Beranda / Young Adult / About Keenan / Bab 7. Setengah Hati

Share

Bab 7. Setengah Hati

Penulis: litrcse
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-13 21:52:28

"Ketika pilihan hidup dan cinta saling bertabrakan, terkadang kita harus berkorban demi menjaga yang paling berharga."

............

Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul enam sore. Cahaya senja mulai memudar, menyisakan rona merah tipis di langit yang semakin gelap. Di ruang tamu, Keenan duduk di sofa panjang, tubuhnya tampak santai meski ada kegelisahan samar di wajahnya. Di sampingnya, Kavin, adik kecilnya, tenggelam dalam layar ponsel milik Keenan. Tawa kecil Kavin sesekali menggema di ruangan yang sepi, membuat senyum tipis tersungging di bibir Keenan. Namun, di balik tawa itu, Keenan tetap tak bisa sepenuhnya mengusir rasa janggal yang mengganggunya sejak sore tadi. 

Di lantai atas, di kamar utama, suasana jauh lebih serius. Raisya Zahra, ibu Keenan, berdiri di depan cermin, mematut dirinya sambil sesekali melirik ke arah suaminya. Wajahnya memancarkan kecantikan yang masih tersisa meskipun waktu telah berlalu, dan pesona itu kini menurun pada kedua putranya—terutama Keenan.

"Kamu yakin Keenan akan setuju?" tanya Raisya, suaranya rendah, namun tak bisa menyembunyikan kegelisahan yang menggantung di udara. Rambutnya yang panjang terurai rapi di bahunya, memperkuat kesan elegan sekaligus cemas yang terpancar dari sosoknya.

Rama, suaminya, berdiri dengan penuh keyakinan. Wajahnya datar, tidak menunjukkan keraguan sedikit pun. "Dia gak punya pilihan. Aku yakin anak itu gak akan bisa nolak keputusanku." Kalimat itu terdengar mantap, seolah-olah keputusan ini sudah final sejak lama.

Raisya menghela napas panjang. Ia mengenal putranya dengan baik, dan tahu bahwa hati Keenan bukanlah sesuatu yang mudah dipaksa. Namun, ia juga tahu betapa keras kepala suaminya. "Baiklah kalau gitu, kita turun sekarang. Mungkin mereka akan tiba sebentar lagi," ujarnya sambil melirik jam dinding yang sudah menunjukkan semakin dekat ke malam.

Rama mengangguk dan segera berjalan keluar kamar, diikuti oleh Raisya yang langkahnya terasa lebih lambat, seakan menahan sesuatu. Saat mereka sampai di tangga, langkah Rama terhenti. Dari posisinya di atas, ia memandang ke ruang tamu, di mana kedua putranya terlihat sangat akur. Kavin masih asyik dengan permainannya, sementara Keenan terlihat diam, menatap ke lantai seolah pikirannya ada di tempat lain. Senyum tipis muncul di wajah Rama, meski hanya sesaat, sebelum ia melanjutkan langkahnya.

"Sayang, kenapa berhenti?" tanya Raisya dengan suara lembut, membuat Rama tersadar dan segera berjalan lagi tanpa menjawab.

Di sisi lain kota, sebuah mobil hitam melaju perlahan menuju rumah Keenan. Di dalam mobil, suasana berbeda. Clara, gadis dengan rambut panjang tergerai, duduk dengan wajah cemberut. Bibirnya terkatup rapat sejak meninggalkan rumah, sementara matanya menatap kosong ke luar jendela. Mobil itu membelah jalanan yang mulai diterangi lampu-lampu kota, namun tidak ada satu pun keindahan malam yang menarik perhatiannya.

"Pa, ngapain sih Clara dijodohin segala? Clara itu udah gede, papa," gumamnya dengan nada protes yang tertahan, seakan kelelahan dari perdebatan panjang.

Evan, ayahnya, menatap putrinya dengan ekspresi tenang, seperti seorang yang sudah terbiasa dengan sifat keras kepala anak gadisnya. Tangannya merangkul bahu Clara, mencoba memberikan ketenangan meski ia tahu itu tak akan mudah. "Papa tahu ini sulit buat kamu, sayang. Tapi percayalah, ini keputusan terbaik. Kamu gak akan nyesel. Lagi pula, Papa juga gak bisa tiba-tiba batalin janji ke temen Papa begitu saja."

Clara melipat tangannya di dada, bibirnya mengerucut. "Tapi Clara udah punya cowok, Pa," suaranya melembut, hampir tak terdengar, sambil matanya tetap fokus ke pemandangan luar jendela.

Evan terdiam sesaat, matanya memandang putrinya dengan penuh kasih. "Seriusan kamu udah punya pacar?" tanyanya pelan, seolah ingin memastikan perasaan putrinya yang selama ini jarang dibicarakan.

