Beranda / Young Adult / About Keenan / Bab 13. Di Ujung Lorong

Share

Bab 13. Di Ujung Lorong

Penulis: litrcse
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-29 08:31:33

"Setiap tatapan bisa menyimpan ribuan rasa."

•••

Clara membanting bukunya di atas bangku dengan keras, menciptakan bunyi nyaring yang memecah keheningan kelas. Suara itu memantul di dinding-dinding, membuat Elysia yang sedang sibuk mencoret-coret catatan kecil di hadapannya tersentak kaget. Matanya yang semula terfokus pada pena di tangannya langsung menatap Clara dengan bingung.

"Lo kenapa sih? Baru dateng udah ngamuk-ngamuk," ujar Elysia, sedikit berbisik, khawatir kalau suara mereka menarik perhatian anak-anak lain di kelas.

Elysia Tamara, dengan rambut panjang terurai dan gaya modisnya yang khas, selalu tampak serasi duduk di samping Clara. Mereka seperti cerminan satu sama lain, dengan pakaian yang selalu up-to-date dan sepatu yang baru dibeli beberapa hari sebelumnya. Dua gadis yang selalu jadi pusat perhatian di manapun mereka berada.

Clara mendengus sambil melipat tangan di depan dadanya. Wajahnya merah, bukan karena malu, tapi lebih karena amarah yang perlahan memenuhi pikirannya.

"Gue capek, Lys. Lo tau nggak sih, sia-sia banget gue maksain baca buku, capek-capek ngerti apa yang dia suka, biar bisa nyambung sama dia. Tapi apa? Dari tadi gue duduk di sebelah dia, dia bahkan nggak ngelirik sedikit pun. Asik sama bukunya sendiri!" ucap Clara dengan nada frustrasi, suaranya semakin meninggi di akhir kalimat.

Elysia menatap sahabatnya itu dengan ekspresi penuh pengertian, menghela napas panjang. Dia tahu benar siapa 'dia' yang dimaksud oleh Clara. Sudah lama Clara jatuh hati pada seseorang yang, menurutnya, tak pernah melihat keberadaannya, sejak mereka duduk di kelas satu.

Clara merosot ke kursinya dengan kasar, membiarkan tasnya terjatuh ke lantai tanpa peduli. Wajahnya semakin muram, mata berkilat marah namun juga putus asa. "Kapan sih dia bisa ngelirik gue! Dari kelas satu, Lys! Bayangin aja!" keluhnya dengan nada getir.

Elysia baru saja hendak menenangkan Clara, tiba-tiba suara langkah-langkah mendekat membuat mereka menoleh. Tiga siswi dari kelas sebelah berjalan masuk ke XI IPA 1, langkah mereka mantap, seperti sedang mencari sesuatu. Clara dan Elysia saling bertukar pandang, bingung dan penasaran dengan kehadiran mereka.

"Mana yang namanya Clara?" tanya salah satu dari mereka, suaranya datar tapi tegas.

Clara mengangkat dagunya, meski wajahnya menunjukkan tanda ketidaksukaan. "Gue. Kenapa kak?" jawabnya, nadanya penuh tantangan.

"Ikut kita," ucap salah satu siswi itu tanpa basa-basi.

Clara menatap mereka dengan alis terangkat, jelas-jelas kesal. "Mau kemana kak?" tanya Elysia, yang tak bisa menahan rasa ingin tahunya.

"Kita cuma punya urusan sama Clara," jawabnya singkat, tanpa memedulikan Elysia.

Clara mendengus, mengambil tasnya yang terjatuh, dan dengan berat hati mengikuti langkah mereka. Elysia hanya bisa menatap punggung sahabatnya, merasa khawatir tapi juga tak bisa berbuat apa-apa.

Mereka membimbing Clara keluar kelas, melewati lorong-lorong sekolah yang tampak sepi di jam istirahat ini, hingga akhirnya mereka berhenti di depan kelas XII IPA 1. Di dalam, duduk seorang siswi dengan postur anggun, rambut hitam tebalnya dibiarkan terurai, dan tatapan matanya tajam, seakan menunggu sesuatu. Atau lebih tepatnya, seseorang.

Clara terdiam sesaat, menelan ludah ketika matanya bertemu dengan Claudia, siswi yang terkenal tak hanya karena kecantikannya, tapi juga karena kekuatannya mengendalikan segala sesuatu di sekolah ini. Meskipun hanya sekretaris OSIS, tapi Clara tahu betul bagaimana sikap seniornya itu.

