Beranda / Young Adult / About Keenan / Bab 12. Ketika Luka Menuntut Balas

Share

Bab 12. Ketika Luka Menuntut Balas

Penulis: litrcse
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-23 16:46:49

"Tindakanmu hari ini bisa menjadi racun bagi hati yang kau cintai esok hari."

•••

Kafka tidak banyak bicara. Begitu melihat Keenan keluar dari kantin, dia langsung melangkah, tenang tapi dengan tekad yang sudah bulat. Di tengah pilihan sulit yang sering kita hadapi, penting untuk mengingat bahwa setiap langkah yang kita ambil bisa membentuk masa depan kita. Terkadang, kita perlu berani melangkah meski jalan yang diambil tidak pasti.

"Eh, mau ke mana si burung kakap?" Abhi berteriak dari belakang, nada suaranya khas, selalu santai.

"Jadi nggak nih kita ditraktir?" sahut Nevan, sedikit kesal tapi tak benar-benar serius.

Kafka berhenti sejenak, menoleh dengan perlahan. Tatapannya tajam, seperti sedang memperingatkan. Mata itu tertuju pada Abhi yang baru saja memanggilnya dengan nama seenaknya.

"Lo pilih jajan atau Keenan?" Kafka berkata datar, tanpa memberi ruang untuk bantahan. Tanpa menunggu jawaban, dia kembali melangkah.

Abhi menghela napas, melirik Nevan, "Berat, nih." Tapi akhirnya dia berdiri, menarik Nevan bersamanya, dan mereka berdua berjalan mengikuti Kafka, meski pikiran mereka masih terbayang pada jajanan yang belum sempat dipesan.

Langkah mereka terhenti ketika sampai di lapangan. Di sana, Keenan sedang melempar bola basket ke ring dengan keras, seolah menumpahkan kemarahannya.

Abhi dan Nevan saling pandang. Kafka hanya menatap Keenan dalam diam, matanya tak berpaling sedetik pun. Tapi ketika mereka hendak mendekat, langkah mereka terhenti lagi. Claudia muncul entah dari mana, langsung berjalan menuju Keenan.

"Waduh, tambah berat, nih," keluh Abhi lagi, merasa suasana semakin rumit.

"Gue gak paham sama tuh cewek," ucap Nevan, tatapannya tajam menelusuri gerak-gerik Claudia.

"Lihat aja dulu, gimana Keenan nanggepin dia," ucap Kafka, suaranya nyaris seperti bisikan, lebih kepada dirinya sendiri.

"Keenan," Claudia memanggil, suaranya penuh dengan permohonan, matanya menatap Keenan dengan harapan yang menggantung.

Keenan mendengus, jelas terganggu. Dia memutar badannya, bersiap pergi. Tapi Claudia lebih cepat, tangannya mencengkeram lengan Keenan, tak membiarkannya pergi begitu saja.

"Keenan, please. Jelasin kenapa lo bisa pacaran sama Clara, anak kepsek itu," suaranya serak, putus asa.

Keenan diam, matanya menatap bola yang ada di tangannya. Tanpa berkata apa-apa, dia berusaha menepis tangan Claudia. Tapi Claudia, dengan gerakan yang tak terduga, langsung memeluknya erat. Keenan terkejut, napasnya tertahan.

Abhi, Nevan, dan Kafka menyaksikan semuanya. Mereka terpaku, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

"Bener-bener gila tuh cewek," gumam Nevan, matanya masih menatap ke arah Claudia.

Tanpa sadar, Abhi refleks menutup mata Kafka dengan tangannya. "Woy!" serunya, tapi malah seperti menampar wajah Kafka.

Kafka segera menepis tangan Abhi dengan kesal. "Ngapain lo nabok gue, hah?" Nada suaranya datar, tapi jelas dia terganggu.

"Eh, sorry, refleks," jawab Abhi canggung.

