Awali pagimu dengan sarapan.
Karna harapan juga butuh energi.Seperti halnya Diva yang saat ini tengah melakukan sarapan bersama orang tuanya.
Abang Diva sedang berada di negara Paman Sam untuk melanjutkan studinya."Ma, Pa, Diva berangkat dulu ya," pamit Diva setelah menyelesaikan sarapannya.
"Kamu di antar supir?" tanya Afnan sambil menatap wajah putri satu-satunya.
"Iya, Pa," jawab Diva.
"Yaudah Diva berangkat Ma, Pa," ucap Diva dengan mencium tangan kedua orang tuanya.
"Hati-hati ya, Sayang," pesan Githa.
"IYA, MA."
**
Sesampainya di sekolah Diva menjadi pusat perhatian.
Banyak yang terang-terangan menatap dirinya.Apalagi semenjak kejadian di kantin."DIVAAA!"
Mendengar ada yang memanggil dirinya Diva mencari sumber suara.
Ternyata disana ketiga sahabatnya berlari menuju ke arah dirinya"Hosh.. hosh.. hoshh.."
"Gila lo jalannya cepet banget," ucap Mira setelah nafasnya kembali normal.
"Emang kalian manggil gue?" tanya Diva dengan raut polosnya.
Ketiga sahabatnya semakin geram melihat raut polos Diva.
"Iya Diva cantik, tadi kita teriak-teriak buat manggil elo," jelas Tika mencoba sabar.
"Oh," jawab Diva dan langsung melenggang pergi.
"Gila."
"Edan."
"Astaghfirullah."
Umpat ketiganya kesal melihat Diva yang pergi meninggalkan mereka.
Dengan perasaan dongkol mereka pun menyusul Diva.**
Di kediaman keluarga Bagaskara saat ini sedang ribut.
Siapa lagi kalau bukan keluarga Adit."Bunda huaaa Abang jahat!" pekik gadis kecil berumur 5 tahun.
Dia merupakan adik Adit yang bernama Bianca Loren Bagaskara, biasa dipanggil Aca.Jika di rumah Adit itu jail banget walaupun selalu menampilkan wajah datarnya.
"Adit, jangan jailin adek terus dong," ucap Desi bunda Adit.
Dirinya pusing mendengar teriakan dari anak bungsunya karena di goda oleh Adit.Padahal ini masih pagi, dan mereka sudah bikin keributan. Huft bisa darah tinggi dia, begitu pikirnya."Aca gak bisa ngomong r," ujar Adit tanpa mendengarkan omelan bundanya.
"ACA BISA KOK NGOMONG L!" Teriak aca kesal.
Melihat mata aca berkaca-kaca Adit segera melenggang pergi setelah mengejek dengan menjurkan lidahnya.
Sesampainya di meja makan Adit mencomot roti bakar selai nanas kesukaannya.
"Enggak mau sarapan nasi aja, Bang?" tanya Desi saat melihat Adit makan roti tawar.
"Udah telat Bun," jawab Adit singkat.
"Ayah kenapa lihatin Adit?" tanya Adit menaikkan sebelah alisnya kala mendapati sang ayah menatap dirinya intens.
"Kamu kapan punya pacar bang?" Bukannya menjawab Aryo ayah Adit justru balik bertanya.
Mendengar pertanyaan sang ayah Adit mengeluarkan smirk andalannya.
Desi dan Aryo yang melihat dibuat bergidik ngeri."Kamu kenapa?" tanya Desi heran.
"Udah punya," jawab Adit singkat.
"Woahh ajak main kesini dong, Bang." Bunda begitu antusias kala mendengar putra sulungnya sudah memiliki pacar.
"Hm, Adit berangkat," jawab sekaligus pamit Adit kepada orang tuanya.
"HATI-HATI, BANG!" teriak Desi karena Adit sudah sampai di pintu.
Selama perjalanan Adit melajukan kendaraannya dengan kecepatan rata-rata.
Ciitt..
Bunyi decitan dari ban motor yang dikendarai Adit sukses membuat orang sekitarnya heboh.
"Woahh keren banget."
"Gila sih Adit cool banget cuy."
"Andai Adit belum punya pacar."
"Aaaa mama ini mantumu."
Karena risih Adit menatap tajam mereka yang berhasil membuat semuanya diam.
