"Cinta yang tulus tidak butuh persetujuan orang lain." -Keenan Aksara
••• Keenan terus melangkah santai, mengabaikan suara Claudia yang mencoba menarik perhatiannya. Langit cerah di atas sekolah seolah tak terpengaruh oleh ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya. “Keenan!” Suara Claudia menggema, namun tetap saja, ia tak menoleh. Abhi yang berada di belakang Keenan, melirik sebentar ke arah Claudia lalu menghampirinya. “Maaf, Kak. Bukannya mau ikut campur, tapi lebih baik Kakak jauhin Keenan. Ini demi kebaikan bersama.” Claudia memandang tajam ke arah Abhi, alisnya berkerut penuh tanya. “Demi kebaikan bersama? Maksud lo apa?” Abhi sempat membuka mulut, ingin menjelaskan, namun sebuah suara lain tiba-tiba menyeruak, menghentikan segalanya. "Keenan!" Langkah Keenan langsung terhenti saat suara itu sampai ke telinganya. Seketika suasana berubah, menegangkan namun penuh tanda tanya. Semua mata tertuju pada seorang gadis yang berlari kecil ke arah Keenan. Clara. Keenan melirik sekilas ke arah Claudia yang masih berdiri tak jauh darinya, lalu tanpa ragu ia menghampiri Clara. Tangannya bergerak otomatis, merangkul gadis itu dengan santai. "Kenapa sayang?" tanyanya dengan nada lembut, mengejutkan Abhi dan Nevan yang saling pandang kebingungan. Kafka, di sisi lain, tetap diam, matanya tak lepas dari gerak-gerik Keenan. Sedangkan Clara melotot ke arah Keenan, tapi Keenan tetap tenang, dia mengedipkan matanya, mengisyaratkan agar Clara patuh dengan drama kecilnya itu. Claudia mendengus pelan, jelas-jelas kesal melihat interaksi itu. Namun, Clara berusaha tampak tenang. "Ini, dari bokap," katanya sambil menyerahkan selebaran flayer ke Keenan. Keenan mengangkat alis, sedikit terkejut, tapi ia tetap menerima flayer itu. Matanya sekilas membaca tulisan yang ada di sana, isinya tentang lomba basket antar sekolah. Dia tersenyum miring, pandangannya kembali pada Clara. "Sayang, ngapain repot-repot nganterin ini? Kan aku bisa lihat sendiri nanti di mading," ucap Keenan sambil melirik ke arah Claudia, seolah sengaja memanas-manasi situasi. Clara hendak menjawab, namun sebelum kata-kata keluar dari bibirnya, Keenan sudah lebih dulu merangkulnya erat. "Ayo ke kantin, temenin aku makan," katanya pelan, kembali melirik Claudia yang masih berdiri di tempatnya. Tanpa menunggu jawaban, Keenan membawa Clara pergi, meninggalkan Claudia dengan perasaan yang jelas tak terlukiskan. Claudia mengertakkan gigi, matanya menatap tajam ke arah punggung Keenan yang semakin menjauh. "Itu maksud lo, kan? Karena Keenan udah punya pacar?" tanyanya dengan suara penuh kesal, kini menatap Abhi, Nevan, dan Kafka. Tak menunggu jawaban, Claudia segera berbalik, langkahnya cepat dan penuh amarah, meninggalkan mereka di jalur yang berbeda dari arah yang dilalui Keenan dan Clara. “Eh?”Abhi menggaruk kepalanya, masih bingung. Nevan menggeleng pelan, tak kalah bingung. “Sejak kapan bos punya pacar?” “Seriusan itu pacarnya?” Abhi menambahkan. “Anak kelas berapa pacarnya si Ketu?” Kafka yang dari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Kelas sebelah, IPA 1. Clara namanya." Matanya tetap tak lepas dari punggung Keenan dan Clara yang mulai menghilang dari pandangan. "Eh, iya? Clara, anak kepsek itu?" Abhi bertanya lagi, tak percaya. Kafka mengangguk tanpa berkata apa-apa. “Oalah, jadi bos jatuh cinta sama anak kepsek? Pinter banget