"Meski berdiri kokoh di hadapan dunia, ada hati yang tersesat, merindukan cinta yang pernah hilang. Karena rumah sejati bukanlah tempat, melainkan di mana kasih sayang berdiam." -Keenan Aksara
.
. .Keenan tersentak pelan saat suara lembut Alsha menyapanya, membuyarkan pikirannya yang tengah melayang jauh. "Keenan? Kamu ngelamun?"
Ia segera menggeleng pelan, senyum yang sejak tadi terukir di wajahnya tak beranjak sedikit pun. Keenan menarik napas dalam, kembali menatap wajah Alsha dengan pandangan yang kini lebih sadar. Wajah gadis itu terlihat tenang dalam terang sore yang mulai meredup, sinar matahari yang condong menyinari rambut Alsha dan memberikan kesan lembut di sekelilingnya, membuat hati Keenan terasa hangat. Namun, sebelum ia sempat merespon lebih jauh, Kafka datang dengan langkah ringan dan santai, seperti biasanya. Tanpa banyak bicara, Kafka menyodorkan ponselnya pada Keenan.
Keenan mengambil ponsel itu tanpa ragu, matanya langsung tertuju pada pesan yang terpampang di layar.
Alvin: Markas lo udah selesai gue renov. Lo boleh cek sekarang.
Senyuman lebar langsung merekah di wajahnya. Keenan mengangguk pelan, menyerahkan kembali ponsel itu kepada Kafka dengan pandangan yang masih terpaku pada pesan tersebut. Antusiasme meluap di dalam dadanya, seperti sesuatu yang lama ditunggu akhirnya tiba.
"Sheena, kita pulang dulu, ya," katanya lembut namun tegas, menyembunyikan kegembiraan yang mulai menguasainya. "Besok aku janji bakal anterin kamu lagi ke toko buku, buat dapetin novelnya." Senyum Keenan semakin hangat, dan tatapannya pada Alsha penuh dengan keyakinan bahwa ia tak pernah melupakan janjinya.
Alsha membalas senyum itu dengan anggukan kecil, sinar matahari yang tersisa menari di matanya, membuat wajahnya terlihat semakin menawan. Meski hanya beberapa kata, Keenan tahu bahwa Alsha percaya padanya.
Tanpa banyak basa-basi, Keenan meraih helm fullface yang tergantung di setang motornya. Suara mesin yang berat mulai terdengar ketika ia menyalakannya, bergema lembut di udara sore yang mulai dingin. Cahaya matahari yang memudar perlahan memanjangkan bayang-bayang mereka di tanah. Keenan memberi isyarat singkat pada Abhi dan Nevan yang segera mengikuti dengan gerakan cepat namun teratur. Tanpa sepatah kata, mereka juga menyalakan motor mereka, deru mesinnya menyatu, menciptakan suara yang bergema seiring angin sore yang sejuk menyapu mereka.
Abhi dan Nevan saling bertukar pandang, heran dengan semangat Keenan yang tiba-tiba. Namun, seperti biasa, mereka tak banyak bertanya dan langsung mengikuti. Kafka, seperti biasa, berada di belakang mereka, wajahnya tenang namun penuh pengertian, mengikuti langkah Keenan dengan sikap yang tak terburu-buru.
Sore itu, matahari mulai condong ke barat, menciptakan warna oranye yang pekat di langit, membasahi jalan-jalan dengan kilauan lembut. Di bawah langit yang mulai berubah warna, motor-motor mereka melaju dengan kecepatan stabil, menyusuri jalanan kota yang mulai lengang. Bayangan mereka terpantul di permukaan jalan yang berdebu, seolah menjadi pertanda dari sesuatu yang besar yang akan segera terjadi.
Keenan, dengan senyum yang tak bisa disembunyikan lagi, tak sabar untuk melihat apa yang menunggunya di markas—tempat yang telah lama menjadi saksi dari petualangan mereka. Markas itu kini telah diperbarui, dan sore yang semakin larut membawa Keenan pada sebuah perjalanan menuju sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih besar dari sekadar dinding dan cat baru.
