"Sayang, bangun," ujar wanita paruh baya yang merupakan Mama Diva.
"Sebentar lagi ma," balasnya dengan suara serak khas bangun tidur.
"Bangun Diva, enggak baik anak gadis bangun siang," tegas Mama Githa berkacak pinggang.
"Iya, Mama," jawabnya malas. Dengan terpaksa Diva berjalan menuju kamar mandi, dalam keadaan mata belum terbuka dan berjalan sempoyongan. Semalam dia menonton drakor sampai tengah malam alhasil sekarang dirinya sangat mengantuk.
Mama Githa yang melihat kelakuan putri bungsunya mendengkus geli.
"Jangan merem, Sayang," ucap Mama Githa terkekeh dan keluar dari kamar putrinya.
Weekend adalah hari yang selalu di nantikan oleh semua orang, terutama pelajar.
Begitupun Diva yang juga bahagia karena dapat melakukan kegiatan selain belajar. Seperti menonton drakor, jalan-jalan, atau tidur seharian.Karena pada dasarnya Diva anak yang rajin dan enggak suka kotor, jadi meskipun weekend akan tetap mandi pagi.
Butuh waktu 15 menit untuk Diva menyelesaikan mandinya.
Ting
Dentingan handphone pertanda ada pesan masuk mengalihkan perhatian Diva yang sedang menggunakan skincare pagi.
Dengan wajah kebingungan Diva berjalan menuju handphonenya berada. Tumben sekali pagi-pagi sudah ada yang mengiriminya pesan.
Adit
Adit: P.
Diva: Iya, ada apa?
Adit: Jalan, siap-siap gih!
Diva: siap komandan.
Dengan senyum yang mengembang Diva langsung berlari menuju walk in closet untuk mengganti pakaiannya.
Ah senang sekali, ini merupakan date pertama mereka.Diva menggunakan outfit kaos putih lengan pendek, celana jeans hitam, dan sepatu kets putih. Terlihat simpel dan cantik.
"Mau kemana, Nak?" tanya Papa Afnan bingung ketika Diva duduk di ruang keluarga dengan pakaian rapi.
"Mau jalan, Pa," jawab Diva ceria.
"Wah sepertinya Putri Mama lagi bahagia nih," goda Mama Githa seraya mencolek dagu Diva.
"Apaan sih, biasa aja kok," elaknya.
"Sayang, pipi kamu merah!" seru Papa Afnan pura-pura panik.
"Kamu sakit?" tanya Mama Githa cemas.
"Mama, Papa," rengeknya dengan muka yang memerah malu.
"Haha iya," sahut Mama Githa tertawa.
"Ciee blusing," ucap Papa Afnan menggoda.
Tin
Disaat tertawa mereka dikejutkan dengan suara klakson.
Diva yang tau bahwa itu Adit langsung berlari untuk membukakan pintu.
"Mau berangkat sekarang?" tanya Diva tersenyum manis.
"Mana ortu lo?" tanya balik Adit datar.
"Ada di dalam," jawabnya.
"Anterin gue ke ortu lo," ucap Adit menatap Diva yang terlihat sangat cantik.
"Yuk."
Mereka menuju ruang keluarga dengan Adit yang berjalan di belakang Diva.
"Ma, Pa," panggil Diva pelan.
"Ada apa, Nak?" tanya Githa bingung.
Sebelum Diva menjawab Adit sudah berada di sampingnya.
"Assalamu'alaikum," ucap Adit seraya mencium tangan kedua orang tua Diva.
Diva menarik tangan Adit untuk duduk di depan kedua orang tuanya.
"Om, Tante, saya mau izin mengajak Diva jalan-jalan," ujar Adit datar namun sopan.
"Kamu siapa Anak saya?" tanya Papa Afnan menatap datar pemuda yang kini ada di hadapannya.
"Saya pacarnya Diva, Om," jawabnya tegas.
Mendengar jawaban Adit raut wajah Afnan semakin datar.
Diva menggigit bibir bawahnya cemas, bagaimana jika Papanya tidak memberi izin kepada mereka berdua?
Aura dingin yang sama-sama terpancar dari kedua pria itu memenuhi ruang keluarga, hingga membuat siapa pun merinding.
"Saya kesini juga ingin meminta izin kepada, Om dan Tante. Saya sayang sama Diva," lanjut Adit dengan suara beratnya.
