Seperti malam-malam sebelumnya, Keenan berdiri di depan rumah Alsha, menatap pekarangan yang sunyi. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Gadis yang biasanya keluar untuk menatap langit, tidak terlihat. Hening menyelimuti, seolah malam itu sengaja menyembunyikannya dari pandangan. Keenan menunggu dengan sabar, berharap Alsha akan keluar. Sekadar melihat wajahnya dalam sinar redup bulan sudah cukup baginya. Hatinya merasakan kekosongan aneh, seolah ada sesuatu yang hilang dari ritme malam ini. Sampai suara yang tak terduga mengganggu lamunannya. “Lo masih betah di sini?” Kafka muncul tiba-tiba di belakangnya, nada suaranya pelan namun mengandung makna. Keenan, dengan gerakan lambat, menoleh. “Ngapain lo di sini?” tanyanya, berusaha menyembunyikan sedikit keterkejutannya. Kafka menarik napas dalam, tatapannya terarah pada jendela rumah Alsha yang masih tertutup. "Gue mau ngomong sesuatu sama lo." "Soal?" Suara Keenan terdengar lebih keras dari yang dia maksudkan, entah
Keenan dan teman-temannya berlari menuju lapangan basket dengan semangat yang membara, langkah mereka menghentak tanah seakan menciptakan ritme keceriaan di SMA Cendana. Langit biru cerah tanpa awan membentang di atas mereka, menyapa dengan sinar matahari yang hangat. Suasana istirahat ini selalu hidup, tetapi kali ini lapangan basket memancarkan energi yang tak tertandingi. Dengan kaos seragam sekolah yang sedikit dikeluarkan dan rambutnya yang sedikit berantakan, Keenan mulai memantulkan bola basket. Setiap detak bola terasa harmonis dengan jantungnya yang berdegup kencang. Ia bergerak lincah, seolah berada dalam tarian yang penuh gairah, menghindari lawan dengan keahlian yang memukau. “Ayo, Van! Tunjukin skill lo!” teriak Keenan, meluncur ke arah raket, bola berputar anggun di jarinya. Nevan, dengan semangat yang membara, melompat untuk memblokirnya. “Gue gak akan kasih lo kesempatan, Bos!” Namun, Keenan hanya tersenyum lebar dan melakukan gerakan elakan yang cerdik, menjadik
Keenan berdecak pelan, malas melihat langkah gadis itu yang terus mendekat. "Mau apa lagi nih cewek," gumam Nevan dengan nada setengah heran. "Sorry ganggu, gue cuma mau kasih ini ke lo," kata Claudia sambil menyodorkan botol minuman ke arah Keenan. Keenan hanya diam, matanya sengaja dialihkan ke arah lain, seperti tak ingin terlibat. Claudia, yang menangkap sinyal itu, tersenyum tipis dengan sedikit ragu. "Yaudah, gue taruh sini aja, ya," ucapnya pelan, lalu menaruh botol di meja di depan Keenan sebelum berbalik dan pergi tanpa banyak kata. "Eh, tumben tuh cewek langsung cabut," celetuk Abhi, heran sambil melirik Keenan. Semua mata mengarah ke Keenan, yang masih cuek. Dia menghela napas dan dengan gesit melepas seragamnya, memperlihatkan kaos hitam yang melekat di tubuhnya. “Sebenernya gue bingung, antara kasihan sama kesel, tapi lebih ke kasihan sih,” ucap Abhi pelan. “Ngapain lo kasihan ke dia? Jelas-jelas karena dia, Lo dibikin bonyok sama Davin,” jawab Nevan, sedikit skept