Setelah tiba di markas, matahari yang mulai meredup memberikan semburat jingga di langit. Cahaya senja menembus celah-celah pohon, menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalan. Keenan tersenyum puas saat melihat seseorang sudah berdiri di depan pintu, menunggu dengan ekspresi penuh percaya diri.
Keenan baru saja melepas helmnya, rambutnya sedikit berantakan, ketika dia melihat Kafka yang langsung melangkah maju menuju Alvin—salah satu sahabatnya yang dikenal sebagai sosok jenius dalam merenovasi ruangan. Wajah Kafka yang biasanya dingin kini memperlihatkan senyum tipis, sebuah pemandangan langka yang hanya terjadi di momen-momen tertentu.
"Gimana? Semua udah kelar, kan?" tanya Kafka dengan nada akrab, menepuk pundak Alvin.
Alvin menyeringai, menyambut Kafka dengan tos dan anggukan percaya diri. "Udah, bro. Gue udah setel semuanya sesuai request lo. Lo gak akan kecewa."
Keenan, yang mendengar percakapan itu, tertawa kecil. "I see you two are tight? So, what's the big surprise, Kaf?"
Kafka menoleh ke Keenan, wajahnya tetap datar meskipun matanya penuh semangat. "Lo bakal liat sendiri, Keenan. Dia udah mastiin semuanya perfect." ucap Kafka sambil melirik ke Alvin.
Alvin ikut tertawa kecil. "Kafka yang paling rewel soal detail, sih. Tapi ternyata hasilnya gak kaleng-kaleng,"
Abhi dan Nevan mendekat, merasa penasaran dengan apa yang terjadi di dalam markas yang baru direnovasi itu. "Wah, lo pada udah kayak tim interior design aja," canda Abhi sambil menepuk punggung Kafka.
Kafka hanya mengangkat bahu santai, lalu ia memberi isyarat pada Alvin. "Ayo, buka pintunya. Gue yakin mereka udah gak sabar."
Alvin tertawa lagi, lalu melangkah maju membuka pintu markas dengan gerakan dramatis. "Selamat datang di markas baru lo, boys!"
Keenan melangkah masuk, matanya langsung menyapu setiap sudut ruangan dengan senyum kepuasan di wajahnya. "Man, this is dope! You guys really killed it."
Kafka hanya mengangguk ringan, sementara Alvin menjawab, "Gue bilang juga apa, kan? Tenang, lo gak bakal nyesel udah kasih gue tanggung jawab ini."
Keenan menelusuri ruang itu lebih dalam, derap langkahnya terasa berat namun mantap di lantai yang kini lebih halus berkat karpet vinyl baru yang Kafka pilihkan. "Gue nggak nyangka hasilnya bakal se-smooth ini," ujar Keenan, mengagumi perubahan besar yang terjadi pada markas mereka. Dinding abu-abu tua yang dulu terasa suram kini berganti dengan abu-abu muda, membuat tempat ini terasa lebih luas dan terang. Lampu LED strip yang dipasang di sepanjang pinggir plafon memancarkan cahaya biru lembut, menciptakan suasana futuristik yang nyaman.
"Sekarang tempat ini nggak cuma markas buat main basket, tapi juga buat ngumpul sambil brainstorming ide gila lo," Kafka menambahkan, menyusul Keenan yang masih menyapu pandangan ke sekeliling.
Alvin mendekat, "Kita juga pasang sound system yang lo pesan. Nanti kalau mau turnamen basket kecil-kecilan, tinggal setel musik biar makin hype." Ucapnya
Keenan tertawa kecil, menatap ring basket yang kini terpasang dengan sempurna di salah satu dinding. "Lo beneran bikin tempat ini jadi pusat segala kegiatan kita. Basket, nongkrong, bahkan urusan motor."
Di sudut lain, Abhi dan Nevan sibuk memeriksa rak helm yang terlihat lebih rapi, masing-masing helm motor custom mereka dipajang dengan bangga di sana. "Wah, ini serius kita dibikinin tempat buat display helm juga?" Abhi memandang Alvin dengan tatapan kagum. "Pak Ketu, ini keren banget."
"Nggak setengah-setengah dong," Alvin tersenyum. "Gue tahu tempat ini harus bisa mewakili Kalian berempat. Jadi, gue pikir setiap detail penting."
