Beranda / Young Adult / About Keenan / Bab 9. Sempurna

Share

Bab 9. Sempurna

Penulis: litrcse
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-15 21:52:27

"Kamu akan terlihat sempurna dimata orang yang benar-benar mencintaimu dengan tulus." -Keenan Aksara

.

.

.

Saat Keenan dan Clara turun dari wahana, angin malam mulai mendingin, mengusir sisa-sisa kehangatan hari itu. Lampu-lampu kota berkedip di kejauhan, tapi bagi Keenan, semuanya terasa buram. Dia melirik jam tangannya, angka delapan malam menari di sana, memaksanya untuk kembali ke realitas.

"Ayo pulang," katanya, suaranya datar, tanpa emosi. Clara hanya mengangguk, bibirnya mengerucut tipis, menyembunyikan kekesalan yang perlahan merayap di hatinya. Sejak tadi, Keenan lebih sibuk dengan pikirannya sendiri, membiarkan Clara bicara sendiri tanpa balasan berarti.

Ketika mereka sampai di depan rumah Keenan, pemandangan itu membuatnya menarik napas dalam. Kedua orang tuanya sudah berdiri di sana, bersama ayah Clara yang tampak begitu ceria. Langit malam menjadi saksi kesunyian yang menggantung di udara, sementara senyum-senyum tersungging di wajah-wajah orang dewasa.

"Gimana? Sudah akrab?" tanya ayah Clara sambil tertawa, memecah keheningan. Suaranya disambut tawa kecil dari orang tua Keenan, namun di antara mereka, hanya Keenan yang tersenyum tipis—senyum yang nyaris tak berarti. Senyum yang jelas-jelas dibuat-buat. Di sebelahnya, Clara terdiam, bibirnya mengerucut kecil, sorot matanya menyiratkan rasa kesal. 

Ayah Clara merangkul pundak putrinya dengan lembut. "Clara, ini sudah malam. Kita pulang, ya? Kalau kalian mau ngobrol lagi, tukeran nomor HP saja nanti."

Clara mengangguk pelan, matanya melirik Keenan yang tetap terdiam, dingin dan tak beranjak. Setelah beberapa saat, mereka berpamitan. Suasana terasa semakin dingin saat mobil ayah Clara mulai menjauh, meninggalkan jejak remang lampu di jalan.

Saat pintu rumah terbuka, ibu Keenan lebih dulu masuk, tapi ayahnya, Rama, masih berdiri di beranda. Tatapannya tak pernah lepas dari putranya, seolah mencari sesuatu yang hilang dalam keheningan malam itu. Keenan mendekat, matanya menatap kosong ke depan.

"Papa puas malam ini?" tanyanya pelan, hampir tanpa emosi. Tak menunggu jawaban, Keenan melangkah masuk ke dalam rumah.

Rama hanya diam, melihat punggung putranya yang semakin jauh. Matanya menyipit sedikit, alisnya terangkat dalam kebingungan. Tapi senyum tipis perlahan menghiasi wajahnya, senyum yang menyimpan sejuta tanya. Tanpa suara, ia ikut masuk.

Saat Keenan melangkah masuk ke kamarnya, suasana hening menyambutnya. Matanya segera mencari sosok adik kecilnya yang biasanya selalu ada di sana. Namun, kosong. Tempat tidur rapi, dan tidak ada tanda-tanda kehadiran Kavin.

"Kavin mana, Ma?" tanyanya kepada sang ibu yang masih sibuk di ruang makan, merapikan sisa hidangan dari malam ini, makanan yang disajikan untuk Clara dan ayahnya.

"Udah tidur, tadi dia ketiduran di kamar kamu, jadi Mama pindahin ke kamar Mama," jawab ibunya, suaranya lembut namun terkesan terburu oleh tugas-tugas yang masih tersisa.

Tanpa berkata lagi, Keenan langsung menuju kamar ibunya. Di sana, dia menemukan Kavin, adik kecilnya, tertidur pulas di atas ranjang. Wajah polos itu begitu damai, tidak terpengaruh oleh kesibukan malam di sekitarnya. Kavin memeluk erat ponsel milik Keenan di dadanya, seolah benda itu adalah harta karunnya.

Senyum tipis muncul di wajah Keenan. Ada sesuatu yang hangat mengalir dalam hatinya saat melihat pemandangan itu. Dengan hati-hati, dia meraih ponselnya dari genggaman Kavin, berhati-hati agar tidak mengganggu tidur nyenyak adiknya. Setelah itu, dia membungkuk sedikit dan mengecup lembut kening Kavin.