Mereka takut jika Adit mengeluarkan tatapan mautnya.**
Di kelas ipa 1 sedang pelajaran sejarah.
Banyak murid yang mengantuk bahkan ada juga yang bermain game di ponsel.Seperti Tika saat ini yang sedang bermain game berdandan di ponselnya. Jika yang lain sibuk dengan dunianya sendiri, beda lagi dengan Diva yang justru mengamati penjelasan guru dengan saksama."Ada yang bisa jelaskan sejarah berdirinya menara eiffel?" tanya Bu Sukarti dengan memandang satu persatu anak didiknya.
Melihat tidak ada yang menjawab Diva berinisiatif untuk menjelaskan.
"Saya, Bu," ucap Diva mengacungkan tangannya.
Semua murid yang tadinya mengantuk langsung menoleh serempak kearah Diva begitu pun para sahabatnya.
"Yasudah ayo maju, Diva," jawab Bu Sukarti dengan tersenyum ramah.
"31 Maret 1889 atau 126 tahun lalu, sebuah menara kokoh yang menjadi landmark kota Paris dibuka untuk yang pertama kali. Menara Eiffel rampung dibangun dan siap dinikmati oleh masyarakat setempat. Menara Eiffel awalnya dibangun sebagai salah satu peserta pameran mahakarya dunia l'Exposition Universelle di Paris yang digelar bertepatan dengan 100 tahun Revolusi Prancis," jelas diva.
"Bangunan ini dibangun selama dua tahun dari tahun 1887 hingga 1889, oleh seorang arsitek bernama Gustave Alexandre Eiffel. Meski bangunan ini sejatinya bukan lah hasil rancangannya, melainkan dua anak buahnya. Maurice Koechlin dan Emile Nouguier. Arsitek Charles Leon Stephen Sauvestre juga turut andil dalam pembangunan Eiffel. Menara ini terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama pada ketinggian 57 meter, lantai kedua 115 meter, dan lantai ketiga 276 meter. Tinggi menara ini 312,27 meter, ditambah tinggi antena menjadi 324 meter.
Hingga tahun 1930, Eiffel yang dibangun dari besi seberat 15 ribu ton ditetapkan sebagai menara tertinggi di dunia," sambung Diva.Semua yang ada di kelas menatap kagum pada Diva.
"Meski terlihat kokoh, menara ini sebenarnya masih bisa sedikit digoyahkan ketika hari sedang berangin. Bahkan pada tahun 1999, angin ribut telah menyebabkan menara bergerak 13 cm dari kedudukan asalnya. Malah pernah terjadi akibat Matahari Eiffel sedikit condong hingga 18 cm. Selain itu, ada banyak kisah di balik eksistensi menara ini. Mulai dari penolakan warga setempat lantaran dianggap berbahaya ketika suatu saat roboh. Setelah dibangun, menara ini seharusnya dibongkar 20 tahun kemudian. Akan tetapi, pada akhirnya penduduk justru berbalik sikap menjadi setuju lantaran mahakarya ini membawa keuntungan imej Kota Paris," lanjut Diva panjang lebar.
Prok..prok prok..
"Kamu hebat," puji Bu Sukarti yang hanya di balas senyum manis oleh Diva.
"Kamu tau dari mana sejarah Eiffel yang sangat terperinci itu?" tanya Bu Sukarti penasaran.
Begitu juga murid di kelas.Bagaimana bisa Diva menjelaskan dengan rinci tanpa membaca buku? Begitulah pemikiran mereka."Di sekolah lama saya ini pelajaran kelas 10, Bu," jawab diva sopan.
Decakan kagum mereka tunjukan untuk Diva. Mereka sangat kagum dengan kepintaran Diva, walaupun ini merupakan pelajaran kelas 10 di sekolah lamanya tapi Diva tidak melupakannya.
"Ibu bangga sama, Diva," ucap Bu Sukarti menatap penuh kagum akan sosok Diva.
"Terima kasih, Bu," jawab Diva seadanya.
"Yasudah silahkan duduk, karna sudah waktunya istirahat," ujar Bu Sukarti seraya membereskan perlengkapan mengajarnya.
Sesampainya di meja Diva dibrondong oleh ocehan para sahabatnya.