milihnya,” Nevan berkomentar sambil tertawa kecil, merasa lucu dengan kenyataan itu. Tapi Kafka tiba-tiba menghentikan tawa mereka. "Bukan dia," ucapnya singkat. Abhi dan Nevan membelalak, terkejut. “Lah? Terus? Ke siapa?” Nevan bertanya, kini rasa penasaran makin membuncah. Kafka tak memberi jawaban. Dia melangkah pelan, mengikuti arah Keenan pergi, membiarkan Abhi dan Nevan menatap punggungnya dengan kebingungan yang belum terjawab. Terpaksa, keduanya ikut melangkah, tak ingin tertinggal lebih jauh. Sesampainya di kantin, Keenan segera melepaskan rangkulannya dari Clara. Udara sejuk di dalam ruangan kontras dengan ketegangan yang terasa di antara mereka. "Sorry," ucap Keenan dengan nada datar, mencoba menjaga suasana tetap tenang. Clara hanya mendengus pelan. Rasa frustasi tampak jelas di wajahnya. "Mau sampai kapan lo bohongin dia?" tanyanya dengan nada penuh penekanan. Dalam dirinya, rasa sakit dan kemarahan seperti gelombang yang tak henti-hentinya bergulung. Keenan duduk di salah satu kursi, mengangkat alis seolah tidak terlalu peduli. "Sampai dia berhenti ngejar gue," jawabnya dengan santai. Ada semacam keputusasaan dalam suaranya yang tampaknya ingin melindungi dirinya dari masalah yang semakin kompleks. "Tapi gue gak bisa terus-terusan terlibat dalam drama lo itu," Clara melanjutkan, suaranya penuh dengan beban yang menggelayuti setiap kata. Ada perasaan tak berdaya dalam dirinya, seakan tidak bisa lagi bertahan dalam peran yang dipaksakan. Keenan menatap Clara dengan satu alis terangkat, mencoba menilai kedalaman emosi yang ada di balik kata-katanya. "Gue gak ada maksud buat ngelibatin lo, lo-nya aja kebetulan hadir di waktu yang kurang tepat," ucapnya, seolah membiarkan beban emosionalnya tersisa di tempat lain. Klarifikasi yang dingin itu membuat Clara mendengus kesal, ketidakpastian dan kemarahan dalam dirinya semakin memuncak. Sementara Keenan, tampaknya lebih fokus pada sesuatu yang lain. Matanya tanpa sengaja menangkap sosok Alsha yang sedang asyik ngobrol dengan Aline di seberang meja. "Mending lo pergi deh," ucap Keenan tiba-tiba, suaranya tidak menunjukkan emosi yang mendalam namun tetap jelas dan tegas. Keputusan ini tampaknya datang dari dorongan batin yang sulit dipahami, tetapi terasa seperti langkah untuk meredakan ketegangan yang ada. Clara mengerutkan kening, terkejut oleh kalimat Keenan yang datang tiba-tiba, seperti tamparan yang membuatnya tersadar akan realitas. "Ngapain lo ngusir gue?" tanyanya, rasa bingung dan sakit hati bercampur aduk dalam suaranya. "Gue udah gak butuh lo," jawab Keenan dengan nada dingin, sebuah pengakuan yang membuat Clara semakin terkejut. Kesadaran akan ketidakberdayaannya semakin mendalam, dan rasa sakit hati itu menyulut kemarahan yang tak tertahan lagi. Dengan penuh kemarahan dan rasa sakit, Clara akhirnya melangkah pergi dari kantin. Setiap langkahnya seolah menegaskan keputusan untuk meninggalkan sesuatu yang menyakitkan. Keenan, di sisi lain, tidak menyadari kekesalan yang melanda Clara. Fokusnya kini tertuju pada sosok Alsha di kejauhan, seolah mencari pemahaman atau kedamaian dalam keramaian yang tampaknya sepi. Ketika Keenan sedang tenggelam dalam tatapan panjang ke arah Alsha, ketiga temannya datang dan duduk di sekelilingnya. Mereka mengikuti arah tatapan Keenan, yang kini tampak terfokus pada sosok Alsha di kejauhan. Abhi, yang merasa sudah