Davin melangkah dengan cepat ke arah Claudia, matanya tak lepas dari mereka berdua, penuh pertanyaan, penuh rasa yang tertahan.
"Ngapain kalian pelukan di tengah lapangan? Gak malu diliatin banyak orang?" tanyanya dengan suara rendah tapi setiap kata mengandung teguran yang dalam. Claudia menegakkan tubuhnya, meski jantungnya berdebar keras. "Enggak! Gue gak malu. Kenapa sih lo ikut campur? Ini bukan urusan lo!" ucapnya dengan nada yang bergetar, meski dia berusaha keras tampak kuat. Davin menatapnya dalam-dalam, matanya berbicara lebih banyak dari kata-katanya. “Ini jelas urusan gue. Karena gue suka sama lo!” Kata-kata itu jatuh seperti hujan yang tiba-tiba, dingin dan tak terduga. Claudia membeku, menatap Davin dengan mata yang kini mulai memudar. Selama ini, dia tak pernah menyadari bahwa di balik sikap Davin yang selalu tenang, ada perasaan yang disimpannya begitu lama. Keenan, yang kini hanya menjadi saksi dari semua ini, diam saja. Hatinya tak tersentuh oleh drama yang terjadi di depan matanya. Semua ini bukan miliknya, dan dia hanya ingin pergi, jauh dari kekacauan ini. "Lo bilang apa tadi?" Claudia akhirnya bersuara, nadanya nyaris berbisik. Dia tak pernah membayangkan Davin akan berkata seperti itu. “Gue suka sama lo, Claudia.” Davin melangkah mendekat, tapi suaranya tetap pelan, hampir seperti sebuah pengakuan yang datang terlambat. Keenan melirik Claudia yang tampak tertegun, lalu menatap Davin yang berdiri kokoh di hadapannya. “Lo denger sendiri kan?” ucap Keenan, suaranya datar. “Mendingan dari sekarang, lo stop ngejar-ngejar gue. Karena gue nggak pernah ada perasaan sama lo, nggak akan pernah.” Setelah kata-kata itu keluar, Keenan langsung berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan lapangan dengan jejak-jejak amarah yang masih berbekas. Dia menoleh sekali, sekilas, ke arah Davin yang kini memandangnya tajam, seolah ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka. Claudia berdiri mematung, matanya mulai berkaca-kaca, tapi tak ada air mata yang jatuh. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik, meninggalkan lapangan yang kini terasa begitu dingin dan sepi. Di belakangnya, Davin masih berdiri, namun kali ini, langkahnya terhenti. Dia ingin mengejar, tapi langkah Claudia terlalu cepat, dan dia tahu, mungkin rasa yang dia pendam selama ini tak akan pernah terucap dengan cara yang dia harapkan. Di sisi lain, Alsha, Kafka, Abhi, dan Nevan baru saja melangkah keluar dari perpustakaan. Di tangan mereka, terselip beberapa buku. Alsha, dengan senyum hangatnya, menatap mereka satu per satu, bertanya dengan lembut, "Kalau boleh tahu, kalian juga suka baca buku?" Sejenak, ketiganya saling pandang, gugup. Jelas sekali bahwa membaca bukanlah kebiasaan mereka. Abhi menjadi yang pertama bicara, dengan nada yang dibuat-buat. "Iya, suka, kadang-kadang," jawabnya sembari tertawa kecil. "Kalau lagi nggak ada kerjaan, ya gini neng, minjem buku." Alsha hanya tersenyum, menyambut jawaban Abhi dengan lembut. Matanya berbinar, penuh ketulusan, sementara Kafka tetap memandang lurus ke arah lapangan. Namun, matanya menyipit saat melihat Davin berdiri di sana, seolah-olah menunggu sesuatu. Atau seseorang. Kafka kemudian menyapu pandangannya, mencari sosok Keenan. Tapi bayangan itu hilang, seakan tersapu oleh angin yang dingin, membuat sekeliling lapangan terasa sunyi. "Al," Kafka memanggil pelan, suaranya hampir tenggelam oleh angin. "Kita pergi duluan, ya. Nggak