Home / Young Adult / About Keenan / Bab 8. Waktu yang Tepat

Share

Bab 8. Waktu yang Tepat

Author: litrcse
last update Last Updated: 2024-09-14 12:06:10

"Menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan cinta bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda betapa berartinya perasaan itu bagi kita." -Keenan Aksara

.

.

.

Suasana pasar malam malam itu menggeliat hidup. Lampu-lampu kelap-kelip berwarna-warni menciptakan lautan cahaya, sementara tawa anak-anak dan teriakan dari wahana yang berputar membaur dengan musik dangdut yang mengalun dari pengeras suara tua. Riuh rendah manusia yang berdesakan di antara lapak-lapak penjaja mainan dan jajanan tak sedikit pun memudarkan atmosfer gembira, seolah-olah tempat itu menyatu dengan keajaiban kecil kota.

Namun, di antara keramaian itu, ada ruang hening yang memisahkan tiga sosok: Keenan, Clara, dan Claudia. Keheningan di antara mereka terasa tegang, kontras dengan tawa yang berserakan di udara. Mata Claudia yang tajam dan penuh tanya memaku pandangannya ke arah Keenan, sementara Keenan berdiri tegak di samping Clara, wajahnya tampak sedikit kaku namun tetap tenang.

Keenan bergerak dengan cepat, tanpa peringatan menggenggam tangan Clara. Sentuhan tiba-tiba itu membuat tubuh Clara sedikit tersentak, tapi bibirnya menahan senyum kecil yang mulai merekah. Dia bisa merasakan degup jantungnya yang mendadak tak beraturan.

"Kita pacaran," ucap Keenan dengan suara rendah namun mantap, "jadi wajar kalau berduaan."

Kata-kata itu, meski terdengar santai, memiliki beban yang terasa kuat di udara. Clara melirik Keenan dari samping, jelas terkejut, tapi ada kilatan kegembiraan yang tersirat di matanya. Benarkah dia baru saja mengatakan itu? Dalam hatinya, dia berusaha mengatur luapan perasaan yang mendadak meletup-letup.

Claudia, dengan raut wajah yang kian mengerut, melontarkan tanya tanpa bisa menyembunyikan nada kesal di suaranya, "Sejak kapan?"

Keenan menghela napas pendek, lalu dengan sebuah anggukan kecil, dia menjawabnya, alisnya terangkat dengan sikap tak acuh yang membuat Clara semakin terpesona, "Harus banget lo tau kapan tanggal jadian kita?"

Nada bicaranya terdengar begitu santai, namun tetap tajam. Seolah dia tidak mau memberi Claudia sedikitpun celah untuk terus mengusiknya. Claudia mendengus, raut wajahnya semakin kesal, sebelum akhirnya dia berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan mereka di tengah hiruk-pikuk malam itu.

Clara menatap punggung Claudia yang semakin menjauh. Ada semacam kelegaan yang menyinggahi hatinya, tapi juga rasa penasaran yang menggelitik. Keenan... Kenapa dia melakukan itu? Perasaannya bercampur aduk antara senang dan bingung. Namun, sebelum Clara sempat berpikir lebih jauh, Keenan melepas genggaman tangannya.

"Ngapain lo bohong ke dia?" tanya Clara pelan, suaranya bergetar sedikit, mencoba memahami maksud dari tindakan Keenan tadi.

Keenan menatapnya sejenak, lalu menghela napas, "Sorry, gue tadi cuma gak suka dikejar-kejar terus sama senior itu." Ucapannya ringan, namun terdengar sedikit jengah, seolah masalah itu sudah membuatnya lelah.

Clara mengangguk pelan, meski dalam pikirannya kini berkecamuk berbagai pertanyaan. 'Ternyata anak ini populer juga di SMANDA,' batinnya. 'Sampai senior secantik itu ngejar-ngejar dia.' Ada rasa penasaran yang mendalam, perasaan yang muncul tiba-tiba tanpa disadarinya.

Keenan menoleh kembali, sorot matanya lembut namun tetap menyimpan jarak. "Lo masih betah di sini?"

Clara tersadar dari lamunannya. "Eh, iya. Kita belum ngapa-ngapain dari tadi, cuma keliling doang," jawabnya, meski dia tahu dalam hatinya, tempat ini bukan yang paling nyaman. Tapi, ada sesuatu tentang Keenan yang membuatnya ingin tetap tinggal. Bersamanya. Mencoba lebih dekat, mengenal sosok yang selama ini terasa jauh.

Clara menunjuk ke arah stand yang ramai. "Kita ke sana yuk! Kayaknya menarik."

