"Ada yang berbeda ketika aku memandangnya, sebuah kedamaian yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata." -Keenan Aksara
°°°°° Malam itu begitu cerah, bintang-bintang bertaburan di langit seakan menyaksikan drama kecil yang tak terlihat oleh mata kebanyakan orang. Angin malam berembus lembut, membawa ketenangan yang sayangnya tak dirasakan oleh Keenan saat ini. Dia mendapati dirinya sedikit terkejut ketika tiba-tiba Kafka sudah berada di belakangnya, seolah muncul entah dari mana. Keenan melirik sekilas ke arah Alsha yang masih terhanyut menatap langit, terpukau oleh keindahan bintang-bintang di atas sana. Dia menarik napas panjang, lalu perlahan melangkah, mengisyaratkan Kafka untuk menjauh dari rumah Alsha. "Kita cabut dari sini," ucap Keenan, suaranya datar namun ada sedikit ketegangan yang tersirat. Kafka, yang sebelumnya sempat melirik ke arah Alsha dengan rasa penasaran, mengerutkan kening. "Kenapa harus menjauh dari sesuatu yang bikin kita tenang?" tanyanya dengan nada tak sepenuhnya mengerti. Keenan, yang sudah mulai membelokkan motornya, berhenti sejenak. Dia menoleh ke arah Kafka, menatapnya dengan mata yang tak terbaca, "Karena kalau kita terlalu dekat, bisa jadi dia ngerasa nggak nyaman." Kafka tak langsung menjawab, tapi mengikuti gerakan Keenan, menuntun motornya tanpa menyalakan mesin. Mereka bergerak perlahan, menjauh dari rumah Alsha. Setelah beberapa meter berlalu dalam keheningan, Kafka akhirnya membuka suara lagi. "Mau sampai kapan lo kayak gini? Nggak takut tiba-tiba ada orang lain yang masuk ke hidupnya?" Keenan mengernyit, tertarik oleh pertanyaan Kafka. "Maksud lo siapa?" Kafka mengangkat satu alis, menatapnya penuh arti. "Siapa aja. Lo pikir cuma lo yang bisa jatuh hati sama dia?" Keenan terdiam, tak segera membalas. Ada sesuatu dalam kata-kata Kafka yang membuatnya merenung sejenak. "Lo serius sama dia?" Kafka bertanya tiba-tiba, suaranya sedikit lebih serius sekarang, memecah keheningan yang mulai terasa canggung. Keenan menatap Kafka, mata mereka saling terkunci dalam kebisuan malam. "Kenapa lo nanya keseriusan gue?" jawabnya datar, sambil mulai menaiki motornya, siap untuk pergi. Kafka menghela napas, menaiki motornya juga. "Karena gue nggak mau lihat Alsha disakitin sama lo." Ucapannya terkesan ringan, tapi ada nada peringatan yang samar. Keenan menyeringai, seolah menahan tawa. "Lo ngomong gitu seakan-akan gue adalah pemain," Kafka tersenyum tipis, lalu menyalakan motornya. "Bukan itu maksud gue." Dia berhenti sejenak, suaranya kembali tenang. "Gue cuma nggak mau lo nyakitin perasaan cewek, apalagi cewek kayak Alsha. Lo tahu dia nggak sepenuhnya kenal siapa lo, kan?" "Emangnya harus banget dia tahu siapa gue sebenernya?" Keenan bertanya, nada suaranya sedikit menantang. Kafka tertawa kecil, tapi tawanya penuh makna. "Iya, harus. Lo masuk ke hidupnya, Keenan. Cewek kayak Alsha nggak akan tinggal diam. Dia akan mencari tahu tentang lo sampai ke akar-akarnya." Keenan mengangkat bahu. "Sheena udah tahu siapa gue. Kita udah kenal sejak lama." Kafka terkekeh lagi, kali ini lebih sinis. "Apa Alsha udah tahu kalau lo penguasa jalanan di sini? Apa dia tahu geng yang lo pimpin itu lebih dari sekadar geng sekolah biasa? Apa dia tahu lo sering ikut balapan liar tiap malam?" Keenan terdiam, mendengarkan tiap kata Kafka yang makin tajam. Kafka