Halo manteman semuanya... Masih pada ngikutin cerita Amira kan? Semoga kalian suka yah, jangan lupa follow IG Author yuk @byrosebloom_
Semalaman Alan tidak bisa tidur, setiap hendak memejamkan kedua matanya dia selalu teringat akan Amira. Amira semakin jauh darinya, sudah dua hari dia tidak pulang ke rumah, ponselnya pun selalu tidak aktif. Alan mengira bahwa nomornya telah diblokir.Alan berusaha untuk mengunjungi kantor tempat Amira bekerja, tetapi dia tidak pernah menemukan istrinya itu keluar dari gedung kantornya. Bahkan untuk bertemu dengan Luna saja dia sangat kesulitan. Alan sangat frustasi, entah ke mana lagi dia harus meminta bantuan.“Bram?” celetuk Alan teringat oleh seseorang yang mungkin tahu keberadaan Amira. Namun, tidak mungkin Alan bertanya kepada Bram. Terakhir kali mereka berdua bertemu, antara Alan dan Bram terjadi pertengkaran kecil. Bertanya kepada Bram adalah kesalahan besar.“Ke mana lagi aku harus bertanya?” lirih Alan juga mengacak rambutnya asal.Alan mendudukkan dirinya di ujung ranjang, dia menggengam ponsel di tangan kanannya. Alan memejamkan mata, berharap bahwa sang istri menghubungin
“Amira, kapan kamu sampai?” tanya Alan panik, bahkan suaranya sedikit bergetar.Amira memandangi Alan dan Kayla secara bergantian. Adanya wanita itu membuat Amira enggan untuk memasuki rumah ini. Amira balik badan, awalnya dia berniat untuk kembali dan beristirahat di rumah yang telah ia tinggal beberapa hari, tetapi adanya Kayla membuat Amira tidak sudi menginjakkan kakinya di rumah ini.Prasangka Amira mulai buruk, dia mengira mungkin Kayla telah menetap di rumah ini bersama Alan saat dirinya tidak ada di rumah. Bisa jadi pula bahwa ibu mertuanya yang menyuruh Kayla untuk tinggal bersama Alan. Jika seperti itu kehadiran Amira benar-benar tidak dibutuhkan lagi.Amira lebih baik pergi, dia memantapkan hatinya untuk meninggalkan rumah milik Alan ini. Ya, karena rumah ini milik Alan, jadi tidak ada hak untuk tinggal di tempat ini apalagi memilikinya. Sebelah tangan Amira dicekal oleh Alan, pria itu tidak membiarkan Amira untuk pergi.“Mas bisa jelaskan,” kata Alan berusaha membuat Amira
Setelah kepergian Kayla, Amira tetap mengabaikan Alan. Bahkan beberapa kali suaminya itu memanggil namanya, Amira tetap diam seolah-olah Alan tidak ada di sampingnya. Amira tidak peduli bagaimana cara Alan bisa membuat Kayla pergi dari rumah ini, yang ia kesalkan karena Kayla dengan berani datang dan Alan membawanya masuk ke dalam rumah.Alan sampai bingung harus dengan cara apa lagi agar Amira tidak marah padanya. Seharusnya Alan membuat sang istri bahagia setelah kembali ke rumah, tetapi dia membuat Amira sangat marah malam ini. Alan tidak bisa berpikir jernih, hidupnya saat ini dipenuhi dengan rasa takut.“Amira, maafkan Mas.” Alan terus membujuk Amira agar menghentikan aktifitasnya yang saat ini sedang memasukkan beberapa barang-barangnya ke dalam koper. Padahal Alan tadinya berpikir bahwa setelah kepergian Kayla, Amira akan tetap tinggal bersamanya.“Kalau kamu berani membawa masuk dia ke rumah ini, itu tandanya kamu memberi peluang dia masuk ke dalam rumah tangga kita.” Amira be
