Share

Bab 7. Setengah Hati

"Ketika pilihan hidup dan cinta saling bertabrakan, terkadang kita harus berkorban demi menjaga yang paling berharga."

............

Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul enam sore. Cahaya senja mulai memudar, menyisakan rona merah tipis di langit yang semakin gelap. Di ruang tamu, Keenan duduk di sofa panjang, tubuhnya tampak santai meski ada kegelisahan samar di wajahnya. Di sampingnya, Kavin, adik kecilnya, tenggelam dalam layar ponsel milik Keenan. Tawa kecil Kavin sesekali menggema di ruangan yang sepi, membuat senyum tipis tersungging di bibir Keenan. Namun, di balik tawa itu, Keenan tetap tak bisa sepenuhnya mengusir rasa janggal yang mengganggunya sejak sore tadi. 

Di lantai atas, di kamar utama, suasana jauh lebih serius. Raisya Zahra, ibu Keenan, berdiri di depan cermin, mematut dirinya sambil sesekali melirik ke arah suaminya. Wajahnya memancarkan kecantikan yang masih tersisa meskipun waktu telah berlalu, dan pesona itu kini menurun pada kedua putranya—terutama Keenan.

"Kamu yakin Keenan akan setuju?" tanya Raisya, suaranya rendah, namun tak bisa menyembunyikan kegelisahan yang menggantung di udara. Rambutnya yang panjang terurai rapi di bahunya, memperkuat kesan elegan sekaligus cemas yang terpancar dari sosoknya.

Rama, suaminya, berdiri dengan penuh keyakinan. Wajahnya datar, tidak menunjukkan keraguan sedikit pun. "Dia gak punya pilihan. Aku yakin anak itu gak akan bisa nolak keputusanku." Kalimat itu terdengar mantap, seolah-olah keputusan ini sudah final sejak lama.

Raisya menghela napas panjang. Ia mengenal putranya dengan baik, dan tahu bahwa hati Keenan bukanlah sesuatu yang mudah dipaksa. Namun, ia juga tahu betapa keras kepala suaminya. "Baiklah kalau gitu, kita turun sekarang. Mungkin mereka akan tiba sebentar lagi," ujarnya sambil melirik jam dinding yang sudah menunjukkan semakin dekat ke malam.

Rama mengangguk dan segera berjalan keluar kamar, diikuti oleh Raisya yang langkahnya terasa lebih lambat, seakan menahan sesuatu. Saat mereka sampai di tangga, langkah Rama terhenti. Dari posisinya di atas, ia memandang ke ruang tamu, di mana kedua putranya terlihat sangat akur. Kavin masih asyik dengan permainannya, sementara Keenan terlihat diam, menatap ke lantai seolah pikirannya ada di tempat lain. Senyum tipis muncul di wajah Rama, meski hanya sesaat, sebelum ia melanjutkan langkahnya.

"Sayang, kenapa berhenti?" tanya Raisya dengan suara lembut, membuat Rama tersadar dan segera berjalan lagi tanpa menjawab.

Di sisi lain kota, sebuah mobil hitam melaju perlahan menuju rumah Keenan. Di dalam mobil, suasana berbeda. Clara, gadis dengan rambut panjang tergerai, duduk dengan wajah cemberut. Bibirnya terkatup rapat sejak meninggalkan rumah, sementara matanya menatap kosong ke luar jendela. Mobil itu membelah jalanan yang mulai diterangi lampu-lampu kota, namun tidak ada satu pun keindahan malam yang menarik perhatiannya.

"Pa, ngapain sih Clara dijodohin segala? Clara itu udah gede, papa," gumamnya dengan nada protes yang tertahan, seakan kelelahan dari perdebatan panjang.

Evan, ayahnya, menatap putrinya dengan ekspresi tenang, seperti seorang yang sudah terbiasa dengan sifat keras kepala anak gadisnya. Tangannya merangkul bahu Clara, mencoba memberikan ketenangan meski ia tahu itu tak akan mudah. "Papa tahu ini sulit buat kamu, sayang. Tapi percayalah, ini keputusan terbaik. Kamu gak akan nyesel. Lagi pula, Papa juga gak bisa tiba-tiba batalin janji ke temen Papa begitu saja."

Clara melipat tangannya di dada, bibirnya mengerucut. "Tapi Clara udah punya cowok, Pa," suaranya melembut, hampir tak terdengar, sambil matanya tetap fokus ke pemandangan luar jendela.