apa-apa, kan?" Alsha menoleh, senyum masih terukir di wajahnya. "Tentu, nggak apa-apa." Kafka mengangguk. Tanpa banyak bicara lagi, dia memberi isyarat kepada Nevan dan Abhi untuk segera beranjak. Langkah mereka tergesa menuju kantin, namun bayangan Keenan tetap tak tampak. Pandangan mereka menyapu setiap sudut ruangan yang dipenuhi siswa, mencari tanda-tanda kehadiran ketua tim mereka. Namun, kantin terasa sepi dari sosok yang mereka cari. "Kemana ya, Pak Ketu?" Abhi bergumam, suaranya terdengar cemas. Dia melirik Nevan yang hanya mengangkat bahu, tak kalah bingung. "Nggak mungkin di kelas, gue yakin," Nevan berkata, mencoba berpikir keras. "Gue udah telpon juga, tapi nggak diangkat." Abhi menyeringai tipis, mencoba bercanda meski pikirannya juga penuh tanda tanya. "Apa pulang?" "Nggak mungkin. Gue tadi liat motornya masih di parkiran," Nevan menjawab. Hening sejenak, masing-masing dari mereka tenggelam dalam pikiran sendiri. Keenan memang jarang sekali tak terjangkau seperti ini. Terlebih setelah kejadian di lapangan tadi, ada sesuatu yang tak biasa. "Aduh, pasti Pak Ketu lagi banyak pikiran setelah kejadian tadi," gumam Abhi dengan nada lebih rendah, nyaris hanya untuk dirinya sendiri. Kafka yang sejak tadi diam, akhirnya membuka suara, namun kali ini nadanya lebih mantap. “Gue tau dia ada di mana.” --- Keenan berdiri di tepi atap gedung, membiarkan angin dingin menyapu rambutnya yang acak-acakan. Pikiran tentang apa yang baru saja terjadi di lapangan, tentang Claudia, dan sekarang Davin, memenuhi kepalanya. Langkah kaki Kafka mendekat, tapi Keenan tidak bergerak, hanya memejamkan matanya sejenak. "Biarin gue sendiri. Gue gak butuh ceramah dari lo," ucap Keenan tanpa menoleh. Kafka, seperti biasa, tidak terpengaruh. Dia tetap mendekat, berhenti beberapa langkah dari Keenan, tak berusaha menekan, tapi juga tak mundur. "Gue gak mau ceramahin lo. Gue cuma mau tau kenapa ada Davin di lapangan tadi." Keenan menghela napas panjang. Matanya tetap menatap jauh ke langit yang mulai tertutup awan. "Lo mau tau?" "Ya," jawab Kafka singkat. Keenan menunduk, menendang kerikil di kakinya. “Dia muncul tiba-tiba, gue nggak nyangka. Terus... di depan Claudia, dia bilang kalau dia suka sama Claudia.” Kafka menghela napas panjang, berusaha memahami situasinya. “Terus Claudia gimana?” Keenan mendengus kecil, pahit. “Claudia cuma diam, nggak ngasih respon apa-apa. Dia kaget, mungkin nggak nyangka bakal ada momen kayak gitu.” "Terus?" tanya Kafka lagi. "Gue tolak mentah-mentah Claudia, tepat setelah Davin ngungkapin perasaannya ke dia," ucap Keenan. "Claudia pasti gak akan tinggal diam. Lo tau itu. Dia udah nunggu lama, dan sekarang lo tinggalin dia begitu aja." "Gue gak pernah nyuruh dia nunggu," potong Keenan cepat, suaranya mulai meninggi. "Gue gak pernah ngasih dia harapan apa-apa!" “Bener, mungkin lo gak pernah secara langsung ngasih harapan, tapi lo juga gak pernah ngelurusin keadaan dari awal. Claudia merasa lo ngasih ruang ke dia, makanya dia terus maju.” jawab Kafka tenang, tapi dalam setiap kata ada kebenaran yang tak bisa Keenan bantah. Keenan menggigit bibirnya, menahan rasa frustrasi yang terus bergejolak di dadanya. “Sekarang gue udah bilang semuanya ke dia. Gue pikir itu udah cukup.” Kafka tertawa pelan, tapi tanpa tawa. "Keenan, Claudia bukan tipe cewek yang nerima penolakan dengan tenang. Lo baru aja nyakitin egonya, dan lo pikir dia bakal pergi gitu aja? Gak mungkin." Keenan terdiam. Dalam