"Tidur yang nyenyak ya, adik kesayangan Kakak," bisiknya.

Matanya menatap wajah Kavin yang masih terlelap, begitu damai, begitu jauh dari segala hiruk pikuk yang kini merongrong pikiran Keenan. Sejenak, dia menghela napas panjang, merasakan beban yang berat di dadanya sedikit mereda. Setelah beberapa detik yang terasa abadi, dia bangkit perlahan, menutup pintu dengan hati-hati, meninggalkan adiknya dalam mimpi-mimpi yang tenang.

"Mau ke mana lagi?" Suara ayahnya, Rama, terdengar dari ruang tamu. Sorot matanya tajam menatap punggung Keenan yang buru-buru menuju pintu.

"Keluar bentar," jawab Keenan singkat, tanpa menoleh. Suara pintu yang tertutup disusul deru motor yang menggelegar, melesat cepat menembus malam.

Rama hanya menghela napas, lama. Pandangannya kosong menatap pintu yang baru saja ditutup anaknya. "Anak itu... kapan dia bisa berubah?" ucapnya dengan kesal.

"Namanya juga masih anak-anak. Nanti kalau sudah dewasa, pasti berubah." Istrinya, yang baru saja keluar dari dapur, duduk di sebelahnya. Tangannya penuh dengan kehangatan, namun tak pernah cukup untuk mencairkan suasana dingin yang sering menyelimuti rumah itu.

Rama mengangkat kedua alisnya, tak puas dengan jawaban itu. "Anak-anak apanya? Dia bentar lagi udah mau kelas tiga SMA." ucap Rama, ada nada geram dalam suaranya, ketidakpuasan yang terus menggunung.

Istrinya tersenyum kecil, berusaha menyentuh dengan lembut. "Coba kamu nasihatin dia pelan-pelan, pasti bisa, Sayang."

Rama menggerakkan bahunya, tak sabar. "Kenapa jadi aku? Itu kan tugas kamu sebagai ibu!"

"Aku sudah sering nasihatin dia, tapi nggak mempan. Coba kamu yang bicara. Kadang, anak laki-laki lebih dengar kalau ayahnya yang ngomong," ucap istrinya, kali ini suaranya lebih lirih, penuh harap.

Tanpa diduga, Rama membanting remote televisi yang sedari tadi ia pegang. Suara itu menggema di ruang tamu, membuat istrinya tersentak. "Kok jadi nyuruh aku? Aku ini suami kamu!" bentaknya, penuh amarah yang sudah terlalu lama tertahan.

Istrinya mencoba meraih tangannya, mencoba meredakan suasana. "Sayang, bukan gitu maksud aku..." suaranya bergetar, penuh kelembutan yang hanya dipahami oleh hati yang rapuh.

Tapi Rama menepis tangan itu. Dengan kasar, ia bangkit dari tempat duduknya, melangkah dengan langkah berat yang meninggalkan jejak kekecewaan. "Sudahlah, aku mau tidur!" Bentakannya menggantung di udara, dingin, menusuk.

Istrinya hanya bisa menatap punggungnya suaminya. Matanya berkaca-kaca, berusaha memahami mengapa setiap kata yang ia ucapkan selalu salah di hadapan Rama.

Begitulah hari-hari mereka. Di hadapan Rama, semuanya serba salah. Terutama istrinya, yang tak pernah bisa berkata dengan benar di matanya. Keenan pun tumbuh di tengah amarah yang sama, membeku. Jauh dari kasih sayang ayah yang seharusnya melindungi, jauh dari kehangatan yang seharusnya mereka bagi.

Keenan tiba di depan markas, matanya menatap gedung sederhana itu. Cahaya dari lampu neon berwarna hangat menyinari jalanan yang sepi, membuat bayangan samar dari sepeda motornya memanjang di lantai aspal. Dia masuk tanpa suara, langkahnya berat, meskipun tak ada yang berubah dari tempat ini. Teman-temannya sudah berkumpul. 

"Panjang umur, baru aja diomongin," Abhi bercanda dengan santai, kedua tangannya sibuk memegang wadah camilan. Tapi Keenan hanya diam. Tanpa sepatah kata pun, ia meraih bola basket yang tergeletak di lantai, seolah menunggu untuk disentuh. Bola itu dilemparnya ke arah ring yang terpasang di dinding, bunyi gesekan bola dengan jaring menggema di ruang yang sunyi.