Kafka menghela napas perlahan, melihat Keenan menunggunya. Wajahnya tetap datar, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ia hanya mengangkat bahu dengan ringan, sikapnya terlihat santai. "Nggak ada. Gue cuma ngomong asal aja."Suara Kafka terdengar ringan, hampir seperti sebuah lelucon yang dilemparkan dengan enteng. Tapi di balik nada tenangnya, Keenan tahu ada sesuatu yang tersimpan, sesuatu yang tak mudah ditebak. Pandangannya tetap terfokus pada Kafka, mencoba membaca lebih dalam melalui tatapan matanya yang dingin. Namun, Kafka tampaknya tak berniat untuk melanjutkan."Serius, nggak penting, lupain aja," tambah Kafka lagi, kali ini dengan nada lebih lembut, menutup pembicaraan dengan tenang, seolah segalanya benar-benar tak berarti.Sejenak, hening mengambang di antara mereka. Angin lembut menerpa lapangan, mengibaskan ujung baju mereka, namun ketegangan yang terasa tak luntur begitu saja. Keenan menatap Kafka sedikit lebih lama, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya. Ia t
Senja telah berlalu, dan malam pelan-pelan menyelimuti markas mereka. Lampu LED biru yang terpasang di sepanjang plafon memancarkan cahaya lembut, menciptakan suasana tenang yang menenangkan jiwa. Dinding-dinding abu-abu muda menghadirkan kesan luas dan bersih, mengusir kenangan suram dari markas lama mereka yang terasa sesak. Lantai vinyl yang baru dipasang memberikan sentuhan nyaman di bawah kaki, membuat setiap sudut ruangan tampak segar dan mengundang.Keenan duduk santai di sofa besar yang empuk, wajahnya menggambarkan kelelahan setelah seharian berjuang melawan Bu Sri dan menjalani hukuman lari yang tak ada habisnya. Namun, pikirannya melayang pada Alsha, gadis yang baru saja ia antar pulang. Dia tersenyum tipis, senyum yang hanya dia sendiri yang tahu maknanya. Meskipun tubuhnya lelah, hatinya bergetar bahagia. Hari ini, dia berhasil mendapatkan sesuatu yang berharga—nomor ponsel Alsha.Lamunan itu buyar saat Abhi dan Nevan berdiri di depannya, menyodorkan mangkuk makanan denga
"Malam ini.." ucap Keenan, matanya kemudian melirik ke arah Kafka yang memperhatikan nya sejak tadi. "gue nggak mau kemana-mana kok," lanjutnya.Kafka, yang mendengar itu semua, Hanya tersenyum simpul, jelas sekali ketua gengnya itu sedang beralasan.Tiba-tiba, Keenan berdiri dari sofa, melempar bola basket dengan cepat ke arah Kafka. Meski terkejut, Kafka dengan refleksnya yang tajam berhasil menangkap bola itu, tapi ekspresi terkejut masih terlihat di wajahnya. Dia menatap bola basket di tangannya sejenak sebelum mengalihkan pandangan ke arah Keenan."Karena gue mau nantang dia main basket," ucap Keenan lagi, nada suaranya penuh tantangan. Matanya bersinar tajam, seperti api yang tak bisa dipadamkan.Kafka menatap bola itu, lalu mengangkat wajahnya dengan senyum tipis, matanya menyipit sedikit. "Lo serius mau nantang gue?"Keenan menyilangkan tangan di dadanya, senyum puas terbentuk di wajahnya. "Kenapa? Lo takut?""Gue? Takut?" Kafka tertawa kecil. Tawa yang sangat jarang terlihat
Keenan hanya mengangguk, siap menerima tantangan terakhir itu.Kafka menggenggam bola basket dengan kuat, napasnya teratur meskipun keringat mulai membasahi dahinya. Skor 9-9, dan ini adalah momen penentuan. Ruangan yang tadinya dipenuhi suara dribel dan sorakan kini hening, hanya terdengar deru napas mereka. Abhi dan Nevan tak berani bersuara, mereka tahu pertandingan ini sudah masuk fase paling krusial.Kafka mulai memantulkan bola pelan, matanya tak lepas dari Keenan yang berdiri di depannya, siap menghalangi. "Lo tau, Keenan, gue nggak akan kasih lo kemenangan gampang kali ini," katanya dengan senyum tipis.Keenan menyilangkan tangan di pinggangnya, menatap Kafka dengan percaya diri. "Gue nggak pernah minta yang gampang, bro. Tapi lo juga tahu, gue nggak akan kalah semudah itu."Dalam sekejap, Kafka bergerak. Dribelnya cepat dan presisi, mencoba memotong ke kiri, tapi Keenan sigap menghalangi. Mereka berdua beradu posisi, bahu saling mendorong, kaki bergerak cepat mengikuti arah b