hati, dia tahu Kafka benar, meski dia tak ingin mengakuinya. Ada sesuatu dalam tatapan Claudia tadi, sebuah janji diam yang tak terucap, tapi terasa seperti ancaman. “Gue tau dia nggak bakal terima,” bisik Keenan akhirnya, suaranya pelan, seakan bicara pada dirinya sendiri. “Tapi gue nggak punya pilihan. Gue nggak bisa terus bohong ke dia… atau ke diri gue sendiri.” Kafka menatap temannya itu, kelelahan yang sama tampak di wajahnya. “Gue ngerti. Tapi lo juga harus siap sama apa yang bakal datang. Claudia bukan cuma bakal nyakitin lo, Keenan. Kalau dia tau ada cewek lain di hati lo, dia nggak akan tinggal diam.” Keenan menoleh cepat, sorot matanya tajam. “Maksud lo?” Kafka hanya mengangkat bahu, nada suaranya tetap tenang meskipun kata-katanya membawa beban. "Lo pikir Claudia bakal diem aja setelah lo tolak? Kalau dia tau lo suka sama cewek lain, dia bakal nyari cara buat nyakitin cewek itu. Claudia itu bukan cewek bodoh, gue yakin, dia pasti bakal manfaatin Davin setelah ini. Dan lo udah tau kan siapa yang bakal jadi targetnya?" Keenan terdiam. Dalam hatinya, dia tahu siapa yang dimaksud Kafka. Seperti awan gelap yang berkumpul di atas, ancaman itu terasa nyata, mendekat dengan perlahan. Dan Keenan, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, merasa takut. Bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk seseorang yang mungkin tak pernah siap menghadapi badai yang akan datang. BERSAMBUNG"Setiap tatapan bisa menyimpan ribuan rasa."•••Clara membanting bukunya di atas bangku dengan keras, menciptakan bunyi nyaring yang memecah keheningan kelas. Suara itu memantul di dinding-dinding, membuat Elysia yang sedang sibuk mencoret-coret catatan kecil di hadapannya tersentak kaget. Matanya yang semula terfokus pada pena di tangannya langsung menatap Clara dengan bingung."Lo kenapa sih? Baru dateng udah ngamuk-ngamuk," ujar Elysia, sedikit berbisik, khawatir kalau suara mereka menarik perhatian anak-anak lain di kelas. Elysia Tamara, dengan rambut panjang terurai dan gaya modisnya yang khas, selalu tampak serasi duduk di samping Clara. Mereka seperti cerminan satu sama lain, dengan pakaian yang selalu up-to-date dan sepatu yang baru dibeli beberapa hari sebelumnya. Dua gadis yang selalu jadi pusat perhatian di manapun mereka berada.Clara mendengus sambil melipat tangan di depan dadanya. Wajahnya merah, bukan karena malu, tapi lebih karena amarah yang perlahan memenuhi pikir
"Coba jelasin ke gue," Claudia akhirnya berbicara lagi, kali ini lebih pelan namun penuh tuntutan. "Kenapa lo bisa pacaran sama Keenan?"Clara menatap Claudia dengan malas. Dadanya masih terasa sesak oleh rasa frustrasi sebelumnya, tapi sekarang ia harus berhadapan dengan sesuatu yang lain. "Kita gak pacaran," jawab Clara datar, matanya lurus ke depan. Jawaban itu membuat Claudia menoleh cepat, menatap Clara dengan mata yang sedikit menyipit."Apa?" Claudia mengerutkan kening, jelas tak puas dengan jawaban Clara. "Jelas-jelas Keenan yang bilang kalau kalian pacaran. Lo bohong?"Clara mendengus. Tentu saja, Keenan. Firasatnya tadi benar, ini semua hanya soal cowok yang satu itu. "Dia yang bohong, Kak. Gue gak ada perasaan apa-apa ke dia," katanya dengan nada tegas. Suaranya tak menunjukkan keraguan sedikit pun, meskipun di dalam hatinya, Clara tahu masalah ini belum selesai.Claudia terdiam, mencoba mencerna informasi itu. Kebingungan tampak di waj