"Apa jaminan kamu?" tanya Papa Afnan menantang.
"Nyawa saya taruhannya, Om," sahutnya tegas tanpa keraguan.
Diva melotot kaget. Kenapa dia enteng sekali menaruhkan nyawanya.
Mama Githa tersenyum haru. Baru kali ini dia menemukan lelaki seberani dan setegas Adit. Semoga dia memang yang terbaik untuk Anaknya.
"Kamu yakin?" tanya Papa Afnan seraya menatap dalam mata Adit guna mencari kobohongan. Dan nihil, disana hanya terdapat pancaran ketulusan.
"Yakin, Om," sahutnya tegas.
"Kami memberi izin, jangan kecewakan kami," ujar Papa Afnan tersenyum ramah.
Walau dalam hati Adit masih kaget akan perubahan raut Afnan tetapi dia tetap mengangguk.
Diva tidak dapat menyembunyikan senyumannya.
"Yasudah kalian berangkat sana," celetuk Mama Githa.
"Iya, aku pergi dulu ya, Ma Pa," pamit Diva mencium tangan kedua orang tuanya yang di ikuti oleh Adit.
**
"KITA MAU KEMANA?" teriak Diva saat motor yang mereka tumpangi melaju kencang.
"MALL," jawab Adit ikut berteriak karena bisingnya kendaraan.
"MAU MAKAN?" tanya Adit keras.
"KE MAKAM SIAPA?" tanya Diva kebingungan.
"LO LAPER APA ENGGAK?" tanya Adit sekali lagi dengan suara yang lebih keras.
"GUE ENGGAK BUDEG YA!" seru Diva marah.
"MAKAN DIVA MAKAN," teriak Adit geram. Kenapa kekasihnya jadi tuli sih.
Karena tidak mendengar jawaban dari gadisnya Adit melihat dari spion yang ternyata Diva sedang melongo dengan tampang bloonnya.
Terlanjur kesal Adit semakin mempercepat laju motornya.
"IYA ENTAR KITA KE MAKAM," jawab Diva tepat di sebelah telinga Adit.
"Iya, lo yang gue makamin va," gerutu Adit kesal, selain tuli ternyata Diva sangat menyebalkan.
**
Sekarang kedua sejoli sudah sampai di parkiran mall yang terkenal di Jakarta.
"Adit," panggil Diva menarik ujung jaket kekasihnya.
Tanpa menjawab Adit langsung menoleh ke arah Diva.
"Enggak bisa di buka," ucap Diva dengan tampang polos.
Gemesin banget sih lo, batin Adit tersenyum.
"Sini," pintanya menyuruh Diva mendekat.
"Udah, yuk," ajak Adit menarik Diva.
Di sepanjang jalan mereka menjadi pusat perhatian. Dengan wajah yang terpahat sempurna, bentuk dan tinggi badan yang ideal. Bahkan tanpa keduanya sadari mereka memakai setelan sama, yang semakin menarik perhatian para pengunjung.
"Mau kemana?" tanya Adit menunduk karena tinggi Diva hanya sebatas lehernya.
"Timezone," jawabnya antusias bak anak kecil yang akan dibelikan mainan oleh ibunya.
Mendengar jawaban Diva semakin membuat Adit kagum. Biasanya jika cewek lain akan memilih ke toko pakaian, sepatu, dan make up. Namun Diva memilih timezone.
"Dit, main adu basket yuk!" ajak Diva yang di setujui oleh Adit.
Bola pertama ada di tangan Diva. Dengan kelincahannya Diva mendribble bola mendekati ring.
"YES, SATU KOSONG," seru Diva meledek Adit dengan mata yang dijulingkan.
Melihat ekspresi Diva membuat Adit ingin tertawa, tapi dia harus menjaga image apalagi di tempat ramai seperti ini.
Kini giliran Adit yang menguasai bola, dia mendribble bole dengan gesitnya tanpa memberi Diva luang.
"Satu sama," ucap Adit ketika bolanya memasuki ring.
"Ish gue bales lo," sahut Diva ketus.
Permainan semakin seru, keringat membasahi keduanya. Bahkan para pengunjung sudah melingkari tempat bermain basket guna melihat kelincahan mereka.
Saat ini bola masih di kuasai Adit. Dengan skor 20 - 20 yang membuat Diva kesal.
