Habib seorang ipar yang dicemooh oleh Galih dengan sebutan benalu. Dia bekerja sebagai steward di salah satu restauran berbintang membuat Kakak iparnya malu. Ketiadaan harta dan tahta yang dimiliki Habib, ia selalu mendapat hinaan bahkan sumpah serapah dari Kakak iparnya kalau ia tidak sanggup memberikan nafkah kepada Nabila-istrinya. Namun, tidak selamanya kehidupan di bawah. Begitu pun sebaliknya. Habib terus berusaha agar tegar dan tabah dalam menghadapi semua cobaan yang menghujam laksana sarapan pagi. Ternyata, hinaan dan cacian yang ia dapatkan dari Kakak ipar ada niat terselubung yang sangat membuat Nabila dan Habib terkejut. Sampai-sampai rahasia itu tidak dapat dimaafkan oleh Habib dan istri tercinta. Rahasia yang terbungkus rapi membuat Habib membuka kaca mata istrinya dan ia berjanji akan mengangkat derajat Nabila yang selalu setia kepada Habib. Ia sangat bersyukur memiliki istri setulus dan sesabar Nabila. Walaupun sehebat apapun itu hinaan dan cobaan menghadang agar bahtera rumah tangga yang dilandasi dengan cinta bisa ambruk begitu saja. Nabila selalu sabar dan kuat menerima itu semua. Habib selalu menguatkan Nabila setiap saat ketika ujian kenyataan hidup selalu datang bertubi-tubi.
View MoreSuasana semakin memanas. Manusia mana yang mau terlahir ke dunia dengan cara tidak sah di mata hukum negara dan juga di mata hukum Islam. 'Kalau boleh memilih, aku juga tidak mau lahir dari cara yang salah,' ucap Abizar bermonolog.Suasana hening seketika. Habib mengulas senyum bahagia. Ia merasa menang atas perdebatan yang sangat alot itu."Wajar saja tingkah lakumu seperti ibumu!" ejek Abizar sponta dengan ekspersi datar. Dia memutar balikkan fakta.Habib tertawa terbahak-bahak tanpa peduli dengan sang ayah. Sementara Abizar dan Hermawan saling adu pandang. Mereka kira Habib sudah gila."Apa aku tidak salah dengar?!" tanya Habib memperjelas perkataan Abizar. Retinanya mengarah ke arah Hermawan. "Apakah aku wajar dan pantas dikatakan gila?" imbuhnya meyakinkan apa yang baru saja dikatakan Abizar kepadanya.Hermawan hanya diam membisu. Dia tidak berani menjawab. Walau bagaimanapun itu Habib dan Abizar anak kandung alias darah dagingnya sendiri. Walaupun itu Abizar tidak dalam alam sa
"Secepatnya!" balasnya menimpali.Rossa memang istri sirinya, Hermawan. Dia sempat tanam saham duluan daripada menikahi ibunya, Habib. Namun, itu tidak terendus alias semua tersimpan rapi tanpa ada yang tahu.Seketika Habib mengulas senyum melihat Abizar. "Betapa malangnya nasibmu," sindir Habib kepada Abizar. Ternyata kamu anak yang tidak diinginkan." Ledekan Habib membuat Abizar semakin marah.Biasanya dia yang selalu menghina dan mengolok-olok Habib. Sekarang malah terbalik seratus delapan puluh derajat Celcius. Api amarah kini terpaut di wajahnya. Dia ingin sekali membungkam mulut adik tirinya agar bisa diam. Namun, dia sadar akan kesehatan Hermawan. Walaupun dia tidak pernah memanggil ayah atau pun bapak kepada pria yang terbaring lemas di atas brangkar."Kenapa kamu diam?!" pancing Habib kembali. Wajahmu nggak usah ditekuk seperti itu. Coba deh berkaca, kamu laksana menahan berak," ujar Habib terus mengejek."Persetan!" Akhirnya, Abizar tidak sanggup menahan gejolak larva amarah
Abizar melepaskan cengkeramannya lalu membuang napas kasar."Ceritanya seperti ini," ucap Hermawan lirih. Dia memejamkan mata sekejap sembari menghela napas. Setelah jiwa dan raganya sudah merasa tenang. Barulah dia mulai buka suara. "Sayang, aku hamil!" ucap Rossa kepada Hermawan ketika mereka berdua janjian ketemuan di waktu makan siang."Tidak mungkin! Aku selalu memakai pengaman dan jika pun itu tidak. Aku tidak pernah mengeluarkannya di dalam. Jangan mengada-ada kamu, Rossa!" tolak Hermawan atas perkataan Rossa yang baru saja dia dengar.Rossa terisak mendengar perkataan calon suaminya. Dia sudah merelakan perawannya direguk oleh Hermawan. Ternyata apa yang dia harapkan telah sirna menjadi suami seorang pria kaya raya. Tidak peduli semua mata tertuju kepadanya. Isaknya semakin kuat dan semakin membuat retina pengunjung cafe semakin penasaran."Kamu tega, sayang!" ucap Rossa terisak. Dia memukul-mukul dada Hermawan sekuat hati sangking kesalnya. "Jangan coba-coba mengganggu hidup