Claudia menatap Clara dengan dingin. Matanya mengisyaratkan ketegasan yang tak terbantahkan, seolah setiap gerakan dan kata-katanya direncanakan dengan hati-hati. "Duduk," ucapnya sambil melirik kursi kosong di sebelahnya. Suaranya rendah, tapi penuh otoritas.

Clara, meski sering kali terlihat berani dan keras kepala, tak punya pilihan lain selain menurut. Ia melangkah perlahan menuju kursi itu, duduk dengan postur tegang. Ketiga siswi yang sebelumnya mengantarnya hanya memberikan tatapan sekilas sebelum meninggalkan kelas, membiarkan suasana canggung memenuhi ruangan.

Kini hanya ada mereka berdua. Keheningan terasa berat, seperti kabut yang melingkupi setiap inci kelas XII IPA 1. Clara tahu pasti apa yang akan terjadi. Claudia selalu punya alasan, dan hari ini, alasan itu jelas.

Keenan.

BERSAMBUNG

Bab terkait

  • About Keenan   Bab 13. Di Ujung Lorong (Part 2)

    "Coba jelasin ke gue," Claudia akhirnya berbicara lagi, kali ini lebih pelan namun penuh tuntutan. "Kenapa lo bisa pacaran sama Keenan?"Clara menatap Claudia dengan malas. Dadanya masih terasa sesak oleh rasa frustrasi sebelumnya, tapi sekarang ia harus berhadapan dengan sesuatu yang lain. "Kita gak pacaran," jawab Clara datar, matanya lurus ke depan. Jawaban itu membuat Claudia menoleh cepat, menatap Clara dengan mata yang sedikit menyipit."Apa?" Claudia mengerutkan kening, jelas tak puas dengan jawaban Clara. "Jelas-jelas Keenan yang bilang kalau kalian pacaran. Lo bohong?"Clara mendengus. Tentu saja, Keenan. Firasatnya tadi benar, ini semua hanya soal cowok yang satu itu. "Dia yang bohong, Kak. Gue gak ada perasaan apa-apa ke dia," katanya dengan nada tegas. Suaranya tak menunjukkan keraguan sedikit pun, meskipun di dalam hatinya, Clara tahu masalah ini belum selesai.Claudia terdiam, mencoba mencerna informasi itu. Kebingungan tampak di waj

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-29
  • About Keenan   Bab 14. Di Antara Halaman dan Harapan

    KRING! KRING! KRING!Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing. Ingat kata bapak ibu guru hari ini, bahwa esok adalah hari baru dengan kesempatan yang lebih besar. Belajar bukan hanya tentang hari ini, tapi tentang membangun masa depan yang lebih baik. Sampai jumpa esok hari dengan semangat yang baru. Jangan lupa tersenyum hari ini kepada dia yang berharga bagimu.TING TING TING... alunan merdu bel sekolah perlahan mereda.Bel pulang sekolah bergema lembut di seluruh penjuru ruangan, seolah mengakhiri hari yang penuh dengan keheningan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang merasakannya. Keenan dan teman-temannya melangkah mantap menuju bangku Alsha, di mana dia menunggu dengan sabar. Hari ini, ada janji yang tak sabar ingin mereka tepati.“Sheena, jadi kan kita ke toko buku?” tanya Keenan, suaranya lembut namun penuh dengan kehangatan yang tersembunyi di balik sorot matanya.Alsha mengangguk, senyum tipisnya mengembang, seakan hany

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-30
  • About Keenan   Bab 15. Diam-diam Menjaga

    Seperti malam-malam sebelumnya, Keenan berdiri di depan rumah Alsha, menatap pekarangan yang sunyi. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Gadis yang biasanya keluar untuk menatap langit, tidak terlihat. Hening menyelimuti, seolah malam itu sengaja menyembunyikannya dari pandangan. Keenan menunggu dengan sabar, berharap Alsha akan keluar. Sekadar melihat wajahnya dalam sinar redup bulan sudah cukup baginya. Hatinya merasakan kekosongan aneh, seolah ada sesuatu yang hilang dari ritme malam ini. Sampai suara yang tak terduga mengganggu lamunannya. “Lo masih betah di sini?” Kafka muncul tiba-tiba di belakangnya, nada suaranya pelan namun mengandung makna. Keenan, dengan gerakan lambat, menoleh. “Ngapain lo di sini?” tanyanya, berusaha menyembunyikan sedikit keterkejutannya. Kafka menarik napas dalam, tatapannya terarah pada jendela rumah Alsha yang masih tertutup. "Gue mau ngomong sesuatu sama lo." "Soal?" Suara Keenan terdengar lebih keras dari yang dia maksudkan, entah