Seperti mendapat lampu kuning di kepalanya Diva tersenyum misterius."Adit," panggil Diva kepada Adit yang saat ini melakukan defense.
Walaupun tidak kentara tapi di dalam hati Adit kebingungan kala melihat Diva tersenyum manis yang berjalan mendekat ke arahnya.
"Gue sayang sama lo," ucap Diva halus.
Melihat Adit mematung dengan segera Diva merebut bola dan melakukan shooting.
"GUE MENANG," teriak Diva bahagia.
Mendengar teriakan di sampingnya Adit lantas tersadar. Secara perlahan telinganya berwarna merah.
Diva yang menyadari langsung tergelak.
"Hahaha lo kenapa?" tanya Diva tertawa.
Sialan, gue baper, umpatnya dalam hati.
Para pengunjung yang menyaksikan keduanya berteriak heboh.
"So sweet banget sih."
"Gue juga pengen punya cowo kaya gitu."
"Ceweknya glowing banget."
"Dahlah, yang kentang minggir."
Terlampau kesal Adit langsung menggendong Diva seperti karung beras dan keluar dari kerumunan.
"AAA ADIT TURUNIN GUE WOY."
"TOLONG TOLONG." Diva terus berteriak layaknya orang yang diculik dengan tangan memukul punggung Adit brutal.
"Mirip orang gila lo," ucap Adit menurunkan Diva di kursi tunggu kawasan timezone.
"Pusing gue," keluhnya meringis.
"Sini gue pijit, maafin gue ya," pinta Adit dengan nada pelan.
Ketika menoleh ke arah kiri mata Diva langsung berbinar.
"Adit ayo ke sana," ajak Diva antusias melupakan bahwa dirinya tadi mengeluh pusing.
Tanpa mendapat persetujuan dari sang kekasih, Diva langsung menarik Adit menuju tempat photo booth.
Di belakang, Adit mengernyit heran. Tadi mengeluh pusing dan sekarang bertingkah seolah-olah tidak pusing.
"Adit kita pakai stiker ya," ucap Diva tanpa menatap lawan bicaranya.
"Terserah Lo aja," jawab Adit pasrah.
"Yuk mulai," ajak Diva antusias.
Mereka mulai bergaya sebanyak 4 Kali.
Gaya pertama Adit mencubit pipi Diva dengan keduanya berekspresi cemberut.Gaya kedua Diva memeluk Adit dengan memejamkan mata dan Adit mencium pucuk kepala sang kekasih.
Gaya ketiga keduanya kompak menjulingkan mata dengan lidah menjulur.
Gaya ke empat Adit yang memeluk Diva dari belakang dengan mereka tersenyum lebar.
"Bagus banget," pujinya senang.
"Kita cetak ke petugas yuk!" ajak Adit menuntun Diva.
"Pak, dijadikan dua," ujar Diva yang dibalas senyuman oleh petugasnya.
"Ini neng," ucap petugas menyerahkan 8 lembar foto setelah memakan waktu 10 menit untuk mencetak.
"Terima kasih, Pak," balas Diva sedangkan Adit hanya menganggukkan kepalanya.
"Dit, ini punya lo," ucap Diva menyerahkan 4 lembar foto, yang langsung dimasukkan ke dalam dompet oleh empunya.