cukup lama menunggu, berdeham pelan untuk menarik perhatian Keenan. "Pak Ketu, ngapain ngeliatin Alsha kayak gitu?" tanyanya, nada suaranya rendah namun penuh keingintahuan. Keenan mengalihkan pandangannya ke arah teman-temannya dengan sikap yang tenang, seolah kehadiran mereka sudah diantisipasi. Ia menatap mereka satu per satu, menunggu mereka untuk berbicara. “Kenapa emangnya?” Keenan bertanya dengan nada yang sedikit tidak sabar. Abhi dan Nevan hanya bisa memandang Keenan dengan penuh tanya, sementara Kafka, dengan gaya khasnya yang santai, memecahkan keheningan. "Sebenarnya, lo suka sama siapa?" tanya Kafka. Keenan mengangguk ke arah Alsha, kemudian menjawab, "lo lihat sendiri, kan?" "Alsha, bos?" tanya Nevan, masih mencoba mencerna situasinya. Keenan mengangguk pelan. "Gue butuh bantuan kalian buat dapetin dia." Abhi terlihat semakin bingung. "Tapi, kenapa tadi Pak Ketu meluk cewek lain?" "Biar Claudia menjauh, apa lagi," jawab Keenan tanpa ekspresi. "Tapi gak gitu juga caranya," kata Kafka, nada suaranya menunjukkan ketidakpuasan. "Gimana caranya? Gue udah kepepet," ucap Keenan, tampak frustrasi. Kafka, yang terus memperhatikan Keenan dengan tatapan serius, bertanya, "Maksud lo?" Keenan menghela napas sebelum menjelaskan, "Semalem, gue dijodohin sama Clara. Dan pas gue disuruh ngajak Clara keluar, gue malah ketemu Claudia. Sejak saat itu, gue udah kebawa dalam drama ini." Abhi dan Nevan mulai memahami situasinya dan mengangguk. Mereka paham sekarang kenapa Keenan tampak tidak bersemangat semalam. Kafka, di sisi lain, masih tampak ragu. "Ngapain lo natap gue kayak gitu?" tanya Keenan, mendapati tatapan Kafka yang penuh keraguan. "Gue cuma mulai ragu sama omongan lo semalem," ucap Kafka dengan suara pelan, membuat Abhi dan Nevan kembali bingung. Keenan menatap Kafka dengan tegas. "Satu hal yang perlu lo tahu, apapun rencana orang tua gue, itu gak bakal mengubah perasaan gue ke Sheena." Dengan pernyataan itu, Keenan berdiri dan melangkah keluar dari kantin, meninggalkan teman-temannya dalam kebisuan yang penuh dengan pertanyaan dan perasaan campur aduk. BERSAMBUNG"Kesedihan adalah sapuan kuas yang menciptakan pola keindahan dalam kanvas hidup kita, mengungkapkan cerita di balik setiap goresan." - Keenan Aksara...Di bawah langit malam yang dipenuhi bintang, sebuah kamar kecil dengan cahaya lembut yang menembus tirai jendela. Di dalam kamar itu, suasana tenang terjaga. Seorang kakak, Keenan Aksara, duduk di sofa dengan adik laki-laki yang berada di pangkuannya. Keenan, seorang pemuda dengan wajah tegas dan tampan, adalah sosok yang tidak bisa diabaikan. Dengan rahang yang terdefinisi jelas dan mata yang penuh semangat, Keenan memancarkan aura karismatik yang membuatnya menjadi salah satu siswa paling populer di SMAN Cendana Jakarta. Namun ketampanan bukan satu-satunya alasan popularitasnya. Keenan dikenal luas karena prestasinya yang menakjubkan di bidang olahraga, khususnya basket. Ia sering kali menjadi pusat perhatian di setiap pertandingan.Ada keunikan yang membentuk sosok Keenan. Dari pihak ayahnya yang berasal dari Rusia, Keenan me
