Share

Bab 11. Satu Pilihan

"Cinta yang tulus tidak butuh persetujuan orang lain." -Keenan Aksara

•••

Keenan terus melangkah santai, mengabaikan suara Claudia yang mencoba menarik perhatiannya. Langit cerah di atas sekolah seolah tak terpengaruh oleh ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.

“Keenan!” Suara Claudia menggema, namun tetap saja, ia tak menoleh.

Abhi yang berada di belakang Keenan, melirik sebentar ke arah Claudia lalu menghampirinya. “Maaf, Kak. Bukannya mau ikut campur, tapi lebih baik Kakak jauhin Keenan. Ini demi kebaikan bersama.”

Claudia memandang tajam ke arah Abhi, alisnya berkerut penuh tanya. “Demi kebaikan bersama? Maksud lo apa?”

Abhi sempat membuka mulut, ingin menjelaskan, namun sebuah suara lain tiba-tiba menyeruak, menghentikan segalanya.

"Keenan!"

Langkah Keenan langsung terhenti saat suara itu sampai ke telinganya. Seketika suasana berubah, menegangkan namun penuh tanda tanya. Semua mata tertuju pada seorang gadis yang berlari kecil ke arah Keenan. Clara.

Keenan melirik sekilas ke arah Claudia yang masih berdiri tak jauh darinya, lalu tanpa ragu ia menghampiri Clara. Tangannya bergerak otomatis, merangkul gadis itu dengan santai. "Kenapa sayang?" tanyanya dengan nada lembut, mengejutkan Abhi dan Nevan yang saling pandang kebingungan. Kafka, di sisi lain, tetap diam, matanya tak lepas dari gerak-gerik Keenan. Sedangkan Clara melotot ke arah Keenan, tapi Keenan tetap tenang, dia mengedipkan matanya, mengisyaratkan agar Clara patuh dengan drama kecilnya itu.

Claudia mendengus pelan, jelas-jelas kesal melihat interaksi itu. Namun, Clara berusaha tampak tenang. "Ini, dari bokap," katanya sambil menyerahkan selebaran flayer ke Keenan.

Keenan mengangkat alis, sedikit terkejut, tapi ia tetap menerima flayer itu. Matanya sekilas membaca tulisan yang ada di sana, isinya tentang lomba basket antar sekolah. Dia tersenyum miring, pandangannya kembali pada Clara.

"Sayang, ngapain repot-repot nganterin ini? Kan aku bisa lihat sendiri nanti di mading," ucap Keenan sambil melirik ke arah Claudia, seolah sengaja memanas-manasi situasi.

Clara hendak menjawab, namun sebelum kata-kata keluar dari bibirnya, Keenan sudah lebih dulu merangkulnya erat. "Ayo ke kantin, temenin aku makan," katanya pelan, kembali melirik Claudia yang masih berdiri di tempatnya. Tanpa menunggu jawaban, Keenan membawa Clara pergi, meninggalkan Claudia dengan perasaan yang jelas tak terlukiskan.

Claudia mengertakkan gigi, matanya menatap tajam ke arah punggung Keenan yang semakin menjauh. "Itu maksud lo, kan? Karena Keenan udah punya pacar?" tanyanya dengan suara penuh kesal, kini menatap Abhi, Nevan, dan Kafka.

Tak menunggu jawaban, Claudia segera berbalik, langkahnya cepat dan penuh amarah, meninggalkan mereka di jalur yang berbeda dari arah yang dilalui Keenan dan Clara.

“Eh?”Abhi menggaruk kepalanya, masih bingung.

Nevan menggeleng pelan, tak kalah bingung. “Sejak kapan bos punya pacar?”

“Seriusan itu pacarnya?” Abhi menambahkan. “Anak kelas berapa pacarnya si Ketu?”

Kafka yang dari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Kelas sebelah, IPA 1. Clara namanya." Matanya tetap tak lepas dari punggung Keenan dan Clara yang mulai menghilang dari pandangan.

"Eh, iya? Clara, anak kepsek itu?" Abhi bertanya lagi, tak percaya.

Kafka mengangguk tanpa berkata apa-apa.

“Oalah, jadi bos jatuh cinta sama anak kepsek? Pinter banget milihnya,” Nevan berkomentar sambil tertawa kecil, merasa lucu dengan kenyataan itu.

Tapi Kafka tiba-tiba menghentikan tawa mereka. "Bukan dia," ucapnya singkat.

Abhi dan Nevan membelalak, terkejut. “Lah? Terus? Ke siapa?” Nevan bertanya, kini rasa penasaran makin membuncah.

Kafka tak memberi jawaban. Dia melangkah pelan, mengikuti arah Keenan pergi, membiarkan Abhi dan Nevan menatap punggungnya dengan kebingungan yang belum terjawab. Terpaksa, keduanya ikut melangkah, tak ingin tertinggal lebih jauh.

Sesampainya di kantin, Keenan segera melepaskan rangkulannya dari Clara. Udara sejuk di dalam ruangan kontras dengan ketegangan yang terasa di antara mereka.

"Sorry," ucap Keenan dengan nada datar, mencoba menjaga suasana tetap tenang.

Clara hanya mendengus pelan. Rasa frustasi tampak jelas di wajahnya. "Mau sampai kapan lo bohongin dia?" tanyanya dengan nada penuh penekanan. Dalam dirinya, rasa sakit dan kemarahan seperti gelombang yang tak henti-hentinya bergulung.