Keenan mengangguk setuju. "Wow, gue berterimakasih banget sama lo. Tempat ini nggak cuma markas biasa lagi. This is home base kita."
Namun, sekejap kehangatan itu terganggu oleh dering ponsel. Semua mata beralih pada Keenan, yang buru-buru merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Nama di layar membuatnya terdiam sejenak. Papa-nya.
Kafka mendekat, melirik sekilas layar ponsel. "Angkat aja, mungkin penting."
Keenan menghela napas panjang, lalu dengan gerakan malas, dia menerima panggilan itu. "Halo, Pa?"
Suara ayahnya terdengar jelas di seberang, serius dan langsung pada intinya. "Pulang sekarang. Kita ada pertemuan keluarga."
Keenan menjauh dari keramaian teman-temannya, suara langkahnya terdengar berat. "Pertemuan keluarga? Sekarang?"
"Iya. Keluarga besar temen papa akan ke rumah malam ini. Kita akan bahas tentang perjodohanmu."
Keenan terdiam, menatap kosong ke lantai. Suasana riuh di dalam markas perlahan pudar, tergantikan oleh beban di dadanya yang tiba-tiba terasa jauh lebih berat.
'Perjodohan?' batin Keenan.
---
Saat Keenan tiba di rumah, dia langsung memarkirkan motornya di depan pintu rumah yang dicat abu-abu muda dan segera turun, melepas helm dengan gerakan cepat. Langkahnya terburu-buru saat ia hendak memasuki rumah, namun langkahnya terhenti ketika dia melihat sosok di depan pintu—ayahnya, Rama, berdiri dengan postur tegak dan ekspresi tidak terganggu.
Keenan menghentikan langkahnya, wajahnya memerah dengan kemarahan. "Apa maksud papa? Ngapain papa ngejodohin Keenan segala?" protes Keenan, suaranya penuh emosi yang sulit ditahan.
Rama hanya tersenyum miring, ekspresinya datar dan tenang meskipun suasana tegang. "Ini sudah keputusan papa. Kamu tidak akan bisa menolaknya. Cepat siap-siap, sebentar lagi mereka semua akan datang," jawabnya, tangannya santai dimasukkan ke dalam saku celana.
Keenan menatap tajam, kemarahan di matanya semakin membara. "Keenan gak mau!" serunya, berusaha untuk berbalik dan pergi.
"Kalau kamu masih nolak, kamu gak akan pernah ketemu dengan Kavin lagi," ucap Rama dengan nada santai.
Mendengar nama adik kesayangannya disebut, langkah Keenan terhenti. Keringat dingin mulai muncul di dahinya, dan tangannya mengepal kuat, menggambarkan ketegangan yang melanda dirinya. Dia berbalik, menatap Rama dengan tatapan tajam dan penuh kebingungan. "Apa maksud papa?" tanyanya, suaranya bergetar oleh kemarahan dan kekhawatiran.
Rama menatap Keenan dengan tatapan yang dingin dan tegas. "Hanya ada dua pilihan. Kamu setuju dengan perjodohan ini, atau papa akan bawa Kavin ke Luar Negeri," jawab Rama, nada suaranya tetap dingin dan tidak menunjukkan rasa iba, lalu ia pergi meninggalkan Keenan seorang diri.
Keenan merasa marah dan putus asa, namun kemarahan itu seakan menghilang digantikan oleh rasa ketidakberdayaan. Keputusan ayahnya membuatnya merasa terjepit dalam situasi yang tidak bisa dia kontrol. Kavin, adik kesayangannya, adalah sosok yang sangat berharga baginya, sementara perjodohan ini mengancam segala sesuatu yang belum sempat dia ungkapkan—perasaan mendalamnya untuk Alsha, gadis yang kini memenuhi setiap sudut hatinya.
Dengan mata yang mulai basah, Keenan berbalik dan melangkah menuju halaman belakang rumah. Dia duduk di kursi taman yang dikelilingi oleh gelapnya malam, tubuhnya terkulai lemas. Langit malam yang dipenuhi bintang-bintang seolah menatapnya dengan sinar dingin, menambah rasa kesepian yang menggerogoti hati. Keenan menatap ke angkasa, berpikir mengapa hidupnya begitu rumit dan tidak adil. Kenapa dunia tampak enggan memberinya kebahagiaan, bahkan hanya untuk sejenak?
