram yang sedang berdiri di depannya, tetapi pekerja tersebut malah mendekat dan seperti sengaja menabrak tubuh Bram.Gerakan tubuhnya yang secara impulsif seketika menabrak tubuh Amira. Keduanya pun terkejut, Bram menubruk Amira yang saat itu memegang material besi-besi kecil. Besi-besi itu pun tanpa sengaja berjatuhan mengenai punggung Bram yang berusaha melindungi Amira. Nas sekali
"Aku ingin kamu bekerja dengan becus."Kayla melirik kesekitar karena takut ada yang melihatnya sedang berbicara dengan seorang pria asing. Suara bising dari decitan besi dan alat-alat berat tak menyurutkan semangat Kayla untuk melancarkan rencananya. "Jangan sampai gagal," perintah Kayla lagi dengan kedua matanya yang memelotot tajam. "Baik, Bu. Serahkan saja pada saya," jawab pria yang memakai topi berwarna kuning. Kayla tersenyum dengan puas saat pria itu pergi dari hadapannya. Senyuman licik di bibirnya karena dendamnya terhadap Amira. Rencananya harus berhasil, dengan begitu dia bisa mendapatkan cinta dan perhatian dari Alan. Kayla mengintip dari balik tembok dan melihat pria suruhannya itu melaksanakan tugas seperti yang diperintahkan olehnya. Bukan hanya senyuman yang terbit di bibir Kayla, kini tawa kecil akan kemenangan seolah tak mau pergi dari mulut kecilnya. Kayla pergi dari bagunan proyek setengah jadi yang digarap oleh perusahaan Amira dan yang menjadi tanggungjawab
"Apa kamu sadar saat mengatakan itu?"Alan berkacak pinggang seolah-olah syok mendengar pengakuan dari Kayla. Kayla memaku di tempatnya, dia menunggu jawaban dari Alan atas pengakuannya tersebut. Dia berharap ada harapan besar dari suaminya ini, berharap pula bahwa suaminya juga memiliki perasaan yang sama terhadapnya. "Aku sangat sadar saat mengatakan itu, Mas." Kayla mendekati Alan kembali, tetapi pria itu malah menjauh darinya. "Bagaimana pun juga aku istrimu, Mas. Tidak ada yang salah dengan perasaanku ini," lanjutnya lagi berusaha meyakinkan Alan. "Tentu saja salah!!!"Brak!!!Brak!!!Alan menggebrak meja beberapa kali yang ada di depannya, sejenak Kayla menutup kedua matanya dan merasakan sakit yang berdenyut di dasar hatinya. Ya, bodoh sekali bahwa dirinya berharap bahwa Alan akan mencintainya seperti pria itu mencintai Amira. Pada kenyataannya dia tidak pernah mendapatkan bagian sedikit pun di hati Alan. Bukan Kayla namanya jika dia menyerah hanya sampai di sini saja, dia
"Apa salahnya mesra-mesraan dengan suami sahku?" Amira menatap Kayla penuh kemenangan. Tawa Amira sedikit mengejek saat melihat wajah Kayla yang pias. Kayla pun balik menertawakan Amira, wanita itu pun tidak mau mengalah dan semakin menunjukkan taringnya. Amira menaikkan sebelah alisnya, lalu kakinya mundur beberapa langkah saat perut buncit Kayla hampir menyentuh bagian perutnya. "Masih bilang kalau Mas Alan adalah suamimu? Bukannya kamu sendiri yang meminta cerai darinya?" Kayla berkacak pinggang, Amira melihatnya saja terasa begah dengan perut buncit Kayla yang sepertinya membuat Kayla kesulitan bernapas. "Masih punya muka ternyata kamu ya, padahal kamu sendiri yang membuang Mas Alan." Kayla membuat emosi Amira terpancing. Namun, Amira tidak ingin membuang-buang tenaga hanya untuk meladeni Kayla. Mood paginya harus baik untuk bekerja, sebisa mungkin Amira mengatur napas dan mengembalikan perasaannya seperti semula. "Bagaimana kalau aku dan Mas Alan tidak jadi bercerai?" Sejujur
"Apa benar kamu baik-baik saja?" Alan membuntuti ke manapun Amira pergi. Amira menghela napas panjang, dia menghentikan langkahnya saat sudah berada di ruang tamu. Alan pun turut berhenti tepat di belakang sang istri. Amira membalikkan badannya, lalu menatap serius wajah Alan yang terlihat sangat khawatir padanya. "Aku baik-baik saja, Mas. Lihat aku sudah lebih kuat dari pada kemarin. Jangan melihatku seperti anak kecil, okay." Amira menyelempangkan tasnya. Jika berlama-lama di atas tempat tidur rasanya akan lebih sakit. Amira lebih suka bergerak dan bebas melakukan apapun dari pada bermalas-malasan di rumah. Apalagi saat ini dia ada di rumah yang tidak ingin ia tempati. Alan tidak membiarkan Amira begitu saja untuk pergi bekerja. Dia mengambil kunci mobil dan menyusul Amira yang sudah ada di halaman rumah. Alan menarik lengan Amira sampai wanita itu memekik karena bertubrukan dengan dada bidang Alan. "Ahh ada apa lagi, Mas?" Amira semakin jengkel dengan sikap antusias Alan. "Ak