Clara hanya menatap jalanan gelap, tak menjawab langsung. “Ya.. bukan pacar sih, maksudnya Clara itu udah suka ke cowok lain,” ucapnya pelan, seolah tak ingin memperbesar masalah.

Evan menarik napas panjang, membelai rambut putrinya dengan lembut. "Dengerin Papa, Clara. Ini semua demi kebaikan kamu. Gak ada yang tahu gimana masa depan kita, tapi Papa cuma mau kamu bahagia."

Clara hanya bisa menghela napas panjang, enggan memperpanjang perdebatan. Dalam diam, pikirannya melayang, berusaha mencari jalan keluar dari situasi yang tak ia inginkan. 

Setelah beberapa saat, Evan menawarkan sebuah kompromi. "Gimana kalau kita bikin kesepakatan? Kalau kamu setuju, Papa kasih apa pun yang kamu mau. Uang jajan? Papa bisa kasih lima kali lipatnya."

Clara menatap ayahnya dengan mata membesar, tertarik pada tawaran yang menggiurkan. Tapi ada keraguan di dalam dirinya, takut jika lelaki yang akan ia temui tak sesuai harapan. Gadis itu merenung, wajahnya terlihat lebih serius dari sebelumnya.

Melihat ekspresi itu, Evan tersenyum tipis. "Kamu gak harus nikah sekarang, sayang. Cuma kenalan dulu aja. Gak ada yang buru-buru."

Setelah beberapa detik, Clara akhirnya mengangguk pelan. "Baik, Pa," jawabnya, suaranya nyaris berbisik, namun cukup jelas untuk menyampaikan keputusannya.

Evan tersenyum lebar, lega. "Makasih sayang, cuma kamu anak papa yang bisa diandalkan," katanya dengan bangga sambil memeluk putrinya.

Di saat yang sama, mobil mereka berhenti di depan sebuah rumah besar dengan lampu-lampu terang. Di depan pintu, Keenan berdiri bersama kedua orang tuanya, menanti tamu yang mereka tahu akan mengubah hidup putra mereka.

Keenan berdiri dengan malas, tatapannya kosong, seolah dunia di sekelilingnya tak lagi menarik. Ia bahkan tak sadar bahwa di balik pintu mobil itu, Clara, gadis yang selama ini ia kenal dari kejauhan, sebentar lagi akan melangkah masuk ke dalam hidupnya dengan cara yang tak pernah ia duga.

Supir Evan dengan cekatan membuka pintu mobil. Evan keluar terlebih dahulu, diikuti oleh Clara yang dipegang erat oleh tangan ayahnya. Pakaian mereka tertutup dalam balutan malam, tetapi senyum ramah Rama dan istrinya cukup menyinari suasana.

Rama, dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya, melangkah cepat menghampiri mereka. Istrinya, dengan gaun malam yang elegan dan mata lembut, mengikuti di sampingnya.

"Selamat malam, kawan," ucap Rama dengan nada hangat, "Selamat datang di rumahku," tambahnya, suaranya penuh antusiasme.

Evan mengeluarkan tawa pelan yang terasa akrab di udara malam, "Selamat malam juga, kawan lamaku," ucap Evan sambil menyambut tangan Rama, tangan mereka saling menggenggam dalam pelukan singkat yang penuh keakraban. Dia kemudian beralih kepada Raisya, istri Rama, dan mengucapkan salam yang sopan.

"Silahkan masuk," kata Raisya dengan senyum ramah yang menyebar di wajahnya.

Dengan anggukan hormat, mereka melangkah memasuki rumah. Namun, saat mereka mendekati pintu masuk, Keenan merasakan kejang pada tubuhnya. Matanya membulat kaget ketika melihat teman ayahnya ternyata adalah kepala sekolahnya sendiri. Dan lebih mengejutkan lagi, tatapannya tertuju pada gadis yang berjalan di samping ibunya. 

'Clara? Gue dijodohin sama dia?' batin Keenan, kejutan dan kebingungan melintas dalam pikirannya. Emosinya bergolak, campur aduk antara ketidakpercayaan dan kekhawatiran tentang apa yang akan datang.

Di sisi lain, Clara juga merasa terkejut. Tatapannya penuh rasa ingin tahu dan sedikit kagum saat dia mengamati Keenan dari ujung rambut hingga kaki. Ekspresi wajahnya memperlihatkan evaluasi yang cepat, dan dia membatin, ‘Boleh juga.’

Evan, dengan senyum yang tampaknya tidak bisa menutup rasa senangnya, mendekati Keenan. “Anak ini, semakin hari semakin tampan saja,” ucapnya dengan nada memuji.

“Keenan, kamu gak usah sungkan. Ini di luar sekolah, nak. Saya dan papa kamu sudah berkawan lama. Ini mungkin sedikit kejutan buat kamu,” jelas Evan dengan tawa kecil yang seakan menghilangkan ketegangan.

Rama dan Raisya ikut tertawa, suara tawa mereka menciptakan suasana yang lebih santai.