"Rumah bukan hanya tempat kita tinggal, tetapi tempat di mana hati kita merasa tenang dan diterima." -Keenan Aksara...Apartemen itu sunyi, hanya suara kipas angin yang menderu pelan di sudut ruangan. Cahaya remang-remang dari lampu meja mengisi ruang dengan kehangatan yang samar, tapi tidak mampu mengusir seluruh bayang-bayang di dinding. Di tempat tidur yang berantakan, Abhi terbaring lemah, tubuhnya diselimuti perban di beberapa bagian. Wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa pertempuran yang baru saja dilaluinya—lebam, luka, dan rasa sakit yang belum benar-benar hilang. Namun, meskipun terlihat babak belur, kondisinya sudah jauh lebih baik.Varelino Abhisar, yang lebih akrab dipanggil Abhi, sebenarnya adalah sosok yang jauh dari kesan lemah. Di sekolah, dia dikenal sebagai pria yang humoris, selalu bisa mencairkan suasana dengan lelucon dan candaannya yang spontan. Mulutnya jarang tertutup—selalu saja ada hal yang ingin dia katakan, dari hal-hal serius sampai hal-hal remeh yang ma
"Ada kalanya, cinta tak berteriak lantang. Ia bersembunyi dalam diam, mengatur segala langkah tanpa ingin dikenal, hanya berharap sang pujaan tetap tersenyum di kejauhan." -Keenan Aksara . . . Keenan menghentikan motornya di tepi jalan, dekat sebuah rumah bercat biru. Bukan rumahnya, tapi rumah seorang gadis yang, entah bagaimana, kini mampu menggetarkan hatinya Gerbang rumah itu tertutup rapat, namun di dalam sana, di tempat yang tinggi, tempat di mana gadis itu sering menghabiskan waktunya, berdiri di bawah naungan malam. Seperti biasa, Keenan melihatnya lagi, menatap langit malam dengan tenang. Meskipun jarak memisahkan mereka, cahaya rembulan cukup untuk menyorot kecantikan gadis itu, membuatnya terlihat begitu memukau. Alsha. Alshameyzea Afsheena. Atau Sheena, begitu ia sering memanggil gadis bermata rembulan itu. Tanpa pernah gagal, setiap malam, Keenan selalu menyempatkan diri untuk menyaksikan Alsha dari kejauhan. Ada sesuatu dalam dirinya yang masih belum sanggu
"Di balik diamnya, ada perasaan yang tak terucap, menunggu waktu yang tepat untuk terungkap." -Keenan Aksara °°°°° Di balik semak-semak yang rindang di pinggir lapangan, Keenan mengintip, matanya tak lepas dari sosok Kafka yang melangkah maju, berdiri tegap di depan Alsha. Dalam sekejap, entah dari mana datangnya, Kafka sudah menggenggam botol plastik dan tanpa ragu, menyiramkan isinya ke arah Claudia. Butiran air terbang di udara, menimpa Claudia yang langsung terdiam, terkejut oleh tindakan Kafka. Keenan ikut terhenyak—ini bukan Kafka yang dia kenal. Kafka biasanya tenang, pendiam, dan tak mudah terpancing. Keenan hanya memintanya menegur Claudia, bukan melakukan hal segila ini. Dari balik persembunyiannya, Keenan menyaksikan semuanya dengan tatapan tajam. Sesuatu dalam dirinya bergejolak, penasaran sekaligus sedikit cemas. Dan sebelum dia sempat bertindak, Davin muncul seperti badai yang tak terduga. Tanpa peringatan, tinju Davin melayang cepat, mengenai wajah Kafka. Refleks,
"Ada hal-hal yang lebih indah dari senja. Senyummu, dan perasaan yang terukir dalam setiap detik saat bersamamu." -Keenan Aksara°°°°°Ketiga teman Keenan berdiri di bawah semburat jingga yang perlahan memenuhi langit sore. Parkiran sekolah mulai lengang, hanya tersisa beberapa siswa yang masih berkumpul. Di depan gerbang, Keenan menghentikan motornya tepat di depan Alsha dan Aline. Dengan gerakan yang anggun namun tanpa banyak usaha, ia melepas helm full-face-nya. Rambutnya sedikit berantakan, tapi justru menambah kesan karismatik yang alami."Oalah, ke neng Alsha toh, kirain mau kemana," ujar Abhi, suaranya terdengar iseng, sementara dia mengambil helm dari motornya dan tersenyum kecil.Nevan memutar matanya dengan malas, "Yuk, susul Pak Ketu," katanya dengan sedikit cengengesan sambil menepuk-nepuk jok motornya, seolah siap berangkat kapan saja."Tunggu dulu," Nevan menyahut dengan nada setengah jengkel. "Enak aja nyuruh-nyuruh, Lo kira gue anak buah lo?"Kafka, duduk di motornya,