melanjutkan, menatap lurus ke depan sambil menggeber motornya pelan, "Alsha cuma tahu lo bintang lapangan di sekolah. Lebih dari itu, semua hal yang lo sembunyiin darinya mungkin kelihatan mustahil buat dia." Dia berhenti, menoleh sekilas ke Keenan. "Dan satu hal yang perlu lo inget. Cewek itu makhluk paling kepo sedunia. Jadi hati-hati, bro. Sekali dia tahu, nggak ada jalan balik." Keenan tak langsung menjawab. Dia membiarkan kata-kata Kafka meresap dalam pikirannya, lalu menarik napas panjang sebelum menatap Kafka dengan tatapan tajam penuh percaya diri. Keenan terdiam, menatap Kafka yang tersenyum miring setelah mengucapkan kalimat itu. Dia menyipitkan matanya sejenak, lalu menyalakan motornya dengan gerakan yang tenang namun tegas. Suara mesin motor yang berderum pelan seperti menyatu dengan suasana malam yang mulai sunyi. Dia memandang Kafka dengan senyum tipis, sedikit mengejek namun penuh percaya diri. "Gue gak takut kalau dia tahu siapa gue sebenarnya," Keenan akhirnya membuka suara, rendah tapi penuh keyakinan. "Justru, gue penasaran seberapa jauh dia berani masuk ke dunia gue." Keenan menunduk sedikit, mengencangkan pegangan pada stang motornya, matanya tajam memandang lurus ke depan, seolah sedang merencanakan sesuatu yang besar. "Dan kalaupun dia cari tahu sampai ke akar-akarnya... biarin aja. Gue gak punya apa-apa buat disembunyiin." Kafka menoleh, terkejut tapi juga tersenyum kecil mendengar jawaban Keenan. "Serius banget," katanya, terkekeh. Keenan menaikkan helmnya perlahan, menatap Kafka sekali lagi, senyum misterius menghiasi wajahnya. "Yang pasti, kalau ada yang berani datang buat saingin gue, dia harus siap kehilangan lebih dari sekadar perlombaan." Suara motor Keenan yang menggelegar memenuhi keheningan, tapi kali ini dengan sikap yang lebih santai namun tetap penuh keyakinan. "Lo tahu, Kaf," dia mulai lagi dengan nada yang lebih ringan, "gue gak butuh sembunyi dari siapa gue sebenarnya. Kalau dia mau tahu, biarin. Gue gak peduli sama apa yang orang lain pikirin." Kafka melirik lagi, sedikit terkejut, tapi tetap memperhatikan. Keenan menambahkan, "Dan soal cewek, gue gak main-main. Kalau gue serius, gue bakal pastiin gak ada satu pun yang bisa nyakitin dia... termasuk gue sendiri." Keenan menyeringai, menatap Kafka dengan tatapan tajam, namun penuh ketenangan. "Jadi, kalau lo khawatir gue bakal nyakitin Sheena, lo gak usah repot. Gue lebih tahu gimana cara ngejaga hati dia daripada siapa pun." Kafka terdiam sejenak, menatap Keenan dengan pandangan sulit diartikan, tapi kemudian dia tertawa pelan, menggelengkan kepalanya. "Keren juga lo, cocok jadi ketua geng abadinya Alpha Nexus," Keenan hanya mengangkat bahu. "Gue gak perlu kelihatan keren, Kaf. Gue cuma perlu jadi diri gue sendiri." Dengan satu tarikan gas, Keenan melaju lebih dulu, meninggalkan Kafka yang tersenyum sambil menggeleng pelan, tahu bahwa di balik sikap dingin dan misterius ketua gengnya, ada sesuatu yang lebih besar dan tulus dari sekadar gengsi atau status. --- Suasana kelas pada jam pertama di kelas XI IPA 2 terasa membosankan bagi beberapa siswa yang duduk di sudut kelas paling belakang. Kini, mereka tenggelam dalam dunia ponselnya. Menjadikan layar ponsel sebagai jembatan untuk melarikan diri saat itu. Nevan: Fix bosen parah. Abhi: Sama. Nevan: Ada rencana gak hari ini? Abhi: @Pak