Clara merasa kaget mendengar pengakuan ayahnya. Jadi, Keenan ini satu sekolah dengannya? Keterkejutan Clara tidak hanya karena pertemuan ini, tetapi juga karena selama ini perhatiannya tercurah pada cowok lain yang berhasil membuatnya tergila-gila di kelas.

“Udah ayo, kita lanjut ngobrolnya di dalam aja,” ajak Rama dengan semangat. Semua orang mengikuti ajakannya, melangkah ke dalam rumah dengan suasana yang kini terasa lebih akrab dan hangat, meninggalkan Keenan dan Clara yang masih memproses kejutan tak terduga ini.

Evan, Rama, dan Raisya tampak tenggelam dalam percakapan hangat mereka, suasana di ruang tamu terasa akrab dan penuh canda. Sementara itu, Keenan duduk di sudut, matanya tetap terfokus pada ayahnya dan kepala sekolahnya yang bercakap dengan penuh keakraban. Meskipun berusaha untuk tetap tenang, rasa terkejutnya masih membayang di wajahnya. "Sejak kapan ayah bisa berteman dekat dengan kepala sekolah?" pikirnya dalam hati, membiarkan pertanyaan itu menggantung di benaknya.

Di sisi lain ruangan, Clara tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya. Dia beberapa kali melemparkan tatapan penuh perhatian ke arah Keenan, berusaha menarik perhatiannya dengan wajah sok kalem dan pose yang terkesan berusaha memikat. Namun, Keenan tetap terfokus pada obrolan yang berlangsung di hadapannya, tidak memberi perhatian sedikit pun kepada Clara, yang tampaknya semakin frustrasi namun tetap berusaha menjaga sikapnya.

Tiba-tiba, dari arah lorong, terdengar suara langkah kaki kecil yang cepat. Kavin, adik Keenan yang masih belia, muncul dengan wajah ceria dan penuh semangat. Dia berlari kecil menuju arah Keenan, membuat semua mata di ruangan tertuju padanya. Gerakannya yang lincah dan ekspresi gembira menarik perhatian, dan Keenan segera menyambutnya dengan senyum hangat, ketulusan di matanya jelas terlihat.

“Kenapa lari-larian gitu, nanti jatuh,” ucap Keenan dengan nada lembut, mencoba menahan tawa saat melihat betapa bersemangatnya adiknya.

Kavin, dengan mata yang berbinar, menyodorkan ponselnya kepada Keenan, “Kakaa, ini coba liat, Apin menang main game!” Ucapnya dengan nada penuh kegembiraan. Reaksi spontan adiknya ini membuat semua orang di ruangan tertawa. Kavin yang penuh energi dan tingkah lucu, seakan menjadi bintang malam itu.

“Dia anak bungsu kami, Kavin Aksara,” ucap Raisya sambil tersenyum lembut, memperkenalkan anaknya kepada Evan, teman suaminya. “Panggilan akrabnya di rumah memang Apin,” tambah Raisya dengan penuh kasih sayang.

Evan mengangguk dengan senyum hangat, “Calon pewaris kedua nih,” ujarnya dengan nada menggoda, yang membuat Rama terkekeh pelan. Suasana di ruang tamu semakin ceria dengan kehadiran Kavin, kehangatan dan kedekatan keluarga Aksara menjadi jelas terlihat di setiap tawa dan senyuman yang terukir di wajah mereka.

Clara, yang semula duduk di samping Evan, tiba-tiba bergerak mendekat dan duduk di sebelah Keenan. Dengan gerakan lembut, tangannya mengusap pipi Kavin, yang seketika terlihat terkejut dan bingung dengan kehadiran orang asing ini.

Kavin menatap Clara dengan tatapan penasaran, belum sepenuhnya memahami siapa wanita di depannya. 

"Apin.. dia itu namanya Kak Clara," ucap Raisya lembut, mengarahkan perhatian Kavin pada Clara. "Cantik kan?" tambahnya, dengan senyum penuh kasih sayang.

Kavin, yang belum terbiasa dengan sosok baru, mundur sedikit dan memegangi paha Keenan, mencari perlindungan di samping kakaknya. Keenan merasa sedikit bingung dengan reaksi adiknya.

"Cantikan temennya kakaa yang waktu itu," kata Kavin tiba-tiba, membuat Keenan terkejut, begitu juga semua yang ada di ruangan. Suasana menjadi hening sejenak, dengan tatapan-tatapan yang penuh tanya.

Clara mengerutkan keningnya, jelas terlihat kecewa. Raisya segera mendekati Kavin, berbisik dengan nada lembut namun tegas, “Apin, gak boleh bilang gitu, gak baik.”

Kavin hanya diam, menunduk dengan rasa bersalah. Keenan, berusaha meredakan ketegangan, membisikkan pada adiknya dengan suara lembut, “Apin, main di dalam kamar kakaa aja ya. Nanti kakaa nyusul, okay?”