Kafka menghela napas, hendak membalas Abhi, tapi matanya menangkap sesuatu. Alsha. Dia berjalan mendekati lapangan, langkahnya perlahan tapi pasti. Darah Kafka mendesir, menyadari apa yang bisa terjadi jika Alsha melihat Keenan dan Claudia.

Tanpa pikir panjang, Kafka berlari ke arah Alsha, berharap bisa menghentikannya sebelum pemandangan itu terungkap.

"Eh, Kaf, lo mau ke mana lagi?" teriak Abhi dari belakang.

Nevan, yang mulai paham situasinya, segera menarik Abhi untuk mengikuti Kafka. Mereka bertiga berlari mendekati Alsha, berharap bisa menutupi kenyataan pahit yang mungkin tak ingin dilihatnya.

"Hey, Al, mau ke mana?" Kafka bertanya tiba-tiba, tangannya menggaruk kepala yang jelas-jelas tak gatal. Ini adalah hal yang jarang, bahkan pertama kalinya dia mencoba basa-basi dengan cewek. Demi Keenan, Kafka melakukan ini tanpa ragu.

Alsha menoleh dengan senyum lembutnya. “Oh, aku mau ke perpus, Kaf. Ada apa?” tanyanya pelan, suaranya lembut dan menenangkan, seolah setiap kata yang diucapkannya membawa angin sejuk.

Nevan dan Abhi yang baru tiba ikut menyapa. Alsha hanya tersenyum, mengangguk sopan kepada mereka, namun tetap tak mengalihkan fokus dari Kafka, menunggu jawaban dengan sabar.

"Al, kayaknya perpusnya tutup, deh," Kafka berusaha terdengar yakin, meski hatinya sendiri penuh ragu.

Nevan yang mengerti situasi langsung menyahut. “Iya, Al. Katanya petugasnya sakit,” tambahnya, mencoba memperkuat kebohongan kecil Kafka. Sementara Abhi tetap diam, memperhatikan setiap reaksi Alsha dengan waspada.

Alsha mengangguk perlahan, matanya melirik ke arah perpustakaan, penuh keraguan. “Oh, gitu ya,” jawabnya lembut, tanpa ingin mempertanyakan lebih jauh. Ada keheningan sejenak, saat Nevan sengaja menyenggol Abhi untuk menghalangi pandangan Alsha ke arah lapangan.

Namun suasana berubah saat Ghisel muncul dari arah perpustakaan, wajahnya ceria seperti biasa. “Hey, Al! Kok nggak jadi ke perpus? Aku udah dapet bukunya, nih,” katanya sambil mengacungkan buku di tangannya.

Kafka dan Nevan hanya bisa menepuk dahi mereka dengan pelan, menyadari bahwa rencana mereka gagal. Sementara Alsha menatap dengan mata lembut ke arah Kafka, lalu ke Ghisel. “Katanya tadi tutup?” tanyanya, suaranya tetap tenang, namun ada sedikit kebingungan di balik sorot matanya.

Kafka terdiam. Semua rencana di kepalanya buyar. Dia hanya bisa menatap Alsha yang kini menunggunya menjelaskan.

Ghisel tersenyum ramah. “Buka kok, Al. Nih, buktinya,” ujarnya sambil menunjukkan buku di tangannya lagi. “Ya udah, aku duluan ya.” Ghisel berlalu, meninggalkan mereka dengan suasana canggung yang menggantung di udara.

Alsha kini kembali menatap Kafka dan Nevan, dengan mata penuh pengertian namun tetap lembut. “Jadi, yang benar yang mana?” tanyanya pelan, namun tidak ada nada menuduh dalam suaranya.

Abhi yang sejak tadi diam, akhirnya menangkap situasi dan menjawab dengan tenang. “Neng Alsha, mungkin petugasnya tadi sakit perut, jadi ditutup sementara.”

Kafka menoleh dengan pandangan lega, meski Alsha tetap menatap mereka dengan tatapan penuh pertanyaan, meski tanpa sedikit pun kecurigaan.

“Bisa jadi gitu, Al,” sahut Nevan dengan senyum kecil yang tampak lega.