Part 36: Minta TanggungjawabSiska baru saja tersadar ketika dirinya sudah ada di atas brangkar rumah sakit. Padahal dia baru saja merasa di atas motor dan terprental dari atas lalu meringis kesakitan."Aa-aku ada di mana?!" racaunya sesekali menyapu ruangan sekitar. Di samping kanan ada Abizar. Dia terkejut dan terbangun dari tidurnya. Ternyata sudah pukul dua puluh tiga lewat lima belas menit. Sangking lelahnya Abizar, dia tertidur pada saat menjaga Siska yang baru saja kecelakaan."Di rumah sakit," jawab Abizar sambil menguap. Setelah selesai menguap, dia mengucek terinya dan kembali meneruskan perkataannya, "tadi kamu kecelakaan.""Ini pasti gara-gara, Habib," umpatnya dengan menekuk wajah kesal. "Bisa kamu kasih pelajaran agar dia tidak semena-mena kepadaku, Bang?!" ucapnya lirih. Di sebelah kanan bagian betis terasa sakit akibat ditimpa motor pada saat dirinya terseret."Kasih pelajaran seperti apa? Dia saja telah menang telak dan sudah mengetahui sisi kelemahanku," jelas Abizar
"Kenapa kamu malah diam saja tua bangka! Seharusnya kamu ngoceh membela aku sebagai anakmu. Bukan hanya meratap seperti anak TK meminta mainan tidak dikasih sama ibunya." Siska benar-benar tidak ada akhlak ngatain Hermawan tua bangka. Padahal selama ini dia hidup hedon dan glamour karena uang yang dikasih Hermawan kepadanya."Hentikan ucapanmu!" bentak Hermawan dengan menaikkan suaranya dari biasanya. Dia mencoba duduk dan bersandar ke dinding ruangan. Habib membantu sang ayah. Namun, Hermawan tidak mau dibantu sang anak. "Aku bisa sendiri, kok," imbuhnya membuat Siska tersenyum puas."Siska! Mulai dari sekarang kamu harus angkat kaki dari rumahku!" racau Hermawan setelah dadanya tenang. Dan kamu tidak boleh menggunakan fasilitas yang aku berikan kepadamu!" desisnya menimpali.Raut wajahnya terlihat memerah seolah tidak suka atas informasi yang dia dapatkan barusan."Tidak bisa begitu, Yah!" bujuknya agar Hermawan menarik ucapannya. Aku mau tidur di mana kalau tidak boleh tinggal di r
Habib mengindahkan ide suster dengan cepat. Kini semua sudah aman dan terkendali."Kenapa sudah tidak ada orang?! tanya Siska ketika sudah di depan kamar mayat. "Pasti ada yang tidak beres ini," imbuhnya memasang wajah heran. Mau bertanya pun sudah tidak ada orang. Akhirnya dia kembali ke ruang informasi untuk mencari tahu keberadaan jenazah ayahnya.***Di kamar yang berbeda masih di lokasi rumah sakit. Habib menyuap Hermawan dengan lembut. Sang ayah yang selama ini ia rindukan kasih sayangnya kini sudah terkulai layu di atas brangkar rumah sakit."Ayah harus kuat makan agar ada tenaga," ucap Habib parau. Suaranya terasa serak menahan Isak tangis. Andai saja sang ayah mendengar apa katanya dulu sebelum menikah dengan Rossa. Mungkin beliau tidak menderita seperti ini. Bukan kebahagiaan yang dia dapat, hanya derita yang tercipta selama bersama dengan Rossa."Sudah!" tolak Hermawan. Dia tidak mau lagi menghabiskan makanan yang telah disediakan oleh pihak rumah sakit. "Ayah sudah kenyang
Habib keceplosan kalau Hermawan belum meninggal. 'Gawat ... kenapa pula aku berkata seperti itu,' ucap Habib dalam hati."Sudahlah lupakan saja!" ujar Habib lirih. Ia mencoba mengabaikan perkataannya. Mencoba mengalihkan pembicaraan."Kamu jangan menghindar dari apa yang kamu katakan. Dari mana kamu bisa berkata seperti itu? Apa jangan-jangan Hermawan belum meninggal?!" desak Rossa agar Habib mengatakan yang sejujurnya."Lebih bagus kita memikirkan bagaimana proses pemakaman sang ayah, Bu," ketus Habib. Baru kali ini ia berkata ibu kepada Rossa. Selama ini ia sangat enggan menyebut ibu walaupun di depan Hermawan."Urus saja sendiri! Jangan libatkan aku dan Siska dalam hal itu. Apalagi masalah biaya," jawab Rossa tidak mau kalah sengit dari perkataan Habib. Rossa baru sadar kenapa Habib mengulur waktu untuk mengeluarkan jenazah suaminya dengan cepat. "Apa kamu tidak mempunyai uang sehingga mayat ayahmu belum boleh keluar untuk segera dimakamkan?!" sindirnya dengan mencipta wajah sinis.