Kavin mengangguk, senyum kecil di wajahnya kembali muncul sebelum dia berlari menuju kamar Keenan, meninggalkan ruang tamu dalam suasana yang kini terasa canggung.

Rama, yang melihat ketegangan di ruangan, tiba-tiba mendapatkan ide. Dia membersihkan tenggorokannya dengan lembut, “Keenan, ajak Clara jalan-jalan sebentar. Biar kalian bisa saling kenal,” ucapnya dengan nada yang seolah menuntut.

Keenan mengangkat alisnya, menatap ayahnya. Sedangkan Rama melontarkan tatapan tajamnya pada putranya, seolah memaksa. Meskipun tidak mengucapkan kata perintah, tatapannya sudah cukup untuk menyampaikan maksudnya.

Keenan melihat ke arah semua orang, kemudian mengangguk setuju. Tanpa kata lain, dia berdiri dan mengundang Clara. Keduanya pun melangkah keluar dari rumah, meninggalkan ruang tamu yang kini dipenuhi oleh suasana canggung namun penuh harapan.

Mereka berdua melangkah keluar rumah. “Lo pengen jalan-jalan kemana?” tanya Keenan dengan nada yang dingin dan datar, meskipun ada keengganan tersirat dalam suaranya.

“Tadi aku lihat ada pasar malem di daerah sini. Gimana kalau kita kesana aja?” jawab Clara, mencoba terdengar antusias.

Keenan mengangguk, dan mereka menuju garasi. Dia menarik motor sportnya yang mengkilap dari tempatnya, lalu mengendarainya dengan gesit menuju halaman rumah tempat Clara menunggunya.

Clara melihat motor tersebut dengan sedikit terkejut, “Naik motor?” tanyanya dengan nada tidak percaya.

“Iya, kenapa? Lo nggak suka?” jawab Keenan, suaranya terdengar sedikit menantang.

“Eh, enggak, gak apa-apa,” Clara buru-buru menjawab sambil menaiki motor. Mereka pun melaju ke arah pasar malam.

Saat mereka sampai di pasar malam, suasana yang ramai dan bising menyambut mereka. Lampu-lampu berwarna-warni dan aroma makanan jalanan memenuhi udara. Clara dan Keenan mulai menjelajahi area tersebut, tapi Keenan tampak diam, hanya sesekali melirik ke arah stand-stand yang mereka lewati. Clara, sebaliknya, terlihat jelas tidak menikmati suasana pasar malam yang menurutnya kotor dan tidak menarik. Dia merasa menyesal, menyadari bahwa dia sebenarnya tidak tertarik pada tempat ini, tapi terpaksa memilihnya demi kesempatan berbicara dengan Keenan.

Ketika mereka sedang berkeliling, tiba-tiba seorang gadis menghampiri mereka dengan langkah cepat. “Keenan, kalian ngapain berduaan di sini?” tanya gadis itu dengan nada terkejut dan sedikit menuntut.

Claudia.

BERSAMBUNG

Bab terkait

  • About Keenan   Bab 8. Waktu yang Tepat

    "Menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan cinta bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda betapa berartinya perasaan itu bagi kita." -Keenan Aksara...Suasana pasar malam malam itu menggeliat hidup. Lampu-lampu kelap-kelip berwarna-warni menciptakan lautan cahaya, sementara tawa anak-anak dan teriakan dari wahana yang berputar membaur dengan musik dangdut yang mengalun dari pengeras suara tua. Riuh rendah manusia yang berdesakan di antara lapak-lapak penjaja mainan dan jajanan tak sedikit pun memudarkan atmosfer gembira, seolah-olah tempat itu menyatu dengan keajaiban kecil kota.Namun, di antara keramaian itu, ada ruang hening yang memisahkan tiga sosok: Keenan, Clara, dan Claudia. Keheningan di antara mereka terasa tegang, kontras dengan tawa yang berserakan di udara. Mata Claudia yang tajam dan penuh tanya memaku pandangannya ke arah Keenan, sementara Keenan berdiri tegak di samping Clara, wajahnya tampak sedikit kaku namun tetap tenang.Keenan bergerak dengan cepat, tanpa

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-14
  • About Keenan   Bab 9. Sempurna

    "Kamu akan terlihat sempurna dimata orang yang benar-benar mencintaimu dengan tulus." -Keenan Aksara...Saat Keenan dan Clara turun dari wahana, angin malam mulai mendingin, mengusir sisa-sisa kehangatan hari itu. Lampu-lampu kota berkedip di kejauhan, tapi bagi Keenan, semuanya terasa buram. Dia melirik jam tangannya, angka delapan malam menari di sana, memaksanya untuk kembali ke realitas."Ayo pulang," katanya, suaranya datar, tanpa emosi. Clara hanya mengangguk, bibirnya mengerucut tipis, menyembunyikan kekesalan yang perlahan merayap di hatinya. Sejak tadi, Keenan lebih sibuk dengan pikirannya sendiri, membiarkan Clara bicara sendiri tanpa balasan berarti.Ketika mereka sampai di depan rumah Keenan, pemandangan itu membuatnya menarik napas dalam. Kedua orang tuanya sudah berdiri di sana, bersama ayah Clara yang tampak begitu ceria. Langit malam menjadi saksi kesunyian yang menggantung di udara, sementara senyum-senyum tersungging di wajah-wajah orang dewasa."Gimana? Sudah akr