"Meski berdiri kokoh di hadapan dunia, ada hati yang tersesat, merindukan cinta yang pernah hilang. Karena rumah sejati bukanlah tempat, melainkan di mana kasih sayang berdiam." -Keenan Aksara...Keenan tersentak pelan saat suara lembut Alsha menyapanya, membuyarkan pikirannya yang tengah melayang jauh. "Keenan? Kamu ngelamun?"Ia segera menggeleng pelan, senyum yang sejak tadi terukir di wajahnya tak beranjak sedikit pun. Keenan menarik napas dalam, kembali menatap wajah Alsha dengan pandangan yang kini lebih sadar. Wajah gadis itu terlihat tenang dalam terang sore yang mulai meredup, sinar matahari yang condong menyinari rambut Alsha dan memberikan kesan lembut di sekelilingnya, membuat hati Keenan terasa hangat. Namun, sebelum ia sempat merespon lebih jauh, Kafka datang dengan langkah ringan dan santai, seperti biasanya. Tanpa banyak bicara, Kafka menyodorkan ponselnya pada Keenan.Keenan mengambil ponsel itu tanpa ragu, matanya langsung tertuju pada pesan yang terpampang di lay
"Ketika pilihan hidup dan cinta saling bertabrakan, terkadang kita harus berkorban demi menjaga yang paling berharga."............Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul enam sore. Cahaya senja mulai memudar, menyisakan rona merah tipis di langit yang semakin gelap. Di ruang tamu, Keenan duduk di sofa panjang, tubuhnya tampak santai meski ada kegelisahan samar di wajahnya. Di sampingnya, Kavin, adik kecilnya, tenggelam dalam layar ponsel milik Keenan. Tawa kecil Kavin sesekali menggema di ruangan yang sepi, membuat senyum tipis tersungging di bibir Keenan. Namun, di balik tawa itu, Keenan tetap tak bisa sepenuhnya mengusir rasa janggal yang mengganggunya sejak sore tadi. Di lantai atas, di kamar utama, suasana jauh lebih serius. Raisya Zahra, ibu Keenan, berdiri di depan cermin, mematut dirinya sambil sesekali melirik ke arah suaminya. Wajahnya memancarkan kecantikan yang masih tersisa meskipun waktu telah berlalu, dan pesona itu kini menurun pada kedua putranya—terutama Keenan
"Menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan cinta bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda betapa berartinya perasaan itu bagi kita." -Keenan Aksara...Suasana pasar malam malam itu menggeliat hidup. Lampu-lampu kelap-kelip berwarna-warni menciptakan lautan cahaya, sementara tawa anak-anak dan teriakan dari wahana yang berputar membaur dengan musik dangdut yang mengalun dari pengeras suara tua. Riuh rendah manusia yang berdesakan di antara lapak-lapak penjaja mainan dan jajanan tak sedikit pun memudarkan atmosfer gembira, seolah-olah tempat itu menyatu dengan keajaiban kecil kota.Namun, di antara keramaian itu, ada ruang hening yang memisahkan tiga sosok: Keenan, Clara, dan Claudia. Keheningan di antara mereka terasa tegang, kontras dengan tawa yang berserakan di udara. Mata Claudia yang tajam dan penuh tanya memaku pandangannya ke arah Keenan, sementara Keenan berdiri tegak di samping Clara, wajahnya tampak sedikit kaku namun tetap tenang.Keenan bergerak dengan cepat, tanpa