KRING! KRING! KRING!Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing. Ingat kata bapak ibu guru hari ini, bahwa esok adalah hari baru dengan kesempatan yang lebih besar. Belajar bukan hanya tentang hari ini, tapi tentang membangun masa depan yang lebih baik. Sampai jumpa esok hari dengan semangat yang baru. Jangan lupa tersenyum hari ini kepada dia yang berharga bagimu.TING TING TING... alunan merdu bel sekolah perlahan mereda.Bel pulang sekolah bergema lembut di seluruh penjuru ruangan, seolah mengakhiri hari yang penuh dengan keheningan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang merasakannya. Keenan dan teman-temannya melangkah mantap menuju bangku Alsha, di mana dia menunggu dengan sabar. Hari ini, ada janji yang tak sabar ingin mereka tepati.“Sheena, jadi kan kita ke toko buku?” tanya Keenan, suaranya lembut namun penuh dengan kehangatan yang tersembunyi di balik sorot matanya.Alsha mengangguk, senyum tipisnya mengembang, seakan hany
Seperti malam-malam sebelumnya, Keenan berdiri di depan rumah Alsha, menatap pekarangan yang sunyi. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Gadis yang biasanya keluar untuk menatap langit, tidak terlihat. Hening menyelimuti, seolah malam itu sengaja menyembunyikannya dari pandangan. Keenan menunggu dengan sabar, berharap Alsha akan keluar. Sekadar melihat wajahnya dalam sinar redup bulan sudah cukup baginya. Hatinya merasakan kekosongan aneh, seolah ada sesuatu yang hilang dari ritme malam ini. Sampai suara yang tak terduga mengganggu lamunannya. “Lo masih betah di sini?” Kafka muncul tiba-tiba di belakangnya, nada suaranya pelan namun mengandung makna. Keenan, dengan gerakan lambat, menoleh. “Ngapain lo di sini?” tanyanya, berusaha menyembunyikan sedikit keterkejutannya. Kafka menarik napas dalam, tatapannya terarah pada jendela rumah Alsha yang masih tertutup. "Gue mau ngomong sesuatu sama lo." "Soal?" Suara Keenan terdengar lebih keras dari yang dia maksudkan, entah
Keenan dan teman-temannya berlari menuju lapangan basket dengan semangat yang membara, langkah mereka menghentak tanah seakan menciptakan ritme keceriaan di SMA Cendana. Langit biru cerah tanpa awan membentang di atas mereka, menyapa dengan sinar matahari yang hangat. Suasana istirahat ini selalu hidup, tetapi kali ini lapangan basket memancarkan energi yang tak tertandingi. Dengan kaos seragam sekolah yang sedikit dikeluarkan dan rambutnya yang sedikit berantakan, Keenan mulai memantulkan bola basket. Setiap detak bola terasa harmonis dengan jantungnya yang berdegup kencang. Ia bergerak lincah, seolah berada dalam tarian yang penuh gairah, menghindari lawan dengan keahlian yang memukau. “Ayo, Van! Tunjukin skill lo!” teriak Keenan, meluncur ke arah raket, bola berputar anggun di jarinya. Nevan, dengan semangat yang membara, melompat untuk memblokirnya. “Gue gak akan kasih lo kesempatan, Bos!” Namun, Keenan hanya tersenyum lebar dan melakukan gerakan elakan yang cerdik, menjadik
Keenan berdecak pelan, malas melihat langkah gadis itu yang terus mendekat. "Mau apa lagi nih cewek," gumam Nevan dengan nada setengah heran. "Sorry ganggu, gue cuma mau kasih ini ke lo," kata Claudia sambil menyodorkan botol minuman ke arah Keenan. Keenan hanya diam, matanya sengaja dialihkan ke arah lain, seperti tak ingin terlibat. Claudia, yang menangkap sinyal itu, tersenyum tipis dengan sedikit ragu. "Yaudah, gue taruh sini aja, ya," ucapnya pelan, lalu menaruh botol di meja di depan Keenan sebelum berbalik dan pergi tanpa banyak kata. "Eh, tumben tuh cewek langsung cabut," celetuk Abhi, heran sambil melirik Keenan. Semua mata mengarah ke Keenan, yang masih cuek. Dia menghela napas dan dengan gesit melepas seragamnya, memperlihatkan kaos hitam yang melekat di tubuhnya. “Sebenernya gue bingung, antara kasihan sama kesel, tapi lebih ke kasihan sih,” ucap Abhi pelan. “Ngapain lo kasihan ke dia? Jelas-jelas karena dia, Lo dibikin bonyok sama Davin,” jawab Nevan, sedikit skept