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-15
  • About Keenan   Bab 10. Mengamati

    "Ada yang berbeda ketika aku memandangnya, sebuah kedamaian yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata." -Keenan Aksara °°°°° Malam itu begitu cerah, bintang-bintang bertaburan di langit seakan menyaksikan drama kecil yang tak terlihat oleh mata kebanyakan orang. Angin malam berembus lembut, membawa ketenangan yang sayangnya tak dirasakan oleh Keenan saat ini. Dia mendapati dirinya sedikit terkejut ketika tiba-tiba Kafka sudah berada di belakangnya, seolah muncul entah dari mana. Keenan melirik sekilas ke arah Alsha yang masih terhanyut menatap langit, terpukau oleh keindahan bintang-bintang di atas sana. Dia menarik napas panjang, lalu perlahan melangkah, mengisyaratkan Kafka untuk menjauh dari rumah Alsha. "Kita cabut dari sini," ucap Keenan, suaranya datar namun ada sedikit ketegangan yang tersirat. Kafka, yang sebelumnya sempat melirik ke arah Alsha dengan rasa penasaran, mengerutkan kening. "Kenapa harus menjauh dari sesuatu yang bikin kita tenang?" tanyanya dengan nada tak se

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-16
  • About Keenan   Bab 11. Satu Pilihan

    "Cinta yang tulus tidak butuh persetujuan orang lain." -Keenan Aksara ••• Keenan terus melangkah santai, mengabaikan suara Claudia yang mencoba menarik perhatiannya. Langit cerah di atas sekolah seolah tak terpengaruh oleh ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya. “Keenan!” Suara Claudia menggema, namun tetap saja, ia tak menoleh. Abhi yang berada di belakang Keenan, melirik sebentar ke arah Claudia lalu menghampirinya. “Maaf, Kak. Bukannya mau ikut campur, tapi lebih baik Kakak jauhin Keenan. Ini demi kebaikan bersama.” Claudia memandang tajam ke arah Abhi, alisnya berkerut penuh tanya. “Demi kebaikan bersama? Maksud lo apa?” Abhi sempat membuka mulut, ingin menjelaskan, namun sebuah suara lain tiba-tiba menyeruak, menghentikan segalanya. "Keenan!" Langkah Keenan langsung terhenti saat suara itu sampai ke telinganya. Seketika suasana berubah, menegangkan namun penuh tanda tanya. Semua mata tertuju pada seorang gadis yang berlari kecil ke arah Keenan. Clara. Keenan

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-18
  • About Keenan   Bab 12. Ketika Luka Menuntut Balas

    "Tindakanmu hari ini bisa menjadi racun bagi hati yang kau cintai esok hari." ••• Kafka tidak banyak bicara. Begitu melihat Keenan keluar dari kantin, dia langsung melangkah, tenang tapi dengan tekad yang sudah bulat. Di tengah pilihan sulit yang sering kita hadapi, penting untuk mengingat bahwa setiap langkah yang kita ambil bisa membentuk masa depan kita. Terkadang, kita perlu berani melangkah meski jalan yang diambil tidak pasti. "Eh, mau ke mana si burung kakap?" Abhi berteriak dari belakang, nada suaranya khas, selalu santai. "Jadi nggak nih kita ditraktir?" sahut Nevan, sedikit kesal tapi tak benar-benar serius. Kafka berhenti sejenak, menoleh dengan perlahan. Tatapannya tajam, seperti sedang memperingatkan. Mata itu tertuju pada Abhi yang baru saja memanggilnya dengan nama seenaknya. "Lo pilih jajan atau Keenan?" Kafka berkata datar, tanpa memberi ruang untuk bantahan. Tanpa menunggu jawaban, dia kembali melangkah. Abhi menghela napas, melirik Nevan, "Berat, nih."