Evan terdiam sesaat, matanya memandang putrinya dengan penuh kasih. "Seriusan kamu udah punya pacar?" tanyanya pelan, seolah ingin memastikan perasaan putrinya yang selama ini jarang dibicarakan.

Clara hanya menatap jalanan gelap, tak menjawab langsung. “Ya.. bukan pacar sih, maksudnya Clara itu udah suka ke cowok lain,” ucapnya pelan, seolah tak ingin memperbesar masalah.

Evan menarik napas panjang, membelai rambut putrinya dengan lembut. "Dengerin Papa, Clara. Ini semua demi kebaikan kamu. Gak ada yang tahu gimana masa depan kita, tapi Papa cuma mau kamu bahagia."

Clara hanya bisa menghela napas panjang, enggan memperpanjang perdebatan. Dalam diam, pikirannya melayang, berusaha mencari jalan keluar dari situasi yang tak ia inginkan. 

Setelah beberapa saat, Evan menawarkan sebuah kompromi. "Gimana kalau kita bikin kesepakatan? Kalau kamu setuju, Papa kasih apa pun yang kamu mau. Uang jajan? Papa bisa kasih lima kali lipatnya."

Clara menatap ayahnya dengan mata membesar, tertarik pada tawaran yang menggiurkan. Tapi ada keraguan di dalam dirinya, takut jika lelaki yang akan ia temui tak sesuai harapan. Gadis itu merenung, wajahnya terlihat lebih serius dari sebelumnya.

Melihat ekspresi itu, Evan tersenyum tipis. "Kamu gak harus nikah sekarang, sayang. Cuma kenalan dulu aja. Gak ada yang buru-buru."

Setelah beberapa detik, Clara akhirnya mengangguk pelan. "Baik, Pa," jawabnya, suaranya nyaris berbisik, namun cukup jelas untuk menyampaikan keputusannya.

Evan tersenyum lebar, lega. "Makasih sayang, cuma kamu anak papa yang bisa diandalkan," katanya dengan bangga sambil memeluk putrinya.

Di saat yang sama, mobil mereka berhenti di depan sebuah rumah besar dengan lampu-lampu terang. Di depan pintu, Keenan berdiri bersama kedua orang tuanya, menanti tamu yang mereka tahu akan mengubah hidup putra mereka.

Keenan berdiri dengan malas, tatapannya kosong, seolah dunia di sekelilingnya tak lagi menarik. Ia bahkan tak sadar bahwa di balik pintu mobil itu, Clara, gadis yang selama ini ia kenal dari kejauhan, sebentar lagi akan melangkah masuk ke dalam hidupnya dengan cara yang tak pernah ia duga.

Supir Evan dengan cekatan membuka pintu mobil. Evan keluar terlebih dahulu, diikuti oleh Clara yang dipegang erat oleh tangan ayahnya. Pakaian mereka tertutup dalam balutan malam, tetapi senyum ramah Rama dan istrinya cukup menyinari suasana.

Rama, dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya, melangkah cepat menghampiri mereka. Istrinya, dengan gaun malam yang elegan dan mata lembut, mengikuti di sampingnya.

"Selamat malam, kawan," ucap Rama dengan nada hangat, "Selamat datang di rumahku," tambahnya, suaranya penuh antusiasme.

Evan mengeluarkan tawa pelan yang terasa akrab di udara malam, "Selamat malam juga, kawan lamaku," ucap Evan sambil menyambut tangan Rama, tangan mereka saling menggenggam dalam pelukan singkat yang penuh keakraban. Dia kemudian beralih kepada Raisya, istri Rama, dan mengucapkan salam yang sopan.

"Silahkan masuk," kata Raisya dengan senyum ramah yang menyebar di wajahnya.

Dengan anggukan hormat, mereka melangkah memasuki rumah. Namun, saat mereka mendekati pintu masuk, Keenan merasakan kejang pada tubuhnya. Matanya membulat kaget ketika melihat teman ayahnya ternyata adalah kepala sekolahnya sendiri. Dan lebih mengejutkan lagi, tatapannya tertuju pada gadis yang berjalan di samping ibunya. 

'Clara? Gue dijodohin sama dia?' batin Keenan, kejutan dan kebingungan melintas dalam pikirannya. Emosinya bergolak, campur aduk antara ketidakpercayaan dan kekhawatiran tentang apa yang akan datang.