Tanpa banyak kata, Keenan mengangguk. Mereka berjalan bersama, langkah mereka teriring oleh riuh rendah suara pasar malam. Ketika mereka tiba, seorang penjaga stand berseru semangat, "Ayo, siapa yang bisa menangin ini? Hadiahnya boneka dan buku best-seller!"

Clara menatap boneka besar yang dipajang. "Keenan, Lo bisa kan menangin itu buat gue?" Pintanya, setengah bercanda namun dalam hatinya berharap.

Keenan, tanpa bicara panjang, melangkah maju. "Gue mau coba," ucapnya singkat.

Penjaga stand itu tersenyum tipis, sedikit meremehkan. "Silakan, mas. Susah, lho. Daritadi belum ada yang berhasil."

Keenan diam, matanya fokus. Dia memegang tiga bola kecil di tangannya, matanya mengamati kaleng di kejauhan. Clara berdiri di belakangnya, penuh harap, "Lo pasti bisa!" serunya, senyum cerah menghiasi wajahnya.

Penjaga stand memberi aba-aba, "Satu... Dua... Tiga!"

Keenan, dengan gerakan cepat dan tepat, melempar bola-bola itu. Ketiganya masuk sempurna ke dalam kaleng. Orang-orang di sekitar bertepuk tangan, bersorak. Clara hampir melompat kegirangan, hatinya meledak dengan kebahagiaan kecil yang tulus.

"Mas, keren banget! Gak nyangka bisa berhasil," ucap penjaga stand, terkesan.

Keenan hanya tersenyum samar. Pandangannya beralih ke Clara. "Hadiahnya kasihkan ke dia," katanya lembut, suaranya datar tapi penuh makna.

Penjaga stand itu menyerahkan boneka besar berwarna pink dan buku bersampul biru muda. Clara menerima dengan senyum lebar, "Makasih!"

Clara menatap Keenan, senyum masih di wajahnya. "Nih, gue ambil bonekanya aja," katanya, sambil menyerahkan buku itu padanya.

Keenan mengangkat alis, sedikit heran, tapi menerima buku itu tanpa banyak berkata, membiarkan kehangatan kecil melintasi hatinya.

Clara melihat ke sekeliling, pandangannya tertuju pada bianglala yang berputar lambat di kejauhan. "Eh, naik itu yuk," ajaknya ringan, matanya berkilat.

Keenan menarik napas panjang, lalu mengangguk. Mereka melangkah ke wahana itu bersama, tanpa banyak kata.

"Mas sama mbaknya mau naik? Dua puluh ribu per orang," kata petugas di depan bianglala.

Clara melirik Keenan, yang tanpa bicara merogoh saku jaket jeans-nya dan mengeluarkan selembar uang seratus ribu. Dia menyerahkannya tanpa ragu.

"Ini kembalian, Mas," ucap petugas itu, tetapi Keenan menggeleng pelan.

"Enggak usah, ambil aja sisanya," jawabnya sederhana.

Petugas itu terkejut, tapi senyumnya mengembang. "Wah, seriusan? Makasih, Mas. Semoga kalian berdua langgeng, ya."

Keenan tak banyak merespons, hanya sedikit mengerutkan kening sebelum beralih menatap Clara. Gadis itu tampak sibuk mengamati sesuatu yang baru saja jatuh dari jaket Keenan.

Clara mendekat, matanya tertuju pada benda kecil itu. "Kalung ini milik siapa?" tanyanya pelan, suaranya terdengar ragu, hampir seperti bisikan.

Keenan melirik sekilas. "Oh, itu. Gue nemu di sekolah tadi," jawabnya singkat, nada suaranya tak berubah, seolah itu bukan hal yang penting.

Jari-jemari Clara memainkan bandul kalung itu, matanya mengamati setiap detail. "Ini huruf C, kan, ya? C untuk Clara. Pas banget." Ia tertawa kecil, meski dalam hati tahu, itu bukan huruf C. Bandul kalung itu sebenarnya bulan sabit, ditemani sebuah liontin kecil berbentuk bintang yang berkilauan di bawah cahaya lampu pasar malam. "Dan ini kayaknya emas, lho," lanjutnya, suaranya kini lebih lembut, seperti terpesona.

Keenan hanya memperhatikan sebentar. "Lo suka? Ambil aja," ucapnya, begitu saja, tanpa berpikir dua kali.

Clara terdiam, matanya membelalak sedikit, tak percaya. "Serius?" tanyanya pelan, seolah memastikan dirinya tak salah dengar.