Ketu @Burung Kakap ? Nama baru Abhi untuk Kafka, ‘Burung Kakap’, langsung membuat Kafka memandang Abhi dengan tatapan datar. Tatapannya, yang seolah mengandung ancaman tersembunyi, menembus kebisingan kelas, meminta penjelasan. Kafka: @Abhi apa maksud lo? benerin dulu nama gue, lima detik dari skrg. Abhi: Haha, santai bro, lo tenang banget sih, makanya dapet nama itu. Kafka: Gue tenang, tapi tangan gue gak bisa tenang skrg. Abhi, dengan senyum di bibirnya, hanya tertawa kecil. Di sisi lain, Nevan mengetik dengan cepat, sambil menggeleng-gelengkan kepala. Nevan: @Abhi udah tahu si kulkas gak bisa diajak bercanda Abhi: Hahaha cuma ngetes doang. Kafka: tas tes tas tes, sini, gue juga mau ngetes kekuatan tangan gue dari hasil latihan kemaren. Sementara itu, Keenan, ketua geng mereka, duduk di sudut ruangan dengan tatapan terfokus. Matanya tertancap pada sosok gadis yang duduk jauh di depannya, seolah seluruh dunia hanya terdiri dari dia. Ponselnya bergetar terus, membuatnya terganggu. Dengan gerakan cepat, Keenan mengeluarkan ponselnya dari saku celana, lalu mengetik pesan singkat di grup chat geng mereka. Keenan: Berisik! Abhi: Wah, Pak Ketu baru muncul nih. Nevan: @Penguasa Jalanan Bos, gak ada niatan mau nraktir kita gitu? Abhi: Tinggal minta aja ke ATM berjalan @Burung Kakap Nevan: Oh iya, kan lo yang dapet traktiran dari bos, bagi-bagi dong Kaf Kafka: Ambil aja ambil. Abhi: Wah, gila, si Burung Kakap eh si Kafka royal banget jadi temen. Nevan: @Kafka gas bro, nanti ke kantin gue mau jajan cilok sama cimol. Kafka: @Abhi gue royal, kecuali ke lo Nevan: @Abhi Mampus Abhi: Iya-iya gue ganti nama lo Kaf, serius amat sih. Kafka membaca pesan Abhi dengan senyum tipis di bibirnya. Nevan, yang duduk di depan Kafka, menoleh ke belakang, menemukan Kafka tersenyum meski ekspresi wajahnya tetap tenang. Kafka: @Abhi Gue bahagia ngeliat lo nangis Abhi: -_ Nevan: Bos? Anteng banget dari tadi @Penguasa Jalanan Kafka: Orang yang lagi jatuh cinta gak bisa diganggu emang. Abhi: Wah, Pak Ketu jatuh cinta ke siapa tuh? Nevan: Serius? Ke siapa bos? Kafka: Nanti juga tau sendiri. Keenan, yang kini terlarut dalam dunianya sendiri, tak memperdulikan pesan-pesan di grup chat. Tatapannya tetap pada gadis yang ada di depannya, dengan kekaguman yang tak bisa disembunyikan. Di tengah kebisingan kelas dan canda tawa teman-temannya, Keenan tenggelam dalam dunia kecilnya, di mana hanya ada dia dan gadis itu. Beberapa menit kemudian, bel istirahat berbunyi, membuat suasana kelas yang sejak tadi tenang kini berubah menjadi ramai. Saat itu juga, Abhi dan Nevan segera membereskan buku-bukunya yang hanya terbuka tanpa disentuhnya sama sekali sejak jam pelajaran pertama tadi. Hanya formalitas saja. Mereka langsung memasukkan bukunya ke dalam tas dan cepat berdiri menghadap ke belakang. "Ke kantin yuk! gue laper" ucap Nevan yang sudah tak sabar. "Ayo Pak Ketu, jangan biarkan anggota geng mu ini mati kelaparan," ucap Abhi Keenan, dengan senyum tipis yang mengungkapkan sikapnya yang khas, hanya mengangguk pelan. Ekspresi tenangnya tidak berubah, seolah-olah tidak terpengaruh oleh keributan di sekelilingnya. Abhi yang memperhatikan Kafka lebih santai dengan punggung bersandar di kursi, menambahkan, "Lo juga ikut, Burung Kakap." Kafka, yang mendengar itu langsung berdiri dengan gerakan cepat dan tangan yang sudah siap