Alsha mengangguk lagi, senyum kecil muncul di wajahnya. “Ya sudah, kalau gitu aku ke perpus dulu, ya.” Langkahnya perlahan hendak menuju ke sana, tapi Kafka, dengan keberanian yang baru pertama kali muncul, berkata, “Eh, Al, kita temenin, ya? Kita juga mau pinjem buku.”

Alsha berhenti sejenak, menatap Kafka dengan senyum yang penuh kelembutan. “Boleh,” jawabnya. Mereka pun berjalan bersama menuju perpustakaan, dengan Abhi dan Nevan yang tetap berjaga-jaga, sementara Kafka mencoba mengalihkan perhatian Alsha dengan obrolan ringan. Meski gugup, dia tahu satu hal: ini adalah sesuatu yang baru baginya, mencoba menjaga seseorang yang begitu tenang dan lembut seperti Alsha dari peristiwa yang bisa merusak pandangannya. Peristiwa yang sedang terjadi di lapangan sana.

Di sisi lain, di lapangan yang perlahan senyap, hanya terdengar suara bola yang bergulir di atas aspal. Keenan berdiri tegak, matanya penuh amarah, namun tubuhnya terkunci dalam pelukan Claudia yang tak mau melepaskannya. Dia menggeliat, mencoba lepas, tapi Claudia memeluknya semakin erat, seolah tak ada lagi yang bisa dia pegang selain Keenan.

"Lo gila ya? Lepasin gak!" Suara Keenan menggema, nadanya tajam, penuh kesal, tapi di balik itu ada sekelumit kelelahan yang tersirat.

Claudia menatap Keenan, matanya berkilat. “Enggak, Keenan. Gue nggak bakal lepasin sebelum Lo jawab pertanyaan gue!” suaranya bergetar, tapi tekadnya tak goyah.

Sebelum Keenan bisa menjawab, sebuah suara keras menggema di udara. “Claudia!” Bukan dari Keenan, melainkan dari Davin, yang kini berdiri di tepi lapangan. Wajahnya penuh amarah, tatapannya tajam seperti pisau yang menusuk.

Claudia menoleh, terkejut, dan seketika itu juga dia melepaskan pelukan dari tubuh Keenan. Keenan terdiam, napasnya memburu. Dia tahu, kehadiran Davin di sini bukanlah kebetulan, dan ini akan menjadi lebih rumit dari yang dia bayangkan.

BERSAMBUNG

Bab terkait

  • About Keenan   Bab 12. Ketika Luka Menuntut Balas (Part 2)

    Davin melangkah dengan cepat ke arah Claudia, matanya tak lepas dari mereka berdua, penuh pertanyaan, penuh rasa yang tertahan. "Ngapain kalian pelukan di tengah lapangan? Gak malu diliatin banyak orang?" tanyanya dengan suara rendah tapi setiap kata mengandung teguran yang dalam. Claudia menegakkan tubuhnya, meski jantungnya berdebar keras. "Enggak! Gue gak malu. Kenapa sih lo ikut campur? Ini bukan urusan lo!" ucapnya dengan nada yang bergetar, meski dia berusaha keras tampak kuat. Davin menatapnya dalam-dalam, matanya berbicara lebih banyak dari kata-katanya. “Ini jelas urusan gue. Karena gue suka sama lo!” Kata-kata itu jatuh seperti hujan yang tiba-tiba, dingin dan tak terduga. Claudia membeku, menatap Davin dengan mata yang kini mulai memudar. Selama ini, dia tak pernah menyadari bahwa di balik sikap Davin yang selalu tenang, ada perasaan yang disimpannya begitu lama. Keenan, yang kini hanya menjadi saksi dari semua ini, diam saja. Hatinya tak tersentuh oleh drama yang

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-25
  • About Keenan   Bab 13. Di Ujung Lorong