Satu lemparan masuk, lalu satu lagi, namun setiap kali bola itu melewati ring, tak ada rasa lega yang mengikuti. Seakan-akan setiap lemparan hanya menambah beban di dadanya. Wajahnya tetap kaku, tak menunjukkan ekspresi apa pun, pikirannya terperangkap di dalam ancaman perjodohan yang disampaikan ayahnya. Tekanan yang tak terkatakan menyesakkan ruang antara mereka, mengisi markas dengan keheningan yang tak biasa.

Kafka, Abhi, dan Nevan saling melirik, paham tanpa perlu berbicara. Mereka sudah mengenal Keenan cukup lama untuk tahu bahwa saat dia seperti ini, lebih baik membiarkannya sendiri. Mereka membisu, menunggu badai berlalu, meskipun tak ada yang tahu kapan itu akan terjadi.

Setelah beberapa kali membanting bola ke dalam ring, Keenan akhirnya berhenti. Napasnya terengah, bukan karena kelelahan fisik, melainkan dari perasaan yang tak kunjung lepas dari benaknya. Dia melempar bola sembarangan, membiarkannya menggelinding tanpa arah. Tanpa melihat ke arah teman-temannya, Keenan keluar dari ruangan itu, kembali melaju dengan motornya, seakan angin malam bisa membantunya menghilangkan kekacauan di pikirannya.

Abhi menghela napas panjang, melemparkan pandangannya ke arah pintu yang baru saja ditinggalkan Keenan. “Kenapa lagi, dah, Pak Ketu...” gumamnya, sedikit cemas namun juga lelah, sambil memandang gorengan yang sejak tadi ditinggalkannya. Nafsu makan Abhi hilang sesaat oleh sikap Keenan yang begitu tegang, seakan ada awan gelap yang menutupi mereka malam ini.

Nevan datang menghampiri, mengambil gorengan itu tanpa basa-basi. "Entah," jawabnya sambil mengunyah dengan tenang, tidak terpengaruh oleh suasana yang menggelayut. Abhi melotot ke arahnya, tapi tak ada kemarahan yang benar-benar muncul. Semua tahu, pada akhirnya Keenan akan kembali, mungkin dengan suasana hati yang lebih baik, mungkin juga tidak.

Kafka menghentikan pukulannya di heavy bag yang baru saja dia pasang di pojok markas. Gerakan tangannya terhenti, matanya mengarah ke pintu yang baru saja dilewati Keenan, kini hanya menyisakan keheningan yang menggantung. Keringat masih menetes dari pelipisnya, mengalir ke dagu, tapi pikirannya tak lagi tertuju pada latihan. Sejak kecil, selain basket, Kafka juga menyukai boxing. Bukan untuk menjadi petinju, hanya untuk mengisi kekosongan yang sering kali ia rasakan. Sebuah pelarian, sebuah cara untuk berdiam dalam kesibukan, meski sesungguhnya, jiwanya selalu merindukan keheningan.

Dia melepas kain yang melilit kedua tangannya dengan cekatan, lalu mengambil botol air mineral di samping Abhi. Tanpa sepatah kata, Kafka berjalan keluar, meninggalkan markas dan teman-temannya yang masih memandang heran.

"Lo juga mau kemana, Kaf?" Nevan bertanya, suaranya sedikit penasaran namun tak terlalu berharap jawaban.

"Nyusul Keenan, kalian di sini aja," sahut Kafka singkat, sambil berlari keluar. Setengah botol air diminumnya dengan cepat, lalu sisa air itu disiramkan ke rambutnya, seolah berusaha menghilangkan sisa-sisa keringat yang masih menempel. Angin malam menyentuh kulitnya, membawa sedikit rasa segar yang perlahan melarutkan kelelahan yang dirasakannya.

Di dalam, Abhi menghela napas panjang, matanya menatap camilan yang tergeletak di meja. "Berarti ini semua buat kita, dong," katanya sambil tersenyum tipis, nada suaranya seolah berusaha mencairkan suasana yang sempat tegang.

Nevan mengangguk sambil mengambil gorengan lagi, tangannya bergerak dengan malas, namun matanya tetap tertuju pada layar ponselnya. "Gas dah, habisin," ujarnya santai, sementara tubuhnya semakin tenggelam di sofa yang sudah lelah menopang berat malam.

Sementara itu, Keenan melaju pelan, motornya merayap di malam yang gelap saat dia tiba di depan rumah gadis itu. Pemandangan yang sering ia kunjungi selama tiga bulan terakhir ini tetap sama, tak ada perubahan, hanya kesan yang indah. Dengan penuh kehati-hatian, Keenan memarkirkan motornya agak jauh, berusaha menghindari perhatian yang tidak diinginkan.