mengepal. "Bilang lagi coba?" tanyanya, suaranya penuh ketegasan. "E-eh maksud gue Kafka, sorry mulut gue kepeleset dikit," balas Abhi dengan cepat. Kafka melotot ke arahnya lalu menatap Keenan yang masih memperhatikan Alsha sejak tadi. Kafka melirik tajam ke arah Abhi sebelum menoleh ke Keenan, yang sejak tadi tampak fokus pada sesuatu di kejauhan. "Mau ke kantin atau masih mau ngeliatin seseorang?" Kafka bertanya dengan nada sinis. Keenan, tanpa mengalihkan tatapannya, mengangkat satu alis, menandakan bahwa dia mendengar dan memahami maksud Kafka. Abhi dan Nevan saling bertukar pandang, bingung, dan kemudian memeriksa kelas yang kini kosong, baru saja Alsha dan Aline keluar dari kelas. Keenan mendengus pelan, mengisyaratkan kepada teman-temannya untuk mengikuti keputusannya. Dengan satu gerakan kepala, dia memberi tanda agar mereka bergerak menuju kantin. Saat mereka mencapai pintu kelas, seorang gadis tiba-tiba muncul di depan mereka, menghentikan langkah mereka. "Keenan, aku mau ngomong penting sama kamu," ucap gadis itu, mendesak. Abhi, berdiri di belakang Keenan, membisikkan kepada Nevan dan Kafka, "Wah, masalah lagi nih." Keenan menatap datar gadis itu, satu alis terangkat sebagai tanda ketidak pedulian. "Cewek gila, udah tau Keenan gak pernah ngelirik dia," ucap Nevan sambil menatap kesal ke gadis itu. Claudia. BERSAMBUNG"Cinta yang tulus tidak butuh persetujuan orang lain." -Keenan Aksara ••• Keenan terus melangkah santai, mengabaikan suara Claudia yang mencoba menarik perhatiannya. Langit cerah di atas sekolah seolah tak terpengaruh oleh ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya. “Keenan!” Suara Claudia menggema, namun tetap saja, ia tak menoleh. Abhi yang berada di belakang Keenan, melirik sebentar ke arah Claudia lalu menghampirinya. “Maaf, Kak. Bukannya mau ikut campur, tapi lebih baik Kakak jauhin Keenan. Ini demi kebaikan bersama.” Claudia memandang tajam ke arah Abhi, alisnya berkerut penuh tanya. “Demi kebaikan bersama? Maksud lo apa?” Abhi sempat membuka mulut, ingin menjelaskan, namun sebuah suara lain tiba-tiba menyeruak, menghentikan segalanya. "Keenan!" Langkah Keenan langsung terhenti saat suara itu sampai ke telinganya. Seketika suasana berubah, menegangkan namun penuh tanda tanya. Semua mata tertuju pada seorang gadis yang berlari kecil ke arah Keenan. Clara. Keenan
"Tindakanmu hari ini bisa menjadi racun bagi hati yang kau cintai esok hari." ••• Kafka tidak banyak bicara. Begitu melihat Keenan keluar dari kantin, dia langsung melangkah, tenang tapi dengan tekad yang sudah bulat. Di tengah pilihan sulit yang sering kita hadapi, penting untuk mengingat bahwa setiap langkah yang kita ambil bisa membentuk masa depan kita. Terkadang, kita perlu berani melangkah meski jalan yang diambil tidak pasti. "Eh, mau ke mana si burung kakap?" Abhi berteriak dari belakang, nada suaranya khas, selalu santai. "Jadi nggak nih kita ditraktir?" sahut Nevan, sedikit kesal tapi tak benar-benar serius. Kafka berhenti sejenak, menoleh dengan perlahan. Tatapannya tajam, seperti sedang memperingatkan. Mata itu tertuju pada Abhi yang baru saja memanggilnya dengan nama seenaknya. "Lo pilih jajan atau Keenan?" Kafka berkata datar, tanpa memberi ruang untuk bantahan. Tanpa menunggu jawaban, dia kembali melangkah. Abhi menghela napas, melirik Nevan, "Berat, nih."
