"Ada yang berbeda ketika aku memandangnya, sebuah kedamaian yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata." -Keenan Aksara
°°°°° Malam itu begitu cerah, bintang-bintang bertaburan di langit seakan menyaksikan drama kecil yang tak terlihat oleh mata kebanyakan orang. Angin malam berembus lembut, membawa ketenangan yang sayangnya tak dirasakan oleh Keenan saat ini. Dia mendapati dirinya sedikit terkejut ketika tiba-tiba Kafka sudah berada di belakangnya, seolah muncul entah dari mana. Keenan melirik sekilas ke arah Alsha yang masih terhanyut menatap langit, terpukau oleh keindahan bintang-bintang di atas sana. Dia menarik napas panjang, lalu perlahan melangkah, mengisyaratkan Kafka untuk menjauh dari rumah Alsha. "Kita cabut dari sini," ucap Keenan, suaranya datar namun ada sedikit ketegangan yang tersirat. Kafka, yang sebelumnya sempat melirik ke arah Alsha dengan rasa penasaran, mengerutkan kening. "Kenapa harus menjauh dari sesuatu yang bikin kita tenang?" tanyanya dengan nada tak sepenuhnya mengerti. Keenan, yang sudah mulai membelokkan motornya, berhenti sejenak. Dia menoleh ke arah Kafka, menatapnya dengan mata yang tak terbaca, "Karena kalau kita terlalu dekat, bisa jadi dia ngerasa nggak nyaman." Kafka tak langsung menjawab, tapi mengikuti gerakan Keenan, menuntun motornya tanpa menyalakan mesin. Mereka bergerak perlahan, menjauh dari rumah Alsha. Setelah beberapa meter berlalu dalam keheningan, Kafka akhirnya membuka suara lagi. "Mau sampai kapan lo kayak gini? Nggak takut tiba-tiba ada orang lain yang masuk ke hidupnya?" Keenan mengernyit, tertarik oleh pertanyaan Kafka. "Maksud lo siapa?" Kafka mengangkat satu alis, menatapnya penuh arti. "Siapa aja. Lo pikir cuma lo yang bisa jatuh hati sama dia?" Keenan terdiam, tak segera membalas. Ada sesuatu dalam kata-kata Kafka yang membuatnya merenung sejenak. "Lo serius sama dia?" Kafka bertanya tiba-tiba, suaranya sedikit lebih serius sekarang, memecah keheningan yang mulai terasa canggung. Keenan menatap Kafka, mata mereka saling terkunci dalam kebisuan malam. "Kenapa lo nanya keseriusan gue?" jawabnya datar, sambil mulai menaiki motornya, siap untuk pergi. Kafka menghela napas, menaiki motornya juga. "Karena gue nggak mau lihat Alsha disakitin sama lo." Ucapannya terkesan ringan, tapi ada nada peringatan yang samar. Keenan menyeringai, seolah menahan tawa. "Lo ngomong gitu seakan-akan gue adalah pemain," Kafka tersenyum tipis, lalu menyalakan motornya. "Bukan itu maksud gue." Dia berhenti sejenak, suaranya kembali tenang. "Gue cuma nggak mau lo nyakitin perasaan cewek, apalagi cewek kayak Alsha. Lo tahu dia nggak sepenuhnya kenal siapa lo, kan?" "Emangnya harus banget dia tahu siapa gue sebenernya?" Keenan bertanya, nada suaranya sedikit menantang. Kafka tertawa kecil, tapi tawanya penuh makna. "Iya, harus. Lo masuk ke hidupnya, Keenan. Cewek kayak Alsha nggak akan tinggal diam. Dia akan mencari tahu tentang lo sampai ke akar-akarnya." Keenan mengangkat bahu. "Sheena udah tahu siapa gue. Kita udah kenal sejak lama." Kafka terkekeh lagi, kali ini lebih sinis. "Apa Alsha udah tahu kalau lo penguasa jalanan di sini? Apa dia tahu geng yang lo pimpin itu lebih dari sekadar geng sekolah biasa? Apa dia