Dia turun dari motornya dan mendekat ke pagar rumah, sebuah kebiasaan yang tak pernah berubah sejak awal mula dia sering berkunjung ke tempat ini. Setiap malam, dia melakukan hal yang sama, mengamati dari kejauhan, menikmati ketenangan yang hanya bisa dia rasakan di sini. 

Gadis itu, dengan senyum lembut yang tak pernah pudar dari bibirnya, berdiri memandangi langit malam. Rambutnya yang terurai melambai lembut diterpa angin, menciptakan pemandangan yang mampu menyentuh hati setiap yang memandang, meski sederhana namun mampu membuat Keenan terpesona.

"Sempurna," bisik Keenan pada dirinya sendiri. Matanya masih tak bisa lepas dari gadis itu.

Keenan menghela napas panjang. Tiba-tiba ada dorongan dalam dirinya yang semakin menguat. Perasaan yang kian sulit dia pendam. 

Seolah langit malam ini pun turut mendukung keputusannya untuk akhirnya meluapkan semua rasa yang selama ini ia sembunyikan.

Keenan berbalik untuk pergi, mencoba menghindari perasaannya yang kini masih takut ia ungkapkan, namun langkahnya terhenti saat melihat Kafka berdiri di hadapannya, menatap Keenan dengan heran sekaligus penasaran.

"Gue kira cuma markas yang lo anggap tempat pelarian. Ternyata ada tempat lain juga,"

BERSAMBUNG

Bab terkait

  • About Keenan   Bab 10. Mengamati

    "Ada yang berbeda ketika aku memandangnya, sebuah kedamaian yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata." -Keenan Aksara °°°°° Malam itu begitu cerah, bintang-bintang bertaburan di langit seakan menyaksikan drama kecil yang tak terlihat oleh mata kebanyakan orang. Angin malam berembus lembut, membawa ketenangan yang sayangnya tak dirasakan oleh Keenan saat ini. Dia mendapati dirinya sedikit terkejut ketika tiba-tiba Kafka sudah berada di belakangnya, seolah muncul entah dari mana. Keenan melirik sekilas ke arah Alsha yang masih terhanyut menatap langit, terpukau oleh keindahan bintang-bintang di atas sana. Dia menarik napas panjang, lalu perlahan melangkah, mengisyaratkan Kafka untuk menjauh dari rumah Alsha. "Kita cabut dari sini," ucap Keenan, suaranya datar namun ada sedikit ketegangan yang tersirat. Kafka, yang sebelumnya sempat melirik ke arah Alsha dengan rasa penasaran, mengerutkan kening. "Kenapa harus menjauh dari sesuatu yang bikin kita tenang?" tanyanya dengan nada tak se

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-16
  • About Keenan   Bab 11. Satu Pilihan

    "Cinta yang tulus tidak butuh persetujuan orang lain." -Keenan Aksara ••• Keenan terus melangkah santai, mengabaikan suara Claudia yang mencoba menarik perhatiannya. Langit cerah di atas sekolah seolah tak terpengaruh oleh ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya. “Keenan!” Suara Claudia menggema, namun tetap saja, ia tak menoleh. Abhi yang berada di belakang Keenan, melirik sebentar ke arah Claudia lalu menghampirinya. “Maaf, Kak. Bukannya mau ikut campur, tapi lebih baik Kakak jauhin Keenan. Ini demi kebaikan bersama.” Claudia memandang tajam ke arah Abhi, alisnya berkerut penuh tanya. “Demi kebaikan bersama? Maksud lo apa?” Abhi sempat membuka mulut, ingin menjelaskan, namun sebuah suara lain tiba-tiba menyeruak, menghentikan segalanya. "Keenan!" Langkah Keenan langsung terhenti saat suara itu sampai ke telinganya. Seketika suasana berubah, menegangkan namun penuh tanda tanya. Semua mata tertuju pada seorang gadis yang berlari kecil ke arah Keenan. Clara. Keenan

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-18
  • About Keenan   Bab 12. Ketika Luka Menuntut Balas

    "Tindakanmu hari ini bisa menjadi racun bagi hati yang kau cintai esok hari." ••• Kafka tidak banyak bicara. Begitu melihat Keenan keluar dari kantin, dia langsung melangkah, tenang tapi dengan tekad yang sudah bulat. Di tengah pilihan sulit yang sering kita hadapi, penting untuk mengingat bahwa setiap langkah yang kita ambil bisa membentuk masa depan kita. Terkadang, kita perlu berani melangkah meski jalan yang diambil tidak pasti. "Eh, mau ke mana si burung kakap?" Abhi berteriak dari belakang, nada suaranya khas, selalu santai. "Jadi nggak nih kita ditraktir?" sahut Nevan, sedikit kesal tapi tak benar-benar serius. Kafka berhenti sejenak, menoleh dengan perlahan. Tatapannya tajam, seperti sedang memperingatkan. Mata itu tertuju pada Abhi yang baru saja memanggilnya dengan nama seenaknya. "Lo pilih jajan atau Keenan?" Kafka berkata datar, tanpa memberi ruang untuk bantahan. Tanpa menunggu jawaban, dia kembali melangkah. Abhi menghela napas, melirik Nevan, "Berat, nih."