    "Setiap tatapan bisa menyimpan ribuan rasa."•••Clara membanting bukunya di atas bangku dengan keras, menciptakan bunyi nyaring yang memecah keheningan kelas. Suara itu memantul di dinding-dinding, membuat Elysia yang sedang sibuk mencoret-coret catatan kecil di hadapannya tersentak kaget. Matanya yang semula terfokus pada pena di tangannya langsung menatap Clara dengan bingung."Lo kenapa sih? Baru dateng udah ngamuk-ngamuk," ujar Elysia, sedikit berbisik, khawatir kalau suara mereka menarik perhatian anak-anak lain di kelas. Elysia Tamara, dengan rambut panjang terurai dan gaya modisnya yang khas, selalu tampak serasi duduk di samping Clara. Mereka seperti cerminan satu sama lain, dengan pakaian yang selalu up-to-date dan sepatu yang baru dibeli beberapa hari sebelumnya. Dua gadis yang selalu jadi pusat perhatian di manapun mereka berada.Clara mendengus sambil melipat tangan di depan dadanya. Wajahnya merah, bukan karena malu, tapi lebih karena amarah yang perlahan memenuhi pikir

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-29
  • About Keenan   Bab 13. Di Ujung Lorong (Part 2)

    "Coba jelasin ke gue," Claudia akhirnya berbicara lagi, kali ini lebih pelan namun penuh tuntutan. "Kenapa lo bisa pacaran sama Keenan?"Clara menatap Claudia dengan malas. Dadanya masih terasa sesak oleh rasa frustrasi sebelumnya, tapi sekarang ia harus berhadapan dengan sesuatu yang lain. "Kita gak pacaran," jawab Clara datar, matanya lurus ke depan. Jawaban itu membuat Claudia menoleh cepat, menatap Clara dengan mata yang sedikit menyipit."Apa?" Claudia mengerutkan kening, jelas tak puas dengan jawaban Clara. "Jelas-jelas Keenan yang bilang kalau kalian pacaran. Lo bohong?"Clara mendengus. Tentu saja, Keenan. Firasatnya tadi benar, ini semua hanya soal cowok yang satu itu. "Dia yang bohong, Kak. Gue gak ada perasaan apa-apa ke dia," katanya dengan nada tegas. Suaranya tak menunjukkan keraguan sedikit pun, meskipun di dalam hatinya, Clara tahu masalah ini belum selesai.Claudia terdiam, mencoba mencerna informasi itu. Kebingungan tampak di waj

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-29
  • About Keenan   Bab 14. Di Antara Halaman dan Harapan

    KRING! KRING! KRING!Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing. Ingat kata bapak ibu guru hari ini, bahwa esok adalah hari baru dengan kesempatan yang lebih besar. Belajar bukan hanya tentang hari ini, tapi tentang membangun masa depan yang lebih baik. Sampai jumpa esok hari dengan semangat yang baru. Jangan lupa tersenyum hari ini kepada dia yang berharga bagimu.TING TING TING... alunan merdu bel sekolah perlahan mereda.Bel pulang sekolah bergema lembut di seluruh penjuru ruangan, seolah mengakhiri hari yang penuh dengan keheningan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang merasakannya. Keenan dan teman-temannya melangkah mantap menuju bangku Alsha, di mana dia menunggu dengan sabar. Hari ini, ada janji yang tak sabar ingin mereka tepati.“Sheena, jadi kan kita ke toko buku?” tanya Keenan, suaranya lembut namun penuh dengan kehangatan yang tersembunyi di balik sorot matanya.Alsha mengangguk, senyum tipisnya mengembang, seakan hany

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-30
  • About Keenan   Bab 15. Diam-diam Menjaga