Mereka kembali terdiam. Tapi kali ini, keheningan itu berbeda—bukan keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang penuh pengertian. Di sinilah, persahabatan mereka seperti sebuah irama musik yang harmonis. Terkadang ada nada-nada tinggi saat mereka saling bersaing, terkadang melodi itu melambat saat mereka bersama-sama melewati momen-momen sunyi. Tapi tak peduli seberapa berbedanya tempo, satu hal yang pasti: mereka selalu sinkron, saling melengkapi.“Aduh, ini mah kayak nonton drama romantis. Puitis banget kalian berdua!” celetuk Abhi.Gelak tawa pecah. Keenan dan Kafka tak bisa menahan diri untuk ikut tertawa bersama. Di antara tawa dan candaan itu, irama persahabatan mereka kembali terdengar—sebuah simfoni yang tak pernah benar-benar berhenti. Mereka tahu, meski terkadang ada nada-nada yang tak terucap, persahabatan mereka tetaplah satu harmoni, saling menguatkan meski dalam diam.Dan di sinilah letak keindahan persahabatan itu.
Ketika bel istirahat berdering, suara riuh siswa yang berlomba-lomba meninggalkan kelas terdengar menggema. Namun, di salah satu bangku, Keenan tetap duduk diam, tak beranjak. Tatapan matanya terpaku pada Alsha, mengamatinya dalam diam, seolah setiap gerakan gadis itu adalah misteri yang tak ingin ia lepaskan begitu saja."Ayo, Al, ke kantin," suara Aline terdengar, lembut, penuh semangat, ia menggenggam tangan Alsha, mengajak sahabatnya pergi. Alsha sempat melirik ke arah Keenan, namun cowok itu segera mengalihkan pandangan, menyembunyikan ekspresi di wajahnya yang sulit diartikan. "Al!" panggil Aline lagi, kali ini sedikit lebih mendesak. Akhirnya, Alsha mengangguk kecil, menerima ajakan Aline, dan mereka pun akhirnya melangkah keluar bersama.Keenan hanya bisa memandang punggung gadis itu yang semakin menjauh, menyisakan jejak perasaan yang tak terucap. Tak lama, tiga sosok temannya muncul, memperhatikan wajah ketua mereka yang tampak menyiratkan amarah yang sulit ia sembunyikan.
Setelah Athala menghilang dari pandangan, suasana kembali tenang. Mereka semua duduk kembali, meneruskan obrolan yang seakan tak terganggu oleh apa pun yang baru saja terjadi.Keenan menatap Abhi dengan tatapan tajam, seolah mengingat sesuatu yang tertunda. "Lo tadi mau ngomong apa?" tanya Keenan. Dia pergi ke markas, berharap mendengar kabar soal Alsha, namun sepertinya Abhi masih belum memberi informasi yang dicari. Abhi menggaruk kepala yang tak gatal, matanya sedikit menghindar. "E-eh," jawabnya ragu, suara serak yang keluar dari mulutnya menunjukkan dia sedang kebingungan. "Sorry, Pak Ketu, gue lupa mau ngomong apa tadi," lanjutnya, jelas merasa kikuk karena tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan. Keenan mendengus pelan, ekspresinya datar, namun gerakannya cepat. Tanpa peringatan, ia merampas snack dari tangan Abhi, menikmati keripik itu dengan lahap."Eh, Pak Ketu," ujar Abhi terkejut melihat tingkah Keenan yang tiba-tiba. Keenan hanya melotot ke arah Abhi, matanya menyip