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-23
  • About Keenan   Bab 12. Ketika Luka Menuntut Balas (Part 2)

    Davin melangkah dengan cepat ke arah Claudia, matanya tak lepas dari mereka berdua, penuh pertanyaan, penuh rasa yang tertahan. "Ngapain kalian pelukan di tengah lapangan? Gak malu diliatin banyak orang?" tanyanya dengan suara rendah tapi setiap kata mengandung teguran yang dalam. Claudia menegakkan tubuhnya, meski jantungnya berdebar keras. "Enggak! Gue gak malu. Kenapa sih lo ikut campur? Ini bukan urusan lo!" ucapnya dengan nada yang bergetar, meski dia berusaha keras tampak kuat. Davin menatapnya dalam-dalam, matanya berbicara lebih banyak dari kata-katanya. “Ini jelas urusan gue. Karena gue suka sama lo!” Kata-kata itu jatuh seperti hujan yang tiba-tiba, dingin dan tak terduga. Claudia membeku, menatap Davin dengan mata yang kini mulai memudar. Selama ini, dia tak pernah menyadari bahwa di balik sikap Davin yang selalu tenang, ada perasaan yang disimpannya begitu lama. Keenan, yang kini hanya menjadi saksi dari semua ini, diam saja. Hatinya tak tersentuh oleh drama yang

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-25
  • About Keenan   Bab 13. Di Ujung Lorong

    "Setiap tatapan bisa menyimpan ribuan rasa."•••Clara membanting bukunya di atas bangku dengan keras, menciptakan bunyi nyaring yang memecah keheningan kelas. Suara itu memantul di dinding-dinding, membuat Elysia yang sedang sibuk mencoret-coret catatan kecil di hadapannya tersentak kaget. Matanya yang semula terfokus pada pena di tangannya langsung menatap Clara dengan bingung."Lo kenapa sih? Baru dateng udah ngamuk-ngamuk," ujar Elysia, sedikit berbisik, khawatir kalau suara mereka menarik perhatian anak-anak lain di kelas. Elysia Tamara, dengan rambut panjang terurai dan gaya modisnya yang khas, selalu tampak serasi duduk di samping Clara. Mereka seperti cerminan satu sama lain, dengan pakaian yang selalu up-to-date dan sepatu yang baru dibeli beberapa hari sebelumnya. Dua gadis yang selalu jadi pusat perhatian di manapun mereka berada.Clara mendengus sambil melipat tangan di depan dadanya. Wajahnya merah, bukan karena malu, tapi lebih karena amarah yang perlahan memenuhi pikir

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-29
  • About Keenan   Bab 13. Di Ujung Lorong (Part 2)

    "Coba jelasin ke gue," Claudia akhirnya berbicara lagi, kali ini lebih pelan namun penuh tuntutan. "Kenapa lo bisa pacaran sama Keenan?"Clara menatap Claudia dengan malas. Dadanya masih terasa sesak oleh rasa frustrasi sebelumnya, tapi sekarang ia harus berhadapan dengan sesuatu yang lain. "Kita gak pacaran," jawab Clara datar, matanya lurus ke depan. Jawaban itu membuat Claudia menoleh cepat, menatap Clara dengan mata yang sedikit menyipit."Apa?" Claudia mengerutkan kening, jelas tak puas dengan jawaban Clara. "Jelas-jelas Keenan yang bilang kalau kalian pacaran. Lo bohong?"Clara mendengus. Tentu saja, Keenan. Firasatnya tadi benar, ini semua hanya soal cowok yang satu itu. "Dia yang bohong, Kak. Gue gak ada perasaan apa-apa ke dia," katanya dengan nada tegas. Suaranya tak menunjukkan keraguan sedikit pun, meskipun di dalam hatinya, Clara tahu masalah ini belum selesai.Claudia terdiam, mencoba mencerna informasi itu. Kebingungan tampak di waj