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-30
  • About Keenan   Bab 16. Pesona Keenan

    Keenan dan teman-temannya berlari menuju lapangan basket dengan semangat yang membara, langkah mereka menghentak tanah seakan menciptakan ritme keceriaan di SMA Cendana. Langit biru cerah tanpa awan membentang di atas mereka, menyapa dengan sinar matahari yang hangat. Suasana istirahat ini selalu hidup, tetapi kali ini lapangan basket memancarkan energi yang tak tertandingi. Dengan kaos seragam sekolah yang sedikit dikeluarkan dan rambutnya yang sedikit berantakan, Keenan mulai memantulkan bola basket. Setiap detak bola terasa harmonis dengan jantungnya yang berdegup kencang. Ia bergerak lincah, seolah berada dalam tarian yang penuh gairah, menghindari lawan dengan keahlian yang memukau. “Ayo, Van! Tunjukin skill lo!” teriak Keenan, meluncur ke arah raket, bola berputar anggun di jarinya. Nevan, dengan semangat yang membara, melompat untuk memblokirnya. “Gue gak akan kasih lo kesempatan, Bos!” Namun, Keenan hanya tersenyum lebar dan melakukan gerakan elakan yang cerdik, menjadik

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-30
  • About Keenan   Bab 17. Kafka dan Segala Rahasianya

    Keenan berdecak pelan, malas melihat langkah gadis itu yang terus mendekat. "Mau apa lagi nih cewek," gumam Nevan dengan nada setengah heran. "Sorry ganggu, gue cuma mau kasih ini ke lo," kata Claudia sambil menyodorkan botol minuman ke arah Keenan. Keenan hanya diam, matanya sengaja dialihkan ke arah lain, seperti tak ingin terlibat. Claudia, yang menangkap sinyal itu, tersenyum tipis dengan sedikit ragu. "Yaudah, gue taruh sini aja, ya," ucapnya pelan, lalu menaruh botol di meja di depan Keenan sebelum berbalik dan pergi tanpa banyak kata. "Eh, tumben tuh cewek langsung cabut," celetuk Abhi, heran sambil melirik Keenan. Semua mata mengarah ke Keenan, yang masih cuek. Dia menghela napas dan dengan gesit melepas seragamnya, memperlihatkan kaos hitam yang melekat di tubuhnya. “Sebenernya gue bingung, antara kasihan sama kesel, tapi lebih ke kasihan sih,” ucap Abhi pelan. “Ngapain lo kasihan ke dia? Jelas-jelas karena dia, Lo dibikin bonyok sama Davin,” jawab Nevan, sedikit skept

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-02
  • About Keenan   Bab 17. Kafka dan Segala Rahasianya (Part 2)

    Kafka menghela napas perlahan, melihat Keenan menunggunya. Wajahnya tetap datar, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ia hanya mengangkat bahu dengan ringan, sikapnya terlihat santai. "Nggak ada. Gue cuma ngomong asal aja."Suara Kafka terdengar ringan, hampir seperti sebuah lelucon yang dilemparkan dengan enteng. Tapi di balik nada tenangnya, Keenan tahu ada sesuatu yang tersimpan, sesuatu yang tak mudah ditebak. Pandangannya tetap terfokus pada Kafka, mencoba membaca lebih dalam melalui tatapan matanya yang dingin. Namun, Kafka tampaknya tak berniat untuk melanjutkan."Serius, nggak penting, lupain aja," tambah Kafka lagi, kali ini dengan nada lebih lembut, menutup pembicaraan dengan tenang, seolah segalanya benar-benar tak berarti.Sejenak, hening mengambang di antara mereka. Angin lembut menerpa lapangan, mengibaskan ujung baju mereka, namun ketegangan yang terasa tak luntur begitu saja. Keenan menatap Kafka sedikit lebih lama, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya. Ia t

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-06
  • About Keenan   Bab 18. Irama Persahabatan