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-23
  • About Keenan   Bab 12. Ketika Luka Menuntut Balas (Part 2)

    Davin melangkah dengan cepat ke arah Claudia, matanya tak lepas dari mereka berdua, penuh pertanyaan, penuh rasa yang tertahan. "Ngapain kalian pelukan di tengah lapangan? Gak malu diliatin banyak orang?" tanyanya dengan suara rendah tapi setiap kata mengandung teguran yang dalam. Claudia menegakkan tubuhnya, meski jantungnya berdebar keras. "Enggak! Gue gak malu. Kenapa sih lo ikut campur? Ini bukan urusan lo!" ucapnya dengan nada yang bergetar, meski dia berusaha keras tampak kuat. Davin menatapnya dalam-dalam, matanya berbicara lebih banyak dari kata-katanya. “Ini jelas urusan gue. Karena gue suka sama lo!” Kata-kata itu jatuh seperti hujan yang tiba-tiba, dingin dan tak terduga. Claudia membeku, menatap Davin dengan mata yang kini mulai memudar. Selama ini, dia tak pernah menyadari bahwa di balik sikap Davin yang selalu tenang, ada perasaan yang disimpannya begitu lama. Keenan, yang kini hanya menjadi saksi dari semua ini, diam saja. Hatinya tak tersentuh oleh drama yang

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-25
  • About Keenan   Bab 13. Di Ujung Lorong

    "Setiap tatapan bisa menyimpan ribuan rasa."•••Clara membanting bukunya di atas bangku dengan keras, menciptakan bunyi nyaring yang memecah keheningan kelas. Suara itu memantul di dinding-dinding, membuat Elysia yang sedang sibuk mencoret-coret catatan kecil di hadapannya tersentak kaget. Matanya yang semula terfokus pada pena di tangannya langsung menatap Clara dengan bingung."Lo kenapa sih? Baru dateng udah ngamuk-ngamuk," ujar Elysia, sedikit berbisik, khawatir kalau suara mereka menarik perhatian anak-anak lain di kelas. Elysia Tamara, dengan rambut panjang terurai dan gaya modisnya yang khas, selalu tampak serasi duduk di samping Clara. Mereka seperti cerminan satu sama lain, dengan pakaian yang selalu up-to-date dan sepatu yang baru dibeli beberapa hari sebelumnya. Dua gadis yang selalu jadi pusat perhatian di manapun mereka berada.Clara mendengus sambil melipat tangan di depan dadanya. Wajahnya merah, bukan karena malu, tapi lebih karena amarah yang perlahan memenuhi pikir

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-29
  • About Keenan   Bab 13. Di Ujung Lorong (Part 2)

    "Coba jelasin ke gue," Claudia akhirnya berbicara lagi, kali ini lebih pelan namun penuh tuntutan. "Kenapa lo bisa pacaran sama Keenan?"Clara menatap Claudia dengan malas. Dadanya masih terasa sesak oleh rasa frustrasi sebelumnya, tapi sekarang ia harus berhadapan dengan sesuatu yang lain. "Kita gak pacaran," jawab Clara datar, matanya lurus ke depan. Jawaban itu membuat Claudia menoleh cepat, menatap Clara dengan mata yang sedikit menyipit."Apa?" Claudia mengerutkan kening, jelas tak puas dengan jawaban Clara. "Jelas-jelas Keenan yang bilang kalau kalian pacaran. Lo bohong?"Clara mendengus. Tentu saja, Keenan. Firasatnya tadi benar, ini semua hanya soal cowok yang satu itu. "Dia yang bohong, Kak. Gue gak ada perasaan apa-apa ke dia," katanya dengan nada tegas. Suaranya tak menunjukkan keraguan sedikit pun, meskipun di dalam hatinya, Clara tahu masalah ini belum selesai.Claudia terdiam, mencoba mencerna informasi itu. Kebingungan tampak di waj

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-29

Bab terbaru

  • About Keenan   BAB 23. Badai yang Terkendali

    Ketika bel istirahat berdering, suara riuh siswa yang berlomba-lomba meninggalkan kelas terdengar menggema. Namun, di salah satu bangku, Keenan tetap duduk diam, tak beranjak. Tatapan matanya terpaku pada Alsha, mengamatinya dalam diam, seolah setiap gerakan gadis itu adalah misteri yang tak ingin ia lepaskan begitu saja."Ayo, Al, ke kantin," suara Aline terdengar, lembut, penuh semangat, ia menggenggam tangan Alsha, mengajak sahabatnya pergi. Alsha sempat melirik ke arah Keenan, namun cowok itu segera mengalihkan pandangan, menyembunyikan ekspresi di wajahnya yang sulit diartikan. "Al!" panggil Aline lagi, kali ini sedikit lebih mendesak. Akhirnya, Alsha mengangguk kecil, menerima ajakan Aline, dan mereka pun akhirnya melangkah keluar bersama.Keenan hanya bisa memandang punggung gadis itu yang semakin menjauh, menyisakan jejak perasaan yang tak terucap. Tak lama, tiga sosok temannya muncul, memperhatikan wajah ketua mereka yang tampak menyiratkan amarah yang sulit ia sembunyikan.