Keenan mengangguk, tak ada yang berubah dari raut wajahnya. Pandangannya lalu beralih ke bianglala yang berputar pelan di kejauhan, siap untuk mereka naiki. Tanpa banyak bicara, mereka melangkah bersama menuju wahana itu, diiringi suasana malam yang hangat dan sunyi.

Setelah mereka duduk di kursi bianglala, dunia terasa melambat. Angin malam menyentuh lembut kulit mereka, sementara lampu-lampu pasar malam mulai tampak kecil dari ketinggian.

Sementara itu, di sebuah rumah bercat biru muda, seorang gadis mondar-mandir di kamarnya, gelisah. Sejak tadi sore, ia tak henti-hentinya mencari sesuatu yang hilang. Langkah-langkahnya semakin cepat seiring waktu yang berlalu, sementara rasa khawatir mulai merayapi hatinya.

"Gimana, Al? Udah ketemu?" suara Aline, teman baiknya, terdengar dari sudut ruangan, mencoba menenangkan.

Gadis itu menggeleng pelan. Sejak pulang dari toko buku, dia langsung mencari kalung kesayangannya, tapi hasilnya nihil. Semua sudut kamar, setiap laci dan lemari, sudah ia bongkar. Namun, kalung itu seolah menghilang tanpa jejak.

"Duh, Aline... kalungku jatuh di mana, ya?" ucap gadis itu sambil terduduk lemas di kursi panjang dekat jendela, tatapannya kosong.

"Coba diingat-ingat lagi, Al. Terakhir kali kamu pakai kalung itu di mana?" tanya Aline lembut, berusaha memberi harapan.

Gadis itu menghela napas panjang, frustrasi. "Aku nggak inget sama sekali, Lin. Tapi kamu yakin tadi waktu penjas, kamu masih lihat aku pakai kalung itu?" tanyanya, berusaha mengais-ngais memori yang terasa buram.

Aline mengangguk, yakin. "Iya, aku masih lihat kalung itu ada di lehermu," ucapnya.

Rasa cemas di hati gadis itu semakin dalam. Dia tak bisa mengingat kejadian selama pelajaran olahraga tadi, seolah semuanya kabur begitu saja.

"Tapi kamu udah coba cari di lapangan tadi?" tanya Aline lagi, suaranya pelan.

Gadis itu menggeleng pelan, tanda tak ada kesempatan untuk mencarinya saat itu. Aline menghela napas panjang, mengingat kembali kejadian tak terduga yang mereka alami tadi.

"Ya sudah, besok kita cari lagi di lapangan, ya," ucap Aline menenangkan, matanya penuh keyakinan.

"Aku bantu cari," tambahnya sambil tersenyum lembut, mendekat dan memegang pundak gadis itu dengan penuh dukungan.

Gadis itu mengangguk pelan, meski hatinya masih berat. Bersama Aline, ia mulai membereskan barang-barang yang sempat ia bongkar, berusaha menata kembali kekacauan kecil di kamarnya.

Di sisi lain, Keenan sama sekali tidak sadar. Kalung itu, benda kecil yang dianggapnya sepele, sebenarnya adalah milik seseorang yang diam-diam dia cintai. Tanpa berpikir panjang, Keenan memberikannya kepada orang lain, tidak tahu bahwa keputusan sederhana itu akan mengguncang hidupnya suatu hari nanti.

Sering kali, hal-hal kecil membawa dampak yang besar, tanpa kita sadari, bukan?

"Lo suka baca buku?" tanya Clara, mencoba memecah kesunyian di antara mereka. Ia memperhatikan bagaimana sejak tadi Keenan lebih tertarik pada buku yang dipegangnya daripada pada dirinya, padahal mereka tengah menikmati wahana bianglala bersama.

"Seperti yang lo liat," sahut Keenan, tanpa mengalihkan pandangannya dari buku itu. Matanya terpaku pada halaman demi halaman, tenggelam dalam dunia kata-kata yang tak terlihat oleh Clara.

Clara tersenyum tipis, sedikit geli. "Gak nyangka, ternyata cowok sekeren lo juga suka baca." Meskipun ini bukan pertama kalinya ia menemukan cowok keren yang hobi membaca—di kelasnya, cowok yang ia taksir juga pecinta buku—ucapan itu hanya basa-basi. Ia hanya ingin menarik perhatian Keenan, berharap ada percakapan yang lebih mendalam.

Namun, Keenan tak menghiraukan perkataan Clara. Jari-jarinya dengan lincah membolak-balik halaman buku yang berhasil ia dapatkan dari permainan di pasar malam tadi. Pikirannya sibuk mencerna setiap kata, setiap kalimat.

