Share

Bab 6. Rindu yang Tak Berumah

"Meski berdiri kokoh di hadapan dunia, ada hati yang tersesat, merindukan cinta yang pernah hilang. Karena rumah sejati bukanlah tempat, melainkan di mana kasih sayang berdiam." -Keenan Aksara

.

.

.

Keenan tersentak pelan saat suara lembut Alsha menyapanya, membuyarkan pikirannya yang tengah melayang jauh. "Keenan? Kamu ngelamun?"

Ia segera menggeleng pelan, senyum yang sejak tadi terukir di wajahnya tak beranjak sedikit pun. Keenan menarik napas dalam, kembali menatap wajah Alsha dengan pandangan yang kini lebih sadar. Wajah gadis itu terlihat tenang dalam terang sore yang mulai meredup, sinar matahari yang condong menyinari rambut Alsha dan memberikan kesan lembut di sekelilingnya, membuat hati Keenan terasa hangat. Namun, sebelum ia sempat merespon lebih jauh, Kafka datang dengan langkah ringan dan santai, seperti biasanya. Tanpa banyak bicara, Kafka menyodorkan ponselnya pada Keenan.

Keenan mengambil ponsel itu tanpa ragu, matanya langsung tertuju pada pesan yang terpampang di layar.

Alvin: Markas lo udah selesai gue renov. Lo boleh cek sekarang.

Senyuman lebar langsung merekah di wajahnya. Keenan mengangguk pelan, menyerahkan kembali ponsel itu kepada Kafka dengan pandangan yang masih terpaku pada pesan tersebut. Antusiasme meluap di dalam dadanya, seperti sesuatu yang lama ditunggu akhirnya tiba.

"Sheena, kita pulang dulu, ya," katanya lembut namun tegas, menyembunyikan kegembiraan yang mulai menguasainya. "Besok aku janji bakal anterin kamu lagi ke toko buku, buat dapetin novelnya." Senyum Keenan semakin hangat, dan tatapannya pada Alsha penuh dengan keyakinan bahwa ia tak pernah melupakan janjinya.

Alsha membalas senyum itu dengan anggukan kecil, sinar matahari yang tersisa menari di matanya, membuat wajahnya terlihat semakin menawan. Meski hanya beberapa kata, Keenan tahu bahwa Alsha percaya padanya.

Tanpa banyak basa-basi, Keenan meraih helm fullface yang tergantung di setang motornya. Suara mesin yang berat mulai terdengar ketika ia menyalakannya, bergema lembut di udara sore yang mulai dingin. Cahaya matahari yang memudar perlahan memanjangkan bayang-bayang mereka di tanah. Keenan memberi isyarat singkat pada Abhi dan Nevan yang segera mengikuti dengan gerakan cepat namun teratur. Tanpa sepatah kata, mereka juga menyalakan motor mereka, deru mesinnya menyatu, menciptakan suara yang bergema seiring angin sore yang sejuk menyapu mereka.

Abhi dan Nevan saling bertukar pandang, heran dengan semangat Keenan yang tiba-tiba. Namun, seperti biasa, mereka tak banyak bertanya dan langsung mengikuti. Kafka, seperti biasa, berada di belakang mereka, wajahnya tenang namun penuh pengertian, mengikuti langkah Keenan dengan sikap yang tak terburu-buru.

Sore itu, matahari mulai condong ke barat, menciptakan warna oranye yang pekat di langit, membasahi jalan-jalan dengan kilauan lembut. Di bawah langit yang mulai berubah warna, motor-motor mereka melaju dengan kecepatan stabil, menyusuri jalanan kota yang mulai lengang. Bayangan mereka terpantul di permukaan jalan yang berdebu, seolah menjadi pertanda dari sesuatu yang besar yang akan segera terjadi.

Keenan, dengan senyum yang tak bisa disembunyikan lagi, tak sabar untuk melihat apa yang menunggunya di markas—tempat yang telah lama menjadi saksi dari petualangan mereka. Markas itu kini telah diperbarui, dan sore yang semakin larut membawa Keenan pada sebuah perjalanan menuju sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih besar dari sekadar dinding dan cat baru.

Setelah tiba di markas, matahari yang mulai meredup memberikan semburat jingga di langit. Cahaya senja menembus celah-celah pohon, menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalan. Keenan tersenyum puas saat melihat seseorang sudah berdiri di depan pintu, menunggu dengan ekspresi penuh percaya diri.