Davin melangkah dengan cepat ke arah Claudia, matanya tak lepas dari mereka berdua, penuh pertanyaan, penuh rasa yang tertahan. "Ngapain kalian pelukan di tengah lapangan? Gak malu diliatin banyak orang?" tanyanya dengan suara rendah tapi setiap kata mengandung teguran yang dalam. Claudia menegakkan tubuhnya, meski jantungnya berdebar keras. "Enggak! Gue gak malu. Kenapa sih lo ikut campur? Ini bukan urusan lo!" ucapnya dengan nada yang bergetar, meski dia berusaha keras tampak kuat. Davin menatapnya dalam-dalam, matanya berbicara lebih banyak dari kata-katanya. “Ini jelas urusan gue. Karena gue suka sama lo!” Kata-kata itu jatuh seperti hujan yang tiba-tiba, dingin dan tak terduga. Claudia membeku, menatap Davin dengan mata yang kini mulai memudar. Selama ini, dia tak pernah menyadari bahwa di balik sikap Davin yang selalu tenang, ada perasaan yang disimpannya begitu lama. Keenan, yang kini hanya menjadi saksi dari semua ini, diam saja. Hatinya tak tersentuh oleh drama yang
"Setiap tatapan bisa menyimpan ribuan rasa."•••Clara membanting bukunya di atas bangku dengan keras, menciptakan bunyi nyaring yang memecah keheningan kelas. Suara itu memantul di dinding-dinding, membuat Elysia yang sedang sibuk mencoret-coret catatan kecil di hadapannya tersentak kaget. Matanya yang semula terfokus pada pena di tangannya langsung menatap Clara dengan bingung."Lo kenapa sih? Baru dateng udah ngamuk-ngamuk," ujar Elysia, sedikit berbisik, khawatir kalau suara mereka menarik perhatian anak-anak lain di kelas. Elysia Tamara, dengan rambut panjang terurai dan gaya modisnya yang khas, selalu tampak serasi duduk di samping Clara. Mereka seperti cerminan satu sama lain, dengan pakaian yang selalu up-to-date dan sepatu yang baru dibeli beberapa hari sebelumnya. Dua gadis yang selalu jadi pusat perhatian di manapun mereka berada.Clara mendengus sambil melipat tangan di depan dadanya. Wajahnya merah, bukan karena malu, tapi lebih karena amarah yang perlahan memenuhi pikir
"Coba jelasin ke gue," Claudia akhirnya berbicara lagi, kali ini lebih pelan namun penuh tuntutan. "Kenapa lo bisa pacaran sama Keenan?"Clara menatap Claudia dengan malas. Dadanya masih terasa sesak oleh rasa frustrasi sebelumnya, tapi sekarang ia harus berhadapan dengan sesuatu yang lain. "Kita gak pacaran," jawab Clara datar, matanya lurus ke depan. Jawaban itu membuat Claudia menoleh cepat, menatap Clara dengan mata yang sedikit menyipit."Apa?" Claudia mengerutkan kening, jelas tak puas dengan jawaban Clara. "Jelas-jelas Keenan yang bilang kalau kalian pacaran. Lo bohong?"Clara mendengus. Tentu saja, Keenan. Firasatnya tadi benar, ini semua hanya soal cowok yang satu itu. "Dia yang bohong, Kak. Gue gak ada perasaan apa-apa ke dia," katanya dengan nada tegas. Suaranya tak menunjukkan keraguan sedikit pun, meskipun di dalam hatinya, Clara tahu masalah ini belum selesai.Claudia terdiam, mencoba mencerna informasi itu. Kebingungan tampak di waj
KRING! KRING! KRING!Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing. Ingat kata bapak ibu guru hari ini, bahwa esok adalah hari baru dengan kesempatan yang lebih besar. Belajar bukan hanya tentang hari ini, tapi tentang membangun masa depan yang lebih baik. Sampai jumpa esok hari dengan semangat yang baru. Jangan lupa tersenyum hari ini kepada dia yang berharga bagimu.TING TING TING... alunan merdu bel sekolah perlahan mereda.Bel pulang sekolah bergema lembut di seluruh penjuru ruangan, seolah mengakhiri hari yang penuh dengan keheningan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang merasakannya. Keenan dan teman-temannya melangkah mantap menuju bangku Alsha, di mana dia menunggu dengan sabar. Hari ini, ada janji yang tak sabar ingin mereka tepati.“Sheena, jadi kan kita ke toko buku?” tanya Keenan, suaranya lembut namun penuh dengan kehangatan yang tersembunyi di balik sorot matanya.Alsha mengangguk, senyum tipisnya mengembang, seakan hany