'Buku ini...' batin Keenan. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya lebih dari sekadar cerita. Ia membalikkan cover buku itu, matanya menelusuri sinopsis singkat yang tertera di belakang. Buku itu mengisahkan tentang perasaan seorang laki-laki terhadap gadis yang telah lama ia kagumi—gadis yang selalu ada di sisinya, tapi dia belum cukup berani untuk menyampaikan isi hatinya. Melalui buku itu, si laki-laki berharap bisa memberi tanda, sebuah isyarat, agar gadis itu sadar akan perasaannya yang mendalam.

Keenan tersenyum tipis, namun bukan untuk Clara.

'Buku ini cocok buat Sheena,'
 batinnya. Ia tahu, buku ini akan menjadi jembatan yang membantunya menyampaikan perasaan yang telah lama ia simpan. Tanpa perlu banyak kata, tanpa harus berhadapan langsung dengan kegugupan yang kerap menghantuinya tiap kali melihat gadis yang ia dambakan.

Clara tetap menunggu jawaban atau setidaknya perhatian dari Keenan, tapi malam itu, pikiran Keenan berada di tempat lain—pada seseorang yang bukan Clara.

BERSAMBUNG

Related chapters

  • About Keenan   Bab 9. Sempurna

    "Kamu akan terlihat sempurna dimata orang yang benar-benar mencintaimu dengan tulus." -Keenan Aksara...Saat Keenan dan Clara turun dari wahana, angin malam mulai mendingin, mengusir sisa-sisa kehangatan hari itu. Lampu-lampu kota berkedip di kejauhan, tapi bagi Keenan, semuanya terasa buram. Dia melirik jam tangannya, angka delapan malam menari di sana, memaksanya untuk kembali ke realitas."Ayo pulang," katanya, suaranya datar, tanpa emosi. Clara hanya mengangguk, bibirnya mengerucut tipis, menyembunyikan kekesalan yang perlahan merayap di hatinya. Sejak tadi, Keenan lebih sibuk dengan pikirannya sendiri, membiarkan Clara bicara sendiri tanpa balasan berarti.Ketika mereka sampai di depan rumah Keenan, pemandangan itu membuatnya menarik napas dalam. Kedua orang tuanya sudah berdiri di sana, bersama ayah Clara yang tampak begitu ceria. Langit malam menjadi saksi kesunyian yang menggantung di udara, sementara senyum-senyum tersungging di wajah-wajah orang dewasa."Gimana? Sudah akr

    Last Updated : 2024-09-15
  • About Keenan   Bab 10. Mengamati

    "Ada yang berbeda ketika aku memandangnya, sebuah kedamaian yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata." -Keenan Aksara °°°°° Malam itu begitu cerah, bintang-bintang bertaburan di langit seakan menyaksikan drama kecil yang tak terlihat oleh mata kebanyakan orang. Angin malam berembus lembut, membawa ketenangan yang sayangnya tak dirasakan oleh Keenan saat ini. Dia mendapati dirinya sedikit terkejut ketika tiba-tiba Kafka sudah berada di belakangnya, seolah muncul entah dari mana. Keenan melirik sekilas ke arah Alsha yang masih terhanyut menatap langit, terpukau oleh keindahan bintang-bintang di atas sana. Dia menarik napas panjang, lalu perlahan melangkah, mengisyaratkan Kafka untuk menjauh dari rumah Alsha. "Kita cabut dari sini," ucap Keenan, suaranya datar namun ada sedikit ketegangan yang tersirat. Kafka, yang sebelumnya sempat melirik ke arah Alsha dengan rasa penasaran, mengerutkan kening. "Kenapa harus menjauh dari sesuatu yang bikin kita tenang?" tanyanya dengan nada tak se

    Last Updated : 2024-09-16
  • About Keenan   Bab 11. Satu Pilihan

    "Cinta yang tulus tidak butuh persetujuan orang lain." -Keenan Aksara ••• Keenan terus melangkah santai, mengabaikan suara Claudia yang mencoba menarik perhatiannya. Langit cerah di atas sekolah seolah tak terpengaruh oleh ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya. “Keenan!” Suara Claudia menggema, namun tetap saja, ia tak menoleh. Abhi yang berada di belakang Keenan, melirik sebentar ke arah Claudia lalu menghampirinya. “Maaf, Kak. Bukannya mau ikut campur, tapi lebih baik Kakak jauhin Keenan. Ini demi kebaikan bersama.” Claudia memandang tajam ke arah Abhi, alisnya berkerut penuh tanya. “Demi kebaikan bersama? Maksud lo apa?” Abhi sempat membuka mulut, ingin menjelaskan, namun sebuah suara lain tiba-tiba menyeruak, menghentikan segalanya. "Keenan!" Langkah Keenan langsung terhenti saat suara itu sampai ke telinganya. Seketika suasana berubah, menegangkan namun penuh tanda tanya. Semua mata tertuju pada seorang gadis yang berlari kecil ke arah Keenan. Clara. Keenan