Sudah dua jam Rossa dan Siska menunggu jasad Hermawan agar segera dibawa pulang. Namun, mereka berdua belum ada kepikiran mau di makamkan di mana. Rasa resah dan gelisah kini menghantui pikirannya masing-masing."Mah! Bagaimana proses pemakamannya? Apakah sudah dikasih tahu kepada masyarakat atau warga tetangga kalau papah sudah meninggal?" tanya Siska dengan penuh selidik."Apa kamu sudah gila! Mama saja sedang bergelut di balik jeruji besi. Bagaimana pula bisa mengurus itu semua. Ini saja tangan Mamah di borgol keluar dari penjara menuju rumah sakit," ketus Rossa dengan wajah cemberut dan masam. "Ada-ada saja, kamu!" imbuhnya semakin geram."Terus si gembel itu pergi ke mana? Kenapa dia malah tidak kelihatan batang hidungnya?!" desis Siska. Larva amarah kini terus meronta agar dimuntahkan. Namun, tidak tahu harus marah kepada siapa."Mana mamah tahu. Kamu lamat-lamat semakin gila. Apa yang membuatmu seperti ini?" seru Rossa tidak terima pertanyaan anaknya seolah meleceh dirinya. Pa
Nabila kini sudah terbaring lemas di atas brangkar rumah sakit. Habib masih belum tenang akibat memikirkan keselamatan sang ayah. Mau izin pamit, Nabila belum kuat dan belum bisa apa-apa. Mau minum saja mesti dibantu oleh Habib."Ya Allah! Hamba mohon petunjuk darimu!" ucap Habib dalam hati.Beginilah hidup sebatang kara. Ketika ada dua masalah menimpa dalam waktu yang sama. Tidak ada kawan untuk bercerita. Jangankan berbagi kisah, mau gantian untuk menopang terpaan cobaan juga tidak ada. Tidak mungkin berbagi duka kepada orang lain.Habib memang sudah lama tidak menghadap kepada penguasa alam. Kali ini ia memang sangat butuh mengadu kepada-Nya. Cuma rasa enggan paling menyeringai di hatinya sehingga tidak jadi bersujud walau hanya sekejap mata."Sayang, maafin aku yang selalu merepotkanmu. Kenapa masih ada di sini?!" tanya Nabila dengan suara serak. Dia merasa pusing setelah berucap barusan kepada sang suami."Aa-aku akan setia menjaga dan merawatmu di sini," jawab Habib parau. Hatin
"I need small pan," teriak Fadli sambil nge-baked tiger prawn. Sudah berulang kali dia meminta small pan, tapi Habib belum sempat mengantarnya. Cucian piring kotor yang menggunung membuatnya kewalahan untuk menuruti permintaan staff kitchen dan staff service. Ia mengusap keringat yang menggelinding di kening."Sudah berapa kali kubilang ... aku butuh small pan," hardik Fadli dengan wajah memerah. Dia sudah berdiri tepat di sampingnya. "Setiap kali briefing, apa yang selalu urgent itu dulu yang harus dituruti. Walaupun pekerjaan kita menumpuk. Itu bisa saja nanti dibantu sama staff yang lain." Fadli masih saja menahan gejolak amarah yang sudah meronta untuk segera diluapkan. "Apa kamu sanggup mendenda makanan yang sudah lama menunggu antrian?!" bentaknya lagi tidak peduli dengan staff lain. "Kamu di sini bekerja untuk mencari duit, bukan bekerja untuk mengeluarkan duit akibat mendenda makanan yang terlambat keluar karena pekerjaanmu lambat seperti keong mas!" racaunya sambil berdecak p...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments