"Kamu akan terlihat sempurna dimata orang yang benar-benar mencintaimu dengan tulus." -Keenan Aksara
.
. .Saat Keenan dan Clara turun dari wahana, angin malam mulai mendingin, mengusir sisa-sisa kehangatan hari itu. Lampu-lampu kota berkedip di kejauhan, tapi bagi Keenan, semuanya terasa buram. Dia melirik jam tangannya, angka delapan malam menari di sana, memaksanya untuk kembali ke realitas.
"Ayo pulang," katanya, suaranya datar, tanpa emosi. Clara hanya mengangguk, bibirnya mengerucut tipis, menyembunyikan kekesalan yang perlahan merayap di hatinya. Sejak tadi, Keenan lebih sibuk dengan pikirannya sendiri, membiarkan Clara bicara sendiri tanpa balasan berarti.
Ketika mereka sampai di depan rumah Keenan, pemandangan itu membuatnya menarik napas dalam. Kedua orang tuanya sudah berdiri di sana, bersama ayah Clara yang tampak begitu ceria. Langit malam menjadi saksi kesunyian yang menggantung di udara, sementara senyum-senyum tersungging di wajah-wajah orang dewasa.
"Gimana? Sudah akrab?" tanya ayah Clara sambil tertawa, memecah keheningan. Suaranya disambut tawa kecil dari orang tua Keenan, namun di antara mereka, hanya Keenan yang tersenyum tipis—senyum yang nyaris tak berarti. Senyum yang jelas-jelas dibuat-buat. Di sebelahnya, Clara terdiam, bibirnya mengerucut kecil, sorot matanya menyiratkan rasa kesal.
Ayah Clara merangkul pundak putrinya dengan lembut. "Clara, ini sudah malam. Kita pulang, ya? Kalau kalian mau ngobrol lagi, tukeran nomor HP saja nanti."
Clara mengangguk pelan, matanya melirik Keenan yang tetap terdiam, dingin dan tak beranjak. Setelah beberapa saat, mereka berpamitan. Suasana terasa semakin dingin saat mobil ayah Clara mulai menjauh, meninggalkan jejak remang lampu di jalan.
Saat pintu rumah terbuka, ibu Keenan lebih dulu masuk, tapi ayahnya, Rama, masih berdiri di beranda. Tatapannya tak pernah lepas dari putranya, seolah mencari sesuatu yang hilang dalam keheningan malam itu. Keenan mendekat, matanya menatap kosong ke depan.
"Papa puas malam ini?" tanyanya pelan, hampir tanpa emosi. Tak menunggu jawaban, Keenan melangkah masuk ke dalam rumah.
Rama hanya diam, melihat punggung putranya yang semakin jauh. Matanya menyipit sedikit, alisnya terangkat dalam kebingungan. Tapi senyum tipis perlahan menghiasi wajahnya, senyum yang menyimpan sejuta tanya. Tanpa suara, ia ikut masuk.
Saat Keenan melangkah masuk ke kamarnya, suasana hening menyambutnya. Matanya segera mencari sosok adik kecilnya yang biasanya selalu ada di sana. Namun, kosong. Tempat tidur rapi, dan tidak ada tanda-tanda kehadiran Kavin.
"Kavin mana, Ma?" tanyanya kepada sang ibu yang masih sibuk di ruang makan, merapikan sisa hidangan dari malam ini, makanan yang disajikan untuk Clara dan ayahnya.
"Udah tidur, tadi dia ketiduran di kamar kamu, jadi Mama pindahin ke kamar Mama," jawab ibunya, suaranya lembut namun terkesan terburu oleh tugas-tugas yang masih tersisa.
Tanpa berkata lagi, Keenan langsung menuju kamar ibunya. Di sana, dia menemukan Kavin, adik kecilnya, tertidur pulas di atas ranjang. Wajah polos itu begitu damai, tidak terpengaruh oleh kesibukan malam di sekitarnya. Kavin memeluk erat ponsel milik Keenan di dadanya, seolah benda itu adalah harta karunnya.
Senyum tipis muncul di wajah Keenan. Ada sesuatu yang hangat mengalir dalam hatinya saat melihat pemandangan itu. Dengan hati-hati, dia meraih ponselnya dari genggaman Kavin, berhati-hati agar tidak mengganggu tidur nyenyak adiknya. Setelah itu, dia membungkuk sedikit dan mengecup lembut kening Kavin.
"Tidur yang nyenyak ya, adik kesayangan Kakak," bisiknya.
Matanya menatap wajah Kavin yang masih terlelap, begitu damai, begitu jauh dari segala hiruk pikuk yang kini merongrong pikiran Keenan. Sejenak, dia menghela napas panjang, merasakan beban yang berat di dadanya sedikit mereda. Setelah beberapa detik yang terasa abadi, dia bangkit perlahan, menutup pintu dengan hati-hati, meninggalkan adiknya dalam mimpi-mimpi yang tenang.
"Mau ke mana lagi?" Suara ayahnya, Rama, terdengar dari ruang tamu. Sorot matanya tajam menatap punggung Keenan yang buru-buru menuju pintu.
"Keluar bentar," jawab Keenan singkat, tanpa menoleh. Suara pintu yang tertutup disusul deru motor yang menggelegar, melesat cepat menembus malam.
Rama hanya menghela napas, lama. Pandangannya kosong menatap pintu yang baru saja ditutup anaknya. "Anak itu... kapan dia bisa berubah?" ucapnya dengan kesal.
"Namanya juga masih anak-anak. Nanti kalau sudah dewasa, pasti berubah." Istrinya, yang baru saja keluar dari dapur, duduk di sebelahnya. Tangannya penuh dengan kehangatan, namun tak pernah cukup untuk mencairkan suasana dingin yang sering menyelimuti rumah itu.
Rama mengangkat kedua alisnya, tak puas dengan jawaban itu. "Anak-anak apanya? Dia bentar lagi udah mau kelas tiga SMA." ucap Rama, ada nada geram dalam suaranya, ketidakpuasan yang terus menggunung.
Istrinya tersenyum kecil, berusaha menyentuh dengan lembut. "Coba kamu nasihatin dia pelan-pelan, pasti bisa, Sayang."
Rama menggerakkan bahunya, tak sabar. "Kenapa jadi aku? Itu kan tugas kamu sebagai ibu!"
"Aku sudah sering nasihatin dia, tapi nggak mempan. Coba kamu yang bicara. Kadang, anak laki-laki lebih dengar kalau ayahnya yang ngomong," ucap istrinya, kali ini suaranya lebih lirih, penuh harap.
Tanpa diduga, Rama membanting remote televisi yang sedari tadi ia pegang. Suara itu menggema di ruang tamu, membuat istrinya tersentak. "Kok jadi nyuruh aku? Aku ini suami kamu!" bentaknya, penuh amarah yang sudah terlalu lama tertahan.
Istrinya mencoba meraih tangannya, mencoba meredakan suasana. "Sayang, bukan gitu maksud aku..." suaranya bergetar, penuh kelembutan yang hanya dipahami oleh hati yang rapuh.
Tapi Rama menepis tangan itu. Dengan kasar, ia bangkit dari tempat duduknya, melangkah dengan langkah berat yang meninggalkan jejak kekecewaan. "Sudahlah, aku mau tidur!" Bentakannya menggantung di udara, dingin, menusuk.
Istrinya hanya bisa menatap punggungnya suaminya. Matanya berkaca-kaca, berusaha memahami mengapa setiap kata yang ia ucapkan selalu salah di hadapan Rama.
Begitulah hari-hari mereka. Di hadapan Rama, semuanya serba salah. Terutama istrinya, yang tak pernah bisa berkata dengan benar di matanya. Keenan pun tumbuh di tengah amarah yang sama, membeku. Jauh dari kasih sayang ayah yang seharusnya melindungi, jauh dari kehangatan yang seharusnya mereka bagi.
Keenan tiba di depan markas, matanya menatap gedung sederhana itu. Cahaya dari lampu neon berwarna hangat menyinari jalanan yang sepi, membuat bayangan samar dari sepeda motornya memanjang di lantai aspal. Dia masuk tanpa suara, langkahnya berat, meskipun tak ada yang berubah dari tempat ini. Teman-temannya sudah berkumpul.
"Panjang umur, baru aja diomongin," Abhi bercanda dengan santai, kedua tangannya sibuk memegang wadah camilan. Tapi Keenan hanya diam. Tanpa sepatah kata pun, ia meraih bola basket yang tergeletak di lantai, seolah menunggu untuk disentuh. Bola itu dilemparnya ke arah ring yang terpasang di dinding, bunyi gesekan bola dengan jaring menggema di ruang yang sunyi.
Satu lemparan masuk, lalu satu lagi, namun setiap kali bola itu melewati ring, tak ada rasa lega yang mengikuti. Seakan-akan setiap lemparan hanya menambah beban di dadanya. Wajahnya tetap kaku, tak menunjukkan ekspresi apa pun, pikirannya terperangkap di dalam ancaman perjodohan yang disampaikan ayahnya. Tekanan yang tak terkatakan menyesakkan ruang antara mereka, mengisi markas dengan keheningan yang tak biasa.
Kafka, Abhi, dan Nevan saling melirik, paham tanpa perlu berbicara. Mereka sudah mengenal Keenan cukup lama untuk tahu bahwa saat dia seperti ini, lebih baik membiarkannya sendiri. Mereka membisu, menunggu badai berlalu, meskipun tak ada yang tahu kapan itu akan terjadi.
Setelah beberapa kali membanting bola ke dalam ring, Keenan akhirnya berhenti. Napasnya terengah, bukan karena kelelahan fisik, melainkan dari perasaan yang tak kunjung lepas dari benaknya. Dia melempar bola sembarangan, membiarkannya menggelinding tanpa arah. Tanpa melihat ke arah teman-temannya, Keenan keluar dari ruangan itu, kembali melaju dengan motornya, seakan angin malam bisa membantunya menghilangkan kekacauan di pikirannya.
Abhi menghela napas panjang, melemparkan pandangannya ke arah pintu yang baru saja ditinggalkan Keenan. “Kenapa lagi, dah, Pak Ketu...” gumamnya, sedikit cemas namun juga lelah, sambil memandang gorengan yang sejak tadi ditinggalkannya. Nafsu makan Abhi hilang sesaat oleh sikap Keenan yang begitu tegang, seakan ada awan gelap yang menutupi mereka malam ini.
Nevan datang menghampiri, mengambil gorengan itu tanpa basa-basi. "Entah," jawabnya sambil mengunyah dengan tenang, tidak terpengaruh oleh suasana yang menggelayut. Abhi melotot ke arahnya, tapi tak ada kemarahan yang benar-benar muncul. Semua tahu, pada akhirnya Keenan akan kembali, mungkin dengan suasana hati yang lebih baik, mungkin juga tidak.
Kafka menghentikan pukulannya di heavy bag yang baru saja dia pasang di pojok markas. Gerakan tangannya terhenti, matanya mengarah ke pintu yang baru saja dilewati Keenan, kini hanya menyisakan keheningan yang menggantung. Keringat masih menetes dari pelipisnya, mengalir ke dagu, tapi pikirannya tak lagi tertuju pada latihan. Sejak kecil, selain basket, Kafka juga menyukai boxing. Bukan untuk menjadi petinju, hanya untuk mengisi kekosongan yang sering kali ia rasakan. Sebuah pelarian, sebuah cara untuk berdiam dalam kesibukan, meski sesungguhnya, jiwanya selalu merindukan keheningan.
Dia melepas kain yang melilit kedua tangannya dengan cekatan, lalu mengambil botol air mineral di samping Abhi. Tanpa sepatah kata, Kafka berjalan keluar, meninggalkan markas dan teman-temannya yang masih memandang heran.
"Lo juga mau kemana, Kaf?" Nevan bertanya, suaranya sedikit penasaran namun tak terlalu berharap jawaban.