    Seperti malam-malam sebelumnya, Keenan berdiri di depan rumah Alsha, menatap pekarangan yang sunyi. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Gadis yang biasanya keluar untuk menatap langit, tidak terlihat. Hening menyelimuti, seolah malam itu sengaja menyembunyikannya dari pandangan. Keenan menunggu dengan sabar, berharap Alsha akan keluar. Sekadar melihat wajahnya dalam sinar redup bulan sudah cukup baginya. Hatinya merasakan kekosongan aneh, seolah ada sesuatu yang hilang dari ritme malam ini. Sampai suara yang tak terduga mengganggu lamunannya. “Lo masih betah di sini?” Kafka muncul tiba-tiba di belakangnya, nada suaranya pelan namun mengandung makna. Keenan, dengan gerakan lambat, menoleh. “Ngapain lo di sini?” tanyanya, berusaha menyembunyikan sedikit keterkejutannya. Kafka menarik napas dalam, tatapannya terarah pada jendela rumah Alsha yang masih tertutup. "Gue mau ngomong sesuatu sama lo." "Soal?" Suara Keenan terdengar lebih keras dari yang dia maksudkan, entah

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-30
  • About Keenan   Bab 16. Pesona Keenan

    Keenan dan teman-temannya berlari menuju lapangan basket dengan semangat yang membara, langkah mereka menghentak tanah seakan menciptakan ritme keceriaan di SMA Cendana. Langit biru cerah tanpa awan membentang di atas mereka, menyapa dengan sinar matahari yang hangat. Suasana istirahat ini selalu hidup, tetapi kali ini lapangan basket memancarkan energi yang tak tertandingi. Dengan kaos seragam sekolah yang sedikit dikeluarkan dan rambutnya yang sedikit berantakan, Keenan mulai memantulkan bola basket. Setiap detak bola terasa harmonis dengan jantungnya yang berdegup kencang. Ia bergerak lincah, seolah berada dalam tarian yang penuh gairah, menghindari lawan dengan keahlian yang memukau. “Ayo, Van! Tunjukin skill lo!” teriak Keenan, meluncur ke arah raket, bola berputar anggun di jarinya. Nevan, dengan semangat yang membara, melompat untuk memblokirnya. “Gue gak akan kasih lo kesempatan, Bos!” Namun, Keenan hanya tersenyum lebar dan melakukan gerakan elakan yang cerdik, menjadik

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-30
  • About Keenan   Bab 17. Kafka dan Segala Rahasianya

    Keenan berdecak pelan, malas melihat langkah gadis itu yang terus mendekat. "Mau apa lagi nih cewek," gumam Nevan dengan nada setengah heran. "Sorry ganggu, gue cuma mau kasih ini ke lo," kata Claudia sambil menyodorkan botol minuman ke arah Keenan. Keenan hanya diam, matanya sengaja dialihkan ke arah lain, seperti tak ingin terlibat. Claudia, yang menangkap sinyal itu, tersenyum tipis dengan sedikit ragu. "Yaudah, gue taruh sini aja, ya," ucapnya pelan, lalu menaruh botol di meja di depan Keenan sebelum berbalik dan pergi tanpa banyak kata. "Eh, tumben tuh cewek langsung cabut," celetuk Abhi, heran sambil melirik Keenan. Semua mata mengarah ke Keenan, yang masih cuek. Dia menghela napas dan dengan gesit melepas seragamnya, memperlihatkan kaos hitam yang melekat di tubuhnya. “Sebenernya gue bingung, antara kasihan sama kesel, tapi lebih ke kasihan sih,” ucap Abhi pelan. “Ngapain lo kasihan ke dia? Jelas-jelas karena dia, Lo dibikin bonyok sama Davin,” jawab Nevan, sedikit skept

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-02
  • About Keenan   Bab 17. Kafka dan Segala Rahasianya (Part 2)