    Last Updated : 2024-09-18
  • About Keenan   Bab 12. Ketika Luka Menuntut Balas

    "Tindakanmu hari ini bisa menjadi racun bagi hati yang kau cintai esok hari." ••• Kafka tidak banyak bicara. Begitu melihat Keenan keluar dari kantin, dia langsung melangkah, tenang tapi dengan tekad yang sudah bulat. Di tengah pilihan sulit yang sering kita hadapi, penting untuk mengingat bahwa setiap langkah yang kita ambil bisa membentuk masa depan kita. Terkadang, kita perlu berani melangkah meski jalan yang diambil tidak pasti. "Eh, mau ke mana si burung kakap?" Abhi berteriak dari belakang, nada suaranya khas, selalu santai. "Jadi nggak nih kita ditraktir?" sahut Nevan, sedikit kesal tapi tak benar-benar serius. Kafka berhenti sejenak, menoleh dengan perlahan. Tatapannya tajam, seperti sedang memperingatkan. Mata itu tertuju pada Abhi yang baru saja memanggilnya dengan nama seenaknya. "Lo pilih jajan atau Keenan?" Kafka berkata datar, tanpa memberi ruang untuk bantahan. Tanpa menunggu jawaban, dia kembali melangkah. Abhi menghela napas, melirik Nevan, "Berat, nih."

    Last Updated : 2024-09-23
  • About Keenan   Bab 12. Ketika Luka Menuntut Balas (Part 2)

    Davin melangkah dengan cepat ke arah Claudia, matanya tak lepas dari mereka berdua, penuh pertanyaan, penuh rasa yang tertahan. "Ngapain kalian pelukan di tengah lapangan? Gak malu diliatin banyak orang?" tanyanya dengan suara rendah tapi setiap kata mengandung teguran yang dalam. Claudia menegakkan tubuhnya, meski jantungnya berdebar keras. "Enggak! Gue gak malu. Kenapa sih lo ikut campur? Ini bukan urusan lo!" ucapnya dengan nada yang bergetar, meski dia berusaha keras tampak kuat. Davin menatapnya dalam-dalam, matanya berbicara lebih banyak dari kata-katanya. “Ini jelas urusan gue. Karena gue suka sama lo!” Kata-kata itu jatuh seperti hujan yang tiba-tiba, dingin dan tak terduga. Claudia membeku, menatap Davin dengan mata yang kini mulai memudar. Selama ini, dia tak pernah menyadari bahwa di balik sikap Davin yang selalu tenang, ada perasaan yang disimpannya begitu lama. Keenan, yang kini hanya menjadi saksi dari semua ini, diam saja. Hatinya tak tersentuh oleh drama yang

    Last Updated : 2024-09-25
  • About Keenan   Bab 13. Di Ujung Lorong

    "Setiap tatapan bisa menyimpan ribuan rasa."•••Clara membanting bukunya di atas bangku dengan keras, menciptakan bunyi nyaring yang memecah keheningan kelas. Suara itu memantul di dinding-dinding, membuat Elysia yang sedang sibuk mencoret-coret catatan kecil di hadapannya tersentak kaget. Matanya yang semula terfokus pada pena di tangannya langsung menatap Clara dengan bingung."Lo kenapa sih? Baru dateng udah ngamuk-ngamuk," ujar Elysia, sedikit berbisik, khawatir kalau suara mereka menarik perhatian anak-anak lain di kelas. Elysia Tamara, dengan rambut panjang terurai dan gaya modisnya yang khas, selalu tampak serasi duduk di samping Clara. Mereka seperti cerminan satu sama lain, dengan pakaian yang selalu up-to-date dan sepatu yang baru dibeli beberapa hari sebelumnya. Dua gadis yang selalu jadi pusat perhatian di manapun mereka berada.Clara mendengus sambil melipat tangan di depan dadanya. Wajahnya merah, bukan karena malu, tapi lebih karena amarah yang perlahan memenuhi pikir

    Last Updated : 2024-09-29
  • About Keenan   Bab 13. Di Ujung Lorong (Part 2)