"Nyusul Keenan, kalian di sini aja," sahut Kafka singkat, sambil berlari keluar. Setengah botol air diminumnya dengan cepat, lalu sisa air itu disiramkan ke rambutnya, seolah berusaha menghilangkan sisa-sisa keringat yang masih menempel. Angin malam menyentuh kulitnya, membawa sedikit rasa segar yang perlahan melarutkan kelelahan yang dirasakannya.
Di dalam, Abhi menghela napas panjang, matanya menatap camilan yang tergeletak di meja. "Berarti ini semua buat kita, dong," katanya sambil tersenyum tipis, nada suaranya seolah berusaha mencairkan suasana yang sempat tegang.
Nevan mengangguk sambil mengambil gorengan lagi, tangannya bergerak dengan malas, namun matanya tetap tertuju pada layar ponselnya. "Gas dah, habisin," ujarnya santai, sementara tubuhnya semakin tenggelam di sofa yang sudah lelah menopang berat malam.
Sementara itu, Keenan melaju pelan, motornya merayap di malam yang gelap saat dia tiba di depan rumah gadis itu. Pemandangan yang sering ia kunjungi selama tiga bulan terakhir ini tetap sama, tak ada perubahan, hanya kesan yang indah. Dengan penuh kehati-hatian, Keenan memarkirkan motornya agak jauh, berusaha menghindari perhatian yang tidak diinginkan.
Dia turun dari motornya dan mendekat ke pagar rumah, sebuah kebiasaan yang tak pernah berubah sejak awal mula dia sering berkunjung ke tempat ini. Setiap malam, dia melakukan hal yang sama, mengamati dari kejauhan, menikmati ketenangan yang hanya bisa dia rasakan di sini.
Gadis itu, dengan senyum lembut yang tak pernah pudar dari bibirnya, berdiri memandangi langit malam. Rambutnya yang terurai melambai lembut diterpa angin, menciptakan pemandangan yang mampu menyentuh hati setiap yang memandang, meski sederhana namun mampu membuat Keenan terpesona.
"Sempurna," bisik Keenan pada dirinya sendiri. Matanya masih tak bisa lepas dari gadis itu.
Keenan menghela napas panjang. Tiba-tiba ada dorongan dalam dirinya yang semakin menguat. Perasaan yang kian sulit dia pendam.
Seolah langit malam ini pun turut mendukung keputusannya untuk akhirnya meluapkan semua rasa yang selama ini ia sembunyikan.
Keenan berbalik untuk pergi, mencoba menghindari perasaannya yang kini masih takut ia ungkapkan, namun langkahnya terhenti saat melihat Kafka berdiri di hadapannya, menatap Keenan dengan heran sekaligus penasaran.
"Gue kira cuma markas yang lo anggap tempat pelarian. Ternyata ada tempat lain juga,"
BERSAMBUNG
"Ada yang berbeda ketika aku memandangnya, sebuah kedamaian yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata." -Keenan Aksara °°°°° Malam itu begitu cerah, bintang-bintang bertaburan di langit seakan menyaksikan drama kecil yang tak terlihat oleh mata kebanyakan orang. Angin malam berembus lembut, membawa ketenangan yang sayangnya tak dirasakan oleh Keenan saat ini. Dia mendapati dirinya sedikit terkejut ketika tiba-tiba Kafka sudah berada di belakangnya, seolah muncul entah dari mana. Keenan melirik sekilas ke arah Alsha yang masih terhanyut menatap langit, terpukau oleh keindahan bintang-bintang di atas sana. Dia menarik napas panjang, lalu perlahan melangkah, mengisyaratkan Kafka untuk menjauh dari rumah Alsha. "Kita cabut dari sini," ucap Keenan, suaranya datar namun ada sedikit ketegangan yang tersirat. Kafka, yang sebelumnya sempat melirik ke arah Alsha dengan rasa penasaran, mengerutkan kening. "Kenapa harus menjauh dari sesuatu yang bikin kita tenang?" tanyanya dengan nada tak se