Bahkan Mira yang biasanya cuek, kini ikut heboh."Gila lo hebat banget sih," ucap Nisa heboh. Hilang sudah image Nisa yang kalem.
"Iya ih, itu otak apa g****e?" tanya Mira dengan tampang cengonya.
"Woahh gue punya sahabat cerdas," pekik Tika bertepuk tangan dengan hebohnya.
"Kalian diem dulu dong!" Perintah Diva yang merasakan kepalanya berdenyut akibat ocehan para sahabatnya.
Melihat Diva memijat pangkal hidunya mereka seketika langsung diam.
Bisa gawat kalau Diva marah."Ayo ke kantin," ajak Diva seraya berjalan keluar kelas yang diikuti ketiga sahabatnya.
Selama perjalanan menuju kantin tidak ada yang buka suara.
"Oke, sekarang kalian mau tanya apa?" tanya Diva setelah duduk di meja kantin dengan menatap satu persatu sahabatnya.
"Lo kok bisa pinter?" tanya Tika dengan tampang polosnya.
"Karena belajar," jawanya singkat.
"Udah enggak ada yang mau tanya?" tanya Diva ketika melihat sahabatnya diam.
"Enggak hehehe," jawab mereka serempak dengan menunjukan cengiran.
"Gue pesenin makanan ya?" tanya Mira bangkit dari duduknya yang di jawab anggukan oleh ketiganya.
Hening menyapa meja Diva dkk hingga
"Kita duduk disini ya?" tanya seseorang, yang ternyata Daniel.
Tanpa menunggu jawaban dari Diva dkk Adit langsung duduk di sebelah Diva.
Jadi, posisi duduknya tuh Adit - Diva - Nisa - DanielBara - Tika - Mira - Revan."Makanan datang," ujar Mira dan Revan kompak.
"Terima kasih," jawab mereka serempak, lalu mereka mulai menyantap makanan masing-masing.
Saat sedang asiknya menikmati makan, tiba-tiba
BRAK
"Eh anjir."
"Ayam lompat."
"Badak terbang."
"Astaghfirullah."
Pekik kompak mereka kaget, kecuali Diva dan Adit yang cuma terlonjak sebentar.
"HEH NGAPAIN LO DUDUK SAMA PACAR GUE!" teriak seorang gadis yang bernama Angel.
Diva yang melihat cara berpakaian Angel pun bergidik ngeri. Bagaimana tidak baju yang kekecilan, rok span setengah paha, bedak tebal, dan lipstik merah menyala. Menurut Diva ini bukan seperti pelajar tapi tante-tante kondangan."Ngapain lo ngeliatin gue?" tanya Angel kala mendapati Diva nenatap dirinya intens.
"Enggak papa kok," jawab Diva tenang.
"Lo enggak tau siapa gue?" tanya Angel geram melihat jawaban enteng Diva.
"Lo manusia kan?" tanya Tika polos.
"Eh bukan, dia tante-tante," sambung Mira yang membuat seisi kantin tertawa.
Suasana kantin saat ini di penuhi dengan tawa."Gue itu pacarnya Adit," ucap Angel percaya diri.Mendengar ucapan Angel tawa yang tadinya mereka kini semakin keras.Angel bingung kenapa mereka ketawa?"Lo pacarnya Adit?" tanya Nisa mendengus geli."Iya dong," jawab Angel mengibaskan rambutnya."Heh, yang pacarnya Adit itu Diva," celetuk Mira ketus."Jelas disini yang pacarnya Adit itu gue!" teriak Angel tak terima."Coba lo tanya sama semua yang ada di sini," tantang Tika tersenyum meremehkan.Merasa tak terima Angel dengan percaya dirinya bertanya kepada semua yang ada di kantin."GUYS DISINI YANG PACARNYA ADIT GUE APA DIVA?" tanya Angel lantang."DIVA," Seru semuanya serempak.Wajah Angel berubah menjadi merah padam, antara malu dan marah."Urusan kita belum selesai
Semua mata terpaku pada 1 titik. Disana, Diva berdiri dengan anggunnya.Semua mata terpesona membuat Adit geram, ingin sekali dia mencongkel mata pria yang melihat kekasihnya dengan tatapan kagum.Diva menggunakan celana hottpans selutut dengan atasan baju crop dibalut rompi selutut tanpa lengan, yang memperlihatkan perut rata serta mulusnya."Woah gila cantik banget." "Mulus banget ya ampun.""Perutnya rata coy.""Aaa insecure."Lapangan indoor mulai gaduh setelah beberapa saat mereka tercengang dengan penampilan Diva yang memukau."SAAT INI KITA AKAN SELEKSI, SIAPA YANG LEBIH UNGGUL AKAN TERPILIH MENJADI KETUA DANCE," ucap Bu Rere lantang."Silahkan Angel," ucap Bu Rere mempersilahkan Angel memasuki lapangan indoor.Bisik-bisik mulai terdengar. Mereka tidak meny
