"Meski berdiri kokoh di hadapan dunia, ada hati yang tersesat, merindukan cinta yang pernah hilang. Karena rumah sejati bukanlah tempat, melainkan di mana kasih sayang berdiam." -Keenan Aksara
.
. .Keenan tersentak pelan saat suara lembut Alsha menyapanya, membuyarkan pikirannya yang tengah melayang jauh. "Keenan? Kamu ngelamun?"
Ia segera menggeleng pelan, senyum yang sejak tadi terukir di wajahnya tak beranjak sedikit pun. Keenan menarik napas dalam, kembali menatap wajah Alsha dengan pandangan yang kini lebih sadar. Wajah gadis itu terlihat tenang dalam terang sore yang mulai meredup, sinar matahari yang condong menyinari rambut Alsha dan memberikan kesan lembut di sekelilingnya, membuat hati Keenan terasa hangat. Namun, sebelum ia sempat merespon lebih jauh, Kafka datang dengan langkah ringan dan santai, seperti biasanya. Tanpa banyak bicara, Kafka menyodorkan ponselnya pada Keenan.
Keenan mengambil ponsel itu tanpa ragu, matanya langsung tertuju pada pesan yang terpampang di layar.
Alvin: Markas lo udah selesai gue renov. Lo boleh cek sekarang.
Senyuman lebar langsung merekah di wajahnya. Keenan mengangguk pelan, menyerahkan kembali ponsel itu kepada Kafka dengan pandangan yang masih terpaku pada pesan tersebut. Antusiasme meluap di dalam dadanya, seperti sesuatu yang lama ditunggu akhirnya tiba.
"Sheena, kita pulang dulu, ya," katanya lembut namun tegas, menyembunyikan kegembiraan yang mulai menguasainya. "Besok aku janji bakal anterin kamu lagi ke toko buku, buat dapetin novelnya." Senyum Keenan semakin hangat, dan tatapannya pada Alsha penuh dengan keyakinan bahwa ia tak pernah melupakan janjinya.
Alsha membalas senyum itu dengan anggukan kecil, sinar matahari yang tersisa menari di matanya, membuat wajahnya terlihat semakin menawan. Meski hanya beberapa kata, Keenan tahu bahwa Alsha percaya padanya.
Tanpa banyak basa-basi, Keenan meraih helm fullface yang tergantung di setang motornya. Suara mesin yang berat mulai terdengar ketika ia menyalakannya, bergema lembut di udara sore yang mulai dingin. Cahaya matahari yang memudar perlahan memanjangkan bayang-bayang mereka di tanah. Keenan memberi isyarat singkat pada Abhi dan Nevan yang segera mengikuti dengan gerakan cepat namun teratur. Tanpa sepatah kata, mereka juga menyalakan motor mereka, deru mesinnya menyatu, menciptakan suara yang bergema seiring angin sore yang sejuk menyapu mereka.
Abhi dan Nevan saling bertukar pandang, heran dengan semangat Keenan yang tiba-tiba. Namun, seperti biasa, mereka tak banyak bertanya dan langsung mengikuti. Kafka, seperti biasa, berada di belakang mereka, wajahnya tenang namun penuh pengertian, mengikuti langkah Keenan dengan sikap yang tak terburu-buru.
Sore itu, matahari mulai condong ke barat, menciptakan warna oranye yang pekat di langit, membasahi jalan-jalan dengan kilauan lembut. Di bawah langit yang mulai berubah warna, motor-motor mereka melaju dengan kecepatan stabil, menyusuri jalanan kota yang mulai lengang. Bayangan mereka terpantul di permukaan jalan yang berdebu, seolah menjadi pertanda dari sesuatu yang besar yang akan segera terjadi.
Keenan, dengan senyum yang tak bisa disembunyikan lagi, tak sabar untuk melihat apa yang menunggunya di markas—tempat yang telah lama menjadi saksi dari petualangan mereka. Markas itu kini telah diperbarui, dan sore yang semakin larut membawa Keenan pada sebuah perjalanan menuju sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih besar dari sekadar dinding dan cat baru.
Setelah tiba di markas, matahari yang mulai meredup memberikan semburat jingga di langit. Cahaya senja menembus celah-celah pohon, menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalan. Keenan tersenyum puas saat melihat seseorang sudah berdiri di depan pintu, menunggu dengan ekspresi penuh percaya diri.