"Itu semua sudah cukup, Mas."Amira menatap Alan di tengah-tengah kesadarannya hanya lima persen. Amira menengok jam di dinding yang saat ini menunjukkan pukul satu malam. Namun, Amira masih belum bisa memejamkan kedua matanya, lalu mengarungi alam mimpi. Alan sangat keras kepala, tidak hanya itu, suami Amira ini sejak tadi sibuk memasukkan barang-barang milik Amira ke dalam koper. Padahal cukup satu koper saja untuk mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan Amira saat tinggal dengan kedua orang tuanya. Alan tidak ingin Amira merasa kekurangan saat jauh darinya. Dia mempersiapkan semua barang yang menurutnya penting. Juga... Alan ingin citranya terlihat baik di depan mertuanya dengan memenuhi segala kebutuhan Amira. "Mas Alan benar-benar ingin aku minggat dari rumah ini, ya?" Emosi Amira mulai tersulut, perbuatan sang suami ini seakan-akan hendak mengirim Amira jauh dan tidak diperkenankan untuk kembali lagi. Kedua tangan Alan kontan terhenti dan dia menjauh dari koper Amira. Ala
"Sekarang, apa keputusan Mas Alan? Pilih aku atau Kayla?"Seperti disambar petir yang mengenai seluruh tubuh Alan, detik itu juga seluruh tubuhnya gemetar hebat. Alan tidak menyukai keberadaannya yang berada pada titik terumit. Alan menghela napas panjang, dia tidak bisa menjawab pertanyaan Amira. Bibirnya terasa berat dan lidahnya terasa kelu hanya sekedar mengatakan sepatah dua patah terhadap Amira.Amira mengepalkan kedua tangannya saat melihat Alan tidak merespon pertanyaan barusan. Alan terlalu lama berpikir, bahkan saat ini dia tidak sanggup menatap langsung manik mata Amira. Amira teramat jengah, dia pergi begitu saja meninggalkan Alan di rumah ini sendirian."Amira." Alan memanggil nama sang istri, tetapi membiarkannya pergi hingga menghilang di balik pintu.Alan pun dilema, dia tidak bisa memilih salah satu diantara dua wanita yang saat ini telah menjadi istrinya. Alan sangat mencintai Amira, dia tidak akan pernah meninggalkan Amira. Begitu pun dengan Kayla, dia juga tidak bi
"Sekarang, apa keputusan Mas Alan? Pilih aku atau Kayla?" Seperti sambaran petir yang mengenai seluruh tubuh Alan, detik itu juga seluruh tubuhnya gemetar hebat. Alan tidak menyukai keberadaannya yang berada pada titik terumit. Alan menghela napas panjang, dia tidak bisa menjawab pertanyaan Amira. Bibirnya terasa berat dan lidahnya terasa kelu hanya sekedar mengatakan sepatah dua patah terhadap Amira. Amira mengepalkan kedua tangannya saat melihat Alan tidak merespon pertanyaan barusan. Alan terlalu lama berpikir, bahkan saat ini dia tidak sanggup menatap langsung manik mata Amira. Amira teramat jengah, dia pergi begitu saja meninggalkan Alan di rumah ini sendirian. "Amira." Alan memanggil nama sang istri, tetapi membiarkannya pergi hingga menghilang di balik pintu. Alan pun dilema, dia tidak bisa memilih salah satu diantara dua wanita yang saat ini telah menjadi istrinya. Alan sangat mencintai Amira, dia tidak akan pernah meninggalkan Amira. Begitu pun dengan Kayla, dia juga tidak
“Ayo masuk, Nak!” ajak Mina, ibu Amira yang juga ibu mertua Alan.Alan dan Amira mematung di tempatnya berdiri, tepatnya di depan pintu masuk yang kini berdiri kedua orang tua Amira menyambut mereka berdua. Amira mengerutkan dahi, dia tidak salah dengar dengan apa yang diucapkan sang ibu.Ibunya berkata dengan lembut, tidak ada emosi bahkan kekecewaan di wajahnya seperti beberapa hari lalu saat Amira memberi kabar tentang perselingkuhan Alan. Ayah Amira pun tersenyum lebar, bahkan sebelumnya memeluk tubuh Alan seolah-olah seorang ayah yang lama tidak berjumpa dengan anak laki-lakinya.“Loh, tunggu apa lagi? Ayo masuk ke dalam.” Kini Arif merangkul bahu Alan dan menggiring menantunya itu masuk ke dalam rumah.Amira tidak salah dengar, bahkan dia seperti sedang bermimpi. Sikap kedua orang tuanya sangat berbeda, padahal beberapa hari lalu mereka mengatakan bahwa mereka sangat kecewa terhadap Alan. Namun, sekarang ayah dan ibunya itu menerima Alan dengan sangat baik tidak seperti apa yang