"Cinta yang tulus tidak butuh persetujuan orang lain." -Keenan Aksara•••Keenan terus melangkah santai, mengabaikan suara Claudia yang mencoba menarik perhatiannya. Langit cerah di atas sekolah seolah tak terpengaruh oleh ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.“Keenan!” Suara Claudia menggema, namun tetap saja, ia tak menoleh.Abhi yang berada di belakang Keenan, melirik sebentar ke arah Claudia lalu menghampirinya. “Maaf, Kak. Bukannya mau ikut campur, tapi lebih baik Kakak jauhin Keenan. Ini demi kebaikan bersama.”Claudia memandang tajam ke arah Abhi, alisnya berkerut penuh tanya. “Demi kebaikan bersama? Maksud lo apa?”Abhi sempat membuka mulut, ingin menjelaskan, namun sebuah suara lain tiba-tiba menyeruak, menghentikan segalanya."Keenan!"Langkah Keenan langsung terhenti saat suara itu sampai ke telinganya. Seketika suasana berubah, menegangkan namun penuh tanda tanya. Semua mata tertuju pada seorang gadis yang berlari kecil ke arah Keenan. Clara.Keenan melirik sekilas
"Kesedihan adalah sapuan kuas yang menciptakan pola keindahan dalam kanvas hidup kita, mengungkapkan cerita di balik setiap goresan." - Keenan Aksara...Di bawah langit malam yang dipenuhi bintang, sebuah kamar kecil dengan cahaya lembut yang menembus tirai jendela. Di dalam kamar itu, suasana tenang terjaga. Seorang kakak, Keenan Aksara, duduk di sofa dengan adik laki-laki yang berada di pangkuannya. Keenan, seorang pemuda dengan wajah tegas dan tampan, adalah sosok yang tidak bisa diabaikan. Dengan rahang yang terdefinisi jelas dan mata yang penuh semangat, Keenan memancarkan aura karismatik yang membuatnya menjadi salah satu siswa paling populer di SMAN Cendana Jakarta. Namun ketampanan bukan satu-satunya alasan popularitasnya. Keenan dikenal luas karena prestasinya yang menakjubkan di bidang olahraga, khususnya basket. Ia sering kali menjadi pusat perhatian di setiap pertandingan.Ada keunikan yang membentuk sosok Keenan. Dari pihak ayahnya yang berasal dari Rusia, Keenan me
"Rumah bukan hanya tempat kita tinggal, tetapi tempat di mana hati kita merasa tenang dan diterima." -Keenan Aksara...Apartemen itu sunyi, hanya suara kipas angin yang menderu pelan di sudut ruangan. Cahaya remang-remang dari lampu meja mengisi ruang dengan kehangatan yang samar, tapi tidak mampu mengusir seluruh bayang-bayang di dinding. Di tempat tidur yang berantakan, Abhi terbaring lemah, tubuhnya diselimuti perban di beberapa bagian. Wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa pertempuran yang baru saja dilaluinya—lebam, luka, dan rasa sakit yang belum benar-benar hilang. Namun, meskipun terlihat babak belur, kondisinya sudah jauh lebih baik.Varelino Abhisar, yang lebih akrab dipanggil Abhi, sebenarnya adalah sosok yang jauh dari kesan lemah. Di sekolah, dia dikenal sebagai pria yang humoris, selalu bisa mencairkan suasana dengan lelucon dan candaannya yang spontan. Mulutnya jarang tertutup—selalu saja ada hal yang ingin dia katakan, dari hal-hal serius sampai hal-hal remeh yang ma
"Ada kalanya, cinta tak berteriak lantang. Ia bersembunyi dalam diam, mengatur segala langkah tanpa ingin dikenal, hanya berharap sang pujaan tetap tersenyum di kejauhan." -Keenan Aksara . . . Keenan menghentikan motornya di tepi jalan, dekat sebuah rumah bercat biru. Bukan rumahnya, tapi rumah seorang gadis yang, entah bagaimana, kini mampu menggetarkan hatinya Gerbang rumah itu tertutup rapat, namun di dalam sana, di tempat yang tinggi, tempat di mana gadis itu sering menghabiskan waktunya, berdiri di bawah naungan malam. Seperti biasa, Keenan melihatnya lagi, menatap langit malam dengan tenang. Meskipun jarak memisahkan mereka, cahaya rembulan cukup untuk menyorot kecantikan gadis itu, membuatnya terlihat begitu memukau. Alsha. Alshameyzea Afsheena. Atau Sheena, begitu ia sering memanggil gadis bermata rembulan itu. Tanpa pernah gagal, setiap malam, Keenan selalu menyempatkan diri untuk menyaksikan Alsha dari kejauhan. Ada sesuatu dalam dirinya yang masih belum sanggu