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-29
  • About Keenan   Bab 14. Di Antara Halaman dan Harapan

    KRING! KRING! KRING!Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing. Ingat kata bapak ibu guru hari ini, bahwa esok adalah hari baru dengan kesempatan yang lebih besar. Belajar bukan hanya tentang hari ini, tapi tentang membangun masa depan yang lebih baik. Sampai jumpa esok hari dengan semangat yang baru. Jangan lupa tersenyum hari ini kepada dia yang berharga bagimu.TING TING TING... alunan merdu bel sekolah perlahan mereda.Bel pulang sekolah bergema lembut di seluruh penjuru ruangan, seolah mengakhiri hari yang penuh dengan keheningan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang merasakannya. Keenan dan teman-temannya melangkah mantap menuju bangku Alsha, di mana dia menunggu dengan sabar. Hari ini, ada janji yang tak sabar ingin mereka tepati.“Sheena, jadi kan kita ke toko buku?” tanya Keenan, suaranya lembut namun penuh dengan kehangatan yang tersembunyi di balik sorot matanya.Alsha mengangguk, senyum tipisnya mengembang, seakan hany

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-30
  • About Keenan   Bab 15. Diam-diam Menjaga

    Seperti malam-malam sebelumnya, Keenan berdiri di depan rumah Alsha, menatap pekarangan yang sunyi. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Gadis yang biasanya keluar untuk menatap langit, tidak terlihat. Hening menyelimuti, seolah malam itu sengaja menyembunyikannya dari pandangan. Keenan menunggu dengan sabar, berharap Alsha akan keluar. Sekadar melihat wajahnya dalam sinar redup bulan sudah cukup baginya. Hatinya merasakan kekosongan aneh, seolah ada sesuatu yang hilang dari ritme malam ini. Sampai suara yang tak terduga mengganggu lamunannya. “Lo masih betah di sini?” Kafka muncul tiba-tiba di belakangnya, nada suaranya pelan namun mengandung makna. Keenan, dengan gerakan lambat, menoleh. “Ngapain lo di sini?” tanyanya, berusaha menyembunyikan sedikit keterkejutannya. Kafka menarik napas dalam, tatapannya terarah pada jendela rumah Alsha yang masih tertutup. "Gue mau ngomong sesuatu sama lo." "Soal?" Suara Keenan terdengar lebih keras dari yang dia maksudkan, entah

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-30

Bab terbaru

  • About Keenan   BAB 23. Badai yang Terkendali

    Ketika bel istirahat berdering, suara riuh siswa yang berlomba-lomba meninggalkan kelas terdengar menggema. Namun, di salah satu bangku, Keenan tetap duduk diam, tak beranjak. Tatapan matanya terpaku pada Alsha, mengamatinya dalam diam, seolah setiap gerakan gadis itu adalah misteri yang tak ingin ia lepaskan begitu saja."Ayo, Al, ke kantin," suara Aline terdengar, lembut, penuh semangat, ia menggenggam tangan Alsha, mengajak sahabatnya pergi. Alsha sempat melirik ke arah Keenan, namun cowok itu segera mengalihkan pandangan, menyembunyikan ekspresi di wajahnya yang sulit diartikan. "Al!" panggil Aline lagi, kali ini sedikit lebih mendesak. Akhirnya, Alsha mengangguk kecil, menerima ajakan Aline, dan mereka pun akhirnya melangkah keluar bersama.Keenan hanya bisa memandang punggung gadis itu yang semakin menjauh, menyisakan jejak perasaan yang tak terucap. Tak lama, tiga sosok temannya muncul, memperhatikan wajah ketua mereka yang tampak menyiratkan amarah yang sulit ia sembunyikan.

  • About Keenan   Bab 22. Penakluk Hati Keenan (Part 2)

    Setelah Athala menghilang dari pandangan, suasana kembali tenang. Mereka semua duduk kembali, meneruskan obrolan yang seakan tak terganggu oleh apa pun yang baru saja terjadi.Keenan menatap Abhi dengan tatapan tajam, seolah mengingat sesuatu yang tertunda. "Lo tadi mau ngomong apa?" tanya Keenan. Dia pergi ke markas, berharap mendengar kabar soal Alsha, namun sepertinya Abhi masih belum memberi informasi yang dicari. Abhi menggaruk kepala yang tak gatal, matanya sedikit menghindar. "E-eh," jawabnya ragu, suara serak yang keluar dari mulutnya menunjukkan dia sedang kebingungan. "Sorry, Pak Ketu, gue lupa mau ngomong apa tadi," lanjutnya, jelas merasa kikuk karena tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan. Keenan mendengus pelan, ekspresinya datar, namun gerakannya cepat. Tanpa peringatan, ia merampas snack dari tangan Abhi, menikmati keripik itu dengan lahap."Eh, Pak Ketu," ujar Abhi terkejut melihat tingkah Keenan yang tiba-tiba. Keenan hanya melotot ke arah Abhi, matanya menyip