Jika menghadapi lawan kita tidak perlu tergesa-gesa. Cukup tenang dan buat lawan mu bungkam dengan keberhasilan mu.Seperti yang dilakukan Diva sekarang. Jika orang lain mungkin sudah gugup, namun Diva tetap tenang dengan senyum manisnya."INI DIA DIVA," ucap Bu Rere keras."Woooo." Sorakan mereka terdengar bersahutan.Gerakan Diva mencepol rambutnya asal membuat semuanya terpekik takjub, dimana ia memperlihatkan leher jenjang putih mulusnya.Semua kaum Adam menelan salivanya susah payah, bahkan pak satpam sampai terjungkal karena terlalu fokus melihat Diva.Disaat semua orang takjub, berbeda dengan Adit yang justru menggeram marah. Dirinya tidak suka berbagi, Diva miliknya untuk sekarang dan selamanya.Gigi Adit bergemelutuk menahan emosi, mereka yang merasakan aura negatif dari Adit langsung mengalihkan pandangan, tidak mau berurusan dengan ketua danger yang terkenal brin
"Sayang, bangun," ujar wanita paruh baya yang merupakan Mama Diva. "Sebentar lagi ma," balasnya dengan suara serak khas bangun tidur. "Bangun Diva, enggak baik anak gadis bangun siang," tegas Mama Githa berkacak pinggang. "Iya, Mama," jawabnya malas. Dengan terpaksa Diva berjalan menuju kamar mandi, dalam keadaan mata belum terbuka dan berjalan sempoyongan. Semalam dia menonton drakor sampai tengah malam alhasil sekarang dirinya sangat mengantuk. Mama Githa yang melihat kelakuan putri bungsunya mendengkus geli. "Jangan merem, Sayang," ucap Mama Githa terkekeh dan keluar dari kamar putrinya. Weekend adalah hari yang selalu di nantikan oleh semua orang, terutama pelajar. Begitupun Diva yang juga bahagia karena dapat melakukan kegiatan selain belajar. Seperti menonton drakor, jalan-jalan, atau tidur seharian. Karena pada dasarnya Diva anak yang raj
Saat ini kedua sejoli yang sedang di mabuk cinta itu dalam perjalanan menuju rumah Adit.Pagi hari tadi orang tuanya berpesan untuk mengajak sang kekasih berkunjung."Adit, gue takut," ucap Diva setelah sampai di pekarangan rumah Adit."Ngapain takut?" tanya Adit datar seraya menaruh helm di spion motor.Diva tidak menjawab.Melihat sang kekasih di rundung kegugupan Adit berinisiatif menenangkan."Enggak papa, ayo," ajak Adit menggenggam tangan mungil Diva."Pulang aja yuk!" ajaknya memelas."Ortu gue enggak makan manusia kok," sahut Adit enteng dengan tetap berjalan mendekati pintu utama keluarga Bagaskara."Bisa serius gak sih!" sungutnya menabok pelan lengan Adit."Seriusnya nanti aja setelah lulus," jawab Adit tenang menatap dalam mata Diva.Diva yang diperlakukan seperti itu men
"Bang gawat bang," teriak salah satu anggota kelas 10 dengan panik.Inti danger saat ini berada di warung belakang sekolah. Warung ini merupakan markas ke dua geng Danger."Kenapa, Sa?" tanya Daniel heran."Geng heroz nyerang sekolah, Bang," jawabnya yang bernama Aksa.Adit geram, giginya bergemelutuk, dan tangannya mengepal hingga buku jarinya memutih."Kumpulin semua yang ada di sini," ucap Adit tegas.Tidak ada yang bersuara. Karena mereka tahu bahwa Adit saat ini sedang emosi. Mereka tidak mau menerima resiko babak belur di tangan Adit."KUMPUL!" seru Adit dengan tegas.Semuanya langsung lari terbirit-birit mendekati Adit. Bahkan sampai ada yang terjungkal karena tidak memperhatikan jalan saking terburu-burunya."SIAP," ucap semuanya lantang."Kita menggunakan formasi seperti biasa. Jangan kepanc