Keenan dan Athala tiba di markas. Malam itu sunyi, tapi suasana langsung berubah begitu Abhi dan Nevan melihat mobil putih milik Athala memasuki halaman. Teman-teman Keenan, yang sedang asyik bercanda, langsung bergegas berdiri. Mereka saling bertugas pandang dengan senyum kecil yang penuh arti. Bagi mereka, Athala bukan sekadar kakak bagi Keenan, tapi juga sosok kakak yang selalu hadir untuk mereka semua.Abhi yang langsung menyambut Athala dengan lambaian tangan. "Hey, Bang Athala! Tumben nongol malam-malam gini! Mau gabung sama kita?"Athala turun dari mobil dengan langkah tenang, melemparkan senyum tipis pada mereka. "Lagi kosong aja," jawabnya sambil menepuk bahu Abhi. "Gue kangen ngeliat kalian semua. Udah lama, kan, nggak ngobrol bareng?""Bukan sekadar lama, Bang! Kita udah hampir lupa kapan terakhir kali Abang nongkrong di sini," canda Nevan sambil tertawa.Athala terkekeh pelan, menatap mereka satu per satu. Rasanya hangat, kembali berada di tengah-tengah mereka. Dia tahu, d
Keenan melajukan motornya, membelah jalanan malam yang sepi dengan kecepatan yang menggila. Pikiran-pikirannya berserakan, berkelindan dengan bayangan wajah ibunya yang tulus, penuh ketidakmengertian, dan ayahnya yang terbungkus kepalsuan dan dusta. Kekecewaan semakin membakar dadanya, membuat tangannya refleks memutar gas lebih kencang, seolah berharap kecepatan bisa menghapus segalanya.Di tengah kesibukannya melawan pikirannya, tiba-tiba, dari kejauhan, segerombolan orang berdiri menghadang di tengah jalan. Davin dan teman-temannya, berdiri dalam bayang malam yang samar, seolah sudah menunggu kedatangannya. Keenan ngerem mendadak, membuat roda motornya berdecit keras, meninggalkan bekas yang panjang di aspal. Matanya menatap tajam ke arah mereka, tanpa rasa takut sedikit pun. Tanpa ragu, ia turun dari motor dan berjalan mendekat, tatapannya penuh kemarahan yang tersimpan.Davin tersenyum licik, wajahnya tampak puas melihat Keenan mendekat. "Wah, lihat siapa yang muncul, guys," ucapn
Keenan tetap diam, namun tatapannya tidak berubah, tajam dan penuh kekecewaan. Ini bukan kali pertama ia merasakan ancaman dari sang ayah, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Rasa takut yang dulu menghantuinya perlahan tergantikan oleh keberanian untuk melawan.Ayahnya melangkah maju, mendekati Keenan hingga jarak mereka hanya beberapa sentimeter. "Ingat ini baik-baik, Keenan. Kamu cuma anak kecil yang nggak tahu apa-apa tentang hidup. Kalau kamu masih berani buka mulut soal ini ke Mama, atau ke siapa pun, Papa akan pastikan hidupmu nggak akan nyaman di rumah ini." ucapnya dengan suara yang begitu rendah, namun jelas mengandung ancaman yang serius.Keenan menahan napas, merasakan amarahnya semakin membara. "Silahkan, Pa. Kalau itu yang Papa mau. Tapi itu nggak akan mengubah fakta kalau Papa salah, kalau Papa sudah menghancurkan kepercayaan orang-orang yang sayang sama Papa."Mata ayahnya semakin menyipit, napasnya terengah-engah seolah sedang menahan diri agar tidak meledak lebih
Suasana rumah begitu hening saat malam telah sepenuhnya turun, hanya suara napas lembut Kavin yang terlelap di tempat tidur Keenan yang mengisi keheningan. Keenan menghela napas, menyelimutkan kain lembut hingga menutupi bahu kecil adiknya, lalu melangkah pelan-pelan keluar dari kamar, bersiap menuju markas sesuai janjinya dengan Abhi. Tapi ketika dia sampai di pintu depan, langkahnya terhenti.Ayahnya baru saja pulang, berdiri di ruang tamu dengan tubuh yang tampak kelelahan. Setelan kerjanya masih rapi, namun leher kemejanya terlihat sedikit berantakan, dan mata Keenan tak sengaja tertuju pada satu hal yang merusak semuanya, bekas kecupan lipstik yang samar namun jelas di kerah kemeja ayahnya. Seketika, detak jantungnya terasa lebih keras, menambah tekanan dalam dirinya. Bayangan masa kecilnya seketika muncul, saat dulu, ketika ia tak sengaja menemukan ayahnya bersama wanita lain. Dan saat itu juga, hanya ancaman yang ia dapat.Keenan menatap sang ayah dengan tatapan yang sulit diba