  • About Keenan   Bab 22. Penakluk Hati Keenan (Part 2)

    Setelah Athala menghilang dari pandangan, suasana kembali tenang. Mereka semua duduk kembali, meneruskan obrolan yang seakan tak terganggu oleh apa pun yang baru saja terjadi.Keenan menatap Abhi dengan tatapan tajam, seolah mengingat sesuatu yang tertunda. "Lo tadi mau ngomong apa?" tanya Keenan. Dia pergi ke markas, berharap mendengar kabar soal Alsha, namun sepertinya Abhi masih belum memberi informasi yang dicari. Abhi menggaruk kepala yang tak gatal, matanya sedikit menghindar. "E-eh," jawabnya ragu, suara serak yang keluar dari mulutnya menunjukkan dia sedang kebingungan. "Sorry, Pak Ketu, gue lupa mau ngomong apa tadi," lanjutnya, jelas merasa kikuk karena tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan. Keenan mendengus pelan, ekspresinya datar, namun gerakannya cepat. Tanpa peringatan, ia merampas snack dari tangan Abhi, menikmati keripik itu dengan lahap."Eh, Pak Ketu," ujar Abhi terkejut melihat tingkah Keenan yang tiba-tiba. Keenan hanya melotot ke arah Abhi, matanya menyip

  • About Keenan   Bab 22. Penakluk Hati Keenan

    Keenan dan Athala tiba di markas. Malam itu sunyi, tapi suasana langsung berubah begitu Abhi dan Nevan melihat mobil putih milik Athala memasuki halaman. Teman-teman Keenan, yang sedang asyik bercanda, langsung bergegas berdiri. Mereka saling bertugas pandang dengan senyum kecil yang penuh arti. Bagi mereka, Athala bukan sekadar kakak bagi Keenan, tapi juga sosok kakak yang selalu hadir untuk mereka semua.Abhi yang langsung menyambut Athala dengan lambaian tangan. "Hey, Bang Athala! Tumben nongol malam-malam gini! Mau gabung sama kita?"Athala turun dari mobil dengan langkah tenang, melemparkan senyum tipis pada mereka. "Lagi kosong aja," jawabnya sambil menepuk bahu Abhi. "Gue kangen ngeliat kalian semua. Udah lama, kan, nggak ngobrol bareng?""Bukan sekadar lama, Bang! Kita udah hampir lupa kapan terakhir kali Abang nongkrong di sini," canda Nevan sambil tertawa.Athala terkekeh pelan, menatap mereka satu per satu. Rasanya hangat, kembali berada di tengah-tengah mereka. Dia tahu, d

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 6)

    Keenan melajukan motornya, membelah jalanan malam yang sepi dengan kecepatan yang menggila. Pikiran-pikirannya berserakan, berkelindan dengan bayangan wajah ibunya yang tulus, penuh ketidakmengertian, dan ayahnya yang terbungkus kepalsuan dan dusta. Kekecewaan semakin membakar dadanya, membuat tangannya refleks memutar gas lebih kencang, seolah berharap kecepatan bisa menghapus segalanya.Di tengah kesibukannya melawan pikirannya, tiba-tiba, dari kejauhan, segerombolan orang berdiri menghadang di tengah jalan. Davin dan teman-temannya, berdiri dalam bayang malam yang samar, seolah sudah menunggu kedatangannya. Keenan ngerem mendadak, membuat roda motornya berdecit keras, meninggalkan bekas yang panjang di aspal. Matanya menatap tajam ke arah mereka, tanpa rasa takut sedikit pun. Tanpa ragu, ia turun dari motor dan berjalan mendekat, tatapannya penuh kemarahan yang tersimpan.Davin tersenyum licik, wajahnya tampak puas melihat Keenan mendekat. "Wah, lihat siapa yang muncul, guys," ucapn

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 5)

    Keenan tetap diam, namun tatapannya tidak berubah, tajam dan penuh kekecewaan. Ini bukan kali pertama ia merasakan ancaman dari sang ayah, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Rasa takut yang dulu menghantuinya perlahan tergantikan oleh keberanian untuk melawan.Ayahnya melangkah maju, mendekati Keenan hingga jarak mereka hanya beberapa sentimeter. "Ingat ini baik-baik, Keenan. Kamu cuma anak kecil yang nggak tahu apa-apa tentang hidup. Kalau kamu masih berani buka mulut soal ini ke Mama, atau ke siapa pun, Papa akan pastikan hidupmu nggak akan nyaman di rumah ini." ucapnya dengan suara yang begitu rendah, namun jelas mengandung ancaman yang serius.Keenan menahan napas, merasakan amarahnya semakin membara. "Silahkan, Pa. Kalau itu yang Papa mau. Tapi itu nggak akan mengubah fakta kalau Papa salah, kalau Papa sudah menghancurkan kepercayaan orang-orang yang sayang sama Papa."Mata ayahnya semakin menyipit, napasnya terengah-engah seolah sedang menahan diri agar tidak meledak lebih

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 4)