"ADIT."Teriakan memanggil Adit terdengar sangat nyaring, sedangkan pemilik suara tidak menunjukkan batang hidungnya."Adit," panggil Bara di ambang pintu aula.Ya, ternyata Bara lah pemilik suara nyaring tadi.Mereka mendengkus kesal. Lagi asik melihat keromantisan ketua danger dan Bara datang sebagai pengganggu.Dengan santainya Bara mendekat ke arah sepasang kekasih yang masih berpelukan."APA INI MISKAH," teriak Bara tidak percaya.Serius? Ini Adit? Teman kulkasnya? Dan memeluk perempuan?Saking tidak percayanya Bara sampai melongo."Ad-"Lo kok ninggalin kita sih, Bar," potong Revan kesal yang baru saja sampai bersama Daniel."Bar, lo dengerin gue enggak sih," ucap Revan protes.Daniel heran melihat ekspresi Bara yang melongo dengan mata melotot.Mengikuti arah pandang Bara, Daniel ikut terdiam terkejut.Itu sahabat batunya?Revan semakin kesal melihat Daniel yang ikut terdi
"Kalian ngapain disini?" tanya Diva kebingungan melihat sahabatnya berdiri kaku di dekat pintu. "Hehe kita nyariin lo," jawab Nisa tersenyum kikuk. "Maafin gue ya," pinta Diva tulus. Dirinya berasa bersalah karena membuat sahabatnya kebingungan. Sedangkan dia malah tidur di sini. "Kenapa kamu yang minta maaf?" tanya Adit menyelipkan anak rambut yang menutupi muka Diva. "Aku merasa bersalah aja," balasnya. Revan melongo takjub begitupun yang lain ketika mendengar Adit berbicara menggunakan aku - kamu. Apalagi nada bicaranya kepada Diva sangat lembut, lah sedangkan dengan mereka? Sudah seperti ingin menerkam hidup-hidup. Daniel menggelengkan kepalanya tak percaya. Apakah cinta memang bisa mengubah seseorang? Dirinya jadi ingin mempunyai pacar juga. "Diva, lo enggak mau turun?," tanya Mira jengah. Disini mereka capek berdiri sedangkan Diva dengan nyaman duduk di pangkuan Adit. Diva kebingungan dengan ma
Adit mengalihkan pandangannya seraya menghela napas pelan. Kemudian kembali menatap kedua sahabatnya dengan raut serius. Meskipun ragu, dia akan mengatakannya karena mereka harus tahu kebenarannya."Karin hamil." Adit berkata dengan suara yang begitu pelan. Namun meskipun begitu, Bara dan Revan masih dapat mendengar dengan jelas.Tubuh keduanya mendadak kaku dengan mulut setengah terbuka. Mereka tidak salah dengar 'kan?"Ha ha pasti itu cuma alasan lo biar enggak dimarahi kami 'kan?" tanya Revan tertawa garing.Tawa Bara menguar, seolah apa yang diucapkan Adit adalah hal paling lucu. "Lo emang enggak pantes ngelawak, Dit. Nanti berguru sama gue. Jangan bawa-bawa kehamilan anjir, ngeri gue."Tangan Adit terangkat menepuk bahu kedua sahabatnya diikuti dengan gelengan kepala."Gue enggak lagi ngelawak. Ini beneran, Karin hamil anak gue," ucap Adit berhasil menghentikan tawa Bara.Raut wajah laki-laki yang suka bercanda itu berubah menjad
Kini giliran mereka yang terdiam. Benar-benar tidak menyangka dengan jawaban Diva yang sedikit menyentil hati mereka. Hati dan perasaan seseorang memang tidak bisa ditebak. Kemarin suka dan sekarang benci. Revan mengkode Bara melalui lirikan mata. Diam-diam dia meringis tidak enak. Berada di situasi seperti ini sangat tidak nyaman. "Va, sorry, gue engg-" "Enggak papa kok," sela Diva memotong ucapan Bara dengan wajah datarnya yang semakin membuat laki-laki itu merasa bersalah. "Gue minta maaf. Gue sama sekali enggak maksud ngomong gitu," cicit Bara. Daniel maju selangkah lalu mengusap rambut Diva lembut. "Pikirin baik-baik sebelum membuat keputusan." Diva hanya mengangguk pelan. Melihat pemandangan di depannya membuat Nisa mengalihkan pandangannya. Hatinya berdenyut sakit. "Ngelihat lo kayak gini malah bikin gue sa