Saat ini kedua sejoli yang sedang di mabuk cinta itu dalam perjalanan menuju rumah Adit.Pagi hari tadi orang tuanya berpesan untuk mengajak sang kekasih berkunjung."Adit, gue takut," ucap Diva setelah sampai di pekarangan rumah Adit."Ngapain takut?" tanya Adit datar seraya menaruh helm di spion motor.Diva tidak menjawab.Melihat sang kekasih di rundung kegugupan Adit berinisiatif menenangkan."Enggak papa, ayo," ajak Adit menggenggam tangan mungil Diva."Pulang aja yuk!" ajaknya memelas."Ortu gue enggak makan manusia kok," sahut Adit enteng dengan tetap berjalan mendekati pintu utama keluarga Bagaskara."Bisa serius gak sih!" sungutnya menabok pelan lengan Adit."Seriusnya nanti aja setelah lulus," jawab Adit tenang menatap dalam mata Diva.Diva yang diperlakukan seperti itu men
"Bang gawat bang," teriak salah satu anggota kelas 10 dengan panik.Inti danger saat ini berada di warung belakang sekolah. Warung ini merupakan markas ke dua geng Danger."Kenapa, Sa?" tanya Daniel heran."Geng heroz nyerang sekolah, Bang," jawabnya yang bernama Aksa.Adit geram, giginya bergemelutuk, dan tangannya mengepal hingga buku jarinya memutih."Kumpulin semua yang ada di sini," ucap Adit tegas.Tidak ada yang bersuara. Karena mereka tahu bahwa Adit saat ini sedang emosi. Mereka tidak mau menerima resiko babak belur di tangan Adit."KUMPUL!" seru Adit dengan tegas.Semuanya langsung lari terbirit-birit mendekati Adit. Bahkan sampai ada yang terjungkal karena tidak memperhatikan jalan saking terburu-burunya."SIAP," ucap semuanya lantang."Kita menggunakan formasi seperti biasa. Jangan kepanc
"ADIT."Teriakan memanggil Adit terdengar sangat nyaring, sedangkan pemilik suara tidak menunjukkan batang hidungnya."Adit," panggil Bara di ambang pintu aula.Ya, ternyata Bara lah pemilik suara nyaring tadi.Mereka mendengkus kesal. Lagi asik melihat keromantisan ketua danger dan Bara datang sebagai pengganggu.Dengan santainya Bara mendekat ke arah sepasang kekasih yang masih berpelukan."APA INI MISKAH," teriak Bara tidak percaya.Serius? Ini Adit? Teman kulkasnya? Dan memeluk perempuan?Saking tidak percayanya Bara sampai melongo."Ad-"Lo kok ninggalin kita sih, Bar," potong Revan kesal yang baru saja sampai bersama Daniel."Bar, lo dengerin gue enggak sih," ucap Revan protes.Daniel heran melihat ekspresi Bara yang melongo dengan mata melotot.Mengikuti arah pandang Bara, Daniel ikut terdiam terkejut.Itu sahabat batunya?Revan semakin kesal melihat Daniel yang ikut terdi
"Kalian ngapain disini?" tanya Diva kebingungan melihat sahabatnya berdiri kaku di dekat pintu. "Hehe kita nyariin lo," jawab Nisa tersenyum kikuk. "Maafin gue ya," pinta Diva tulus. Dirinya berasa bersalah karena membuat sahabatnya kebingungan. Sedangkan dia malah tidur di sini. "Kenapa kamu yang minta maaf?" tanya Adit menyelipkan anak rambut yang menutupi muka Diva. "Aku merasa bersalah aja," balasnya. Revan melongo takjub begitupun yang lain ketika mendengar Adit berbicara menggunakan aku - kamu. Apalagi nada bicaranya kepada Diva sangat lembut, lah sedangkan dengan mereka? Sudah seperti ingin menerkam hidup-hidup. Daniel menggelengkan kepalanya tak percaya. Apakah cinta memang bisa mengubah seseorang? Dirinya jadi ingin mempunyai pacar juga. "Diva, lo enggak mau turun?," tanya Mira jengah. Disini mereka capek berdiri sedangkan Diva dengan nyaman duduk di pangkuan Adit. Diva kebingungan dengan ma
"Ma," panggil Diva menuruni tangga.Mama Githa yang sedang menonton televisi pun menoleh."Ada apa, Sayang?" tanyanya lembut."Diva mau ke kafe," ucap Diva memberi tahu."Jangan pulang terlalu malam ya, Sayang," ucap Githa memperingati."Siap, Nyonya," jawab Diva dengan gerakan hormat.Githa terkekeh melihat tingkah putrinya.Tin"Ma, Adit sudah jemput. Diva berangkat ya," pamit Diva mencium tangan serta pipi Mama Githa."Iya, hati-hati, Nak," pesan Githa yang di jawab dengan acungan jempol.**"Berangkat sekarang?" tanya Diva saat sudah berada di dekat Adit.Adit memperhatikan pakaian yang di kenakan Diva.Sweater berwarna biru dipadukan dengan jeans putih dan sepatu putihnya. Sederhana memang namun sangat pas jika dipakai Diva. Cantik.