Keenan, dengan segala pesona dan karismanya yang sering membuat orang lain kagum, sebenarnya hanyalah satu dari sejuta jiwa yang kehilangan hangatnya cinta, tersesat dalam dinginnya kesepian tanpa kasih sayang dari kedua orang tuanya.
BERSAMBUNG
"Ketika pilihan hidup dan cinta saling bertabrakan, terkadang kita harus berkorban demi menjaga yang paling berharga."............Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul enam sore. Cahaya senja mulai memudar, menyisakan rona merah tipis di langit yang semakin gelap. Di ruang tamu, Keenan duduk di sofa panjang, tubuhnya tampak santai meski ada kegelisahan samar di wajahnya. Di sampingnya, Kavin, adik kecilnya, tenggelam dalam layar ponsel milik Keenan. Tawa kecil Kavin sesekali menggema di ruangan yang sepi, membuat senyum tipis tersungging di bibir Keenan. Namun, di balik tawa itu, Keenan tetap tak bisa sepenuhnya mengusir rasa janggal yang mengganggunya sejak sore tadi. Di lantai atas, di kamar utama, suasana jauh lebih serius. Raisya Zahra, ibu Keenan, berdiri di depan cermin, mematut dirinya sambil sesekali melirik ke arah suaminya. Wajahnya memancarkan kecantikan yang masih tersisa meskipun waktu telah berlalu, dan pesona itu kini menurun pada kedua putranya—terutama Keenan
"Menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan cinta bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda betapa berartinya perasaan itu bagi kita." -Keenan Aksara...Suasana pasar malam malam itu menggeliat hidup. Lampu-lampu kelap-kelip berwarna-warni menciptakan lautan cahaya, sementara tawa anak-anak dan teriakan dari wahana yang berputar membaur dengan musik dangdut yang mengalun dari pengeras suara tua. Riuh rendah manusia yang berdesakan di antara lapak-lapak penjaja mainan dan jajanan tak sedikit pun memudarkan atmosfer gembira, seolah-olah tempat itu menyatu dengan keajaiban kecil kota.Namun, di antara keramaian itu, ada ruang hening yang memisahkan tiga sosok: Keenan, Clara, dan Claudia. Keheningan di antara mereka terasa tegang, kontras dengan tawa yang berserakan di udara. Mata Claudia yang tajam dan penuh tanya memaku pandangannya ke arah Keenan, sementara Keenan berdiri tegak di samping Clara, wajahnya tampak sedikit kaku namun tetap tenang.Keenan bergerak dengan cepat, tanpa
"Kamu akan terlihat sempurna dimata orang yang benar-benar mencintaimu dengan tulus." -Keenan Aksara...Saat Keenan dan Clara turun dari wahana, angin malam mulai mendingin, mengusir sisa-sisa kehangatan hari itu. Lampu-lampu kota berkedip di kejauhan, tapi bagi Keenan, semuanya terasa buram. Dia melirik jam tangannya, angka delapan malam menari di sana, memaksanya untuk kembali ke realitas."Ayo pulang," katanya, suaranya datar, tanpa emosi. Clara hanya mengangguk, bibirnya mengerucut tipis, menyembunyikan kekesalan yang perlahan merayap di hatinya. Sejak tadi, Keenan lebih sibuk dengan pikirannya sendiri, membiarkan Clara bicara sendiri tanpa balasan berarti.Ketika mereka sampai di depan rumah Keenan, pemandangan itu membuatnya menarik napas dalam. Kedua orang tuanya sudah berdiri di sana, bersama ayah Clara yang tampak begitu ceria. Langit malam menjadi saksi kesunyian yang menggantung di udara, sementara senyum-senyum tersungging di wajah-wajah orang dewasa."Gimana? Sudah akr