    "Coba jelasin ke gue," Claudia akhirnya berbicara lagi, kali ini lebih pelan namun penuh tuntutan. "Kenapa lo bisa pacaran sama Keenan?"Clara menatap Claudia dengan malas. Dadanya masih terasa sesak oleh rasa frustrasi sebelumnya, tapi sekarang ia harus berhadapan dengan sesuatu yang lain. "Kita gak pacaran," jawab Clara datar, matanya lurus ke depan. Jawaban itu membuat Claudia menoleh cepat, menatap Clara dengan mata yang sedikit menyipit."Apa?" Claudia mengerutkan kening, jelas tak puas dengan jawaban Clara. "Jelas-jelas Keenan yang bilang kalau kalian pacaran. Lo bohong?"Clara mendengus. Tentu saja, Keenan. Firasatnya tadi benar, ini semua hanya soal cowok yang satu itu. "Dia yang bohong, Kak. Gue gak ada perasaan apa-apa ke dia," katanya dengan nada tegas. Suaranya tak menunjukkan keraguan sedikit pun, meskipun di dalam hatinya, Clara tahu masalah ini belum selesai.Claudia terdiam, mencoba mencerna informasi itu. Kebingungan tampak di waj

    Last Updated : 2024-09-29
  • About Keenan   Bab 14. Di Antara Halaman dan Harapan

    KRING! KRING! KRING!Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing. Ingat kata bapak ibu guru hari ini, bahwa esok adalah hari baru dengan kesempatan yang lebih besar. Belajar bukan hanya tentang hari ini, tapi tentang membangun masa depan yang lebih baik. Sampai jumpa esok hari dengan semangat yang baru. Jangan lupa tersenyum hari ini kepada dia yang berharga bagimu.TING TING TING... alunan merdu bel sekolah perlahan mereda.Bel pulang sekolah bergema lembut di seluruh penjuru ruangan, seolah mengakhiri hari yang penuh dengan keheningan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang merasakannya. Keenan dan teman-temannya melangkah mantap menuju bangku Alsha, di mana dia menunggu dengan sabar. Hari ini, ada janji yang tak sabar ingin mereka tepati.“Sheena, jadi kan kita ke toko buku?” tanya Keenan, suaranya lembut namun penuh dengan kehangatan yang tersembunyi di balik sorot matanya.Alsha mengangguk, senyum tipisnya mengembang, seakan hany

    Last Updated : 2024-09-30

Latest chapter

  • About Keenan   BAB 23. Badai yang Terkendali

    Ketika bel istirahat berdering, suara riuh siswa yang berlomba-lomba meninggalkan kelas terdengar menggema. Namun, di salah satu bangku, Keenan tetap duduk diam, tak beranjak. Tatapan matanya terpaku pada Alsha, mengamatinya dalam diam, seolah setiap gerakan gadis itu adalah misteri yang tak ingin ia lepaskan begitu saja."Ayo, Al, ke kantin," suara Aline terdengar, lembut, penuh semangat, ia menggenggam tangan Alsha, mengajak sahabatnya pergi. Alsha sempat melirik ke arah Keenan, namun cowok itu segera mengalihkan pandangan, menyembunyikan ekspresi di wajahnya yang sulit diartikan. "Al!" panggil Aline lagi, kali ini sedikit lebih mendesak. Akhirnya, Alsha mengangguk kecil, menerima ajakan Aline, dan mereka pun akhirnya melangkah keluar bersama.Keenan hanya bisa memandang punggung gadis itu yang semakin menjauh, menyisakan jejak perasaan yang tak terucap. Tak lama, tiga sosok temannya muncul, memperhatikan wajah ketua mereka yang tampak menyiratkan amarah yang sulit ia sembunyikan.

  • About Keenan   Bab 22. Penakluk Hati Keenan (Part 2)

    Setelah Athala menghilang dari pandangan, suasana kembali tenang. Mereka semua duduk kembali, meneruskan obrolan yang seakan tak terganggu oleh apa pun yang baru saja terjadi.Keenan menatap Abhi dengan tatapan tajam, seolah mengingat sesuatu yang tertunda. "Lo tadi mau ngomong apa?" tanya Keenan. Dia pergi ke markas, berharap mendengar kabar soal Alsha, namun sepertinya Abhi masih belum memberi informasi yang dicari. Abhi menggaruk kepala yang tak gatal, matanya sedikit menghindar. "E-eh," jawabnya ragu, suara serak yang keluar dari mulutnya menunjukkan dia sedang kebingungan. "Sorry, Pak Ketu, gue lupa mau ngomong apa tadi," lanjutnya, jelas merasa kikuk karena tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan. Keenan mendengus pelan, ekspresinya datar, namun gerakannya cepat. Tanpa peringatan, ia merampas snack dari tangan Abhi, menikmati keripik itu dengan lahap."Eh, Pak Ketu," ujar Abhi terkejut melihat tingkah Keenan yang tiba-tiba. Keenan hanya melotot ke arah Abhi, matanya menyip