"I - tu," tunjuk Bara gugup.Adit mengikuti arah yang ditunjuk Bara, seketika badannya melemas.Dia merasa tidak becus menjaga Diva.Ternyata Diva juga tertusuk di bagian perut kirinya. Bahkan, sekarang Diva sudah memejamkan mata dengan wajah yang perlahan berubah pucat."Darahnya banyak!" pekik Revan heboh."Cepet bawa ke rumah sakit anjir!" geram Daniel saat Adit hanya terbengong melihat darah yang keluar dari perut Diva.Adit tersadar. Saat akan menggendong Diva dirinya baru ingat bahwa mereka tidak ada yang membawa mobil."Kita kan naik motor," celetuk Bara."Lah iya, gimana dong," sahut Revan panik.Tanpa berkata apa pun Adit langsung menggendong Diva ala bridal style."Mau naik apa?" tanya Daniel bingung."Lari," jawab Adit singkat sebelum dirinya berlari sambil menggendong Diva tanp
Di ruangan Diva saat ini hanya ada Adit. Karena, para sahabat mereka sedang sekolah. Orang tua Diva pun tidak dapat menemani Diva di karenakan ada pekerjaan yang tidak bisa di tinggalkan."Va," panggil Adit yang kesekian kalinya namun tetap tidak ada jawaban dari si empunya nama."Divanya Adit," panggil Adit lembut.Diva memalingkan wajahnya menahan senyum, terdengar sangat lucu jika Adit memanggilnya seperti itu."Maafin dong," pinta Adit memelas."Sayang," bisiknya tepat di telinga Diva.Diva merinding saat hembusan napas Adit sangat terasa di kulitnya, jantungnya berdebar kencang saat mendengar panggilan sayang dari Adit. Padahal ini bukan yang pertama kali Adit memanggil dirinya seperti itu.Dengan cepat Diva menutup seluruh badannya dengan selimut. Dirinya yakin bahwa wajahnya pasti memerah. Sialan, di panggil sayang saja sudah baper.
"Pulang, Ma," rengek Diva dengan menggoyangkan lengan sang mama layaknya anak kecil yang tidak dibelikan mainan."Luka kamu belum kering, Sayang," tolak Githa halus."Pulang," rengeknya tidak menyerah."Enggak," jawabnya mutlak.Dengan bibir mengerucut Diva perlahan menghentikan gerakannya di lengan Githa."Lebih baik Diva sama Adit aja," gerutu Diva pelan."Terus ... kenapa kamu suruh pulang tadi," ucap Githa mendengkus geli."Supaya istirahat dong, Ma ," jawab Diva.Mama Githa manggut-manggut. "Oh.""Ish, Mama," rengeknya kesal."Apa lagi, Diva?" tanya Mama Githa."Pulang," jawabnya dengan mengeluarkan puppy eyesnya."Enggak," tolak Mama Githa sambil bermain ponselnya."Diva ngambek," cetusnya membalikkan badan.Mama Githa terkekeh dan keluar dari ruangan tanpa sepengetahuan Diva."Kok Diva enggak dibujuk sih, Ma? Diva lagi ngambek loh," ungkapnya kesal.Merasa tidak ada
Adit mengalihkan pandangannya seraya menghela napas pelan. Kemudian kembali menatap kedua sahabatnya dengan raut serius. Meskipun ragu, dia akan mengatakannya karena mereka harus tahu kebenarannya."Karin hamil." Adit berkata dengan suara yang begitu pelan. Namun meskipun begitu, Bara dan Revan masih dapat mendengar dengan jelas.Tubuh keduanya mendadak kaku dengan mulut setengah terbuka. Mereka tidak salah dengar 'kan?"Ha ha pasti itu cuma alasan lo biar enggak dimarahi kami 'kan?" tanya Revan tertawa garing.Tawa Bara menguar, seolah apa yang diucapkan Adit adalah hal paling lucu. "Lo emang enggak pantes ngelawak, Dit. Nanti berguru sama gue. Jangan bawa-bawa kehamilan anjir, ngeri gue."Tangan Adit terangkat menepuk bahu kedua sahabatnya diikuti dengan gelengan kepala."Gue enggak lagi ngelawak. Ini beneran, Karin hamil anak gue," ucap Adit berhasil menghentikan tawa Bara.Raut wajah laki-laki yang suka bercanda itu berubah menjad