“Luna ....” Amira meneriaki nama sahabatnya, Luna pergi begitu saja saat Bram hanya diam tidak menjawab pertanyaannya.Amira berusaha mengejar sahabatnya itu, tetapi Luna lebih dahulu masuk ke dalam taksi. Amira membenarkan hijabnya yang terhembus angin, dia balik badan melihat Bram yang masih berdiri sambil memandangi taksi yang membawa Luna pergi.Amira menghampiri Bram, dia merasa tidak enak hati atas sikap sang sahabat yang memusuhi Bram. Sepertinya Bram juga mengerti dengan sikap Luna ini, karena dia juga Luna bersikap kasar bahkan membenci Bram.“Aku tidak apa-apa,” kata Bram padahal Amira melihat bahwa pria di depannya ini merasa kecewa.“Maafkan Luna, ya.”“Memang salahku dia bersikap seperti itu.” Bram tersenyum kecut. Dia baru menyadar bahwa Luna sangat membencinya.Amira tidak bisa berbuat apa-apa, dia tidak punya hak untuk ikut campur ke dalam masalah Luna dan Bram meskipun dirinya adalah sahabat Luna. Pasti Luna tidak akan senang jika Amira berusaha membuat hubungan Luna
"Aku ingin bertemu Mas Alan, apakah dia sibuk?"Ibu hamil yang kini sudah memasuki trimester ketiga itu sedikit terengah-engah setelah menyusuri jalanan rumah sakit dan kini berdiri tepat di depan ruangan dokter. Kayla dengan tentengan tas besar yang di dalamnya sudah ia siapkan bekal untuk suaminya. Dia berhadapan dengan tiga orang perawat yang berjaga di lantai tiga, di mana ruangan Alan juga ada di lantai ini. Kayla tidak ingin langsung masuk ke ruangan suaminya, karena terakhir kali dia ke sini tanpa izin terlebih dahulu, dia mendapat amukan dari Alan. "Oh maaf, Dokter Alan sedang keliling," ucap salah satu perawat. Kayla pun mengangguk, dia memahami apa yang sedang dilakukan suaminya. Tugas penting memang harus didahulukan. "Oke baiklah, aku akan tunggu di depan ruangannya."Setelah itu, Kayla duduk di ruang tunggu. Dia tersenyum kecil karena setelah ini dialah satu-satunya nyonya dari Alando Bagaskara. Hanya menunggu beberapa hari lagi Alan dan Amira akan bercerai, mereka aka
Bisakah kita bertemu?Satu hari itu Amira gunakan untuk beristirahat di rumah Luna. Luna tidak mengizinkannya untuk kembali ke rumah bibinya, melihat kondisi Amira saat ini membuat Luna khawatir. Sedangkan Luna pergi bekerja, Luna yang meminta izin cuti kepada manager mereka. Sampai-sampai manager mereka mempertanyakan keberadaan Amira dan juga merasa khawatir. Siang ini dia mendapatkan pesan dari Sandi. Asisten dokter itu ingin menemuinya dilokasi yang tak jauh dari rumah sakit. Amira ragu-ragu, tetapi akhirnya dia menyetujui untuk bertemu dengan pria itu. Amira juga memahami bahwa Sandi tidak bisa pergi jauh-jauh dari rumah sakit. Amira menunggu Sandi disebuah kafe estetik yang nuansanya sangat modern. Duduk di sini sembari menyesap jus alpukat kesukaannya begitu menenangkan. Bau margarin dari roti bakar yang baru saja dipesan, membuat perut Amira bergejolak. Amira bisa menahannya dan memakannya. Entah apa yang ingin disampaikan oleh Sandi. Dia sangat penasaran karena itu Amira d