tahu lo sering ikut balapan liar tiap malam?" Keenan terdiam, mendengarkan tiap kata Kafka yang makin tajam. Kafka melanjutkan, menatap lurus ke depan sambil menggeber motornya pelan, "Alsha cuma tahu lo bintang lapangan di sekolah. Lebih dari itu, semua hal yang lo sembunyiin darinya mungkin kelihatan mustahil buat dia." Dia berhenti, menoleh sekilas ke Keenan. "Dan satu hal yang perlu lo inget. Cewek itu makhluk paling kepo sedunia. Jadi hati-hati, bro. Sekali dia tahu, nggak ada jalan balik." Keenan tak langsung menjawab. Dia membiarkan kata-kata Kafka meresap dalam pikirannya, lalu menarik napas panjang sebelum menatap Kafka dengan tatapan tajam penuh percaya diri. Keenan terdiam, menatap Kafka yang tersenyum miring setelah mengucapkan kalimat itu. Dia menyipitkan matanya sejenak, lalu menyalakan motornya dengan gerakan yang tenang namun tegas. Suara mesin motor yang berderum pelan seperti menyatu dengan suasana malam yang mulai sunyi. Dia memandang Kafka dengan senyum tipis, sedikit mengejek namun penuh percaya diri. "Gue gak takut kalau dia tahu siapa gue sebenarnya," Keenan akhirnya membuka suara, rendah tapi penuh keyakinan. "Justru, gue penasaran seberapa jauh dia berani masuk ke dunia gue." Keenan menunduk sedikit, mengencangkan pegangan pada stang motornya, matanya tajam memandang lurus ke depan, seolah sedang merencanakan sesuatu yang besar. "Dan kalaupun dia cari tahu sampai ke akar-akarnya... biarin aja. Gue gak punya apa-apa buat disembunyiin." Kafka menoleh, terkejut tapi juga tersenyum kecil mendengar jawaban Keenan. "Serius banget," katanya, terkekeh. Keenan menaikkan helmnya perlahan, menatap Kafka sekali lagi, senyum misterius menghiasi wajahnya. "Yang pasti, kalau ada yang berani datang buat saingin gue, dia harus siap kehilangan lebih dari sekadar perlombaan." Suara motor Keenan yang menggelegar memenuhi keheningan, tapi kali ini dengan sikap yang lebih santai namun tetap penuh keyakinan. "Lo tahu, Kaf," dia mulai lagi dengan nada yang lebih ringan, "gue gak butuh sembunyi dari siapa gue sebenarnya. Kalau dia mau tahu, biarin. Gue gak peduli sama apa yang orang lain pikirin." Kafka melirik lagi, sedikit terkejut, tapi tetap memperhatikan. Keenan menambahkan, "Dan soal cewek, gue gak main-main. Kalau gue serius, gue bakal pastiin gak ada satu pun yang bisa nyakitin dia... termasuk gue sendiri." Keenan menyeringai, menatap Kafka dengan tatapan tajam, namun penuh ketenangan. "Jadi, kalau lo khawatir gue bakal nyakitin Sheena, lo gak usah repot. Gue lebih tahu gimana cara ngejaga hati dia daripada siapa pun." Kafka terdiam sejenak, menatap Keenan dengan pandangan sulit diartikan, tapi kemudian dia tertawa pelan, menggelengkan kepalanya. "Keren juga lo, cocok jadi ketua geng abadinya Alpha Nexus," Keenan hanya mengangkat bahu. "Gue gak perlu kelihatan keren, Kaf. Gue cuma perlu jadi diri gue sendiri." Dengan satu tarikan gas, Keenan melaju lebih dulu, meninggalkan Kafka yang tersenyum sambil menggeleng pelan, tahu bahwa di balik sikap dingin dan misterius ketua gengnya, ada sesuatu yang lebih besar dan tulus dari sekadar gengsi atau status. --- Suasana kelas pada jam pertama di kelas XI IPA 2 terasa membosankan bagi beberapa siswa yang duduk di sudut