Share

Bab 10. Mengamati

"Ada yang berbeda ketika aku memandangnya, sebuah kedamaian yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata." -Keenan Aksara

°°°°°

Malam itu begitu cerah, bintang-bintang bertaburan di langit seakan menyaksikan drama kecil yang tak terlihat oleh mata kebanyakan orang. Angin malam berembus lembut, membawa ketenangan yang sayangnya tak dirasakan oleh Keenan saat ini. Dia mendapati dirinya sedikit terkejut ketika tiba-tiba Kafka sudah berada di belakangnya, seolah muncul entah dari mana.

Keenan melirik sekilas ke arah Alsha yang masih terhanyut menatap langit, terpukau oleh keindahan bintang-bintang di atas sana. Dia menarik napas panjang, lalu perlahan melangkah, mengisyaratkan Kafka untuk menjauh dari rumah Alsha.

"Kita cabut dari sini," ucap Keenan, suaranya datar namun ada sedikit ketegangan yang tersirat.

Kafka, yang sebelumnya sempat melirik ke arah Alsha dengan rasa penasaran, mengerutkan kening. "Kenapa harus menjauh dari sesuatu yang bikin kita tenang?" tanyanya dengan nada tak sepenuhnya mengerti.

Keenan, yang sudah mulai membelokkan motornya, berhenti sejenak. Dia menoleh ke arah Kafka, menatapnya dengan mata yang tak terbaca, "Karena kalau kita terlalu dekat, bisa jadi dia ngerasa nggak nyaman."

Kafka tak langsung menjawab, tapi mengikuti gerakan Keenan, menuntun motornya tanpa menyalakan mesin. Mereka bergerak perlahan, menjauh dari rumah Alsha.

Setelah beberapa meter berlalu dalam keheningan, Kafka akhirnya membuka suara lagi. "Mau sampai kapan lo kayak gini? Nggak takut tiba-tiba ada orang lain yang masuk ke hidupnya?"

Keenan mengernyit, tertarik oleh pertanyaan Kafka. "Maksud lo siapa?"

Kafka mengangkat satu alis, menatapnya penuh arti. "Siapa aja. Lo pikir cuma lo yang bisa jatuh hati sama dia?"

Keenan terdiam, tak segera membalas. Ada sesuatu dalam kata-kata Kafka yang membuatnya merenung sejenak.

"Lo serius sama dia?" Kafka bertanya tiba-tiba, suaranya sedikit lebih serius sekarang, memecah keheningan yang mulai terasa canggung.

Keenan menatap Kafka, mata mereka saling terkunci dalam kebisuan malam. "Kenapa lo nanya keseriusan gue?" jawabnya datar, sambil mulai menaiki motornya, siap untuk pergi.

Kafka menghela napas, menaiki motornya juga. "Karena gue nggak mau lihat Alsha disakitin sama lo." Ucapannya terkesan ringan, tapi ada nada peringatan yang samar.

Keenan menyeringai, seolah menahan tawa. "Lo ngomong gitu seakan-akan gue adalah pemain,"

Kafka tersenyum tipis, lalu menyalakan motornya. "Bukan itu maksud gue." Dia berhenti sejenak, suaranya kembali tenang. "Gue cuma nggak mau lo nyakitin perasaan cewek, apalagi cewek kayak Alsha. Lo tahu dia nggak sepenuhnya kenal siapa lo, kan?"

"Emangnya harus banget dia tahu siapa gue sebenernya?" Keenan bertanya, nada suaranya sedikit menantang.

Kafka tertawa kecil, tapi tawanya penuh makna. "Iya, harus. Lo masuk ke hidupnya, Keenan. Cewek kayak Alsha nggak akan tinggal diam. Dia akan mencari tahu tentang lo sampai ke akar-akarnya."

Keenan mengangkat bahu. "Sheena udah tahu siapa gue. Kita udah kenal sejak lama."

Kafka terkekeh lagi, kali ini lebih sinis. "Apa Alsha udah tahu kalau lo penguasa jalanan di sini? Apa dia tahu geng yang lo pimpin itu lebih dari sekadar geng sekolah biasa? Apa dia tahu lo sering ikut balapan liar tiap malam?"

Keenan terdiam, mendengarkan tiap kata Kafka yang makin tajam.

Kafka melanjutkan, menatap lurus ke depan sambil menggeber motornya pelan, "Alsha cuma tahu lo bintang lapangan di sekolah. Lebih dari itu, semua hal yang lo sembunyiin darinya mungkin kelihatan mustahil buat dia."

Dia berhenti, menoleh sekilas ke Keenan. "Dan satu hal yang perlu lo inget. Cewek itu makhluk paling kepo sedunia. Jadi hati-hati, bro. Sekali dia tahu, nggak ada jalan balik."