Keenan duduk di salah satu kursi, mengangkat alis seolah tidak terlalu peduli. "Sampai dia berhenti ngejar gue," jawabnya dengan santai. Ada semacam keputusasaan dalam suaranya yang tampaknya ingin melindungi dirinya dari masalah yang semakin kompleks.

"Tapi gue gak bisa terus-terusan terlibat dalam drama lo itu," Clara melanjutkan, suaranya penuh dengan beban yang menggelayuti setiap kata. Ada perasaan tak berdaya dalam dirinya, seakan tidak bisa lagi bertahan dalam peran yang dipaksakan.

Keenan menatap Clara dengan satu alis terangkat, mencoba menilai kedalaman emosi yang ada di balik kata-katanya. "Gue gak ada maksud buat ngelibatin lo, lo-nya aja kebetulan hadir di waktu yang kurang tepat," ucapnya, seolah membiarkan beban emosionalnya tersisa di tempat lain.

Klarifikasi yang dingin itu membuat Clara mendengus kesal, ketidakpastian dan kemarahan dalam dirinya semakin memuncak. Sementara Keenan, tampaknya lebih fokus pada sesuatu yang lain. Matanya tanpa sengaja menangkap sosok Alsha yang sedang asyik ngobrol dengan Aline di seberang meja.

"Mending lo pergi deh," ucap Keenan tiba-tiba, suaranya tidak menunjukkan emosi yang mendalam namun tetap jelas dan tegas. Keputusan ini tampaknya datang dari dorongan batin yang sulit dipahami, tetapi terasa seperti langkah untuk meredakan ketegangan yang ada.

Clara mengerutkan kening, terkejut oleh kalimat Keenan yang datang tiba-tiba, seperti tamparan yang membuatnya tersadar akan realitas. "Ngapain lo ngusir gue?" tanyanya, rasa bingung dan sakit hati bercampur aduk dalam suaranya.

"Gue udah gak butuh lo," jawab Keenan dengan nada dingin, sebuah pengakuan yang membuat Clara semakin terkejut. Kesadaran akan ketidakberdayaannya semakin mendalam, dan rasa sakit hati itu menyulut kemarahan yang tak tertahan lagi.

Dengan penuh kemarahan dan rasa sakit, Clara akhirnya melangkah pergi dari kantin. Setiap langkahnya seolah menegaskan keputusan untuk meninggalkan sesuatu yang menyakitkan. Keenan, di sisi lain, tidak menyadari kekesalan yang melanda Clara. Fokusnya kini tertuju pada sosok Alsha di kejauhan, seolah mencari pemahaman atau kedamaian dalam keramaian yang tampaknya sepi.

Ketika Keenan sedang tenggelam dalam tatapan panjang ke arah Alsha, ketiga temannya datang dan duduk di sekelilingnya. Mereka mengikuti arah tatapan Keenan, yang kini tampak terfokus pada sosok Alsha di kejauhan.

Abhi, yang merasa sudah cukup lama menunggu, berdeham pelan untuk menarik perhatian Keenan. "Pak Ketu, ngapain ngeliatin Alsha kayak gitu?" tanyanya, nada suaranya rendah namun penuh keingintahuan.

Keenan mengalihkan pandangannya ke arah teman-temannya dengan sikap yang tenang, seolah kehadiran mereka sudah diantisipasi. Ia menatap mereka satu per satu, menunggu mereka untuk berbicara.

“Kenapa emangnya?” Keenan bertanya dengan nada yang sedikit tidak sabar.

Abhi dan Nevan hanya bisa memandang Keenan dengan penuh tanya, sementara Kafka, dengan gaya khasnya yang santai, memecahkan keheningan. "Sebenarnya, lo suka sama siapa?" tanya Kafka.

Keenan mengangguk ke arah Alsha, kemudian menjawab, "lo lihat sendiri, kan?"

"Alsha, bos?" tanya Nevan, masih mencoba mencerna situasinya.

Keenan mengangguk pelan. "Gue butuh bantuan kalian buat dapetin dia."

Abhi terlihat semakin bingung. "Tapi, kenapa tadi Pak Ketu meluk cewek lain?"

"Biar Claudia menjauh, apa lagi," jawab Keenan tanpa ekspresi.

"Tapi gak gitu juga caranya," kata Kafka, nada suaranya menunjukkan ketidakpuasan.

"Gimana caranya? Gue udah kepepet," ucap Keenan, tampak frustrasi.

Kafka, yang terus memperhatikan Keenan dengan tatapan serius, bertanya, "Maksud lo?"

Keenan menghela napas sebelum menjelaskan, "Semalem, gue dijodohin sama Clara. Dan pas gue disuruh ngajak Clara keluar, gue malah ketemu Claudia. Sejak saat itu, gue udah kebawa dalam drama ini."

Abhi dan Nevan mulai memahami situasinya dan mengangguk. Mereka paham sekarang kenapa Keenan tampak tidak bersemangat semalam. Kafka, di sisi lain, masih tampak ragu.

"Ngapain lo natap gue kayak gitu?" tanya Keenan, mendapati tatapan Kafka yang penuh keraguan.

"Gue cuma mulai ragu sama omongan lo semalem," ucap Kafka dengan suara pelan, membuat Abhi dan Nevan kembali bingung.

Keenan menatap Kafka dengan tegas. "Satu hal yang perlu lo tahu, apapun rencana orang tua gue, itu gak bakal mengubah perasaan gue ke Sheena."

Dengan pernyataan itu, Keenan berdiri dan melangkah keluar dari kantin, meninggalkan teman-temannya dalam kebisuan yang penuh dengan pertanyaan dan perasaan campur aduk.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status