kelas paling belakang. Kini, mereka tenggelam dalam dunia ponselnya. Menjadikan layar ponsel sebagai jembatan untuk melarikan diri saat itu. Nevan: Fix bosen parah. Abhi: Sama. Nevan: Ada rencana gak hari ini? Abhi: @Pak Ketu @Burung Kakap ? Nama baru Abhi untuk Kafka, ‘Burung Kakap’, langsung membuat Kafka memandang Abhi dengan tatapan datar. Tatapannya, yang seolah mengandung ancaman tersembunyi, menembus kebisingan kelas, meminta penjelasan. Kafka: @Abhi apa maksud lo? benerin dulu nama gue, lima detik dari skrg. Abhi: Haha, santai bro, lo tenang banget sih, makanya dapet nama itu. Kafka: Gue tenang, tapi tangan gue gak bisa tenang skrg. Abhi, dengan senyum di bibirnya, hanya tertawa kecil. Di sisi lain, Nevan mengetik dengan cepat, sambil menggeleng-gelengkan kepala. Nevan: @Abhi udah tahu si kulkas gak bisa diajak bercanda Abhi: Hahaha cuma ngetes doang. Kafka: tas tes tas tes, sini, gue juga mau ngetes kekuatan tangan gue dari hasil latihan kemaren. Sementara itu, Keenan, ketua geng mereka, duduk di sudut ruangan dengan tatapan terfokus. Matanya tertancap pada sosok gadis yang duduk jauh di depannya, seolah seluruh dunia hanya terdiri dari dia. Ponselnya bergetar terus, membuatnya terganggu. Dengan gerakan cepat, Keenan mengeluarkan ponselnya dari saku celana, lalu mengetik pesan singkat di grup chat geng mereka. Keenan: Berisik! Abhi: Wah, Pak Ketu baru muncul nih. Nevan: @Penguasa Jalanan Bos, gak ada niatan mau nraktir kita gitu? Abhi: Tinggal minta aja ke ATM berjalan @Burung Kakap Nevan: Oh iya, kan lo yang dapet traktiran dari bos, bagi-bagi dong Kaf Kafka: Ambil aja ambil. Abhi: Wah, gila, si Burung Kakap eh si Kafka royal banget jadi temen. Nevan: @Kafka gas bro, nanti ke kantin gue mau jajan cilok sama cimol. Kafka: @Abhi gue royal, kecuali ke lo Nevan: @Abhi Mampus Abhi: Iya-iya gue ganti nama lo Kaf, serius amat sih. Kafka membaca pesan Abhi dengan senyum tipis di bibirnya. Nevan, yang duduk di depan Kafka, menoleh ke belakang, menemukan Kafka tersenyum meski ekspresi wajahnya tetap tenang. Kafka: @Abhi Gue bahagia ngeliat lo nangis Abhi: -_ Nevan: Bos? Anteng banget dari tadi @Penguasa Jalanan Kafka: Orang yang lagi jatuh cinta gak bisa diganggu emang. Abhi: Wah, Pak Ketu jatuh cinta ke siapa tuh? Nevan: Serius? Ke siapa bos? Kafka: Nanti juga tau sendiri. Keenan, yang kini terlarut dalam dunianya sendiri, tak memperdulikan pesan-pesan di grup chat. Tatapannya tetap pada gadis yang ada di depannya, dengan kekaguman yang tak bisa disembunyikan. Di tengah kebisingan kelas dan canda tawa teman-temannya, Keenan tenggelam dalam dunia kecilnya, di mana hanya ada dia dan gadis itu. Beberapa menit kemudian, bel istirahat berbunyi, membuat suasana kelas yang sejak tadi tenang kini berubah menjadi ramai. Saat itu juga, Abhi dan Nevan segera membereskan buku-bukunya yang hanya terbuka tanpa disentuhnya sama sekali sejak jam pelajaran pertama tadi. Hanya formalitas saja. Mereka langsung memasukkan bukunya ke dalam tas dan cepat berdiri menghadap ke belakang. "Ke kantin yuk! gue laper" ucap Nevan yang sudah tak sabar. "Ayo Pak Ketu, jangan biarkan anggota geng mu ini mati kelaparan," ucap Abhi Keenan, dengan senyum tipis yang mengungkapkan sikapnya yang