Keenan baru saja melepas helmnya, rambutnya sedikit berantakan, ketika dia melihat Kafka yang langsung melangkah maju menuju Alvin—salah satu sahabatnya yang dikenal sebagai sosok jenius dalam merenovasi ruangan. Wajah Kafka yang biasanya dingin kini memperlihatkan senyum tipis, sebuah pemandangan langka yang hanya terjadi di momen-momen tertentu.

"Gimana? Semua udah kelar, kan?" tanya Kafka dengan nada akrab, menepuk pundak Alvin.

Alvin menyeringai, menyambut Kafka dengan tos dan anggukan percaya diri. "Udah, bro. Gue udah setel semuanya sesuai request lo. Lo gak akan kecewa."

Keenan, yang mendengar percakapan itu, tertawa kecil. "I see you two are tight? So, what's the big surprise, Kaf?"

Kafka menoleh ke Keenan, wajahnya tetap datar meskipun matanya  penuh semangat. "Lo bakal liat sendiri, Keenan. Dia udah mastiin semuanya perfect." ucap Kafka sambil melirik ke Alvin.

Alvin ikut tertawa kecil. "Kafka yang paling rewel soal detail, sih. Tapi ternyata hasilnya gak kaleng-kaleng,"

Abhi dan Nevan mendekat, merasa penasaran dengan apa yang terjadi di dalam markas yang baru direnovasi itu. "Wah, lo pada udah kayak tim interior design aja," canda Abhi sambil menepuk punggung Kafka.

Kafka hanya mengangkat bahu santai, lalu ia memberi isyarat pada Alvin. "Ayo, buka pintunya. Gue yakin mereka udah gak sabar."

Alvin tertawa lagi, lalu melangkah maju membuka pintu markas dengan gerakan dramatis. "Selamat datang di markas baru lo, boys!"

Keenan melangkah masuk, matanya langsung menyapu setiap sudut ruangan dengan senyum kepuasan di wajahnya. "Man, this is dope! You guys really killed it."

Kafka hanya mengangguk ringan, sementara Alvin menjawab, "Gue bilang juga apa, kan? Tenang, lo gak bakal nyesel udah kasih gue tanggung jawab ini."

Keenan menelusuri ruang itu lebih dalam, derap langkahnya terasa berat namun mantap di lantai yang kini lebih halus berkat karpet vinyl baru yang Kafka pilihkan. "Gue nggak nyangka hasilnya bakal se-smooth ini," ujar Keenan, mengagumi perubahan besar yang terjadi pada markas mereka. Dinding abu-abu tua yang dulu terasa suram kini berganti dengan abu-abu muda, membuat tempat ini terasa lebih luas dan terang. Lampu LED strip yang dipasang di sepanjang pinggir plafon memancarkan cahaya biru lembut, menciptakan suasana futuristik yang nyaman.

"Sekarang tempat ini nggak cuma markas buat main basket, tapi juga buat ngumpul sambil brainstorming ide gila lo," Kafka menambahkan, menyusul Keenan yang masih menyapu pandangan ke sekeliling.

Alvin mendekat, "Kita juga pasang sound system yang lo pesan. Nanti kalau mau turnamen basket kecil-kecilan, tinggal setel musik biar makin hype." Ucapnya

Keenan tertawa kecil, menatap ring basket yang kini terpasang dengan sempurna di salah satu dinding. "Lo beneran bikin tempat ini jadi pusat segala kegiatan kita. Basket, nongkrong, bahkan urusan motor."

Di sudut lain, Abhi dan Nevan sibuk memeriksa rak helm yang terlihat lebih rapi, masing-masing helm motor custom mereka dipajang dengan bangga di sana. "Wah, ini serius kita dibikinin tempat buat display helm juga?" Abhi memandang Alvin dengan tatapan kagum. "Pak Ketu, ini keren banget."

"Nggak setengah-setengah dong," Alvin tersenyum. "Gue tahu tempat ini harus bisa mewakili Kalian berempat. Jadi, gue pikir setiap detail penting."

Keenan mengangguk setuju. "Wow, gue berterimakasih banget sama lo. Tempat ini nggak cuma markas biasa lagi. This is home base kita."

Namun, sekejap kehangatan itu terganggu oleh dering ponsel. Semua mata beralih pada Keenan, yang buru-buru merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Nama di layar membuatnya terdiam sejenak. Papa-nya.