"Ada yang berbeda ketika aku memandangnya, sebuah kedamaian yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata." -Keenan Aksara °°°°° Malam itu begitu cerah, bintang-bintang bertaburan di langit seakan menyaksikan drama kecil yang tak terlihat oleh mata kebanyakan orang. Angin malam berembus lembut, membawa ketenangan yang sayangnya tak dirasakan oleh Keenan saat ini. Dia mendapati dirinya sedikit terkejut ketika tiba-tiba Kafka sudah berada di belakangnya, seolah muncul entah dari mana. Keenan melirik sekilas ke arah Alsha yang masih terhanyut menatap langit, terpukau oleh keindahan bintang-bintang di atas sana. Dia menarik napas panjang, lalu perlahan melangkah, mengisyaratkan Kafka untuk menjauh dari rumah Alsha. "Kita cabut dari sini," ucap Keenan, suaranya datar namun ada sedikit ketegangan yang tersirat. Kafka, yang sebelumnya sempat melirik ke arah Alsha dengan rasa penasaran, mengerutkan kening. "Kenapa harus menjauh dari sesuatu yang bikin kita tenang?" tanyanya dengan nada tak se
"Cinta yang tulus tidak butuh persetujuan orang lain." -Keenan Aksara ••• Keenan terus melangkah santai, mengabaikan suara Claudia yang mencoba menarik perhatiannya. Langit cerah di atas sekolah seolah tak terpengaruh oleh ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya. “Keenan!” Suara Claudia menggema, namun tetap saja, ia tak menoleh. Abhi yang berada di belakang Keenan, melirik sebentar ke arah Claudia lalu menghampirinya. “Maaf, Kak. Bukannya mau ikut campur, tapi lebih baik Kakak jauhin Keenan. Ini demi kebaikan bersama.” Claudia memandang tajam ke arah Abhi, alisnya berkerut penuh tanya. “Demi kebaikan bersama? Maksud lo apa?” Abhi sempat membuka mulut, ingin menjelaskan, namun sebuah suara lain tiba-tiba menyeruak, menghentikan segalanya. "Keenan!" Langkah Keenan langsung terhenti saat suara itu sampai ke telinganya. Seketika suasana berubah, menegangkan namun penuh tanda tanya. Semua mata tertuju pada seorang gadis yang berlari kecil ke arah Keenan. Clara. Keenan
"Tindakanmu hari ini bisa menjadi racun bagi hati yang kau cintai esok hari." ••• Kafka tidak banyak bicara. Begitu melihat Keenan keluar dari kantin, dia langsung melangkah, tenang tapi dengan tekad yang sudah bulat. Di tengah pilihan sulit yang sering kita hadapi, penting untuk mengingat bahwa setiap langkah yang kita ambil bisa membentuk masa depan kita. Terkadang, kita perlu berani melangkah meski jalan yang diambil tidak pasti. "Eh, mau ke mana si burung kakap?" Abhi berteriak dari belakang, nada suaranya khas, selalu santai. "Jadi nggak nih kita ditraktir?" sahut Nevan, sedikit kesal tapi tak benar-benar serius. Kafka berhenti sejenak, menoleh dengan perlahan. Tatapannya tajam, seperti sedang memperingatkan. Mata itu tertuju pada Abhi yang baru saja memanggilnya dengan nama seenaknya. "Lo pilih jajan atau Keenan?" Kafka berkata datar, tanpa memberi ruang untuk bantahan. Tanpa menunggu jawaban, dia kembali melangkah. Abhi menghela napas, melirik Nevan, "Berat, nih."