Di sisi lain, Clara juga merasa terkejut. Tatapannya penuh rasa ingin tahu dan sedikit kagum saat dia mengamati Keenan dari ujung rambut hingga kaki. Ekspresi wajahnya memperlihatkan evaluasi yang cepat, dan dia membatin, ‘Boleh juga.’

Evan, dengan senyum yang tampaknya tidak bisa menutup rasa senangnya, mendekati Keenan. “Anak ini, semakin hari semakin tampan saja,” ucapnya dengan nada memuji.

“Keenan, kamu gak usah sungkan. Ini di luar sekolah, nak. Saya dan papa kamu sudah berkawan lama. Ini mungkin sedikit kejutan buat kamu,” jelas Evan dengan tawa kecil yang seakan menghilangkan ketegangan.

Rama dan Raisya ikut tertawa, suara tawa mereka menciptakan suasana yang lebih santai.

Clara merasa kaget mendengar pengakuan ayahnya. Jadi, Keenan ini satu sekolah dengannya? Keterkejutan Clara tidak hanya karena pertemuan ini, tetapi juga karena selama ini perhatiannya tercurah pada cowok lain yang berhasil membuatnya tergila-gila di kelas.

“Udah ayo, kita lanjut ngobrolnya di dalam aja,” ajak Rama dengan semangat. Semua orang mengikuti ajakannya, melangkah ke dalam rumah dengan suasana yang kini terasa lebih akrab dan hangat, meninggalkan Keenan dan Clara yang masih memproses kejutan tak terduga ini.

Evan, Rama, dan Raisya tampak tenggelam dalam percakapan hangat mereka, suasana di ruang tamu terasa akrab dan penuh canda. Sementara itu, Keenan duduk di sudut, matanya tetap terfokus pada ayahnya dan kepala sekolahnya yang bercakap dengan penuh keakraban. Meskipun berusaha untuk tetap tenang, rasa terkejutnya masih membayang di wajahnya. "Sejak kapan ayah bisa berteman dekat dengan kepala sekolah?" pikirnya dalam hati, membiarkan pertanyaan itu menggantung di benaknya.

Di sisi lain ruangan, Clara tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya. Dia beberapa kali melemparkan tatapan penuh perhatian ke arah Keenan, berusaha menarik perhatiannya dengan wajah sok kalem dan pose yang terkesan berusaha memikat. Namun, Keenan tetap terfokus pada obrolan yang berlangsung di hadapannya, tidak memberi perhatian sedikit pun kepada Clara, yang tampaknya semakin frustrasi namun tetap berusaha menjaga sikapnya.

Tiba-tiba, dari arah lorong, terdengar suara langkah kaki kecil yang cepat. Kavin, adik Keenan yang masih belia, muncul dengan wajah ceria dan penuh semangat. Dia berlari kecil menuju arah Keenan, membuat semua mata di ruangan tertuju padanya. Gerakannya yang lincah dan ekspresi gembira menarik perhatian, dan Keenan segera menyambutnya dengan senyum hangat, ketulusan di matanya jelas terlihat.

“Kenapa lari-larian gitu, nanti jatuh,” ucap Keenan dengan nada lembut, mencoba menahan tawa saat melihat betapa bersemangatnya adiknya.

Kavin, dengan mata yang berbinar, menyodorkan ponselnya kepada Keenan, “Kakaa, ini coba liat, Apin menang main game!” Ucapnya dengan nada penuh kegembiraan. Reaksi spontan adiknya ini membuat semua orang di ruangan tertawa. Kavin yang penuh energi dan tingkah lucu, seakan menjadi bintang malam itu.

“Dia anak bungsu kami, Kavin Aksara,” ucap Raisya sambil tersenyum lembut, memperkenalkan anaknya kepada Evan, teman suaminya. “Panggilan akrabnya di rumah memang Apin,” tambah Raisya dengan penuh kasih sayang.

Evan mengangguk dengan senyum hangat, “Calon pewaris kedua nih,” ujarnya dengan nada menggoda, yang membuat Rama terkekeh pelan. Suasana di ruang tamu semakin ceria dengan kehadiran Kavin, kehangatan dan kedekatan keluarga Aksara menjadi jelas terlihat di setiap tawa dan senyuman yang terukir di wajah mereka.