Pagi-pagi sekali, Amira telah bersiap dengan pakaian rapinya untuk memperbaiki semua masalah yang terjadi kemarinnya. Amira telah menyiapkan mental dan hatinya karena dirinya tahu setelah ini dia akan mendapatkan sakit yang luar biasa. Walau wajahnya masih terlihat pucat, dan tubuhnya kian hari kian lemah. Amira akan tetap melanjutkan rencanya hari ini. Dia akan pergi ke rumah Alan, dia harus menjelaskan bahkan meminta maaf jika pria itu menginginkannya. Sebesar itu rasa cintanya, meskipun dirinya tidak bersalah dia akan meminta maaf, meskipun dia tahu Alan yang berselingkuh darinya Amira akan tetap merendahkan dirinya. Tepat di depan rumah yang dulu pernah ia tempati, Amira meraup banyak-banyak udara. Dadanya terasa sesak, tetapi tidak apa-apa dia adalah wanita yang kuat. Amira mengetuk pintu, dia menunggu dengan degup jantung yang bertalu-talu. "Assalamualaikum," ucap Amira saat pintu dibuka lebar-lebar. Salamnya tidak dijawab, kedatangannya tidak disambut dengan baik. Wajah-waj
"Luna?" Suara Bram menggantung di udara, Amira pun juga menoleh mencari seseorang yang Bram sebutkan baru saja. Wajah Amira ikut cemas, dia takut bahwa Luna menyaksikan semua kejadian dan pertengkaran barusan. Luna akan sangat kecewa padanya, Amira tidak ingin hal itu terjadi. "Luna? Ka-kamu...." "Aku melihat semuanya dan aku mendengar semuanya," kata Luna memotong perkataan Amira. Amira semakin menegang, dia bangkit walau kesusahan untuk berdiri. Amira menghampiri sahabatnya yang kini sudah berkaca-kaca. "Apa yang aku dengar barusan itu bohong, kan?" Luna mencari jawaban, dia sudah kecewa karena telah berpisah dengan pria yang masih dia kasihi hingga sekarang. Dan sekarang dia tidak ingin mendengar pengakuan yang semakin membuatnya patah hati. "Lun, apa yang kamu dengar tolong lupakan!" Amira menggenggam kedua tangan Luna dan berusaha menenangkannya. "Tidak." Kini Amira dan Luna menatap Bram secara bersamaan. "Bram, jangan!" "Lun, sebenarnya aku mencintai Amira jauh dari sebe
"Sejak aku melihatmu, aku sudah jatuh hati padamu." Suara Bram menggema di sudut-sudut bangunan yang masih separuh jadi itu. Tangan Amira yang hendak mengambil beberapa material terhenti seketika saat mendengar pengakuan Bram yang kesekian kalinya. Amira masih saja syok saat Bram mengungkapkan perasaan padanya. Padahal suasana sebelumnya tidak secanggung ini, tetapi Bram membuat Amira tidak enak hati terhadap pria itu. BrukBrukTerdengar suara langkah kaki seseorang yang sedang berlari, Bram menengok ke belakang dan benar saja ada seorang pekerja berlari ke arahnya. Seharusnya pekerja tersebut melihat Bram yang sedang berdiri di depannya, tetapi pekerja tersebut malah mendekat dan seperti sengaja menabrak tubuh Bram.Gerakan tubuhnya yang secara impulsif seketika menabrak tubuh Amira. Keduanya pun terkejut, Bram menubruk Amira yang saat itu memegang material besi-besi kecil. Besi-besi itu pun tanpa sengaja berjatuhan mengenai punggung Bram yang berusaha melindungi Amira. Nas sekali
"Aku ingin kamu bekerja dengan becus."Kayla melirik kesekitar karena takut ada yang melihatnya sedang berbicara dengan seorang pria asing. Suara bising dari decitan besi dan alat-alat berat tak menyurutkan semangat Kayla untuk melancarkan rencananya. "Jangan sampai gagal," perintah Kayla lagi dengan kedua matanya yang memelotot tajam. "Baik, Bu. Serahkan saja pada saya," jawab pria yang memakai topi berwarna kuning. Kayla tersenyum dengan puas saat pria itu pergi dari hadapannya. Senyuman licik di bibirnya karena dendamnya terhadap Amira. Rencananya harus berhasil, dengan begitu dia bisa mendapatkan cinta dan perhatian dari Alan. Kayla mengintip dari balik tembok dan melihat pria suruhannya itu melaksanakan tugas seperti yang diperintahkan olehnya. Bukan hanya senyuman yang terbit di bibir Kayla, kini tawa kecil akan kemenangan seolah tak mau pergi dari mulut kecilnya. Kayla pergi dari bagunan proyek setengah jadi yang digarap oleh perusahaan Amira dan yang menjadi tanggungjawab