Kafka menghela napas perlahan, melihat Keenan menunggunya. Wajahnya tetap datar, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ia hanya mengangkat bahu dengan ringan, sikapnya terlihat santai. "Nggak ada. Gue cuma ngomong asal aja."Suara Kafka terdengar ringan, hampir seperti sebuah lelucon yang dilemparkan dengan enteng. Tapi di balik nada tenangnya, Keenan tahu ada sesuatu yang tersimpan, sesuatu yang tak mudah ditebak. Pandangannya tetap terfokus pada Kafka, mencoba membaca lebih dalam melalui tatapan matanya yang dingin. Namun, Kafka tampaknya tak berniat untuk melanjutkan."Serius, nggak penting, lupain aja," tambah Kafka lagi, kali ini dengan nada lebih lembut, menutup pembicaraan dengan tenang, seolah segalanya benar-benar tak berarti.Sejenak, hening mengambang di antara mereka. Angin lembut menerpa lapangan, mengibaskan ujung baju mereka, namun ketegangan yang terasa tak luntur begitu saja. Keenan menatap Kafka sedikit lebih lama, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya. Ia t
Senja telah berlalu, dan malam pelan-pelan menyelimuti markas mereka. Lampu LED biru yang terpasang di sepanjang plafon memancarkan cahaya lembut, menciptakan suasana tenang yang menenangkan jiwa. Dinding-dinding abu-abu muda menghadirkan kesan luas dan bersih, mengusir kenangan suram dari markas lama mereka yang terasa sesak. Lantai vinyl yang baru dipasang memberikan sentuhan nyaman di bawah kaki, membuat setiap sudut ruangan tampak segar dan mengundang.Keenan duduk santai di sofa besar yang empuk, wajahnya menggambarkan kelelahan setelah seharian berjuang melawan Bu Sri dan menjalani hukuman lari yang tak ada habisnya. Namun, pikirannya melayang pada Alsha, gadis yang baru saja ia antar pulang. Dia tersenyum tipis, senyum yang hanya dia sendiri yang tahu maknanya. Meskipun tubuhnya lelah, hatinya bergetar bahagia. Hari ini, dia berhasil mendapatkan sesuatu yang berharga—nomor ponsel Alsha.Lamunan itu buyar saat Abhi dan Nevan berdiri di depannya, menyodorkan mangkuk makanan denga
Ketika bel istirahat berdering, suara riuh siswa yang berlomba-lomba meninggalkan kelas terdengar menggema. Namun, di salah satu bangku, Keenan tetap duduk diam, tak beranjak. Tatapan matanya terpaku pada Alsha, mengamatinya dalam diam, seolah setiap gerakan gadis itu adalah misteri yang tak ingin ia lepaskan begitu saja."Ayo, Al, ke kantin," suara Aline terdengar, lembut, penuh semangat, ia menggenggam tangan Alsha, mengajak sahabatnya pergi. Alsha sempat melirik ke arah Keenan, namun cowok itu segera mengalihkan pandangan, menyembunyikan ekspresi di wajahnya yang sulit diartikan. "Al!" panggil Aline lagi, kali ini sedikit lebih mendesak. Akhirnya, Alsha mengangguk kecil, menerima ajakan Aline, dan mereka pun akhirnya melangkah keluar bersama.Keenan hanya bisa memandang punggung gadis itu yang semakin menjauh, menyisakan jejak perasaan yang tak terucap. Tak lama, tiga sosok temannya muncul, memperhatikan wajah ketua mereka yang tampak menyiratkan amarah yang sulit ia sembunyikan.