khas, hanya mengangguk pelan. Ekspresi tenangnya tidak berubah, seolah-olah tidak terpengaruh oleh keributan di sekelilingnya. Abhi yang memperhatikan Kafka lebih santai dengan punggung bersandar di kursi, menambahkan, "Lo juga ikut, Burung Kakap." Kafka, yang mendengar itu langsung berdiri dengan gerakan cepat dan tangan yang sudah siap mengepal. "Bilang lagi coba?" tanyanya, suaranya penuh ketegasan. "E-eh maksud gue Kafka, sorry mulut gue kepeleset dikit," balas Abhi dengan cepat. Kafka melotot ke arahnya lalu menatap Keenan yang masih memperhatikan Alsha sejak tadi. Kafka melirik tajam ke arah Abhi sebelum menoleh ke Keenan, yang sejak tadi tampak fokus pada sesuatu di kejauhan. "Mau ke kantin atau masih mau ngeliatin seseorang?" Kafka bertanya dengan nada sinis. Keenan, tanpa mengalihkan tatapannya, mengangkat satu alis, menandakan bahwa dia mendengar dan memahami maksud Kafka. Abhi dan Nevan saling bertukar pandang, bingung, dan kemudian memeriksa kelas yang kini kosong, baru saja Alsha dan Aline keluar dari kelas. Keenan mendengus pelan, mengisyaratkan kepada teman-temannya untuk mengikuti keputusannya. Dengan satu gerakan kepala, dia memberi tanda agar mereka bergerak menuju kantin. Saat mereka mencapai pintu kelas, seorang gadis tiba-tiba muncul di depan mereka, menghentikan langkah mereka. "Keenan, aku mau ngomong penting sama kamu," ucap gadis itu, mendesak. Abhi, berdiri di belakang Keenan, membisikkan kepada Nevan dan Kafka, "Wah, masalah lagi nih." Keenan menatap datar gadis itu, satu alis terangkat sebagai tanda ketidak pedulian. "Cewek gila, udah tau Keenan gak pernah ngelirik dia," ucap Nevan sambil menatap kesal ke gadis itu. Claudia. BERSAMBUNG"Cinta yang tulus tidak butuh persetujuan orang lain." -Keenan Aksara•••Keenan terus melangkah santai, mengabaikan suara Claudia yang mencoba menarik perhatiannya. Langit cerah di atas sekolah seolah tak terpengaruh oleh ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.“Keenan!” Suara Claudia menggema, namun tetap saja, ia tak menoleh.Abhi yang berada di belakang Keenan, melirik sebentar ke arah Claudia lalu menghampirinya. “Maaf, Kak. Bukannya mau ikut campur, tapi lebih baik Kakak jauhin Keenan. Ini demi kebaikan bersama.”Claudia memandang tajam ke arah Abhi, alisnya berkerut penuh tanya. “Demi kebaikan bersama? Maksud lo apa?”Abhi sempat membuka mulut, ingin menjelaskan, namun sebuah suara lain tiba-tiba menyeruak, menghentikan segalanya."Keenan!"Langkah Keenan langsung terhenti saat suara itu sampai ke telinganya. Seketika suasana berubah, menegangkan namun penuh tanda tanya. Semua mata tertuju pada seorang gadis yang berlari kecil ke arah Keenan. Clara.Keenan melirik sekilas
"Kesedihan adalah sapuan kuas yang menciptakan pola keindahan dalam kanvas hidup kita, mengungkapkan cerita di balik setiap goresan." - Keenan Aksara...Di bawah langit malam yang dipenuhi bintang, sebuah kamar kecil dengan cahaya lembut yang menembus tirai jendela. Di dalam kamar itu, suasana tenang terjaga. Seorang kakak, Keenan Aksara, duduk di sofa dengan adik laki-laki yang berada di pangkuannya. Keenan, seorang pemuda dengan wajah tegas dan tampan, adalah sosok yang tidak bisa diabaikan. Dengan rahang yang terdefinisi jelas dan mata yang penuh semangat, Keenan memancarkan aura karismatik yang membuatnya menjadi salah satu siswa paling populer di SMAN Cendana Jakarta. Namun ketampanan bukan satu-satunya alasan popularitasnya. Keenan dikenal luas karena prestasinya yang menakjubkan di bidang olahraga, khususnya basket. Ia sering kali menjadi pusat perhatian di setiap pertandingan.Ada keunikan yang membentuk sosok Keenan. Dari pihak ayahnya yang berasal dari Rusia, Keenan me