  • About Keenan   Bab 22. Penakluk Hati Keenan

    Keenan dan Athala tiba di markas. Malam itu sunyi, tapi suasana langsung berubah begitu Abhi dan Nevan melihat mobil putih milik Athala memasuki halaman. Teman-teman Keenan, yang sedang asyik bercanda, langsung bergegas berdiri. Mereka saling bertugas pandang dengan senyum kecil yang penuh arti. Bagi mereka, Athala bukan sekadar kakak bagi Keenan, tapi juga sosok kakak yang selalu hadir untuk mereka semua.Abhi yang langsung menyambut Athala dengan lambaian tangan. "Hey, Bang Athala! Tumben nongol malam-malam gini! Mau gabung sama kita?"Athala turun dari mobil dengan langkah tenang, melemparkan senyum tipis pada mereka. "Lagi kosong aja," jawabnya sambil menepuk bahu Abhi. "Gue kangen ngeliat kalian semua. Udah lama, kan, nggak ngobrol bareng?""Bukan sekadar lama, Bang! Kita udah hampir lupa kapan terakhir kali Abang nongkrong di sini," canda Nevan sambil tertawa.Athala terkekeh pelan, menatap mereka satu per satu. Rasanya hangat, kembali berada di tengah-tengah mereka. Dia tahu, d

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 6)

    Keenan melajukan motornya, membelah jalanan malam yang sepi dengan kecepatan yang menggila. Pikiran-pikirannya berserakan, berkelindan dengan bayangan wajah ibunya yang tulus, penuh ketidakmengertian, dan ayahnya yang terbungkus kepalsuan dan dusta. Kekecewaan semakin membakar dadanya, membuat tangannya refleks memutar gas lebih kencang, seolah berharap kecepatan bisa menghapus segalanya.Di tengah kesibukannya melawan pikirannya, tiba-tiba, dari kejauhan, segerombolan orang berdiri menghadang di tengah jalan. Davin dan teman-temannya, berdiri dalam bayang malam yang samar, seolah sudah menunggu kedatangannya. Keenan ngerem mendadak, membuat roda motornya berdecit keras, meninggalkan bekas yang panjang di aspal. Matanya menatap tajam ke arah mereka, tanpa rasa takut sedikit pun. Tanpa ragu, ia turun dari motor dan berjalan mendekat, tatapannya penuh kemarahan yang tersimpan.Davin tersenyum licik, wajahnya tampak puas melihat Keenan mendekat. "Wah, lihat siapa yang muncul, guys," ucapn

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 5)

    Keenan tetap diam, namun tatapannya tidak berubah, tajam dan penuh kekecewaan. Ini bukan kali pertama ia merasakan ancaman dari sang ayah, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Rasa takut yang dulu menghantuinya perlahan tergantikan oleh keberanian untuk melawan.Ayahnya melangkah maju, mendekati Keenan hingga jarak mereka hanya beberapa sentimeter. "Ingat ini baik-baik, Keenan. Kamu cuma anak kecil yang nggak tahu apa-apa tentang hidup. Kalau kamu masih berani buka mulut soal ini ke Mama, atau ke siapa pun, Papa akan pastikan hidupmu nggak akan nyaman di rumah ini." ucapnya dengan suara yang begitu rendah, namun jelas mengandung ancaman yang serius.Keenan menahan napas, merasakan amarahnya semakin membara. "Silahkan, Pa. Kalau itu yang Papa mau. Tapi itu nggak akan mengubah fakta kalau Papa salah, kalau Papa sudah menghancurkan kepercayaan orang-orang yang sayang sama Papa."Mata ayahnya semakin menyipit, napasnya terengah-engah seolah sedang menahan diri agar tidak meledak lebih

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 4)