Setelah Athala menghilang dari pandangan, suasana kembali tenang. Mereka semua duduk kembali, meneruskan obrolan yang seakan tak terganggu oleh apa pun yang baru saja terjadi.Keenan menatap Abhi dengan tatapan tajam, seolah mengingat sesuatu yang tertunda. "Lo tadi mau ngomong apa?" tanya Keenan. Dia pergi ke markas, berharap mendengar kabar soal Alsha, namun sepertinya Abhi masih belum memberi informasi yang dicari. Abhi menggaruk kepala yang tak gatal, matanya sedikit menghindar. "E-eh," jawabnya ragu, suara serak yang keluar dari mulutnya menunjukkan dia sedang kebingungan. "Sorry, Pak Ketu, gue lupa mau ngomong apa tadi," lanjutnya, jelas merasa kikuk karena tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan. Keenan mendengus pelan, ekspresinya datar, namun gerakannya cepat. Tanpa peringatan, ia merampas snack dari tangan Abhi, menikmati keripik itu dengan lahap."Eh, Pak Ketu," ujar Abhi terkejut melihat tingkah Keenan yang tiba-tiba. Keenan hanya melotot ke arah Abhi, matanya menyip
Keenan dan Athala tiba di markas. Malam itu sunyi, tapi suasana langsung berubah begitu Abhi dan Nevan melihat mobil putih milik Athala memasuki halaman. Teman-teman Keenan, yang sedang asyik bercanda, langsung bergegas berdiri. Mereka saling bertugas pandang dengan senyum kecil yang penuh arti. Bagi mereka, Athala bukan sekadar kakak bagi Keenan, tapi juga sosok kakak yang selalu hadir untuk mereka semua.Abhi yang langsung menyambut Athala dengan lambaian tangan. "Hey, Bang Athala! Tumben nongol malam-malam gini! Mau gabung sama kita?"Athala turun dari mobil dengan langkah tenang, melemparkan senyum tipis pada mereka. "Lagi kosong aja," jawabnya sambil menepuk bahu Abhi. "Gue kangen ngeliat kalian semua. Udah lama, kan, nggak ngobrol bareng?""Bukan sekadar lama, Bang! Kita udah hampir lupa kapan terakhir kali Abang nongkrong di sini," canda Nevan sambil tertawa.Athala terkekeh pelan, menatap mereka satu per satu. Rasanya hangat, kembali berada di tengah-tengah mereka. Dia tahu, d
Keenan melajukan motornya, membelah jalanan malam yang sepi dengan kecepatan yang menggila. Pikiran-pikirannya berserakan, berkelindan dengan bayangan wajah ibunya yang tulus, penuh ketidakmengertian, dan ayahnya yang terbungkus kepalsuan dan dusta. Kekecewaan semakin membakar dadanya, membuat tangannya refleks memutar gas lebih kencang, seolah berharap kecepatan bisa menghapus segalanya.Di tengah kesibukannya melawan pikirannya, tiba-tiba, dari kejauhan, segerombolan orang berdiri menghadang di tengah jalan. Davin dan teman-temannya, berdiri dalam bayang malam yang samar, seolah sudah menunggu kedatangannya. Keenan ngerem mendadak, membuat roda motornya berdecit keras, meninggalkan bekas yang panjang di aspal. Matanya menatap tajam ke arah mereka, tanpa rasa takut sedikit pun. Tanpa ragu, ia turun dari motor dan berjalan mendekat, tatapannya penuh kemarahan yang tersimpan.Davin tersenyum licik, wajahnya tampak puas melihat Keenan mendekat. "Wah, lihat siapa yang muncul, guys," ucapn
Keenan tetap diam, namun tatapannya tidak berubah, tajam dan penuh kekecewaan. Ini bukan kali pertama ia merasakan ancaman dari sang ayah, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Rasa takut yang dulu menghantuinya perlahan tergantikan oleh keberanian untuk melawan.Ayahnya melangkah maju, mendekati Keenan hingga jarak mereka hanya beberapa sentimeter. "Ingat ini baik-baik, Keenan. Kamu cuma anak kecil yang nggak tahu apa-apa tentang hidup. Kalau kamu masih berani buka mulut soal ini ke Mama, atau ke siapa pun, Papa akan pastikan hidupmu nggak akan nyaman di rumah ini." ucapnya dengan suara yang begitu rendah, namun jelas mengandung ancaman yang serius.Keenan menahan napas, merasakan amarahnya semakin membara. "Silahkan, Pa. Kalau itu yang Papa mau. Tapi itu nggak akan mengubah fakta kalau Papa salah, kalau Papa sudah menghancurkan kepercayaan orang-orang yang sayang sama Papa."Mata ayahnya semakin menyipit, napasnya terengah-engah seolah sedang menahan diri agar tidak meledak lebih