Saat pintu terbuka, suara langkah kecil yang berlari cepat segera menyambut Keenan. Dalam sekejap, Kavin, adik kecilnya, muncul dengan senyuman penuh kegembiraan. Mata bulatnya berbinar seperti menemukan harta karun di hadapannya.“Kakaaaak! Kakak udah pulang sekolah!” seru Kavin dengan nada ceria, melompat ke arahnya tanpa ragu. Keenan mengangkat alis sambil tersenyum tipis, menahan tawa melihat semangat adiknya yang begitu polos.Keenan berjongkok, membuka lengannya lebar-lebar. “Wah, ternyata masih ada yang nungguin Kakak pulang, nih,” godanya sambil merentangkan tangan.Tanpa pikir panjang, Kavin langsung masuk ke pelukan Keenan. Tubuh kecilnya menempel erat, seolah tak ingin melepaskan. Keenan bisa merasakan detak kecil jantung adiknya yang begitu polos, mengalirkan kehangatan yang tidak bisa diukur dengan kata-kata.“Nungguin kakak atau nungguin HP kakak, hm?” tanya Keenan sambil mencubit pipi tembem adiknya.Kavin tertawa kecil, memamerkan sederet gigi kecilnya. “Hehehe… dua-du
Keenan masih tenggelam dalam pikirannya ketika tiba-tiba suara ketukan pelan terdengar di kaca mobilnya. Abhi, Nevan, dan Kafka berdiri di luar dengan senyum penuh arti, seperti sekumpulan kawanan yang siap merecoki pagi seseorang. Tanpa menunggu izin, Abhi menarik pintu mobil dan langsung duduk di samping Keenan, diikuti Nevan dan Kafka yang mengintip ke dalam dengan mata menyelidik."Pagi, Pak Ketu, bagaimana hari ini?" sapa Abhi dengan nada riang, senyumannya lebar, tapi jelas ingin tahu ada apa dengan sahabatnya yang jarang terlihat termenung seperti ini.Nevan, yang berdiri di belakang Abhi, langsung menepuk pundaknya. "Pertanyaan lo, salah, Bambang!" serunya, memandang Abhi seakan-akan baru saja melakukan pelanggaran besar.Abhi menoleh, kebingungan, dan baru tersadar, menggaruk kepalanya dengan canggung. "Eh, iya ya, salah. Ini kan, masih pagi. Sorry sorry."Keenan mendengus pelan, sorot matanya masih tajam namun tak sepenuhnya marah. “Lo pada ngapain sih ke sini? Gue nggak man
Jam dinding menunjukkan pukul enam lewat lima belas pagi, dan udara pagi yang segar menyelimuti jalanan yang masih sepi. Di depan sebuah rumah besar dengan halaman luas, Keenan berdiri dengan tenang di samping mobilnya. Bukan rumah Alsha yang ia tuju pagi ini, melainkan Clara. Jari-jarinya lincah mengetik pesan singkat. "Clara, gue di depan rumah lo. Buruan keluar." Sudah sepuluh menit Keenan menunggu, matanya sesekali melirik jam tangan. Ia bukan tipe orang yang suka menunggu terlalu lama. Setelah pesan itu terkirim, ia bersandar pada pintu mobil, matanya menerawang, memikirkan kejadian semalam. Beberapa menit kemudian, pintu rumah itu terbuka. Clara keluar dengan terburu-buru, rambutnya masih sedikit berantakan, meskipun dia berusaha merapikannya dengan tangannya yang gemetar. Ada kebingungan di wajahnya saat ia menghampiri Keenan, yang kini tengah mengamatinya dengan pandangan datar, namun tajam. “Lo ngapain ke sini?” tanya Clara, suaranya sedikit serak, jelas bahwa ia ma