Seperti malam-malam sebelumnya, Keenan berdiri di depan rumah Alsha, menatap pekarangan yang sunyi. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Gadis yang biasanya keluar untuk menatap langit, tidak terlihat. Hening menyelimuti, seolah malam itu sengaja menyembunyikannya dari pandangan. Keenan menunggu dengan sabar, berharap Alsha akan keluar. Sekadar melihat wajahnya dalam sinar redup bulan sudah cukup baginya. Hatinya merasakan kekosongan aneh, seolah ada sesuatu yang hilang dari ritme malam ini. Sampai suara yang tak terduga mengganggu lamunannya. “Lo masih betah di sini?” Kafka muncul tiba-tiba di belakangnya, nada suaranya pelan namun mengandung makna. Keenan, dengan gerakan lambat, menoleh. “Ngapain lo di sini?” tanyanya, berusaha menyembunyikan sedikit keterkejutannya. Kafka menarik napas dalam, tatapannya terarah pada jendela rumah Alsha yang masih tertutup. "Gue mau ngomong sesuatu sama lo." "Soal?" Suara Keenan terdengar lebih keras dari yang dia maksudkan, entah
Keenan dan teman-temannya berlari menuju lapangan basket dengan semangat yang membara, langkah mereka menghentak tanah seakan menciptakan ritme keceriaan di SMA Cendana. Langit biru cerah tanpa awan membentang di atas mereka, menyapa dengan sinar matahari yang hangat. Suasana istirahat ini selalu hidup, tetapi kali ini lapangan basket memancarkan energi yang tak tertandingi. Dengan kaos seragam sekolah yang sedikit dikeluarkan dan rambutnya yang sedikit berantakan, Keenan mulai memantulkan bola basket. Setiap detak bola terasa harmonis dengan jantungnya yang berdegup kencang. Ia bergerak lincah, seolah berada dalam tarian yang penuh gairah, menghindari lawan dengan keahlian yang memukau. “Ayo, Van! Tunjukin skill lo!” teriak Keenan, meluncur ke arah raket, bola berputar anggun di jarinya. Nevan, dengan semangat yang membara, melompat untuk memblokirnya. “Gue gak akan kasih lo kesempatan, Bos!” Namun, Keenan hanya tersenyum lebar dan melakukan gerakan elakan yang cerdik, menjadik
Ketika bel istirahat berdering, suara riuh siswa yang berlomba-lomba meninggalkan kelas terdengar menggema. Namun, di salah satu bangku, Keenan tetap duduk diam, tak beranjak. Tatapan matanya terpaku pada Alsha, mengamatinya dalam diam, seolah setiap gerakan gadis itu adalah misteri yang tak ingin ia lepaskan begitu saja."Ayo, Al, ke kantin," suara Aline terdengar, lembut, penuh semangat, ia menggenggam tangan Alsha, mengajak sahabatnya pergi. Alsha sempat melirik ke arah Keenan, namun cowok itu segera mengalihkan pandangan, menyembunyikan ekspresi di wajahnya yang sulit diartikan. "Al!" panggil Aline lagi, kali ini sedikit lebih mendesak. Akhirnya, Alsha mengangguk kecil, menerima ajakan Aline, dan mereka pun akhirnya melangkah keluar bersama.Keenan hanya bisa memandang punggung gadis itu yang semakin menjauh, menyisakan jejak perasaan yang tak terucap. Tak lama, tiga sosok temannya muncul, memperhatikan wajah ketua mereka yang tampak menyiratkan amarah yang sulit ia sembunyikan.