    Senja telah berlalu, dan malam pelan-pelan menyelimuti markas mereka. Lampu LED biru yang terpasang di sepanjang plafon memancarkan cahaya lembut, menciptakan suasana tenang yang menenangkan jiwa. Dinding-dinding abu-abu muda menghadirkan kesan luas dan bersih, mengusir kenangan suram dari markas lama mereka yang terasa sesak. Lantai vinyl yang baru dipasang memberikan sentuhan nyaman di bawah kaki, membuat setiap sudut ruangan tampak segar dan mengundang.Keenan duduk santai di sofa besar yang empuk, wajahnya menggambarkan kelelahan setelah seharian berjuang melawan Bu Sri dan menjalani hukuman lari yang tak ada habisnya. Namun, pikirannya melayang pada Alsha, gadis yang baru saja ia antar pulang. Dia tersenyum tipis, senyum yang hanya dia sendiri yang tahu maknanya. Meskipun tubuhnya lelah, hatinya bergetar bahagia. Hari ini, dia berhasil mendapatkan sesuatu yang berharga—nomor ponsel Alsha.Lamunan itu buyar saat Abhi dan Nevan berdiri di depannya, menyodorkan mangkuk makanan denga

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-18
  • About Keenan   Bab 18. Irama Persahabatan (Part 2)

    "Malam ini.." ucap Keenan, matanya kemudian melirik ke arah Kafka yang memperhatikan nya sejak tadi. "gue nggak mau kemana-mana kok," lanjutnya.Kafka, yang mendengar itu semua, Hanya tersenyum simpul, jelas sekali ketua gengnya itu sedang beralasan.Tiba-tiba, Keenan berdiri dari sofa, melempar bola basket dengan cepat ke arah Kafka. Meski terkejut, Kafka dengan refleksnya yang tajam berhasil menangkap bola itu, tapi ekspresi terkejut masih terlihat di wajahnya. Dia menatap bola basket di tangannya sejenak sebelum mengalihkan pandangan ke arah Keenan."Karena gue mau nantang dia main basket," ucap Keenan lagi, nada suaranya penuh tantangan. Matanya bersinar tajam, seperti api yang tak bisa dipadamkan.Kafka menatap bola itu, lalu mengangkat wajahnya dengan senyum tipis, matanya menyipit sedikit. "Lo serius mau nantang gue?"Keenan menyilangkan tangan di dadanya, senyum puas terbentuk di wajahnya. "Kenapa? Lo takut?""Gue? Takut?" Kafka tertawa kecil. Tawa yang sangat jarang terlihat

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-18

Bab terbaru

  • About Keenan   BAB 23. Badai yang Terkendali

    Ketika bel istirahat berdering, suara riuh siswa yang berlomba-lomba meninggalkan kelas terdengar menggema. Namun, di salah satu bangku, Keenan tetap duduk diam, tak beranjak. Tatapan matanya terpaku pada Alsha, mengamatinya dalam diam, seolah setiap gerakan gadis itu adalah misteri yang tak ingin ia lepaskan begitu saja."Ayo, Al, ke kantin," suara Aline terdengar, lembut, penuh semangat, ia menggenggam tangan Alsha, mengajak sahabatnya pergi. Alsha sempat melirik ke arah Keenan, namun cowok itu segera mengalihkan pandangan, menyembunyikan ekspresi di wajahnya yang sulit diartikan. "Al!" panggil Aline lagi, kali ini sedikit lebih mendesak. Akhirnya, Alsha mengangguk kecil, menerima ajakan Aline, dan mereka pun akhirnya melangkah keluar bersama.Keenan hanya bisa memandang punggung gadis itu yang semakin menjauh, menyisakan jejak perasaan yang tak terucap. Tak lama, tiga sosok temannya muncul, memperhatikan wajah ketua mereka yang tampak menyiratkan amarah yang sulit ia sembunyikan.

  • About Keenan   Bab 22. Penakluk Hati Keenan (Part 2)

    Setelah Athala menghilang dari pandangan, suasana kembali tenang. Mereka semua duduk kembali, meneruskan obrolan yang seakan tak terganggu oleh apa pun yang baru saja terjadi.Keenan menatap Abhi dengan tatapan tajam, seolah mengingat sesuatu yang tertunda. "Lo tadi mau ngomong apa?" tanya Keenan. Dia pergi ke markas, berharap mendengar kabar soal Alsha, namun sepertinya Abhi masih belum memberi informasi yang dicari. Abhi menggaruk kepala yang tak gatal, matanya sedikit menghindar. "E-eh," jawabnya ragu, suara serak yang keluar dari mulutnya menunjukkan dia sedang kebingungan. "Sorry, Pak Ketu, gue lupa mau ngomong apa tadi," lanjutnya, jelas merasa kikuk karena tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan. Keenan mendengus pelan, ekspresinya datar, namun gerakannya cepat. Tanpa peringatan, ia merampas snack dari tangan Abhi, menikmati keripik itu dengan lahap."Eh, Pak Ketu," ujar Abhi terkejut melihat tingkah Keenan yang tiba-tiba. Keenan hanya melotot ke arah Abhi, matanya menyip