Davin melangkah dengan cepat ke arah Claudia, matanya tak lepas dari mereka berdua, penuh pertanyaan, penuh rasa yang tertahan. "Ngapain kalian pelukan di tengah lapangan? Gak malu diliatin banyak orang?" tanyanya dengan suara rendah tapi setiap kata mengandung teguran yang dalam. Claudia menegakkan tubuhnya, meski jantungnya berdebar keras. "Enggak! Gue gak malu. Kenapa sih lo ikut campur? Ini bukan urusan lo!" ucapnya dengan nada yang bergetar, meski dia berusaha keras tampak kuat. Davin menatapnya dalam-dalam, matanya berbicara lebih banyak dari kata-katanya. “Ini jelas urusan gue. Karena gue suka sama lo!” Kata-kata itu jatuh seperti hujan yang tiba-tiba, dingin dan tak terduga. Claudia membeku, menatap Davin dengan mata yang kini mulai memudar. Selama ini, dia tak pernah menyadari bahwa di balik sikap Davin yang selalu tenang, ada perasaan yang disimpannya begitu lama. Keenan, yang kini hanya menjadi saksi dari semua ini, diam saja. Hatinya tak tersentuh oleh drama yang
"Setiap tatapan bisa menyimpan ribuan rasa."•••Clara membanting bukunya di atas bangku dengan keras, menciptakan bunyi nyaring yang memecah keheningan kelas. Suara itu memantul di dinding-dinding, membuat Elysia yang sedang sibuk mencoret-coret catatan kecil di hadapannya tersentak kaget. Matanya yang semula terfokus pada pena di tangannya langsung menatap Clara dengan bingung."Lo kenapa sih? Baru dateng udah ngamuk-ngamuk," ujar Elysia, sedikit berbisik, khawatir kalau suara mereka menarik perhatian anak-anak lain di kelas. Elysia Tamara, dengan rambut panjang terurai dan gaya modisnya yang khas, selalu tampak serasi duduk di samping Clara. Mereka seperti cerminan satu sama lain, dengan pakaian yang selalu up-to-date dan sepatu yang baru dibeli beberapa hari sebelumnya. Dua gadis yang selalu jadi pusat perhatian di manapun mereka berada.Clara mendengus sambil melipat tangan di depan dadanya. Wajahnya merah, bukan karena malu, tapi lebih karena amarah yang perlahan memenuhi pikir
Ketika bel istirahat berdering, suara riuh siswa yang berlomba-lomba meninggalkan kelas terdengar menggema. Namun, di salah satu bangku, Keenan tetap duduk diam, tak beranjak. Tatapan matanya terpaku pada Alsha, mengamatinya dalam diam, seolah setiap gerakan gadis itu adalah misteri yang tak ingin ia lepaskan begitu saja."Ayo, Al, ke kantin," suara Aline terdengar, lembut, penuh semangat, ia menggenggam tangan Alsha, mengajak sahabatnya pergi. Alsha sempat melirik ke arah Keenan, namun cowok itu segera mengalihkan pandangan, menyembunyikan ekspresi di wajahnya yang sulit diartikan. "Al!" panggil Aline lagi, kali ini sedikit lebih mendesak. Akhirnya, Alsha mengangguk kecil, menerima ajakan Aline, dan mereka pun akhirnya melangkah keluar bersama.Keenan hanya bisa memandang punggung gadis itu yang semakin menjauh, menyisakan jejak perasaan yang tak terucap. Tak lama, tiga sosok temannya muncul, memperhatikan wajah ketua mereka yang tampak menyiratkan amarah yang sulit ia sembunyikan.
Setelah Athala menghilang dari pandangan, suasana kembali tenang. Mereka semua duduk kembali, meneruskan obrolan yang seakan tak terganggu oleh apa pun yang baru saja terjadi.Keenan menatap Abhi dengan tatapan tajam, seolah mengingat sesuatu yang tertunda. "Lo tadi mau ngomong apa?" tanya Keenan. Dia pergi ke markas, berharap mendengar kabar soal Alsha, namun sepertinya Abhi masih belum memberi informasi yang dicari. Abhi menggaruk kepala yang tak gatal, matanya sedikit menghindar. "E-eh," jawabnya ragu, suara serak yang keluar dari mulutnya menunjukkan dia sedang kebingungan. "Sorry, Pak Ketu, gue lupa mau ngomong apa tadi," lanjutnya, jelas merasa kikuk karena tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan. Keenan mendengus pelan, ekspresinya datar, namun gerakannya cepat. Tanpa peringatan, ia merampas snack dari tangan Abhi, menikmati keripik itu dengan lahap."Eh, Pak Ketu," ujar Abhi terkejut melihat tingkah Keenan yang tiba-tiba. Keenan hanya melotot ke arah Abhi, matanya menyip