Setelah Athala menghilang dari pandangan, suasana kembali tenang. Mereka semua duduk kembali, meneruskan obrolan yang seakan tak terganggu oleh apa pun yang baru saja terjadi.Keenan menatap Abhi dengan tatapan tajam, seolah mengingat sesuatu yang tertunda. "Lo tadi mau ngomong apa?" tanya Keenan. Dia pergi ke markas, berharap mendengar kabar soal Alsha, namun sepertinya Abhi masih belum memberi informasi yang dicari. Abhi menggaruk kepala yang tak gatal, matanya sedikit menghindar. "E-eh," jawabnya ragu, suara serak yang keluar dari mulutnya menunjukkan dia sedang kebingungan. "Sorry, Pak Ketu, gue lupa mau ngomong apa tadi," lanjutnya, jelas merasa kikuk karena tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan. Keenan mendengus pelan, ekspresinya datar, namun gerakannya cepat. Tanpa peringatan, ia merampas snack dari tangan Abhi, menikmati keripik itu dengan lahap."Eh, Pak Ketu," ujar Abhi terkejut melihat tingkah Keenan yang tiba-tiba. Keenan hanya melotot ke arah Abhi, matanya menyip
Keenan dan Athala tiba di markas. Malam itu sunyi, tapi suasana langsung berubah begitu Abhi dan Nevan melihat mobil putih milik Athala memasuki halaman. Teman-teman Keenan, yang sedang asyik bercanda, langsung bergegas berdiri. Mereka saling bertugas pandang dengan senyum kecil yang penuh arti. Bagi mereka, Athala bukan sekadar kakak bagi Keenan, tapi juga sosok kakak yang selalu hadir untuk mereka semua.Abhi yang langsung menyambut Athala dengan lambaian tangan. "Hey, Bang Athala! Tumben nongol malam-malam gini! Mau gabung sama kita?"Athala turun dari mobil dengan langkah tenang, melemparkan senyum tipis pada mereka. "Lagi kosong aja," jawabnya sambil menepuk bahu Abhi. "Gue kangen ngeliat kalian semua. Udah lama, kan, nggak ngobrol bareng?""Bukan sekadar lama, Bang! Kita udah hampir lupa kapan terakhir kali Abang nongkrong di sini," canda Nevan sambil tertawa.Athala terkekeh pelan, menatap mereka satu per satu. Rasanya hangat, kembali berada di tengah-tengah mereka. Dia tahu, d
Keenan melajukan motornya, membelah jalanan malam yang sepi dengan kecepatan yang menggila. Pikiran-pikirannya berserakan, berkelindan dengan bayangan wajah ibunya yang tulus, penuh ketidakmengertian, dan ayahnya yang terbungkus kepalsuan dan dusta. Kekecewaan semakin membakar dadanya, membuat tangannya refleks memutar gas lebih kencang, seolah berharap kecepatan bisa menghapus segalanya.Di tengah kesibukannya melawan pikirannya, tiba-tiba, dari kejauhan, segerombolan orang berdiri menghadang di tengah jalan. Davin dan teman-temannya, berdiri dalam bayang malam yang samar, seolah sudah menunggu kedatangannya. Keenan ngerem mendadak, membuat roda motornya berdecit keras, meninggalkan bekas yang panjang di aspal. Matanya menatap tajam ke arah mereka, tanpa rasa takut sedikit pun. Tanpa ragu, ia turun dari motor dan berjalan mendekat, tatapannya penuh kemarahan yang tersimpan.Davin tersenyum licik, wajahnya tampak puas melihat Keenan mendekat. "Wah, lihat siapa yang muncul, guys," ucapn
Keenan tetap diam, namun tatapannya tidak berubah, tajam dan penuh kekecewaan. Ini bukan kali pertama ia merasakan ancaman dari sang ayah, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Rasa takut yang dulu menghantuinya perlahan tergantikan oleh keberanian untuk melawan.Ayahnya melangkah maju, mendekati Keenan hingga jarak mereka hanya beberapa sentimeter. "Ingat ini baik-baik, Keenan. Kamu cuma anak kecil yang nggak tahu apa-apa tentang hidup. Kalau kamu masih berani buka mulut soal ini ke Mama, atau ke siapa pun, Papa akan pastikan hidupmu nggak akan nyaman di rumah ini." ucapnya dengan suara yang begitu rendah, namun jelas mengandung ancaman yang serius.Keenan menahan napas, merasakan amarahnya semakin membara. "Silahkan, Pa. Kalau itu yang Papa mau. Tapi itu nggak akan mengubah fakta kalau Papa salah, kalau Papa sudah menghancurkan kepercayaan orang-orang yang sayang sama Papa."Mata ayahnya semakin menyipit, napasnya terengah-engah seolah sedang menahan diri agar tidak meledak lebih