    Kafka menghela napas perlahan, melihat Keenan menunggunya. Wajahnya tetap datar, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ia hanya mengangkat bahu dengan ringan, sikapnya terlihat santai. "Nggak ada. Gue cuma ngomong asal aja."Suara Kafka terdengar ringan, hampir seperti sebuah lelucon yang dilemparkan dengan enteng. Tapi di balik nada tenangnya, Keenan tahu ada sesuatu yang tersimpan, sesuatu yang tak mudah ditebak. Pandangannya tetap terfokus pada Kafka, mencoba membaca lebih dalam melalui tatapan matanya yang dingin. Namun, Kafka tampaknya tak berniat untuk melanjutkan."Serius, nggak penting, lupain aja," tambah Kafka lagi, kali ini dengan nada lebih lembut, menutup pembicaraan dengan tenang, seolah segalanya benar-benar tak berarti.Sejenak, hening mengambang di antara mereka. Angin lembut menerpa lapangan, mengibaskan ujung baju mereka, namun ketegangan yang terasa tak luntur begitu saja. Keenan menatap Kafka sedikit lebih lama, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya. Ia t

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-06

Bab terbaru

  • About Keenan   BAB 23. Badai yang Terkendali

    Ketika bel istirahat berdering, suara riuh siswa yang berlomba-lomba meninggalkan kelas terdengar menggema. Namun, di salah satu bangku, Keenan tetap duduk diam, tak beranjak. Tatapan matanya terpaku pada Alsha, mengamatinya dalam diam, seolah setiap gerakan gadis itu adalah misteri yang tak ingin ia lepaskan begitu saja."Ayo, Al, ke kantin," suara Aline terdengar, lembut, penuh semangat, ia menggenggam tangan Alsha, mengajak sahabatnya pergi. Alsha sempat melirik ke arah Keenan, namun cowok itu segera mengalihkan pandangan, menyembunyikan ekspresi di wajahnya yang sulit diartikan. "Al!" panggil Aline lagi, kali ini sedikit lebih mendesak. Akhirnya, Alsha mengangguk kecil, menerima ajakan Aline, dan mereka pun akhirnya melangkah keluar bersama.Keenan hanya bisa memandang punggung gadis itu yang semakin menjauh, menyisakan jejak perasaan yang tak terucap. Tak lama, tiga sosok temannya muncul, memperhatikan wajah ketua mereka yang tampak menyiratkan amarah yang sulit ia sembunyikan.

  • About Keenan   Bab 22. Penakluk Hati Keenan (Part 2)

    Setelah Athala menghilang dari pandangan, suasana kembali tenang. Mereka semua duduk kembali, meneruskan obrolan yang seakan tak terganggu oleh apa pun yang baru saja terjadi.Keenan menatap Abhi dengan tatapan tajam, seolah mengingat sesuatu yang tertunda. "Lo tadi mau ngomong apa?" tanya Keenan. Dia pergi ke markas, berharap mendengar kabar soal Alsha, namun sepertinya Abhi masih belum memberi informasi yang dicari. Abhi menggaruk kepala yang tak gatal, matanya sedikit menghindar. "E-eh," jawabnya ragu, suara serak yang keluar dari mulutnya menunjukkan dia sedang kebingungan. "Sorry, Pak Ketu, gue lupa mau ngomong apa tadi," lanjutnya, jelas merasa kikuk karena tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan. Keenan mendengus pelan, ekspresinya datar, namun gerakannya cepat. Tanpa peringatan, ia merampas snack dari tangan Abhi, menikmati keripik itu dengan lahap."Eh, Pak Ketu," ujar Abhi terkejut melihat tingkah Keenan yang tiba-tiba. Keenan hanya melotot ke arah Abhi, matanya menyip

  • About Keenan   Bab 22. Penakluk Hati Keenan

    Keenan dan Athala tiba di markas. Malam itu sunyi, tapi suasana langsung berubah begitu Abhi dan Nevan melihat mobil putih milik Athala memasuki halaman. Teman-teman Keenan, yang sedang asyik bercanda, langsung bergegas berdiri. Mereka saling bertugas pandang dengan senyum kecil yang penuh arti. Bagi mereka, Athala bukan sekadar kakak bagi Keenan, tapi juga sosok kakak yang selalu hadir untuk mereka semua.Abhi yang langsung menyambut Athala dengan lambaian tangan. "Hey, Bang Athala! Tumben nongol malam-malam gini! Mau gabung sama kita?"Athala turun dari mobil dengan langkah tenang, melemparkan senyum tipis pada mereka. "Lagi kosong aja," jawabnya sambil menepuk bahu Abhi. "Gue kangen ngeliat kalian semua. Udah lama, kan, nggak ngobrol bareng?""Bukan sekadar lama, Bang! Kita udah hampir lupa kapan terakhir kali Abang nongkrong di sini," canda Nevan sambil tertawa.Athala terkekeh pelan, menatap mereka satu per satu. Rasanya hangat, kembali berada di tengah-tengah mereka. Dia tahu, d