Keenan dan Athala tiba di markas. Malam itu sunyi, tapi suasana langsung berubah begitu Abhi dan Nevan melihat mobil putih milik Athala memasuki halaman. Teman-teman Keenan, yang sedang asyik bercanda, langsung bergegas berdiri. Mereka saling bertugas pandang dengan senyum kecil yang penuh arti. Bagi mereka, Athala bukan sekadar kakak bagi Keenan, tapi juga sosok kakak yang selalu hadir untuk mereka semua.Abhi yang langsung menyambut Athala dengan lambaian tangan. "Hey, Bang Athala! Tumben nongol malam-malam gini! Mau gabung sama kita?"Athala turun dari mobil dengan langkah tenang, melemparkan senyum tipis pada mereka. "Lagi kosong aja," jawabnya sambil menepuk bahu Abhi. "Gue kangen ngeliat kalian semua. Udah lama, kan, nggak ngobrol bareng?""Bukan sekadar lama, Bang! Kita udah hampir lupa kapan terakhir kali Abang nongkrong di sini," canda Nevan sambil tertawa.Athala terkekeh pelan, menatap mereka satu per satu. Rasanya hangat, kembali berada di tengah-tengah mereka. Dia tahu, d
Keenan melajukan motornya, membelah jalanan malam yang sepi dengan kecepatan yang menggila. Pikiran-pikirannya berserakan, berkelindan dengan bayangan wajah ibunya yang tulus, penuh ketidakmengertian, dan ayahnya yang terbungkus kepalsuan dan dusta. Kekecewaan semakin membakar dadanya, membuat tangannya refleks memutar gas lebih kencang, seolah berharap kecepatan bisa menghapus segalanya.Di tengah kesibukannya melawan pikirannya, tiba-tiba, dari kejauhan, segerombolan orang berdiri menghadang di tengah jalan. Davin dan teman-temannya, berdiri dalam bayang malam yang samar, seolah sudah menunggu kedatangannya. Keenan ngerem mendadak, membuat roda motornya berdecit keras, meninggalkan bekas yang panjang di aspal. Matanya menatap tajam ke arah mereka, tanpa rasa takut sedikit pun. Tanpa ragu, ia turun dari motor dan berjalan mendekat, tatapannya penuh kemarahan yang tersimpan.Davin tersenyum licik, wajahnya tampak puas melihat Keenan mendekat. "Wah, lihat siapa yang muncul, guys," ucapn
Keenan tetap diam, namun tatapannya tidak berubah, tajam dan penuh kekecewaan. Ini bukan kali pertama ia merasakan ancaman dari sang ayah, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Rasa takut yang dulu menghantuinya perlahan tergantikan oleh keberanian untuk melawan.Ayahnya melangkah maju, mendekati Keenan hingga jarak mereka hanya beberapa sentimeter. "Ingat ini baik-baik, Keenan. Kamu cuma anak kecil yang nggak tahu apa-apa tentang hidup. Kalau kamu masih berani buka mulut soal ini ke Mama, atau ke siapa pun, Papa akan pastikan hidupmu nggak akan nyaman di rumah ini." ucapnya dengan suara yang begitu rendah, namun jelas mengandung ancaman yang serius.Keenan menahan napas, merasakan amarahnya semakin membara. "Silahkan, Pa. Kalau itu yang Papa mau. Tapi itu nggak akan mengubah fakta kalau Papa salah, kalau Papa sudah menghancurkan kepercayaan orang-orang yang sayang sama Papa."Mata ayahnya semakin menyipit, napasnya terengah-engah seolah sedang menahan diri agar tidak meledak lebih