Kini giliran mereka yang terdiam. Benar-benar tidak menyangka dengan jawaban Diva yang sedikit menyentil hati mereka. Hati dan perasaan seseorang memang tidak bisa ditebak. Kemarin suka dan sekarang benci. Revan mengkode Bara melalui lirikan mata. Diam-diam dia meringis tidak enak. Berada di situasi seperti ini sangat tidak nyaman. "Va, sorry, gue engg-" "Enggak papa kok," sela Diva memotong ucapan Bara dengan wajah datarnya yang semakin membuat laki-laki itu merasa bersalah. "Gue minta maaf. Gue sama sekali enggak maksud ngomong gitu," cicit Bara. Daniel maju selangkah lalu mengusap rambut Diva lembut. "Pikirin baik-baik sebelum membuat keputusan." Diva hanya mengangguk pelan. Melihat pemandangan di depannya membuat Nisa mengalihkan pandangannya. Hatinya berdenyut sakit. "Ngelihat lo kayak gini malah bikin gue sa
Dengan posisi yang masih membelakangi Adit, Diva mengukir senyum tipis penuh luka. Di posisinya ini, dia juga melihat kedua sahabatnya yang berdiri kaku beberapa langkah di depannya. Perlahan Diva membalikkan badannya, menatap laki-laki yang sudah memberikan banyak rasa kepadanya. "Kenapa harus marah? Gue enggak marah sama sekali. Lagi pula lo enggak punya kesalahan yang harus gue marahin, Adit." "Terus, kenapa lo beda?" tanya Adit menatap Diva sayu. Diva menoleh ke samping lalu menarik napas pelan dan kembali menatap Adit. Namun kali ini tatapannya tidak lagi lembut, melainkan datar. "Apanya yang beda? Gue emang kayak gini. Lo 'kan enggak kenal sama gue, jadi wajar kalau ngerasa gue beda," jawab Diva tenang. Langkah kaki Adit perlahan membawanya mendekat ke arah Diva. "Gue minta maaf kalau ada salah. Gue ... gue ngerasa enggak suka sama sikap lo yang kayak gini, Diva," ucapnya bersungguh-sungguh. "Semua kesalahan lo udah gue maafin ko
Baru saja Nisa akan menjawab, suara dentingan sendok mengalihkan perhatian semuanya. Pelakunya adalah Diva. Dia sengaja sedikit membanting sendok karena terlalu risih dengan tatapan dua laki-laki yang tak lain adalah Adit dan Daniel. "Loh, Va, lo mau ke mana?" tanya Mira heran saat melihat Diva bangkit dari duduknya, padahal mereka belum selesai bahkan baru saja mulai. "Kelas," jawab Diva singkat dan langsung melenggang pergi. Meninggalkan tanda tanya besar untuk sahabatnya. "Makanannya belum habis loh," tunjuk Tika ke arah makanan Diva yang baru termakan sedikit. Mereka saling pandang lalu menggeleng dengan kompak. Mereka bingung kenapa Diva menjadi seperti ini. Disuruh bercerita menolak, mau menebak pun mereka juga tidak bisa. Karena ekspresi Diva terlihat biasa saja, tidak ada emosi. "Diva sebenarnya kenapa sih?" tanya Bara bertopang dagu menatap ke arah perginya Diva.
"Pagi, Cantik," sapa Bara kepada Diva yang lewat di depannya dengan senyum lebar.Diva menoleh dan tersenyum tipis. "Pagi, Bar," balasnya kemudian langsung melenggang pergi, tanpa menatap inti dan anggota danger lainnya.Bukan hanya Bara yang merasa heran, tetapi semua yang ada di parkiran juga merasa kalau Diva sedikit berbeda. Biasanya gadis itu akan menyapa dengan riang, bahkan ikut bergabung. Apalagi jika ada Adit.Namun sekarang, gadis cantik itu hanya membalas dengan singkat tanpa melihat ke yang lain. Bahkan ke Adit pun tidak."Diva kenapa cuek gitu ya?" tanya Bara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Apa kalimat sapaannya salah, sampai Diva marah karena dipanggil cantik?"Dia juga enggak nyapa kita. Tumben banget dia enggak semangat gitu, padahal di sini ada Adit," sahut Revan menatap punggung Diva yang semakin menjauh."Mungkin udah enggak mau lagi sama Adit," celetuk Bara asal.Mendengar celetukan sahabatnya, Adit langsung