    Suasana rumah begitu hening saat malam telah sepenuhnya turun, hanya suara napas lembut Kavin yang terlelap di tempat tidur Keenan yang mengisi keheningan. Keenan menghela napas, menyelimutkan kain lembut hingga menutupi bahu kecil adiknya, lalu melangkah pelan-pelan keluar dari kamar, bersiap menuju markas sesuai janjinya dengan Abhi. Tapi ketika dia sampai di pintu depan, langkahnya terhenti.Ayahnya baru saja pulang, berdiri di ruang tamu dengan tubuh yang tampak kelelahan. Setelan kerjanya masih rapi, namun leher kemejanya terlihat sedikit berantakan, dan mata Keenan tak sengaja tertuju pada satu hal yang merusak semuanya, bekas kecupan lipstik yang samar namun jelas di kerah kemeja ayahnya. Seketika, detak jantungnya terasa lebih keras, menambah tekanan dalam dirinya. Bayangan masa kecilnya seketika muncul, saat dulu, ketika ia tak sengaja menemukan ayahnya bersama wanita lain. Dan saat itu juga, hanya ancaman yang ia dapat.Keenan menatap sang ayah dengan tatapan yang sulit diba

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 3)

    Saat pintu terbuka, suara langkah kecil yang berlari cepat segera menyambut Keenan. Dalam sekejap, Kavin, adik kecilnya, muncul dengan senyuman penuh kegembiraan. Mata bulatnya berbinar seperti menemukan harta karun di hadapannya.“Kakaaaak! Kakak udah pulang sekolah!” seru Kavin dengan nada ceria, melompat ke arahnya tanpa ragu. Keenan mengangkat alis sambil tersenyum tipis, menahan tawa melihat semangat adiknya yang begitu polos.Keenan berjongkok, membuka lengannya lebar-lebar. “Wah, ternyata masih ada yang nungguin Kakak pulang, nih,” godanya sambil merentangkan tangan.Tanpa pikir panjang, Kavin langsung masuk ke pelukan Keenan. Tubuh kecilnya menempel erat, seolah tak ingin melepaskan. Keenan bisa merasakan detak kecil jantung adiknya yang begitu polos, mengalirkan kehangatan yang tidak bisa diukur dengan kata-kata.“Nungguin kakak atau nungguin HP kakak, hm?” tanya Keenan sambil mencubit pipi tembem adiknya.Kavin tertawa kecil, memamerkan sederet gigi kecilnya. “Hehehe… dua-du

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 2)

    Keenan masih tenggelam dalam pikirannya ketika tiba-tiba suara ketukan pelan terdengar di kaca mobilnya. Abhi, Nevan, dan Kafka berdiri di luar dengan senyum penuh arti, seperti sekumpulan kawanan yang siap merecoki pagi seseorang. Tanpa menunggu izin, Abhi menarik pintu mobil dan langsung duduk di samping Keenan, diikuti Nevan dan Kafka yang mengintip ke dalam dengan mata menyelidik."Pagi, Pak Ketu, bagaimana hari ini?" sapa Abhi dengan nada riang, senyumannya lebar, tapi jelas ingin tahu ada apa dengan sahabatnya yang jarang terlihat termenung seperti ini.Nevan, yang berdiri di belakang Abhi, langsung menepuk pundaknya. "Pertanyaan lo, salah, Bambang!" serunya, memandang Abhi seakan-akan baru saja melakukan pelanggaran besar.Abhi menoleh, kebingungan, dan baru tersadar, menggaruk kepalanya dengan canggung. "Eh, iya ya, salah. Ini kan, masih pagi. Sorry sorry."Keenan mendengus pelan, sorot matanya masih tajam namun tak sepenuhnya marah. “Lo pada ngapain sih ke sini? Gue nggak man

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia

    Jam dinding menunjukkan pukul enam lewat lima belas pagi, dan udara pagi yang segar menyelimuti jalanan yang masih sepi. Di depan sebuah rumah besar dengan halaman luas, Keenan berdiri dengan tenang di samping mobilnya. Bukan rumah Alsha yang ia tuju pagi ini, melainkan Clara. Jari-jarinya lincah mengetik pesan singkat. "Clara, gue di depan rumah lo. Buruan keluar." Sudah sepuluh menit Keenan menunggu, matanya sesekali melirik jam tangan. Ia bukan tipe orang yang suka menunggu terlalu lama. Setelah pesan itu terkirim, ia bersandar pada pintu mobil, matanya menerawang, memikirkan kejadian semalam. Beberapa menit kemudian, pintu rumah itu terbuka. Clara keluar dengan terburu-buru, rambutnya masih sedikit berantakan, meskipun dia berusaha merapikannya dengan tangannya yang gemetar. Ada kebingungan di wajahnya saat ia menghampiri Keenan, yang kini tengah mengamatinya dengan pandangan datar, namun tajam. “Lo ngapain ke sini?” tanya Clara, suaranya sedikit serak, jelas bahwa ia ma

DMCA.com Protection Status