Keenan baru saja melepas helmnya, rambutnya sedikit berantakan, ketika dia melihat Kafka yang langsung melangkah maju menuju Alvin—salah satu sahabatnya yang dikenal sebagai sosok jenius dalam merenovasi ruangan. Wajah Kafka yang biasanya dingin kini memperlihatkan senyum tipis, sebuah pemandangan langka yang hanya terjadi di momen-momen tertentu.
"Gimana? Semua udah kelar, kan?" tanya Kafka dengan nada akrab, menepuk pundak Alvin.
Alvin menyeringai, menyambut Kafka dengan tos dan anggukan percaya diri. "Udah, bro. Gue udah setel semuanya sesuai request lo. Lo gak akan kecewa."
Keenan, yang mendengar percakapan itu, tertawa kecil. "I see you two are tight? So, what's the big surprise, Kaf?"
Kafka menoleh ke Keenan, wajahnya tetap datar meskipun matanya penuh semangat. "Lo bakal liat sendiri, Keenan. Dia udah mastiin semuanya perfect." ucap Kafka sambil melirik ke Alvin.
Alvin ikut tertawa kecil. "Kafka yang paling rewel soal detail, sih. Tapi ternyata hasilnya gak kaleng-kaleng,"
Abhi dan Nevan mendekat, merasa penasaran dengan apa yang terjadi di dalam markas yang baru direnovasi itu. "Wah, lo pada udah kayak tim interior design aja," canda Abhi sambil menepuk punggung Kafka.
Kafka hanya mengangkat bahu santai, lalu ia memberi isyarat pada Alvin. "Ayo, buka pintunya. Gue yakin mereka udah gak sabar."
Alvin tertawa lagi, lalu melangkah maju membuka pintu markas dengan gerakan dramatis. "Selamat datang di markas baru lo, boys!"
Keenan melangkah masuk, matanya langsung menyapu setiap sudut ruangan dengan senyum kepuasan di wajahnya. "Man, this is dope! You guys really killed it."
Kafka hanya mengangguk ringan, sementara Alvin menjawab, "Gue bilang juga apa, kan? Tenang, lo gak bakal nyesel udah kasih gue tanggung jawab ini."
Keenan menelusuri ruang itu lebih dalam, derap langkahnya terasa berat namun mantap di lantai yang kini lebih halus berkat karpet vinyl baru yang Kafka pilihkan. "Gue nggak nyangka hasilnya bakal se-smooth ini," ujar Keenan, mengagumi perubahan besar yang terjadi pada markas mereka. Dinding abu-abu tua yang dulu terasa suram kini berganti dengan abu-abu muda, membuat tempat ini terasa lebih luas dan terang. Lampu LED strip yang dipasang di sepanjang pinggir plafon memancarkan cahaya biru lembut, menciptakan suasana futuristik yang nyaman.
"Sekarang tempat ini nggak cuma markas buat main basket, tapi juga buat ngumpul sambil brainstorming ide gila lo," Kafka menambahkan, menyusul Keenan yang masih menyapu pandangan ke sekeliling.
Alvin mendekat, "Kita juga pasang sound system yang lo pesan. Nanti kalau mau turnamen basket kecil-kecilan, tinggal setel musik biar makin hype." Ucapnya
Keenan tertawa kecil, menatap ring basket yang kini terpasang dengan sempurna di salah satu dinding. "Lo beneran bikin tempat ini jadi pusat segala kegiatan kita. Basket, nongkrong, bahkan urusan motor."
Di sudut lain, Abhi dan Nevan sibuk memeriksa rak helm yang terlihat lebih rapi, masing-masing helm motor custom mereka dipajang dengan bangga di sana. "Wah, ini serius kita dibikinin tempat buat display helm juga?" Abhi memandang Alvin dengan tatapan kagum. "Pak Ketu, ini keren banget."
"Nggak setengah-setengah dong," Alvin tersenyum. "Gue tahu tempat ini harus bisa mewakili Kalian berempat. Jadi, gue pikir setiap detail penting."
Keenan mengangguk setuju. "Wow, gue berterimakasih banget sama lo. Tempat ini nggak cuma markas biasa lagi. This is home base kita."
Namun, sekejap kehangatan itu terganggu oleh dering ponsel. Semua mata beralih pada Keenan, yang buru-buru merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Nama di layar membuatnya terdiam sejenak. Papa-nya.
Kafka mendekat, melirik sekilas layar ponsel. "Angkat aja, mungkin penting."
Keenan menghela napas panjang, lalu dengan gerakan malas, dia menerima panggilan itu. "Halo, Pa?"