Suasana rumah begitu hening saat malam telah sepenuhnya turun, hanya suara napas lembut Kavin yang terlelap di tempat tidur Keenan yang mengisi keheningan. Keenan menghela napas, menyelimutkan kain lembut hingga menutupi bahu kecil adiknya, lalu melangkah pelan-pelan keluar dari kamar, bersiap menuju markas sesuai janjinya dengan Abhi. Tapi ketika dia sampai di pintu depan, langkahnya terhenti.Ayahnya baru saja pulang, berdiri di ruang tamu dengan tubuh yang tampak kelelahan. Setelan kerjanya masih rapi, namun leher kemejanya terlihat sedikit berantakan, dan mata Keenan tak sengaja tertuju pada satu hal yang merusak semuanya, bekas kecupan lipstik yang samar namun jelas di kerah kemeja ayahnya. Seketika, detak jantungnya terasa lebih keras, menambah tekanan dalam dirinya. Bayangan masa kecilnya seketika muncul, saat dulu, ketika ia tak sengaja menemukan ayahnya bersama wanita lain. Dan saat itu juga, hanya ancaman yang ia dapat.Keenan menatap sang ayah dengan tatapan yang sulit diba
Saat pintu terbuka, suara langkah kecil yang berlari cepat segera menyambut Keenan. Dalam sekejap, Kavin, adik kecilnya, muncul dengan senyuman penuh kegembiraan. Mata bulatnya berbinar seperti menemukan harta karun di hadapannya.“Kakaaaak! Kakak udah pulang sekolah!” seru Kavin dengan nada ceria, melompat ke arahnya tanpa ragu. Keenan mengangkat alis sambil tersenyum tipis, menahan tawa melihat semangat adiknya yang begitu polos.Keenan berjongkok, membuka lengannya lebar-lebar. “Wah, ternyata masih ada yang nungguin Kakak pulang, nih,” godanya sambil merentangkan tangan.Tanpa pikir panjang, Kavin langsung masuk ke pelukan Keenan. Tubuh kecilnya menempel erat, seolah tak ingin melepaskan. Keenan bisa merasakan detak kecil jantung adiknya yang begitu polos, mengalirkan kehangatan yang tidak bisa diukur dengan kata-kata.“Nungguin kakak atau nungguin HP kakak, hm?” tanya Keenan sambil mencubit pipi tembem adiknya.Kavin tertawa kecil, memamerkan sederet gigi kecilnya. “Hehehe… dua-du
Keenan masih tenggelam dalam pikirannya ketika tiba-tiba suara ketukan pelan terdengar di kaca mobilnya. Abhi, Nevan, dan Kafka berdiri di luar dengan senyum penuh arti, seperti sekumpulan kawanan yang siap merecoki pagi seseorang. Tanpa menunggu izin, Abhi menarik pintu mobil dan langsung duduk di samping Keenan, diikuti Nevan dan Kafka yang mengintip ke dalam dengan mata menyelidik."Pagi, Pak Ketu, bagaimana hari ini?" sapa Abhi dengan nada riang, senyumannya lebar, tapi jelas ingin tahu ada apa dengan sahabatnya yang jarang terlihat termenung seperti ini.Nevan, yang berdiri di belakang Abhi, langsung menepuk pundaknya. "Pertanyaan lo, salah, Bambang!" serunya, memandang Abhi seakan-akan baru saja melakukan pelanggaran besar.Abhi menoleh, kebingungan, dan baru tersadar, menggaruk kepalanya dengan canggung. "Eh, iya ya, salah. Ini kan, masih pagi. Sorry sorry."Keenan mendengus pelan, sorot matanya masih tajam namun tak sepenuhnya marah. “Lo pada ngapain sih ke sini? Gue nggak man
Jam dinding menunjukkan pukul enam lewat lima belas pagi, dan udara pagi yang segar menyelimuti jalanan yang masih sepi. Di depan sebuah rumah besar dengan halaman luas, Keenan berdiri dengan tenang di samping mobilnya. Bukan rumah Alsha yang ia tuju pagi ini, melainkan Clara. Jari-jarinya lincah mengetik pesan singkat. "Clara, gue di depan rumah lo. Buruan keluar." Sudah sepuluh menit Keenan menunggu, matanya sesekali melirik jam tangan. Ia bukan tipe orang yang suka menunggu terlalu lama. Setelah pesan itu terkirim, ia bersandar pada pintu mobil, matanya menerawang, memikirkan kejadian semalam. Beberapa menit kemudian, pintu rumah itu terbuka. Clara keluar dengan terburu-buru, rambutnya masih sedikit berantakan, meskipun dia berusaha merapikannya dengan tangannya yang gemetar. Ada kebingungan di wajahnya saat ia menghampiri Keenan, yang kini tengah mengamatinya dengan pandangan datar, namun tajam. “Lo ngapain ke sini?” tanya Clara, suaranya sedikit serak, jelas bahwa ia ma