  • About Keenan   Bab 22. Penakluk Hati Keenan

    Keenan dan Athala tiba di markas. Malam itu sunyi, tapi suasana langsung berubah begitu Abhi dan Nevan melihat mobil putih milik Athala memasuki halaman. Teman-teman Keenan, yang sedang asyik bercanda, langsung bergegas berdiri. Mereka saling bertugas pandang dengan senyum kecil yang penuh arti. Bagi mereka, Athala bukan sekadar kakak bagi Keenan, tapi juga sosok kakak yang selalu hadir untuk mereka semua.Abhi yang langsung menyambut Athala dengan lambaian tangan. "Hey, Bang Athala! Tumben nongol malam-malam gini! Mau gabung sama kita?"Athala turun dari mobil dengan langkah tenang, melemparkan senyum tipis pada mereka. "Lagi kosong aja," jawabnya sambil menepuk bahu Abhi. "Gue kangen ngeliat kalian semua. Udah lama, kan, nggak ngobrol bareng?""Bukan sekadar lama, Bang! Kita udah hampir lupa kapan terakhir kali Abang nongkrong di sini," canda Nevan sambil tertawa.Athala terkekeh pelan, menatap mereka satu per satu. Rasanya hangat, kembali berada di tengah-tengah mereka. Dia tahu, d

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 6)

    Keenan melajukan motornya, membelah jalanan malam yang sepi dengan kecepatan yang menggila. Pikiran-pikirannya berserakan, berkelindan dengan bayangan wajah ibunya yang tulus, penuh ketidakmengertian, dan ayahnya yang terbungkus kepalsuan dan dusta. Kekecewaan semakin membakar dadanya, membuat tangannya refleks memutar gas lebih kencang, seolah berharap kecepatan bisa menghapus segalanya.Di tengah kesibukannya melawan pikirannya, tiba-tiba, dari kejauhan, segerombolan orang berdiri menghadang di tengah jalan. Davin dan teman-temannya, berdiri dalam bayang malam yang samar, seolah sudah menunggu kedatangannya. Keenan ngerem mendadak, membuat roda motornya berdecit keras, meninggalkan bekas yang panjang di aspal. Matanya menatap tajam ke arah mereka, tanpa rasa takut sedikit pun. Tanpa ragu, ia turun dari motor dan berjalan mendekat, tatapannya penuh kemarahan yang tersimpan.Davin tersenyum licik, wajahnya tampak puas melihat Keenan mendekat. "Wah, lihat siapa yang muncul, guys," ucapn

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 5)

    Keenan tetap diam, namun tatapannya tidak berubah, tajam dan penuh kekecewaan. Ini bukan kali pertama ia merasakan ancaman dari sang ayah, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Rasa takut yang dulu menghantuinya perlahan tergantikan oleh keberanian untuk melawan.Ayahnya melangkah maju, mendekati Keenan hingga jarak mereka hanya beberapa sentimeter. "Ingat ini baik-baik, Keenan. Kamu cuma anak kecil yang nggak tahu apa-apa tentang hidup. Kalau kamu masih berani buka mulut soal ini ke Mama, atau ke siapa pun, Papa akan pastikan hidupmu nggak akan nyaman di rumah ini." ucapnya dengan suara yang begitu rendah, namun jelas mengandung ancaman yang serius.Keenan menahan napas, merasakan amarahnya semakin membara. "Silahkan, Pa. Kalau itu yang Papa mau. Tapi itu nggak akan mengubah fakta kalau Papa salah, kalau Papa sudah menghancurkan kepercayaan orang-orang yang sayang sama Papa."Mata ayahnya semakin menyipit, napasnya terengah-engah seolah sedang menahan diri agar tidak meledak lebih

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 4)