Suara ayahnya terdengar jelas di seberang, serius dan langsung pada intinya. "Pulang sekarang. Kita ada pertemuan keluarga."
Keenan menjauh dari keramaian teman-temannya, suara langkahnya terdengar berat. "Pertemuan keluarga? Sekarang?"
"Iya. Keluarga besar temen papa akan ke rumah malam ini. Kita akan bahas tentang perjodohanmu."
Keenan terdiam, menatap kosong ke lantai. Suasana riuh di dalam markas perlahan pudar, tergantikan oleh beban di dadanya yang tiba-tiba terasa jauh lebih berat.
'Perjodohan?' batin Keenan.
---
Saat Keenan tiba di rumah, dia langsung memarkirkan motornya di depan pintu rumah yang dicat abu-abu muda dan segera turun, melepas helm dengan gerakan cepat. Langkahnya terburu-buru saat ia hendak memasuki rumah, namun langkahnya terhenti ketika dia melihat sosok di depan pintu—ayahnya, Rama, berdiri dengan postur tegak dan ekspresi tidak terganggu.
Keenan menghentikan langkahnya, wajahnya memerah dengan kemarahan. "Apa maksud papa? Ngapain papa ngejodohin Keenan segala?" protes Keenan, suaranya penuh emosi yang sulit ditahan.
Rama hanya tersenyum miring, ekspresinya datar dan tenang meskipun suasana tegang. "Ini sudah keputusan papa. Kamu tidak akan bisa menolaknya. Cepat siap-siap, sebentar lagi mereka semua akan datang," jawabnya, tangannya santai dimasukkan ke dalam saku celana.
Keenan menatap tajam, kemarahan di matanya semakin membara. "Keenan gak mau!" serunya, berusaha untuk berbalik dan pergi.
"Kalau kamu masih nolak, kamu gak akan pernah ketemu dengan Kavin lagi," ucap Rama dengan nada santai.
Mendengar nama adik kesayangannya disebut, langkah Keenan terhenti. Keringat dingin mulai muncul di dahinya, dan tangannya mengepal kuat, menggambarkan ketegangan yang melanda dirinya. Dia berbalik, menatap Rama dengan tatapan tajam dan penuh kebingungan. "Apa maksud papa?" tanyanya, suaranya bergetar oleh kemarahan dan kekhawatiran.
Rama menatap Keenan dengan tatapan yang dingin dan tegas. "Hanya ada dua pilihan. Kamu setuju dengan perjodohan ini, atau papa akan bawa Kavin ke Luar Negeri," jawab Rama, nada suaranya tetap dingin dan tidak menunjukkan rasa iba, lalu ia pergi meninggalkan Keenan seorang diri.
Keenan merasa marah dan putus asa, namun kemarahan itu seakan menghilang digantikan oleh rasa ketidakberdayaan. Keputusan ayahnya membuatnya merasa terjepit dalam situasi yang tidak bisa dia kontrol. Kavin, adik kesayangannya, adalah sosok yang sangat berharga baginya, sementara perjodohan ini mengancam segala sesuatu yang belum sempat dia ungkapkan—perasaan mendalamnya untuk Alsha, gadis yang kini memenuhi setiap sudut hatinya.
Dengan mata yang mulai basah, Keenan berbalik dan melangkah menuju halaman belakang rumah. Dia duduk di kursi taman yang dikelilingi oleh gelapnya malam, tubuhnya terkulai lemas. Langit malam yang dipenuhi bintang-bintang seolah menatapnya dengan sinar dingin, menambah rasa kesepian yang menggerogoti hati. Keenan menatap ke angkasa, berpikir mengapa hidupnya begitu rumit dan tidak adil. Kenapa dunia tampak enggan memberinya kebahagiaan, bahkan hanya untuk sejenak?
Keenan, dengan segala pesona dan karismanya yang sering membuat orang lain kagum, sebenarnya hanyalah satu dari sejuta jiwa yang kehilangan hangatnya cinta, tersesat dalam dinginnya kesepian tanpa kasih sayang dari kedua orang tuanya.