Keenan tak langsung menjawab. Dia membiarkan kata-kata Kafka meresap dalam pikirannya, lalu menarik napas panjang sebelum menatap Kafka dengan tatapan tajam penuh percaya diri.

Keenan terdiam, menatap Kafka yang tersenyum miring setelah mengucapkan kalimat itu. Dia menyipitkan matanya sejenak, lalu menyalakan motornya dengan gerakan yang tenang namun tegas. Suara mesin motor yang berderum pelan seperti menyatu dengan suasana malam yang mulai sunyi. Dia memandang Kafka dengan senyum tipis, sedikit mengejek namun penuh percaya diri.

"Gue gak takut kalau dia tahu siapa gue sebenarnya," Keenan akhirnya membuka suara, rendah tapi penuh keyakinan. "Justru, gue penasaran seberapa jauh dia berani masuk ke dunia gue."

Keenan menunduk sedikit, mengencangkan pegangan pada stang motornya, matanya tajam memandang lurus ke depan, seolah sedang merencanakan sesuatu yang besar. "Dan kalaupun dia cari tahu sampai ke akar-akarnya... biarin aja. Gue gak punya apa-apa buat disembunyiin."

Kafka menoleh, terkejut tapi juga tersenyum kecil mendengar jawaban Keenan. "Serius banget," katanya, terkekeh.

Keenan menaikkan helmnya perlahan, menatap Kafka sekali lagi, senyum misterius menghiasi wajahnya. "Yang pasti, kalau ada yang berani datang buat saingin gue, dia harus siap kehilangan lebih dari sekadar perlombaan."

Suara motor Keenan yang menggelegar memenuhi keheningan, tapi kali ini dengan sikap yang lebih santai namun tetap penuh keyakinan. "Lo tahu, Kaf," dia mulai lagi dengan nada yang lebih ringan, "gue gak butuh sembunyi dari siapa gue sebenarnya. Kalau dia mau tahu, biarin. Gue gak peduli sama apa yang orang lain pikirin."

Kafka melirik lagi, sedikit terkejut, tapi tetap memperhatikan. Keenan menambahkan, "Dan soal cewek, gue gak main-main. Kalau gue serius, gue bakal pastiin gak ada satu pun yang bisa nyakitin dia... termasuk gue sendiri."

Keenan menyeringai, menatap Kafka dengan tatapan tajam, namun penuh ketenangan. "Jadi, kalau lo khawatir gue bakal nyakitin Sheena, lo gak usah repot. Gue lebih tahu gimana cara ngejaga hati dia daripada siapa pun."

Kafka terdiam sejenak, menatap Keenan dengan pandangan sulit diartikan, tapi kemudian dia tertawa pelan, menggelengkan kepalanya. "Keren juga lo, cocok jadi ketua geng abadinya Alpha Nexus,"

Keenan hanya mengangkat bahu. "Gue gak perlu kelihatan keren, Kaf. Gue cuma perlu jadi diri gue sendiri."

Dengan satu tarikan gas, Keenan melaju lebih dulu, meninggalkan Kafka yang tersenyum sambil menggeleng pelan, tahu bahwa di balik sikap dingin dan misterius ketua gengnya, ada sesuatu yang lebih besar dan tulus dari sekadar gengsi atau status.

---

Suasana kelas pada jam pertama di kelas XI IPA 2 terasa membosankan bagi beberapa siswa yang duduk di sudut kelas paling belakang. Kini, mereka tenggelam dalam dunia ponselnya. Menjadikan layar ponsel sebagai jembatan untuk melarikan diri saat itu.

Nevan: Fix bosen parah.

Abhi: Sama.

Nevan: Ada rencana gak hari ini?

Abhi: @Pak Ketu @Burung Kakap ?

Nama baru Abhi untuk Kafka, ‘Burung Kakap’, langsung membuat Kafka memandang Abhi dengan tatapan datar. Tatapannya, yang seolah mengandung ancaman tersembunyi, menembus kebisingan kelas, meminta penjelasan.

Kafka: @Abhi apa maksud lo? benerin dulu nama gue, lima detik dari skrg.

Abhi: Haha, santai bro, lo tenang banget sih, makanya dapet nama itu.

Kafka: Gue tenang, tapi tangan gue gak bisa tenang skrg.

Abhi, dengan senyum di bibirnya, hanya tertawa kecil. Di sisi lain, Nevan mengetik dengan cepat, sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Nevan: @Abhi udah tahu si kulkas gak bisa diajak bercanda

Abhi: Hahaha cuma ngetes doang.

Kafka: tas tes tas tes, sini, gue juga mau ngetes kekuatan tangan gue dari hasil latihan kemaren.

Sementara itu, Keenan, ketua geng mereka, duduk di sudut ruangan dengan tatapan terfokus. Matanya tertancap pada sosok gadis yang duduk jauh di depannya, seolah seluruh dunia hanya terdiri dari dia. Ponselnya bergetar terus, membuatnya terganggu. Dengan gerakan cepat, Keenan mengeluarkan ponselnya dari saku celana, lalu mengetik pesan singkat di grup chat geng mereka.