    Suasana rumah begitu hening saat malam telah sepenuhnya turun, hanya suara napas lembut Kavin yang terlelap di tempat tidur Keenan yang mengisi keheningan. Keenan menghela napas, menyelimutkan kain lembut hingga menutupi bahu kecil adiknya, lalu melangkah pelan-pelan keluar dari kamar, bersiap menuju markas sesuai janjinya dengan Abhi. Tapi ketika dia sampai di pintu depan, langkahnya terhenti.Ayahnya baru saja pulang, berdiri di ruang tamu dengan tubuh yang tampak kelelahan. Setelan kerjanya masih rapi, namun leher kemejanya terlihat sedikit berantakan, dan mata Keenan tak sengaja tertuju pada satu hal yang merusak semuanya, bekas kecupan lipstik yang samar namun jelas di kerah kemeja ayahnya. Seketika, detak jantungnya terasa lebih keras, menambah tekanan dalam dirinya. Bayangan masa kecilnya seketika muncul, saat dulu, ketika ia tak sengaja menemukan ayahnya bersama wanita lain. Dan saat itu juga, hanya ancaman yang ia dapat.Keenan menatap sang ayah dengan tatapan yang sulit diba

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 3)

    Saat pintu terbuka, suara langkah kecil yang berlari cepat segera menyambut Keenan. Dalam sekejap, Kavin, adik kecilnya, muncul dengan senyuman penuh kegembiraan. Mata bulatnya berbinar seperti menemukan harta karun di hadapannya.“Kakaaaak! Kakak udah pulang sekolah!” seru Kavin dengan nada ceria, melompat ke arahnya tanpa ragu. Keenan mengangkat alis sambil tersenyum tipis, menahan tawa melihat semangat adiknya yang begitu polos.Keenan berjongkok, membuka lengannya lebar-lebar. “Wah, ternyata masih ada yang nungguin Kakak pulang, nih,” godanya sambil merentangkan tangan.Tanpa pikir panjang, Kavin langsung masuk ke pelukan Keenan. Tubuh kecilnya menempel erat, seolah tak ingin melepaskan. Keenan bisa merasakan detak kecil jantung adiknya yang begitu polos, mengalirkan kehangatan yang tidak bisa diukur dengan kata-kata.“Nungguin kakak atau nungguin HP kakak, hm?” tanya Keenan sambil mencubit pipi tembem adiknya.Kavin tertawa kecil, memamerkan sederet gigi kecilnya. “Hehehe… dua-du

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 2)

    Keenan masih tenggelam dalam pikirannya ketika tiba-tiba suara ketukan pelan terdengar di kaca mobilnya. Abhi, Nevan, dan Kafka berdiri di luar dengan senyum penuh arti, seperti sekumpulan kawanan yang siap merecoki pagi seseorang. Tanpa menunggu izin, Abhi menarik pintu mobil dan langsung duduk di samping Keenan, diikuti Nevan dan Kafka yang mengintip ke dalam dengan mata menyelidik."Pagi, Pak Ketu, bagaimana hari ini?" sapa Abhi dengan nada riang, senyumannya lebar, tapi jelas ingin tahu ada apa dengan sahabatnya yang jarang terlihat termenung seperti ini.Nevan, yang berdiri di belakang Abhi, langsung menepuk pundaknya. "Pertanyaan lo, salah, Bambang!" serunya, memandang Abhi seakan-akan baru saja melakukan pelanggaran besar.Abhi menoleh, kebingungan, dan baru tersadar, menggaruk kepalanya dengan canggung. "Eh, iya ya, salah. Ini kan, masih pagi. Sorry sorry."Keenan mendengus pelan, sorot matanya masih tajam namun tak sepenuhnya marah. “Lo pada ngapain sih ke sini? Gue nggak man

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia

    Jam dinding menunjukkan pukul enam lewat lima belas pagi, dan udara pagi yang segar menyelimuti jalanan yang masih sepi. Di depan sebuah rumah besar dengan halaman luas, Keenan berdiri dengan tenang di samping mobilnya. Bukan rumah Alsha yang ia tuju pagi ini, melainkan Clara. Jari-jarinya lincah mengetik pesan singkat. "Clara, gue di depan rumah lo. Buruan keluar." Sudah sepuluh menit Keenan menunggu, matanya sesekali melirik jam tangan. Ia bukan tipe orang yang suka menunggu terlalu lama. Setelah pesan itu terkirim, ia bersandar pada pintu mobil, matanya menerawang, memikirkan kejadian semalam. Beberapa menit kemudian, pintu rumah itu terbuka. Clara keluar dengan terburu-buru, rambutnya masih sedikit berantakan, meskipun dia berusaha merapikannya dengan tangannya yang gemetar. Ada kebingungan di wajahnya saat ia menghampiri Keenan, yang kini tengah mengamatinya dengan pandangan datar, namun tajam. “Lo ngapain ke sini?” tanya Clara, suaranya sedikit serak, jelas bahwa ia ma

DMCA.com Protection Status