BERSAMBUNG
"Ketika pilihan hidup dan cinta saling bertabrakan, terkadang kita harus berkorban demi menjaga yang paling berharga."............Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul enam sore. Cahaya senja mulai memudar, menyisakan rona merah tipis di langit yang semakin gelap. Di ruang tamu, Keenan duduk di sofa panjang, tubuhnya tampak santai meski ada kegelisahan samar di wajahnya. Di sampingnya, Kavin, adik kecilnya, tenggelam dalam layar ponsel milik Keenan. Tawa kecil Kavin sesekali menggema di ruangan yang sepi, membuat senyum tipis tersungging di bibir Keenan. Namun, di balik tawa itu, Keenan tetap tak bisa sepenuhnya mengusir rasa janggal yang mengganggunya sejak sore tadi. Di lantai atas, di kamar utama, suasana jauh lebih serius. Raisya Zahra, ibu Keenan, berdiri di depan cermin, mematut dirinya sambil sesekali melirik ke arah suaminya. Wajahnya memancarkan kecantikan yang masih tersisa meskipun waktu telah berlalu, dan pesona itu kini menurun pada kedua putranya—terutama Keenan
"Menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan cinta bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda betapa berartinya perasaan itu bagi kita." -Keenan Aksara...Suasana pasar malam malam itu menggeliat hidup. Lampu-lampu kelap-kelip berwarna-warni menciptakan lautan cahaya, sementara tawa anak-anak dan teriakan dari wahana yang berputar membaur dengan musik dangdut yang mengalun dari pengeras suara tua. Riuh rendah manusia yang berdesakan di antara lapak-lapak penjaja mainan dan jajanan tak sedikit pun memudarkan atmosfer gembira, seolah-olah tempat itu menyatu dengan keajaiban kecil kota.Namun, di antara keramaian itu, ada ruang hening yang memisahkan tiga sosok: Keenan, Clara, dan Claudia. Keheningan di antara mereka terasa tegang, kontras dengan tawa yang berserakan di udara. Mata Claudia yang tajam dan penuh tanya memaku pandangannya ke arah Keenan, sementara Keenan berdiri tegak di samping Clara, wajahnya tampak sedikit kaku namun tetap tenang.Keenan bergerak dengan cepat, tanpa
"Kamu akan terlihat sempurna dimata orang yang benar-benar mencintaimu dengan tulus." -Keenan Aksara...Saat Keenan dan Clara turun dari wahana, angin malam mulai mendingin, mengusir sisa-sisa kehangatan hari itu. Lampu-lampu kota berkedip di kejauhan, tapi bagi Keenan, semuanya terasa buram. Dia melirik jam tangannya, angka delapan malam menari di sana, memaksanya untuk kembali ke realitas."Ayo pulang," katanya, suaranya datar, tanpa emosi. Clara hanya mengangguk, bibirnya mengerucut tipis, menyembunyikan kekesalan yang perlahan merayap di hatinya. Sejak tadi, Keenan lebih sibuk dengan pikirannya sendiri, membiarkan Clara bicara sendiri tanpa balasan berarti.Ketika mereka sampai di depan rumah Keenan, pemandangan itu membuatnya menarik napas dalam. Kedua orang tuanya sudah berdiri di sana, bersama ayah Clara yang tampak begitu ceria. Langit malam menjadi saksi kesunyian yang menggantung di udara, sementara senyum-senyum tersungging di wajah-wajah orang dewasa."Gimana? Sudah akr
"Ada yang berbeda ketika aku memandangnya, sebuah kedamaian yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata." -Keenan Aksara °°°°° Malam itu begitu cerah, bintang-bintang bertaburan di langit seakan menyaksikan drama kecil yang tak terlihat oleh mata kebanyakan orang. Angin malam berembus lembut, membawa ketenangan yang sayangnya tak dirasakan oleh Keenan saat ini. Dia mendapati dirinya sedikit terkejut ketika tiba-tiba Kafka sudah berada di belakangnya, seolah muncul entah dari mana. Keenan melirik sekilas ke arah Alsha yang masih terhanyut menatap langit, terpukau oleh keindahan bintang-bintang di atas sana. Dia menarik napas panjang, lalu perlahan melangkah, mengisyaratkan Kafka untuk menjauh dari rumah Alsha. "Kita cabut dari sini," ucap Keenan, suaranya datar namun ada sedikit ketegangan yang tersirat. Kafka, yang sebelumnya sempat melirik ke arah Alsha dengan rasa penasaran, mengerutkan kening. "Kenapa harus menjauh dari sesuatu yang bikin kita tenang?" tanyanya dengan nada tak se