  • About Keenan   Bab 22. Penakluk Hati Keenan

    Keenan dan Athala tiba di markas. Malam itu sunyi, tapi suasana langsung berubah begitu Abhi dan Nevan melihat mobil putih milik Athala memasuki halaman. Teman-teman Keenan, yang sedang asyik bercanda, langsung bergegas berdiri. Mereka saling bertugas pandang dengan senyum kecil yang penuh arti. Bagi mereka, Athala bukan sekadar kakak bagi Keenan, tapi juga sosok kakak yang selalu hadir untuk mereka semua.Abhi yang langsung menyambut Athala dengan lambaian tangan. "Hey, Bang Athala! Tumben nongol malam-malam gini! Mau gabung sama kita?"Athala turun dari mobil dengan langkah tenang, melemparkan senyum tipis pada mereka. "Lagi kosong aja," jawabnya sambil menepuk bahu Abhi. "Gue kangen ngeliat kalian semua. Udah lama, kan, nggak ngobrol bareng?""Bukan sekadar lama, Bang! Kita udah hampir lupa kapan terakhir kali Abang nongkrong di sini," canda Nevan sambil tertawa.Athala terkekeh pelan, menatap mereka satu per satu. Rasanya hangat, kembali berada di tengah-tengah mereka. Dia tahu, d

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 6)

    Keenan melajukan motornya, membelah jalanan malam yang sepi dengan kecepatan yang menggila. Pikiran-pikirannya berserakan, berkelindan dengan bayangan wajah ibunya yang tulus, penuh ketidakmengertian, dan ayahnya yang terbungkus kepalsuan dan dusta. Kekecewaan semakin membakar dadanya, membuat tangannya refleks memutar gas lebih kencang, seolah berharap kecepatan bisa menghapus segalanya.Di tengah kesibukannya melawan pikirannya, tiba-tiba, dari kejauhan, segerombolan orang berdiri menghadang di tengah jalan. Davin dan teman-temannya, berdiri dalam bayang malam yang samar, seolah sudah menunggu kedatangannya. Keenan ngerem mendadak, membuat roda motornya berdecit keras, meninggalkan bekas yang panjang di aspal. Matanya menatap tajam ke arah mereka, tanpa rasa takut sedikit pun. Tanpa ragu, ia turun dari motor dan berjalan mendekat, tatapannya penuh kemarahan yang tersimpan.Davin tersenyum licik, wajahnya tampak puas melihat Keenan mendekat. "Wah, lihat siapa yang muncul, guys," ucapn

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 5)

    Keenan tetap diam, namun tatapannya tidak berubah, tajam dan penuh kekecewaan. Ini bukan kali pertama ia merasakan ancaman dari sang ayah, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Rasa takut yang dulu menghantuinya perlahan tergantikan oleh keberanian untuk melawan.Ayahnya melangkah maju, mendekati Keenan hingga jarak mereka hanya beberapa sentimeter. "Ingat ini baik-baik, Keenan. Kamu cuma anak kecil yang nggak tahu apa-apa tentang hidup. Kalau kamu masih berani buka mulut soal ini ke Mama, atau ke siapa pun, Papa akan pastikan hidupmu nggak akan nyaman di rumah ini." ucapnya dengan suara yang begitu rendah, namun jelas mengandung ancaman yang serius.Keenan menahan napas, merasakan amarahnya semakin membara. "Silahkan, Pa. Kalau itu yang Papa mau. Tapi itu nggak akan mengubah fakta kalau Papa salah, kalau Papa sudah menghancurkan kepercayaan orang-orang yang sayang sama Papa."Mata ayahnya semakin menyipit, napasnya terengah-engah seolah sedang menahan diri agar tidak meledak lebih

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 4)