Dengan posisi yang masih membelakangi Adit, Diva mengukir senyum tipis penuh luka. Di posisinya ini, dia juga melihat kedua sahabatnya yang berdiri kaku beberapa langkah di depannya. Perlahan Diva membalikkan badannya, menatap laki-laki yang sudah memberikan banyak rasa kepadanya. "Kenapa harus marah? Gue enggak marah sama sekali. Lagi pula lo enggak punya kesalahan yang harus gue marahin, Adit." "Terus, kenapa lo beda?" tanya Adit menatap Diva sayu. Diva menoleh ke samping lalu menarik napas pelan dan kembali menatap Adit. Namun kali ini tatapannya tidak lagi lembut, melainkan datar. "Apanya yang beda? Gue emang kayak gini. Lo 'kan enggak kenal sama gue, jadi wajar kalau ngerasa gue beda," jawab Diva tenang. Langkah kaki Adit perlahan membawanya mendekat ke arah Diva. "Gue minta maaf kalau ada salah. Gue ... gue ngerasa enggak suka sama sikap lo yang kayak gini, Diva," ucapnya bersungguh-sungguh. "Semua kesalahan lo udah gue maafin ko
Baru saja Nisa akan menjawab, suara dentingan sendok mengalihkan perhatian semuanya. Pelakunya adalah Diva. Dia sengaja sedikit membanting sendok karena terlalu risih dengan tatapan dua laki-laki yang tak lain adalah Adit dan Daniel. "Loh, Va, lo mau ke mana?" tanya Mira heran saat melihat Diva bangkit dari duduknya, padahal mereka belum selesai bahkan baru saja mulai. "Kelas," jawab Diva singkat dan langsung melenggang pergi. Meninggalkan tanda tanya besar untuk sahabatnya. "Makanannya belum habis loh," tunjuk Tika ke arah makanan Diva yang baru termakan sedikit. Mereka saling pandang lalu menggeleng dengan kompak. Mereka bingung kenapa Diva menjadi seperti ini. Disuruh bercerita menolak, mau menebak pun mereka juga tidak bisa. Karena ekspresi Diva terlihat biasa saja, tidak ada emosi. "Diva sebenarnya kenapa sih?" tanya Bara bertopang dagu menatap ke arah perginya Diva.
"Pagi, Cantik," sapa Bara kepada Diva yang lewat di depannya dengan senyum lebar.Diva menoleh dan tersenyum tipis. "Pagi, Bar," balasnya kemudian langsung melenggang pergi, tanpa menatap inti dan anggota danger lainnya.Bukan hanya Bara yang merasa heran, tetapi semua yang ada di parkiran juga merasa kalau Diva sedikit berbeda. Biasanya gadis itu akan menyapa dengan riang, bahkan ikut bergabung. Apalagi jika ada Adit.Namun sekarang, gadis cantik itu hanya membalas dengan singkat tanpa melihat ke yang lain. Bahkan ke Adit pun tidak."Diva kenapa cuek gitu ya?" tanya Bara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Apa kalimat sapaannya salah, sampai Diva marah karena dipanggil cantik?"Dia juga enggak nyapa kita. Tumben banget dia enggak semangat gitu, padahal di sini ada Adit," sahut Revan menatap punggung Diva yang semakin menjauh."Mungkin udah enggak mau lagi sama Adit," celetuk Bara asal.Mendengar celetukan sahabatnya, Adit langsung