"Cinta yang tulus tidak butuh persetujuan orang lain." -Keenan Aksara•••Keenan terus melangkah santai, mengabaikan suara Claudia yang mencoba menarik perhatiannya. Langit cerah di atas sekolah seolah tak terpengaruh oleh ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.“Keenan!” Suara Claudia menggema, namun tetap saja, ia tak menoleh.Abhi yang berada di belakang Keenan, melirik sebentar ke arah Claudia lalu menghampirinya. “Maaf, Kak. Bukannya mau ikut campur, tapi lebih baik Kakak jauhin Keenan. Ini demi kebaikan bersama.”Claudia memandang tajam ke arah Abhi, alisnya berkerut penuh tanya. “Demi kebaikan bersama? Maksud lo apa?”Abhi sempat membuka mulut, ingin menjelaskan, namun sebuah suara lain tiba-tiba menyeruak, menghentikan segalanya."Keenan!"Langkah Keenan langsung terhenti saat suara itu sampai ke telinganya. Seketika suasana berubah, menegangkan namun penuh tanda tanya. Semua mata tertuju pada seorang gadis yang berlari kecil ke arah Keenan. Clara.Keenan melirik sekilas
"Kesedihan adalah sapuan kuas yang menciptakan pola keindahan dalam kanvas hidup kita, mengungkapkan cerita di balik setiap goresan." - Keenan Aksara...Di bawah langit malam yang dipenuhi bintang, sebuah kamar kecil dengan cahaya lembut yang menembus tirai jendela. Di dalam kamar itu, suasana tenang terjaga. Seorang kakak, Keenan Aksara, duduk di sofa dengan adik laki-laki yang berada di pangkuannya. Keenan, seorang pemuda dengan wajah tegas dan tampan, adalah sosok yang tidak bisa diabaikan. Dengan rahang yang terdefinisi jelas dan mata yang penuh semangat, Keenan memancarkan aura karismatik yang membuatnya menjadi salah satu siswa paling populer di SMAN Cendana Jakarta. Namun ketampanan bukan satu-satunya alasan popularitasnya. Keenan dikenal luas karena prestasinya yang menakjubkan di bidang olahraga, khususnya basket. Ia sering kali menjadi pusat perhatian di setiap pertandingan.Ada keunikan yang membentuk sosok Keenan. Dari pihak ayahnya yang berasal dari Rusia, Keenan me
"Rumah bukan hanya tempat kita tinggal, tetapi tempat di mana hati kita merasa tenang dan diterima." -Keenan Aksara...Apartemen itu sunyi, hanya suara kipas angin yang menderu pelan di sudut ruangan. Cahaya remang-remang dari lampu meja mengisi ruang dengan kehangatan yang samar, tapi tidak mampu mengusir seluruh bayang-bayang di dinding. Di tempat tidur yang berantakan, Abhi terbaring lemah, tubuhnya diselimuti perban di beberapa bagian. Wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa pertempuran yang baru saja dilaluinya—lebam, luka, dan rasa sakit yang belum benar-benar hilang. Namun, meskipun terlihat babak belur, kondisinya sudah jauh lebih baik.Varelino Abhisar, yang lebih akrab dipanggil Abhi, sebenarnya adalah sosok yang jauh dari kesan lemah. Di sekolah, dia dikenal sebagai pria yang humoris, selalu bisa mencairkan suasana dengan lelucon dan candaannya yang spontan. Mulutnya jarang tertutup—selalu saja ada hal yang ingin dia katakan, dari hal-hal serius sampai hal-hal remeh yang ma
"Ada kalanya, cinta tak berteriak lantang. Ia bersembunyi dalam diam, mengatur segala langkah tanpa ingin dikenal, hanya berharap sang pujaan tetap tersenyum di kejauhan." -Keenan Aksara . . . Keenan menghentikan motornya di tepi jalan, dekat sebuah rumah bercat biru. Bukan rumahnya, tapi rumah seorang gadis yang, entah bagaimana, kini mampu menggetarkan hatinya Gerbang rumah itu tertutup rapat, namun di dalam sana, di tempat yang tinggi, tempat di mana gadis itu sering menghabiskan waktunya, berdiri di bawah naungan malam. Seperti biasa, Keenan melihatnya lagi, menatap langit malam dengan tenang. Meskipun jarak memisahkan mereka, cahaya rembulan cukup untuk menyorot kecantikan gadis itu, membuatnya terlihat begitu memukau. Alsha. Alshameyzea Afsheena. Atau Sheena, begitu ia sering memanggil gadis bermata rembulan itu. Tanpa pernah gagal, setiap malam, Keenan selalu menyempatkan diri untuk menyaksikan Alsha dari kejauhan. Ada sesuatu dalam dirinya yang masih belum sanggu