"Apa kamu sadar saat mengatakan itu?"Alan berkacak pinggang seolah-olah syok mendengar pengakuan dari Kayla. Kayla memaku di tempatnya, dia menunggu jawaban dari Alan atas pengakuannya tersebut. Dia berharap ada harapan besar dari suaminya ini, berharap pula bahwa suaminya juga memiliki perasaan yang sama terhadapnya. "Aku sangat sadar saat mengatakan itu, Mas." Kayla mendekati Alan kembali, tetapi pria itu malah menjauh darinya. "Bagaimana pun juga aku istrimu, Mas. Tidak ada yang salah dengan perasaanku ini," lanjutnya lagi berusaha meyakinkan Alan. "Tentu saja salah!!!"Brak!!!Brak!!!Alan menggebrak meja beberapa kali yang ada di depannya, sejenak Kayla menutup kedua matanya dan merasakan sakit yang berdenyut di dasar hatinya. Ya, bodoh sekali bahwa dirinya berharap bahwa Alan akan mencintainya seperti pria itu mencintai Amira. Pada kenyataannya dia tidak pernah mendapatkan bagian sedikit pun di hati Alan. Bukan Kayla namanya jika dia menyerah hanya sampai di sini saja, dia
"Apa salahnya mesra-mesraan dengan suami sahku?" Amira menatap Kayla penuh kemenangan. Tawa Amira sedikit mengejek saat melihat wajah Kayla yang pias. Kayla pun balik menertawakan Amira, wanita itu pun tidak mau mengalah dan semakin menunjukkan taringnya. Amira menaikkan sebelah alisnya, lalu kakinya mundur beberapa langkah saat perut buncit Kayla hampir menyentuh bagian perutnya. "Masih bilang kalau Mas Alan adalah suamimu? Bukannya kamu sendiri yang meminta cerai darinya?" Kayla berkacak pinggang, Amira melihatnya saja terasa begah dengan perut buncit Kayla yang sepertinya membuat Kayla kesulitan bernapas. "Masih punya muka ternyata kamu ya, padahal kamu sendiri yang membuang Mas Alan." Kayla membuat emosi Amira terpancing. Namun, Amira tidak ingin membuang-buang tenaga hanya untuk meladeni Kayla. Mood paginya harus baik untuk bekerja, sebisa mungkin Amira mengatur napas dan mengembalikan perasaannya seperti semula. "Bagaimana kalau aku dan Mas Alan tidak jadi bercerai?" Sejujur
"Apa benar kamu baik-baik saja?" Alan membuntuti ke manapun Amira pergi. Amira menghela napas panjang, dia menghentikan langkahnya saat sudah berada di ruang tamu. Alan pun turut berhenti tepat di belakang sang istri. Amira membalikkan badannya, lalu menatap serius wajah Alan yang terlihat sangat khawatir padanya. "Aku baik-baik saja, Mas. Lihat aku sudah lebih kuat dari pada kemarin. Jangan melihatku seperti anak kecil, okay." Amira menyelempangkan tasnya. Jika berlama-lama di atas tempat tidur rasanya akan lebih sakit. Amira lebih suka bergerak dan bebas melakukan apapun dari pada bermalas-malasan di rumah. Apalagi saat ini dia ada di rumah yang tidak ingin ia tempati. Alan tidak membiarkan Amira begitu saja untuk pergi bekerja. Dia mengambil kunci mobil dan menyusul Amira yang sudah ada di halaman rumah. Alan menarik lengan Amira sampai wanita itu memekik karena bertubrukan dengan dada bidang Alan. "Ahh ada apa lagi, Mas?" Amira semakin jengkel dengan sikap antusias Alan. "Ak