Keenan: Berisik!

Abhi: Wah, Pak Ketu baru muncul nih.

Nevan: @Penguasa Jalanan Bos, gak ada niatan mau nraktir kita gitu?

Abhi: Tinggal minta aja ke ATM berjalan @Burung Kakap

Nevan: Oh iya, kan lo yang dapet traktiran dari bos, bagi-bagi dong Kaf

Kafka: Ambil aja ambil.

Abhi: Wah, gila, si Burung Kakap eh si Kafka royal banget jadi temen.

Nevan: @Kafka gas bro, nanti ke kantin gue mau jajan cilok sama cimol.

Kafka: @Abhi gue royal, kecuali ke lo

Nevan: @Abhi Mampus

Abhi: Iya-iya gue ganti nama lo Kaf, serius amat sih.

Kafka membaca pesan Abhi dengan senyum tipis di bibirnya. Nevan, yang duduk di depan Kafka, menoleh ke belakang, menemukan Kafka tersenyum meski ekspresi wajahnya tetap tenang.

Kafka: @Abhi Gue bahagia ngeliat lo nangis

Abhi: -_

Nevan: Bos? Anteng banget dari tadi @Penguasa Jalanan

Kafka: Orang yang lagi jatuh cinta gak bisa diganggu emang.

Abhi: Wah, Pak Ketu jatuh cinta ke siapa tuh?

Nevan: Serius? Ke siapa bos?

Kafka: Nanti juga tau sendiri.

Keenan, yang kini terlarut dalam dunianya sendiri, tak memperdulikan pesan-pesan di grup chat. Tatapannya tetap pada gadis yang ada di depannya, dengan kekaguman yang tak bisa disembunyikan. Di tengah kebisingan kelas dan canda tawa teman-temannya, Keenan tenggelam dalam dunia kecilnya, di mana hanya ada dia dan gadis itu.

Beberapa menit kemudian, bel istirahat berbunyi, membuat suasana kelas yang sejak tadi tenang kini berubah menjadi ramai. Saat itu juga, Abhi dan Nevan segera membereskan buku-bukunya yang hanya terbuka tanpa disentuhnya sama sekali sejak jam pelajaran pertama tadi. Hanya formalitas saja. Mereka langsung memasukkan bukunya ke dalam tas dan cepat berdiri menghadap ke belakang.

"Ke kantin yuk! gue laper" ucap Nevan yang sudah tak sabar.

"Ayo Pak Ketu, jangan biarkan anggota geng mu ini mati kelaparan," ucap Abhi

Keenan, dengan senyum tipis yang mengungkapkan sikapnya yang khas, hanya mengangguk pelan. Ekspresi tenangnya tidak berubah, seolah-olah tidak terpengaruh oleh keributan di sekelilingnya.

Abhi yang memperhatikan Kafka lebih santai dengan punggung bersandar di kursi, menambahkan, "Lo juga ikut, Burung Kakap."

Kafka, yang mendengar itu langsung berdiri dengan gerakan cepat dan tangan yang sudah siap mengepal. "Bilang lagi coba?" tanyanya, suaranya penuh ketegasan.

"E-eh maksud gue Kafka, sorry mulut gue kepeleset dikit," balas Abhi dengan cepat.

Kafka melotot ke arahnya lalu menatap Keenan yang masih memperhatikan Alsha sejak tadi.

Kafka melirik tajam ke arah Abhi sebelum menoleh ke Keenan, yang sejak tadi tampak fokus pada sesuatu di kejauhan. "Mau ke kantin atau masih mau ngeliatin seseorang?" Kafka bertanya dengan nada sinis.

Keenan, tanpa mengalihkan tatapannya, mengangkat satu alis, menandakan bahwa dia mendengar dan memahami maksud Kafka. Abhi dan Nevan saling bertukar pandang, bingung, dan kemudian memeriksa kelas yang kini kosong, baru saja Alsha dan Aline keluar dari kelas.

Keenan mendengus pelan, mengisyaratkan kepada teman-temannya untuk mengikuti keputusannya. Dengan satu gerakan kepala, dia memberi tanda agar mereka bergerak menuju kantin.

Saat mereka mencapai pintu kelas, seorang gadis tiba-tiba muncul di depan mereka, menghentikan langkah mereka.

"Keenan, aku mau ngomong penting sama kamu," ucap gadis itu, mendesak.

Abhi, berdiri di belakang Keenan, membisikkan kepada Nevan dan Kafka, "Wah, masalah lagi nih."

Keenan menatap datar gadis itu, satu alis terangkat sebagai tanda ketidak pedulian.

"Cewek gila, udah tau Keenan gak pernah ngelirik dia," ucap Nevan sambil menatap kesal ke gadis itu.

Claudia.

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status