Suasana rumah begitu hening saat malam telah sepenuhnya turun, hanya suara napas lembut Kavin yang terlelap di tempat tidur Keenan yang mengisi keheningan. Keenan menghela napas, menyelimutkan kain lembut hingga menutupi bahu kecil adiknya, lalu melangkah pelan-pelan keluar dari kamar, bersiap menuju markas sesuai janjinya dengan Abhi. Tapi ketika dia sampai di pintu depan, langkahnya terhenti.Ayahnya baru saja pulang, berdiri di ruang tamu dengan tubuh yang tampak kelelahan. Setelan kerjanya masih rapi, namun leher kemejanya terlihat sedikit berantakan, dan mata Keenan tak sengaja tertuju pada satu hal yang merusak semuanya, bekas kecupan lipstik yang samar namun jelas di kerah kemeja ayahnya. Seketika, detak jantungnya terasa lebih keras, menambah tekanan dalam dirinya. Bayangan masa kecilnya seketika muncul, saat dulu, ketika ia tak sengaja menemukan ayahnya bersama wanita lain. Dan saat itu juga, hanya ancaman yang ia dapat.Keenan menatap sang ayah dengan tatapan yang sulit diba
Saat pintu terbuka, suara langkah kecil yang berlari cepat segera menyambut Keenan. Dalam sekejap, Kavin, adik kecilnya, muncul dengan senyuman penuh kegembiraan. Mata bulatnya berbinar seperti menemukan harta karun di hadapannya.“Kakaaaak! Kakak udah pulang sekolah!” seru Kavin dengan nada ceria, melompat ke arahnya tanpa ragu. Keenan mengangkat alis sambil tersenyum tipis, menahan tawa melihat semangat adiknya yang begitu polos.Keenan berjongkok, membuka lengannya lebar-lebar. “Wah, ternyata masih ada yang nungguin Kakak pulang, nih,” godanya sambil merentangkan tangan.Tanpa pikir panjang, Kavin langsung masuk ke pelukan Keenan. Tubuh kecilnya menempel erat, seolah tak ingin melepaskan. Keenan bisa merasakan detak kecil jantung adiknya yang begitu polos, mengalirkan kehangatan yang tidak bisa diukur dengan kata-kata.“Nungguin kakak atau nungguin HP kakak, hm?” tanya Keenan sambil mencubit pipi tembem adiknya.Kavin tertawa kecil, memamerkan sederet gigi kecilnya. “Hehehe… dua-du
Keenan masih tenggelam dalam pikirannya ketika tiba-tiba suara ketukan pelan terdengar di kaca mobilnya. Abhi, Nevan, dan Kafka berdiri di luar dengan senyum penuh arti, seperti sekumpulan kawanan yang siap merecoki pagi seseorang. Tanpa menunggu izin, Abhi menarik pintu mobil dan langsung duduk di samping Keenan, diikuti Nevan dan Kafka yang mengintip ke dalam dengan mata menyelidik."Pagi, Pak Ketu, bagaimana hari ini?" sapa Abhi dengan nada riang, senyumannya lebar, tapi jelas ingin tahu ada apa dengan sahabatnya yang jarang terlihat termenung seperti ini.Nevan, yang berdiri di belakang Abhi, langsung menepuk pundaknya. "Pertanyaan lo, salah, Bambang!" serunya, memandang Abhi seakan-akan baru saja melakukan pelanggaran besar.Abhi menoleh, kebingungan, dan baru tersadar, menggaruk kepalanya dengan canggung. "Eh, iya ya, salah. Ini kan, masih pagi. Sorry sorry."Keenan mendengus pelan, sorot matanya masih tajam namun tak sepenuhnya marah. “Lo pada ngapain sih ke sini? Gue nggak man
Jam dinding menunjukkan pukul enam lewat lima belas pagi, dan udara pagi yang segar menyelimuti jalanan yang masih sepi. Di depan sebuah rumah besar dengan halaman luas, Keenan berdiri dengan tenang di samping mobilnya. Bukan rumah Alsha yang ia tuju pagi ini, melainkan Clara. Jari-jarinya lincah mengetik pesan singkat. "Clara, gue di depan rumah lo. Buruan keluar." Sudah sepuluh menit Keenan menunggu, matanya sesekali melirik jam tangan. Ia bukan tipe orang yang suka menunggu terlalu lama. Setelah pesan itu terkirim, ia bersandar pada pintu mobil, matanya menerawang, memikirkan kejadian semalam. Beberapa menit kemudian, pintu rumah itu terbuka. Clara keluar dengan terburu-buru, rambutnya masih sedikit berantakan, meskipun dia berusaha merapikannya dengan tangannya yang gemetar. Ada kebingungan di wajahnya saat ia menghampiri Keenan, yang kini tengah mengamatinya dengan pandangan datar, namun tajam. “Lo ngapain ke sini?” tanya Clara, suaranya sedikit serak, jelas bahwa ia ma