Clara, yang semula duduk di samping Evan, tiba-tiba bergerak mendekat dan duduk di sebelah Keenan. Dengan gerakan lembut, tangannya mengusap pipi Kavin, yang seketika terlihat terkejut dan bingung dengan kehadiran orang asing ini.

Kavin menatap Clara dengan tatapan penasaran, belum sepenuhnya memahami siapa wanita di depannya. 

"Apin.. dia itu namanya Kak Clara," ucap Raisya lembut, mengarahkan perhatian Kavin pada Clara. "Cantik kan?" tambahnya, dengan senyum penuh kasih sayang.

Kavin, yang belum terbiasa dengan sosok baru, mundur sedikit dan memegangi paha Keenan, mencari perlindungan di samping kakaknya. Keenan merasa sedikit bingung dengan reaksi adiknya.

"Cantikan temennya kakaa yang waktu itu," kata Kavin tiba-tiba, membuat Keenan terkejut, begitu juga semua yang ada di ruangan. Suasana menjadi hening sejenak, dengan tatapan-tatapan yang penuh tanya.

Clara mengerutkan keningnya, jelas terlihat kecewa. Raisya segera mendekati Kavin, berbisik dengan nada lembut namun tegas, “Apin, gak boleh bilang gitu, gak baik.”

Kavin hanya diam, menunduk dengan rasa bersalah. Keenan, berusaha meredakan ketegangan, membisikkan pada adiknya dengan suara lembut, “Apin, main di dalam kamar kakaa aja ya. Nanti kakaa nyusul, okay?”

Kavin mengangguk, senyum kecil di wajahnya kembali muncul sebelum dia berlari menuju kamar Keenan, meninggalkan ruang tamu dalam suasana yang kini terasa canggung.

Rama, yang melihat ketegangan di ruangan, tiba-tiba mendapatkan ide. Dia membersihkan tenggorokannya dengan lembut, “Keenan, ajak Clara jalan-jalan sebentar. Biar kalian bisa saling kenal,” ucapnya dengan nada yang seolah menuntut.

Keenan mengangkat alisnya, menatap ayahnya. Sedangkan Rama melontarkan tatapan tajamnya pada putranya, seolah memaksa. Meskipun tidak mengucapkan kata perintah, tatapannya sudah cukup untuk menyampaikan maksudnya.

Keenan melihat ke arah semua orang, kemudian mengangguk setuju. Tanpa kata lain, dia berdiri dan mengundang Clara. Keduanya pun melangkah keluar dari rumah, meninggalkan ruang tamu yang kini dipenuhi oleh suasana canggung namun penuh harapan.

Mereka berdua melangkah keluar rumah. “Lo pengen jalan-jalan kemana?” tanya Keenan dengan nada yang dingin dan datar, meskipun ada keengganan tersirat dalam suaranya.

“Tadi aku lihat ada pasar malem di daerah sini. Gimana kalau kita kesana aja?” jawab Clara, mencoba terdengar antusias.

Keenan mengangguk, dan mereka menuju garasi. Dia menarik motor sportnya yang mengkilap dari tempatnya, lalu mengendarainya dengan gesit menuju halaman rumah tempat Clara menunggunya.

Clara melihat motor tersebut dengan sedikit terkejut, “Naik motor?” tanyanya dengan nada tidak percaya.

“Iya, kenapa? Lo nggak suka?” jawab Keenan, suaranya terdengar sedikit menantang.

“Eh, enggak, gak apa-apa,” Clara buru-buru menjawab sambil menaiki motor. Mereka pun melaju ke arah pasar malam.

Saat mereka sampai di pasar malam, suasana yang ramai dan bising menyambut mereka. Lampu-lampu berwarna-warni dan aroma makanan jalanan memenuhi udara. Clara dan Keenan mulai menjelajahi area tersebut, tapi Keenan tampak diam, hanya sesekali melirik ke arah stand-stand yang mereka lewati. Clara, sebaliknya, terlihat jelas tidak menikmati suasana pasar malam yang menurutnya kotor dan tidak menarik. Dia merasa menyesal, menyadari bahwa dia sebenarnya tidak tertarik pada tempat ini, tapi terpaksa memilihnya demi kesempatan berbicara dengan Keenan.

Ketika mereka sedang berkeliling, tiba-tiba seorang gadis menghampiri mereka dengan langkah cepat. “Keenan, kalian ngapain berduaan di sini?” tanya gadis itu dengan nada terkejut dan sedikit menuntut.

Claudia.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status