Kafka mendekat, melirik sekilas layar ponsel. "Angkat aja, mungkin penting."

Keenan menghela napas panjang, lalu dengan gerakan malas, dia menerima panggilan itu. "Halo, Pa?"

Suara ayahnya terdengar jelas di seberang, serius dan langsung pada intinya. "Pulang sekarang. Kita ada pertemuan keluarga."

Keenan menjauh dari keramaian teman-temannya, suara langkahnya terdengar berat. "Pertemuan keluarga? Sekarang?"

"Iya. Keluarga besar temen papa akan ke rumah malam ini. Kita akan bahas tentang perjodohanmu."

Keenan terdiam, menatap kosong ke lantai. Suasana riuh di dalam markas perlahan pudar, tergantikan oleh beban di dadanya yang tiba-tiba terasa jauh lebih berat.

'Perjodohan?' batin Keenan.

---

Saat Keenan tiba di rumah, dia langsung memarkirkan motornya di depan pintu rumah yang dicat abu-abu muda dan segera turun, melepas helm dengan gerakan cepat. Langkahnya terburu-buru saat ia hendak memasuki rumah, namun langkahnya terhenti ketika dia melihat sosok di depan pintu—ayahnya, Rama, berdiri dengan postur tegak dan ekspresi tidak terganggu.

Keenan menghentikan langkahnya, wajahnya memerah dengan kemarahan. "Apa maksud papa? Ngapain papa ngejodohin Keenan segala?" protes Keenan, suaranya penuh emosi yang sulit ditahan.

Rama hanya tersenyum miring, ekspresinya datar dan tenang meskipun suasana tegang. "Ini sudah keputusan papa. Kamu tidak akan bisa menolaknya. Cepat siap-siap, sebentar lagi mereka semua akan datang," jawabnya, tangannya santai dimasukkan ke dalam saku celana.

Keenan menatap tajam, kemarahan di matanya semakin membara. "Keenan gak mau!" serunya, berusaha untuk berbalik dan pergi.

"Kalau kamu masih nolak, kamu gak akan pernah ketemu dengan Kavin lagi," ucap Rama dengan nada santai.

Mendengar nama adik kesayangannya disebut, langkah Keenan terhenti. Keringat dingin mulai muncul di dahinya, dan tangannya mengepal kuat, menggambarkan ketegangan yang melanda dirinya. Dia berbalik, menatap Rama dengan tatapan tajam dan penuh kebingungan. "Apa maksud papa?" tanyanya, suaranya bergetar oleh kemarahan dan kekhawatiran.

Rama menatap Keenan dengan tatapan yang dingin dan tegas. "Hanya ada dua pilihan. Kamu setuju dengan perjodohan ini, atau papa akan bawa Kavin ke Luar Negeri," jawab Rama, nada suaranya tetap dingin dan tidak menunjukkan rasa iba, lalu ia pergi meninggalkan Keenan seorang diri.

Keenan merasa marah dan putus asa, namun kemarahan itu seakan menghilang digantikan oleh rasa ketidakberdayaan. Keputusan ayahnya membuatnya merasa terjepit dalam situasi yang tidak bisa dia kontrol. Kavin, adik kesayangannya, adalah sosok yang sangat berharga baginya, sementara perjodohan ini mengancam segala sesuatu yang belum sempat dia ungkapkan—perasaan mendalamnya untuk Alsha, gadis yang kini memenuhi setiap sudut hatinya.

Dengan mata yang mulai basah, Keenan berbalik dan melangkah menuju halaman belakang rumah. Dia duduk di kursi taman yang dikelilingi oleh gelapnya malam, tubuhnya terkulai lemas. Langit malam yang dipenuhi bintang-bintang seolah menatapnya dengan sinar dingin, menambah rasa kesepian yang menggerogoti hati. Keenan menatap ke angkasa, berpikir mengapa hidupnya begitu rumit dan tidak adil. Kenapa dunia tampak enggan memberinya kebahagiaan, bahkan hanya untuk sejenak? 

Keenan, dengan segala pesona dan karismanya yang sering membuat orang lain kagum, sebenarnya hanyalah satu dari sejuta jiwa yang kehilangan hangatnya cinta, tersesat dalam dinginnya kesepian tanpa kasih sayang dari kedua orang tuanya.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status