"Di balik diamnya, ada perasaan yang tak terucap, menunggu waktu yang tepat untuk terungkap." -Keenan Aksara °°°°° Di balik semak-semak yang rindang di pinggir lapangan, Keenan mengintip, matanya tak lepas dari sosok Kafka yang melangkah maju, berdiri tegap di depan Alsha. Dalam sekejap, entah dari mana datangnya, Kafka sudah menggenggam botol plastik dan tanpa ragu, menyiramkan isinya ke arah Claudia. Butiran air terbang di udara, menimpa Claudia yang langsung terdiam, terkejut oleh tindakan Kafka. Keenan ikut terhenyak—ini bukan Kafka yang dia kenal. Kafka biasanya tenang, pendiam, dan tak mudah terpancing. Keenan hanya memintanya menegur Claudia, bukan melakukan hal segila ini. Dari balik persembunyiannya, Keenan menyaksikan semuanya dengan tatapan tajam. Sesuatu dalam dirinya bergejolak, penasaran sekaligus sedikit cemas. Dan sebelum dia sempat bertindak, Davin muncul seperti badai yang tak terduga. Tanpa peringatan, tinju Davin melayang cepat, mengenai wajah Kafka. Refleks,
"Ada hal-hal yang lebih indah dari senja. Senyummu, dan perasaan yang terukir dalam setiap detik saat bersamamu." -Keenan Aksara°°°°°Ketiga teman Keenan berdiri di bawah semburat jingga yang perlahan memenuhi langit sore. Parkiran sekolah mulai lengang, hanya tersisa beberapa siswa yang masih berkumpul. Di depan gerbang, Keenan menghentikan motornya tepat di depan Alsha dan Aline. Dengan gerakan yang anggun namun tanpa banyak usaha, ia melepas helm full-face-nya. Rambutnya sedikit berantakan, tapi justru menambah kesan karismatik yang alami."Oalah, ke neng Alsha toh, kirain mau kemana," ujar Abhi, suaranya terdengar iseng, sementara dia mengambil helm dari motornya dan tersenyum kecil.Nevan memutar matanya dengan malas, "Yuk, susul Pak Ketu," katanya dengan sedikit cengengesan sambil menepuk-nepuk jok motornya, seolah siap berangkat kapan saja."Tunggu dulu," Nevan menyahut dengan nada setengah jengkel. "Enak aja nyuruh-nyuruh, Lo kira gue anak buah lo?"Kafka, duduk di motornya,
"Meski berdiri kokoh di hadapan dunia, ada hati yang tersesat, merindukan cinta yang pernah hilang. Karena rumah sejati bukanlah tempat, melainkan di mana kasih sayang berdiam." -Keenan Aksara...Keenan tersentak pelan saat suara lembut Alsha menyapanya, membuyarkan pikirannya yang tengah melayang jauh. "Keenan? Kamu ngelamun?"Ia segera menggeleng pelan, senyum yang sejak tadi terukir di wajahnya tak beranjak sedikit pun. Keenan menarik napas dalam, kembali menatap wajah Alsha dengan pandangan yang kini lebih sadar. Wajah gadis itu terlihat tenang dalam terang sore yang mulai meredup, sinar matahari yang condong menyinari rambut Alsha dan memberikan kesan lembut di sekelilingnya, membuat hati Keenan terasa hangat. Namun, sebelum ia sempat merespon lebih jauh, Kafka datang dengan langkah ringan dan santai, seperti biasanya. Tanpa banyak bicara, Kafka menyodorkan ponselnya pada Keenan.Keenan mengambil ponsel itu tanpa ragu, matanya langsung tertuju pada pesan yang terpampang di lay