Diva tersenyum tipis, dengan pelan dia melepas pelukan Tika yang begitu erat. Bukannya tidak senang, tetapi di sebelahnya ada Mira yang sudah tertidur pulas. Dia tidak mau mengganggu sahabatnya itu hanya karena terjepit oleh Tika. "Gue enggak papa kok. Maaf udah buat lo khawatir," jawab Diva merasa bersalah. "Terus lo ke mana? Kenapa enggak balik ke kelas? Kenapa di toilet juga enggak ada?" tanya Tika beruntun. Nisa menghela napas pelan mendengar pertanyaan Tika. Sudah dia duga, gadis itu pasti bertanya secara bertubi-tubi. "Lo enggak bisa tanya satu-satu ya, Tik? Gue pusing dengarnya." "Gue enggak tanya sama lo, jadi lebih baik lo diam aja. Mimpi apa gue bisa punya sahabat kayak lo sama Mira. Gampang emosi dan suka komentar sama apa yang gue lakuin," gerutu Tika memberenggut kesal. Diva menggelengkan kepalanya pelan menyaksikan perdebatan para sahabatnya. Sudah tidak asing lagi jika
"Bu Sukma masih ngejar kita, gimana nih?" tanya Tika di sela larinya. " Gue udah capek anjir." Meskipun napasnya terasa menipis, tetapi Tika juga tidak mau berhenti. Karena kalau berhenti, yang ada dia ketangkap oleh Bu Sukma lalu diberi hukuman. Oh no! Dirinya tidak mau berurusan dengan matahari apalagi toilet. "Gimana kalau ke kelas aja? Gue juga capek, berasa di kejar orang gila, deg-degan parah," sahut Bara setelah melihat ke belakang dan ternyata benar apa yang dikatakan Tika, Bu Sukma masih mengejar mereka berdua dengan penggaris kayu yang diacungkan. Tika mengangguk menyetujui. "Oke, daripada dihukum bersihin toilet yang baunya bikin mual, lebih baik gue berperang sama pelajaran. Dadah, Bara Jelek," pamitnya seraya melambaikan tangan lalu berlari menuju kelasnya. "Sialan lo bocah! Awas aja ya, gue bikin jatuh cinta klepek-klepek lo. Nanti bilangnya 'aku enggak mau pisah sama kamu' atau enggak 'a
"Lo harus bisa atur emosi, Mir," celetuk Revan memecah kesunyian di antara keduanya. Sejak kepergian Daniel dan Nisa, dia sengaja mengajak Mira ke taman belakang. Karena menurutnya, hanya tempat itu yang cocok untuk menenangkan diri. Selain sejuk, tempatnya pun tidak ramai dan hanya segelintir siswa yang berlalu lalang. "Apa pun yang menyangkut sahabat gue, gue enggak bisa tinggal diam, Van. Apalagi ini Diva, sahabat yang paling gue sayang," sahut Mira menatap lurus ke depan. Dia berusaha menahan emosinya supaya tidak meledak. Bagaimana pun juga, di sini ada Revan dan dia tidak mau laki-laki itu menjadi korbannya. Karena yang bermasalah itu Adit, bukan sahabatnya. Huh, rasanya dia ingin menghajar wajah tampannya sampai babak belur, atau kalau perlu menonjok giginya sampai rontok. Supaya menjadi jelek dan otomatis tidak akan ada lagi perempuan yang menyukainya. "Gue tau apa yang lo rasain, tetapi percum
"Kenapa? Lo ingat sesuatu?" tanya Mira melirik Adit dengan tangan yang bersedekap."Enggak, gue cuma ngerasa pernah ada di posisi kayak gini," jawab Adit menatap meja dengan pandangan kosongnya.Jujur, sampai sekarang dia merasa bingung dengan dirinya sendiri. Entah apa yang terjadi sebelumnya, tetapi di beberapa situasi dia merasa familiar. Seolah pernah mengalaminya. Namun dia juga tidak ingat kapan situasi itu terjadi.Kekehan kecil keluar dari mulut Mira. "Lo emang pernah ada di posisi ini, kejadian yang sama tetapi beda tempat. Sayangnya sekarang lo lagi amnesia, jadi enggak inget kejadian menegangkan waktu itu," ujarnya santai."Mir," tegur Nisa menyenggol lengan Mira pelan, memperingati gadis itu agar tidak berbicara macam-macam yang dapat membuat Adit memaksa ingatannya.Ketiga inti danger hanya diam membisu, tidak menegur Mira atau pun menenangkan Adit yang mulai meremas rambutnya."Apa benar yang dibilang dia?" tanya Adit menatap s