    Suasana rumah begitu hening saat malam telah sepenuhnya turun, hanya suara napas lembut Kavin yang terlelap di tempat tidur Keenan yang mengisi keheningan. Keenan menghela napas, menyelimutkan kain lembut hingga menutupi bahu kecil adiknya, lalu melangkah pelan-pelan keluar dari kamar, bersiap menuju markas sesuai janjinya dengan Abhi. Tapi ketika dia sampai di pintu depan, langkahnya terhenti.Ayahnya baru saja pulang, berdiri di ruang tamu dengan tubuh yang tampak kelelahan. Setelan kerjanya masih rapi, namun leher kemejanya terlihat sedikit berantakan, dan mata Keenan tak sengaja tertuju pada satu hal yang merusak semuanya, bekas kecupan lipstik yang samar namun jelas di kerah kemeja ayahnya. Seketika, detak jantungnya terasa lebih keras, menambah tekanan dalam dirinya. Bayangan masa kecilnya seketika muncul, saat dulu, ketika ia tak sengaja menemukan ayahnya bersama wanita lain. Dan saat itu juga, hanya ancaman yang ia dapat.Keenan menatap sang ayah dengan tatapan yang sulit diba

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 3)

    Saat pintu terbuka, suara langkah kecil yang berlari cepat segera menyambut Keenan. Dalam sekejap, Kavin, adik kecilnya, muncul dengan senyuman penuh kegembiraan. Mata bulatnya berbinar seperti menemukan harta karun di hadapannya.“Kakaaaak! Kakak udah pulang sekolah!” seru Kavin dengan nada ceria, melompat ke arahnya tanpa ragu. Keenan mengangkat alis sambil tersenyum tipis, menahan tawa melihat semangat adiknya yang begitu polos.Keenan berjongkok, membuka lengannya lebar-lebar. “Wah, ternyata masih ada yang nungguin Kakak pulang, nih,” godanya sambil merentangkan tangan.Tanpa pikir panjang, Kavin langsung masuk ke pelukan Keenan. Tubuh kecilnya menempel erat, seolah tak ingin melepaskan. Keenan bisa merasakan detak kecil jantung adiknya yang begitu polos, mengalirkan kehangatan yang tidak bisa diukur dengan kata-kata.“Nungguin kakak atau nungguin HP kakak, hm?” tanya Keenan sambil mencubit pipi tembem adiknya.Kavin tertawa kecil, memamerkan sederet gigi kecilnya. “Hehehe… dua-du

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 2)

    Keenan masih tenggelam dalam pikirannya ketika tiba-tiba suara ketukan pelan terdengar di kaca mobilnya. Abhi, Nevan, dan Kafka berdiri di luar dengan senyum penuh arti, seperti sekumpulan kawanan yang siap merecoki pagi seseorang. Tanpa menunggu izin, Abhi menarik pintu mobil dan langsung duduk di samping Keenan, diikuti Nevan dan Kafka yang mengintip ke dalam dengan mata menyelidik."Pagi, Pak Ketu, bagaimana hari ini?" sapa Abhi dengan nada riang, senyumannya lebar, tapi jelas ingin tahu ada apa dengan sahabatnya yang jarang terlihat termenung seperti ini.Nevan, yang berdiri di belakang Abhi, langsung menepuk pundaknya. "Pertanyaan lo, salah, Bambang!" serunya, memandang Abhi seakan-akan baru saja melakukan pelanggaran besar.Abhi menoleh, kebingungan, dan baru tersadar, menggaruk kepalanya dengan canggung. "Eh, iya ya, salah. Ini kan, masih pagi. Sorry sorry."Keenan mendengus pelan, sorot matanya masih tajam namun tak sepenuhnya marah. “Lo pada ngapain sih ke sini? Gue nggak man

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia

    Jam dinding menunjukkan pukul enam lewat lima belas pagi, dan udara pagi yang segar menyelimuti jalanan yang masih sepi. Di depan sebuah rumah besar dengan halaman luas, Keenan berdiri dengan tenang di samping mobilnya. Bukan rumah Alsha yang ia tuju pagi ini, melainkan Clara. Jari-jarinya lincah mengetik pesan singkat. "Clara, gue di depan rumah lo. Buruan keluar." Sudah sepuluh menit Keenan menunggu, matanya sesekali melirik jam tangan. Ia bukan tipe orang yang suka menunggu terlalu lama. Setelah pesan itu terkirim, ia bersandar pada pintu mobil, matanya menerawang, memikirkan kejadian semalam. Beberapa menit kemudian, pintu rumah itu terbuka. Clara keluar dengan terburu-buru, rambutnya masih sedikit berantakan, meskipun dia berusaha merapikannya dengan tangannya yang gemetar. Ada kebingungan di wajahnya saat ia menghampiri Keenan, yang kini tengah mengamatinya dengan pandangan datar, namun tajam. “Lo ngapain ke sini?” tanya Clara, suaranya sedikit serak, jelas bahwa ia ma

DMCA.com Protection Status