Suasana rumah begitu hening saat malam telah sepenuhnya turun, hanya suara napas lembut Kavin yang terlelap di tempat tidur Keenan yang mengisi keheningan. Keenan menghela napas, menyelimutkan kain lembut hingga menutupi bahu kecil adiknya, lalu melangkah pelan-pelan keluar dari kamar, bersiap menuju markas sesuai janjinya dengan Abhi. Tapi ketika dia sampai di pintu depan, langkahnya terhenti.Ayahnya baru saja pulang, berdiri di ruang tamu dengan tubuh yang tampak kelelahan. Setelan kerjanya masih rapi, namun leher kemejanya terlihat sedikit berantakan, dan mata Keenan tak sengaja tertuju pada satu hal yang merusak semuanya, bekas kecupan lipstik yang samar namun jelas di kerah kemeja ayahnya. Seketika, detak jantungnya terasa lebih keras, menambah tekanan dalam dirinya. Bayangan masa kecilnya seketika muncul, saat dulu, ketika ia tak sengaja menemukan ayahnya bersama wanita lain. Dan saat itu juga, hanya ancaman yang ia dapat.Keenan menatap sang ayah dengan tatapan yang sulit diba
Saat pintu terbuka, suara langkah kecil yang berlari cepat segera menyambut Keenan. Dalam sekejap, Kavin, adik kecilnya, muncul dengan senyuman penuh kegembiraan. Mata bulatnya berbinar seperti menemukan harta karun di hadapannya.“Kakaaaak! Kakak udah pulang sekolah!” seru Kavin dengan nada ceria, melompat ke arahnya tanpa ragu. Keenan mengangkat alis sambil tersenyum tipis, menahan tawa melihat semangat adiknya yang begitu polos.Keenan berjongkok, membuka lengannya lebar-lebar. “Wah, ternyata masih ada yang nungguin Kakak pulang, nih,” godanya sambil merentangkan tangan.Tanpa pikir panjang, Kavin langsung masuk ke pelukan Keenan. Tubuh kecilnya menempel erat, seolah tak ingin melepaskan. Keenan bisa merasakan detak kecil jantung adiknya yang begitu polos, mengalirkan kehangatan yang tidak bisa diukur dengan kata-kata.“Nungguin kakak atau nungguin HP kakak, hm?” tanya Keenan sambil mencubit pipi tembem adiknya.Kavin tertawa kecil, memamerkan sederet gigi kecilnya. “Hehehe… dua-du
Keenan masih tenggelam dalam pikirannya ketika tiba-tiba suara ketukan pelan terdengar di kaca mobilnya. Abhi, Nevan, dan Kafka berdiri di luar dengan senyum penuh arti, seperti sekumpulan kawanan yang siap merecoki pagi seseorang. Tanpa menunggu izin, Abhi menarik pintu mobil dan langsung duduk di samping Keenan, diikuti Nevan dan Kafka yang mengintip ke dalam dengan mata menyelidik."Pagi, Pak Ketu, bagaimana hari ini?" sapa Abhi dengan nada riang, senyumannya lebar, tapi jelas ingin tahu ada apa dengan sahabatnya yang jarang terlihat termenung seperti ini.Nevan, yang berdiri di belakang Abhi, langsung menepuk pundaknya. "Pertanyaan lo, salah, Bambang!" serunya, memandang Abhi seakan-akan baru saja melakukan pelanggaran besar.Abhi menoleh, kebingungan, dan baru tersadar, menggaruk kepalanya dengan canggung. "Eh, iya ya, salah. Ini kan, masih pagi. Sorry sorry."Keenan mendengus pelan, sorot matanya masih tajam namun tak sepenuhnya marah. “Lo pada ngapain sih ke sini? Gue nggak man
Jam dinding menunjukkan pukul enam lewat lima belas pagi, dan udara pagi yang segar menyelimuti jalanan yang masih sepi. Di depan sebuah rumah besar dengan halaman luas, Keenan berdiri dengan tenang di samping mobilnya. Bukan rumah Alsha yang ia tuju pagi ini, melainkan Clara. Jari-jarinya lincah mengetik pesan singkat. "Clara, gue di depan rumah lo. Buruan keluar." Sudah sepuluh menit Keenan menunggu, matanya sesekali melirik jam tangan. Ia bukan tipe orang yang suka menunggu terlalu lama. Setelah pesan itu terkirim, ia bersandar pada pintu mobil, matanya menerawang, memikirkan kejadian semalam. Beberapa menit kemudian, pintu rumah itu terbuka. Clara keluar dengan terburu-buru, rambutnya masih sedikit berantakan, meskipun dia berusaha merapikannya dengan tangannya yang gemetar. Ada kebingungan di wajahnya saat ia menghampiri Keenan, yang kini tengah mengamatinya dengan pandangan datar, namun tajam. “Lo ngapain ke sini?” tanya Clara, suaranya sedikit serak, jelas bahwa ia ma