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 6)

    Keenan melajukan motornya, membelah jalanan malam yang sepi dengan kecepatan yang menggila. Pikiran-pikirannya berserakan, berkelindan dengan bayangan wajah ibunya yang tulus, penuh ketidakmengertian, dan ayahnya yang terbungkus kepalsuan dan dusta. Kekecewaan semakin membakar dadanya, membuat tangannya refleks memutar gas lebih kencang, seolah berharap kecepatan bisa menghapus segalanya.Di tengah kesibukannya melawan pikirannya, tiba-tiba, dari kejauhan, segerombolan orang berdiri menghadang di tengah jalan. Davin dan teman-temannya, berdiri dalam bayang malam yang samar, seolah sudah menunggu kedatangannya. Keenan ngerem mendadak, membuat roda motornya berdecit keras, meninggalkan bekas yang panjang di aspal. Matanya menatap tajam ke arah mereka, tanpa rasa takut sedikit pun. Tanpa ragu, ia turun dari motor dan berjalan mendekat, tatapannya penuh kemarahan yang tersimpan.Davin tersenyum licik, wajahnya tampak puas melihat Keenan mendekat. "Wah, lihat siapa yang muncul, guys," ucapn

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 5)

    Keenan tetap diam, namun tatapannya tidak berubah, tajam dan penuh kekecewaan. Ini bukan kali pertama ia merasakan ancaman dari sang ayah, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Rasa takut yang dulu menghantuinya perlahan tergantikan oleh keberanian untuk melawan.Ayahnya melangkah maju, mendekati Keenan hingga jarak mereka hanya beberapa sentimeter. "Ingat ini baik-baik, Keenan. Kamu cuma anak kecil yang nggak tahu apa-apa tentang hidup. Kalau kamu masih berani buka mulut soal ini ke Mama, atau ke siapa pun, Papa akan pastikan hidupmu nggak akan nyaman di rumah ini." ucapnya dengan suara yang begitu rendah, namun jelas mengandung ancaman yang serius.Keenan menahan napas, merasakan amarahnya semakin membara. "Silahkan, Pa. Kalau itu yang Papa mau. Tapi itu nggak akan mengubah fakta kalau Papa salah, kalau Papa sudah menghancurkan kepercayaan orang-orang yang sayang sama Papa."Mata ayahnya semakin menyipit, napasnya terengah-engah seolah sedang menahan diri agar tidak meledak lebih

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 4)

    Suasana rumah begitu hening saat malam telah sepenuhnya turun, hanya suara napas lembut Kavin yang terlelap di tempat tidur Keenan yang mengisi keheningan. Keenan menghela napas, menyelimutkan kain lembut hingga menutupi bahu kecil adiknya, lalu melangkah pelan-pelan keluar dari kamar, bersiap menuju markas sesuai janjinya dengan Abhi. Tapi ketika dia sampai di pintu depan, langkahnya terhenti.Ayahnya baru saja pulang, berdiri di ruang tamu dengan tubuh yang tampak kelelahan. Setelan kerjanya masih rapi, namun leher kemejanya terlihat sedikit berantakan, dan mata Keenan tak sengaja tertuju pada satu hal yang merusak semuanya, bekas kecupan lipstik yang samar namun jelas di kerah kemeja ayahnya. Seketika, detak jantungnya terasa lebih keras, menambah tekanan dalam dirinya. Bayangan masa kecilnya seketika muncul, saat dulu, ketika ia tak sengaja menemukan ayahnya bersama wanita lain. Dan saat itu juga, hanya ancaman yang ia dapat.Keenan menatap sang ayah dengan tatapan yang sulit diba