"Rumah bukan hanya tempat kita tinggal, tetapi tempat di mana hati kita merasa tenang dan diterima." -Keenan Aksara...Apartemen itu sunyi, hanya suara kipas angin yang menderu pelan di sudut ruangan. Cahaya remang-remang dari lampu meja mengisi ruang dengan kehangatan yang samar, tapi tidak mampu mengusir seluruh bayang-bayang di dinding. Di tempat tidur yang berantakan, Abhi terbaring lemah, tubuhnya diselimuti perban di beberapa bagian. Wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa pertempuran yang baru saja dilaluinya—lebam, luka, dan rasa sakit yang belum benar-benar hilang. Namun, meskipun terlihat babak belur, kondisinya sudah jauh lebih baik.Varelino Abhisar, yang lebih akrab dipanggil Abhi, sebenarnya adalah sosok yang jauh dari kesan lemah. Di sekolah, dia dikenal sebagai pria yang humoris, selalu bisa mencairkan suasana dengan lelucon dan candaannya yang spontan. Mulutnya jarang tertutup—selalu saja ada hal yang ingin dia katakan, dari hal-hal serius sampai hal-hal remeh yang ma
"Ada kalanya, cinta tak berteriak lantang. Ia bersembunyi dalam diam, mengatur segala langkah tanpa ingin dikenal, hanya berharap sang pujaan tetap tersenyum di kejauhan." -Keenan Aksara . . . Keenan menghentikan motornya di tepi jalan, dekat sebuah rumah bercat biru. Bukan rumahnya, tapi rumah seorang gadis yang, entah bagaimana, kini mampu menggetarkan hatinya Gerbang rumah itu tertutup rapat, namun di dalam sana, di tempat yang tinggi, tempat di mana gadis itu sering menghabiskan waktunya, berdiri di bawah naungan malam. Seperti biasa, Keenan melihatnya lagi, menatap langit malam dengan tenang. Meskipun jarak memisahkan mereka, cahaya rembulan cukup untuk menyorot kecantikan gadis itu, membuatnya terlihat begitu memukau. Alsha. Alshameyzea Afsheena. Atau Sheena, begitu ia sering memanggil gadis bermata rembulan itu. Tanpa pernah gagal, setiap malam, Keenan selalu menyempatkan diri untuk menyaksikan Alsha dari kejauhan. Ada sesuatu dalam dirinya yang masih belum sanggu
"Di balik diamnya, ada perasaan yang tak terucap, menunggu waktu yang tepat untuk terungkap." -Keenan Aksara °°°°° Di balik semak-semak yang rindang di pinggir lapangan, Keenan mengintip, matanya tak lepas dari sosok Kafka yang melangkah maju, berdiri tegap di depan Alsha. Dalam sekejap, entah dari mana datangnya, Kafka sudah menggenggam botol plastik dan tanpa ragu, menyiramkan isinya ke arah Claudia. Butiran air terbang di udara, menimpa Claudia yang langsung terdiam, terkejut oleh tindakan Kafka. Keenan ikut terhenyak—ini bukan Kafka yang dia kenal. Kafka biasanya tenang, pendiam, dan tak mudah terpancing. Keenan hanya memintanya menegur Claudia, bukan melakukan hal segila ini. Dari balik persembunyiannya, Keenan menyaksikan semuanya dengan tatapan tajam. Sesuatu dalam dirinya bergejolak, penasaran sekaligus sedikit cemas. Dan sebelum dia sempat bertindak, Davin muncul seperti badai yang tak terduga. Tanpa peringatan, tinju Davin melayang cepat, mengenai wajah Kafka. Refleks,