    Suasana rumah begitu hening saat malam telah sepenuhnya turun, hanya suara napas lembut Kavin yang terlelap di tempat tidur Keenan yang mengisi keheningan. Keenan menghela napas, menyelimutkan kain lembut hingga menutupi bahu kecil adiknya, lalu melangkah pelan-pelan keluar dari kamar, bersiap menuju markas sesuai janjinya dengan Abhi. Tapi ketika dia sampai di pintu depan, langkahnya terhenti.Ayahnya baru saja pulang, berdiri di ruang tamu dengan tubuh yang tampak kelelahan. Setelan kerjanya masih rapi, namun leher kemejanya terlihat sedikit berantakan, dan mata Keenan tak sengaja tertuju pada satu hal yang merusak semuanya, bekas kecupan lipstik yang samar namun jelas di kerah kemeja ayahnya. Seketika, detak jantungnya terasa lebih keras, menambah tekanan dalam dirinya. Bayangan masa kecilnya seketika muncul, saat dulu, ketika ia tak sengaja menemukan ayahnya bersama wanita lain. Dan saat itu juga, hanya ancaman yang ia dapat.Keenan menatap sang ayah dengan tatapan yang sulit diba

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 3)

    Saat pintu terbuka, suara langkah kecil yang berlari cepat segera menyambut Keenan. Dalam sekejap, Kavin, adik kecilnya, muncul dengan senyuman penuh kegembiraan. Mata bulatnya berbinar seperti menemukan harta karun di hadapannya.“Kakaaaak! Kakak udah pulang sekolah!” seru Kavin dengan nada ceria, melompat ke arahnya tanpa ragu. Keenan mengangkat alis sambil tersenyum tipis, menahan tawa melihat semangat adiknya yang begitu polos.Keenan berjongkok, membuka lengannya lebar-lebar. “Wah, ternyata masih ada yang nungguin Kakak pulang, nih,” godanya sambil merentangkan tangan.Tanpa pikir panjang, Kavin langsung masuk ke pelukan Keenan. Tubuh kecilnya menempel erat, seolah tak ingin melepaskan. Keenan bisa merasakan detak kecil jantung adiknya yang begitu polos, mengalirkan kehangatan yang tidak bisa diukur dengan kata-kata.“Nungguin kakak atau nungguin HP kakak, hm?” tanya Keenan sambil mencubit pipi tembem adiknya.Kavin tertawa kecil, memamerkan sederet gigi kecilnya. “Hehehe… dua-du

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia (Part 2)

    Keenan masih tenggelam dalam pikirannya ketika tiba-tiba suara ketukan pelan terdengar di kaca mobilnya. Abhi, Nevan, dan Kafka berdiri di luar dengan senyum penuh arti, seperti sekumpulan kawanan yang siap merecoki pagi seseorang. Tanpa menunggu izin, Abhi menarik pintu mobil dan langsung duduk di samping Keenan, diikuti Nevan dan Kafka yang mengintip ke dalam dengan mata menyelidik."Pagi, Pak Ketu, bagaimana hari ini?" sapa Abhi dengan nada riang, senyumannya lebar, tapi jelas ingin tahu ada apa dengan sahabatnya yang jarang terlihat termenung seperti ini.Nevan, yang berdiri di belakang Abhi, langsung menepuk pundaknya. "Pertanyaan lo, salah, Bambang!" serunya, memandang Abhi seakan-akan baru saja melakukan pelanggaran besar.Abhi menoleh, kebingungan, dan baru tersadar, menggaruk kepalanya dengan canggung. "Eh, iya ya, salah. Ini kan, masih pagi. Sorry sorry."Keenan mendengus pelan, sorot matanya masih tajam namun tak sepenuhnya marah. “Lo pada ngapain sih ke sini? Gue nggak man

  • About Keenan   Bab 21. Rasa dan Rahasia

    Jam dinding menunjukkan pukul enam lewat lima belas pagi, dan udara pagi yang segar menyelimuti jalanan yang masih sepi. Di depan sebuah rumah besar dengan halaman luas, Keenan berdiri dengan tenang di samping mobilnya. Bukan rumah Alsha yang ia tuju pagi ini, melainkan Clara. Jari-jarinya lincah mengetik pesan singkat. "Clara, gue di depan rumah lo. Buruan keluar." Sudah sepuluh menit Keenan menunggu, matanya sesekali melirik jam tangan. Ia bukan tipe orang yang suka menunggu terlalu lama. Setelah pesan itu terkirim, ia bersandar pada pintu mobil, matanya menerawang, memikirkan kejadian semalam. Beberapa menit kemudian, pintu rumah itu terbuka. Clara keluar dengan terburu-buru, rambutnya masih sedikit berantakan, meskipun dia berusaha merapikannya dengan tangannya yang gemetar. Ada kebingungan di wajahnya saat ia menghampiri Keenan, yang kini tengah mengamatinya dengan pandangan datar, namun tajam. “Lo ngapain ke sini?” tanya Clara, suaranya sedikit serak, jelas bahwa ia ma

DMCA.com Protection Status