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 3)

    Saat pintu terbuka, suara langkah kecil yang berlari cepat segera menyambut Keenan. Dalam sekejap, Kavin, adik kecilnya, muncul dengan senyuman penuh kegembiraan. Mata bulatnya berbinar seperti menemukan harta karun di hadapannya.“Kakaaaak! Kakak udah pulang sekolah!” seru Kavin dengan nada ceria, melompat ke arahnya tanpa ragu. Keenan mengangkat alis sambil tersenyum tipis, menahan tawa melihat semangat adiknya yang begitu polos.Keenan berjongkok, membuka lengannya lebar-lebar. “Wah, ternyata masih ada yang nungguin Kakak pulang, nih,” godanya sambil merentangkan tangan.Tanpa pikir panjang, Kavin langsung masuk ke pelukan Keenan. Tubuh kecilnya menempel erat, seolah tak ingin melepaskan. Keenan bisa merasakan detak kecil jantung adiknya yang begitu polos, mengalirkan kehangatan yang tidak bisa diukur dengan kata-kata.“Nungguin kakak atau nungguin HP kakak, hm?” tanya Keenan sambil mencubit pipi tembem adiknya.Kavin tertawa kecil, memamerkan sederet gigi kecilnya. “Hehehe… dua-du

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 2)

    Keenan masih tenggelam dalam pikirannya ketika tiba-tiba suara ketukan pelan terdengar di kaca mobilnya. Abhi, Nevan, dan Kafka berdiri di luar dengan senyum penuh arti, seperti sekumpulan kawanan yang siap merecoki pagi seseorang. Tanpa menunggu izin, Abhi menarik pintu mobil dan langsung duduk di samping Keenan, diikuti Nevan dan Kafka yang mengintip ke dalam dengan mata menyelidik."Pagi, Pak Ketu, bagaimana hari ini?" sapa Abhi dengan nada riang, senyumannya lebar, tapi jelas ingin tahu ada apa dengan sahabatnya yang jarang terlihat termenung seperti ini.Nevan, yang berdiri di belakang Abhi, langsung menepuk pundaknya. "Pertanyaan lo, salah, Bambang!" serunya, memandang Abhi seakan-akan baru saja melakukan pelanggaran besar.Abhi menoleh, kebingungan, dan baru tersadar, menggaruk kepalanya dengan canggung. "Eh, iya ya, salah. Ini kan, masih pagi. Sorry sorry."Keenan mendengus pelan, sorot matanya masih tajam namun tak sepenuhnya marah. “Lo pada ngapain sih ke sini? Gue nggak man

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia

    Jam dinding menunjukkan pukul enam lewat lima belas pagi, dan udara pagi yang segar menyelimuti jalanan yang masih sepi. Di depan sebuah rumah besar dengan halaman luas, Keenan berdiri dengan tenang di samping mobilnya. Bukan rumah Alsha yang ia tuju pagi ini, melainkan Clara. Jari-jarinya lincah mengetik pesan singkat. "Clara, gue di depan rumah lo. Buruan keluar." Sudah sepuluh menit Keenan menunggu, matanya sesekali melirik jam tangan. Ia bukan tipe orang yang suka menunggu terlalu lama. Setelah pesan itu terkirim, ia bersandar pada pintu mobil, matanya menerawang, memikirkan kejadian semalam. Beberapa menit kemudian, pintu rumah itu terbuka. Clara keluar dengan terburu-buru, rambutnya masih sedikit berantakan, meskipun dia berusaha merapikannya dengan tangannya yang gemetar. Ada kebingungan di wajahnya saat ia menghampiri Keenan, yang kini tengah mengamatinya dengan pandangan datar, namun tajam. “Lo ngapain ke sini?” tanya Clara, suaranya sedikit serak, jelas bahwa ia ma

DMCA.com Protection Status