Diva tersenyum tipis, dengan pelan dia melepas pelukan Tika yang begitu erat. Bukannya tidak senang, tetapi di sebelahnya ada Mira yang sudah tertidur pulas. Dia tidak mau mengganggu sahabatnya itu hanya karena terjepit oleh Tika. "Gue enggak papa kok. Maaf udah buat lo khawatir," jawab Diva merasa bersalah. "Terus lo ke mana? Kenapa enggak balik ke kelas? Kenapa di toilet juga enggak ada?" tanya Tika beruntun. Nisa menghela napas pelan mendengar pertanyaan Tika. Sudah dia duga, gadis itu pasti bertanya secara bertubi-tubi. "Lo enggak bisa tanya satu-satu ya, Tik? Gue pusing dengarnya." "Gue enggak tanya sama lo, jadi lebih baik lo diam aja. Mimpi apa gue bisa punya sahabat kayak lo sama Mira. Gampang emosi dan suka komentar sama apa yang gue lakuin," gerutu Tika memberenggut kesal. Diva menggelengkan kepalanya pelan menyaksikan perdebatan para sahabatnya. Sudah tidak asing lagi jika
"Bu Sukma masih ngejar kita, gimana nih?" tanya Tika di sela larinya. " Gue udah capek anjir." Meskipun napasnya terasa menipis, tetapi Tika juga tidak mau berhenti. Karena kalau berhenti, yang ada dia ketangkap oleh Bu Sukma lalu diberi hukuman. Oh no! Dirinya tidak mau berurusan dengan matahari apalagi toilet. "Gimana kalau ke kelas aja? Gue juga capek, berasa di kejar orang gila, deg-degan parah," sahut Bara setelah melihat ke belakang dan ternyata benar apa yang dikatakan Tika, Bu Sukma masih mengejar mereka berdua dengan penggaris kayu yang diacungkan. Tika mengangguk menyetujui. "Oke, daripada dihukum bersihin toilet yang baunya bikin mual, lebih baik gue berperang sama pelajaran. Dadah, Bara Jelek," pamitnya seraya melambaikan tangan lalu berlari menuju kelasnya. "Sialan lo bocah! Awas aja ya, gue bikin jatuh cinta klepek-klepek lo. Nanti bilangnya 'aku enggak mau pisah sama kamu' atau enggak 'a
"Lo harus bisa atur emosi, Mir," celetuk Revan memecah kesunyian di antara keduanya. Sejak kepergian Daniel dan Nisa, dia sengaja mengajak Mira ke taman belakang. Karena menurutnya, hanya tempat itu yang cocok untuk menenangkan diri. Selain sejuk, tempatnya pun tidak ramai dan hanya segelintir siswa yang berlalu lalang. "Apa pun yang menyangkut sahabat gue, gue enggak bisa tinggal diam, Van. Apalagi ini Diva, sahabat yang paling gue sayang," sahut Mira menatap lurus ke depan. Dia berusaha menahan emosinya supaya tidak meledak. Bagaimana pun juga, di sini ada Revan dan dia tidak mau laki-laki itu menjadi korbannya. Karena yang bermasalah itu Adit, bukan sahabatnya. Huh, rasanya dia ingin menghajar wajah tampannya sampai babak belur, atau kalau perlu menonjok giginya sampai rontok. Supaya menjadi jelek dan otomatis tidak akan ada lagi perempuan yang menyukainya. "Gue tau apa yang lo rasain, tetapi percum
"Kenapa? Lo ingat sesuatu?" tanya Mira melirik Adit dengan tangan yang bersedekap."Enggak, gue cuma ngerasa pernah ada di posisi kayak gini," jawab Adit menatap meja dengan pandangan kosongnya.Jujur, sampai sekarang dia merasa bingung dengan dirinya sendiri. Entah apa yang terjadi sebelumnya, tetapi di beberapa situasi dia merasa familiar. Seolah pernah mengalaminya. Namun dia juga tidak ingat kapan situasi itu terjadi.Kekehan kecil keluar dari mulut Mira. "Lo emang pernah ada di posisi ini, kejadian yang sama tetapi beda tempat. Sayangnya sekarang lo lagi amnesia, jadi enggak inget kejadian menegangkan waktu itu," ujarnya santai."Mir," tegur Nisa menyenggol lengan Mira pelan, memperingati gadis itu agar tidak berbicara macam-macam yang dapat membuat Adit memaksa ingatannya.Ketiga inti danger hanya diam membisu, tidak menegur Mira atau pun menenangkan Adit yang mulai meremas rambutnya."Apa benar yang dibilang dia?" tanya Adit menatap s