"Ada hal-hal yang lebih indah dari senja. Senyummu, dan perasaan yang terukir dalam setiap detik saat bersamamu." -Keenan Aksara°°°°°Ketiga teman Keenan berdiri di bawah semburat jingga yang perlahan memenuhi langit sore. Parkiran sekolah mulai lengang, hanya tersisa beberapa siswa yang masih berkumpul. Di depan gerbang, Keenan menghentikan motornya tepat di depan Alsha dan Aline. Dengan gerakan yang anggun namun tanpa banyak usaha, ia melepas helm full-face-nya. Rambutnya sedikit berantakan, tapi justru menambah kesan karismatik yang alami."Oalah, ke neng Alsha toh, kirain mau kemana," ujar Abhi, suaranya terdengar iseng, sementara dia mengambil helm dari motornya dan tersenyum kecil.Nevan memutar matanya dengan malas, "Yuk, susul Pak Ketu," katanya dengan sedikit cengengesan sambil menepuk-nepuk jok motornya, seolah siap berangkat kapan saja."Tunggu dulu," Nevan menyahut dengan nada setengah jengkel. "Enak aja nyuruh-nyuruh, Lo kira gue anak buah lo?"Kafka, duduk di motornya,
"Meski berdiri kokoh di hadapan dunia, ada hati yang tersesat, merindukan cinta yang pernah hilang. Karena rumah sejati bukanlah tempat, melainkan di mana kasih sayang berdiam." -Keenan Aksara...Keenan tersentak pelan saat suara lembut Alsha menyapanya, membuyarkan pikirannya yang tengah melayang jauh. "Keenan? Kamu ngelamun?"Ia segera menggeleng pelan, senyum yang sejak tadi terukir di wajahnya tak beranjak sedikit pun. Keenan menarik napas dalam, kembali menatap wajah Alsha dengan pandangan yang kini lebih sadar. Wajah gadis itu terlihat tenang dalam terang sore yang mulai meredup, sinar matahari yang condong menyinari rambut Alsha dan memberikan kesan lembut di sekelilingnya, membuat hati Keenan terasa hangat. Namun, sebelum ia sempat merespon lebih jauh, Kafka datang dengan langkah ringan dan santai, seperti biasanya. Tanpa banyak bicara, Kafka menyodorkan ponselnya pada Keenan.Keenan mengambil ponsel itu tanpa ragu, matanya langsung tertuju pada pesan yang terpampang di lay
"Ketika pilihan hidup dan cinta saling bertabrakan, terkadang kita harus berkorban demi menjaga yang paling berharga."............Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul enam sore. Cahaya senja mulai memudar, menyisakan rona merah tipis di langit yang semakin gelap. Di ruang tamu, Keenan duduk di sofa panjang, tubuhnya tampak santai meski ada kegelisahan samar di wajahnya. Di sampingnya, Kavin, adik kecilnya, tenggelam dalam layar ponsel milik Keenan. Tawa kecil Kavin sesekali menggema di ruangan yang sepi, membuat senyum tipis tersungging di bibir Keenan. Namun, di balik tawa itu, Keenan tetap tak bisa sepenuhnya mengusir rasa janggal yang mengganggunya sejak sore tadi. Di lantai atas, di kamar utama, suasana jauh lebih serius. Raisya Zahra, ibu Keenan, berdiri di depan cermin, mematut dirinya sambil sesekali melirik ke arah suaminya. Wajahnya memancarkan kecantikan yang masih tersisa meskipun waktu telah berlalu, dan pesona itu kini menurun pada kedua putranya—terutama Keenan