"Kalian ngapain disini?" tanya Diva kebingungan melihat sahabatnya berdiri kaku di dekat pintu.
"Hehe kita nyariin lo," jawab Nisa tersenyum kikuk.
"Maafin gue ya," pinta Diva tulus.
Dirinya berasa bersalah karena membuat sahabatnya kebingungan. Sedangkan dia malah tidur di sini.
"Kenapa kamu yang minta maaf?" tanya Adit menyelipkan anak rambut yang menutupi muka Diva.
"Aku merasa bersalah aja," balasnya.
Revan melongo takjub begitupun yang lain ketika mendengar Adit berbicara menggunakan aku - kamu. Apalagi nada bicaranya kepada Diva sangat lembut, lah sedangkan dengan mereka? Sudah seperti ingin menerkam hidup-hidup.
Daniel menggelengkan kepalanya tak percaya. Apakah cinta memang bisa mengubah seseorang? Dirinya jadi ingin mempunyai pacar juga.
"Diva, lo enggak mau turun?," tanya Mira jengah. Disini mereka capek berdiri sedangkan Diva dengan nyaman duduk di pangkuan Adit.
Diva kebingungan dengan maksud Mira. Setelah sadar dia melotot kaget bahkan tanpa memikirkan apapun Diva langsung melompat menjauhi Adit.
Tika langsung mencubit Mira kesal.
"Apaan sih lo," protes Mira menatap tajam Tika seraya mengusap bekas cubitan Tika di lengannya.
"Ngapain lo tanya gitu ke Diva?" tanya Tika greget.
Apa Mira tidak memikirkan nasibnya? Mereka bisa dalam masalah besar jika saja Diva terjatuh akibat melompat tadi.
"Gue kesel lihat posisi mereka, enggak baik tau, Tik," jawab Mira ketus. Dia masih kesal, cubitan Tika tadi sangat sakit bahkan lengannya sekarang berwarna merah.
"Lo sadar apa enggak? ucapan lo bisa bikin kita dalam masalah besar," terang Tika.
"Kalau saja Diva tadi jatuh waktu melompat bisa habis kita sama Adit," sela Nisa saat melihat Mira tidak paham dengan maksud Tika.
Mira membelalakkan matanya. Dirinya baru sadar, dengan kaku dia menoleh ke arah Diva. Seketika dia merasa lega saat tau Diva tidak kenapa-kenapa.
"Jangan lompat, Va!" tegas Adit berjalan menghampiri Diva.
"Hehe maaf, enggak lagi deh," jawab Diva meminta maaf.
"Woy, gue laper," sela Revan dengan keras.
"Ke kantin yuk!" ajak Diva kemudian berjalan mendahului mereka.
**
Kantin menjadi ramai saat mereka memasuki kantin.
"Duduk dimana nih?" tanya Diva celingukan mencari bangku kosong.
Adit mendengkus geli. Tanpa berkata apa pun Adit menarik Diva menuju bangku inti danger.
Ternyata di sana sudah ada Bara yang makan dengan lahap tanpa menyadari kehadiran mereka.
"Aku duduk di sini boleh?" tanya Diva dengan polosnya.
"Boleh, kan kamu pacar aku," jawab Adit tenang yang membuat wajah Diva memanas.
"Sahabat aku boleh?" tanyanya lagi.
"Boleh," balas Adit singkat.
Setelah semuanya duduk. Mereka baru sadar jika ada Bara.
"Bar," panggil Revan.
Bara masih asik dengan makanannya. Mereka bergedik ngeri melihat cara makan Bara yang rakus.
"BARA!" seru Revan kesal.
"Ada apa?" tanya Bara kalem.
Mereka bingung, tumben sekali Bara berbicara dengan kalem.
"Lo kenapa?" tanya Daniel heran. Tidak biasanya Bara bersikap seperti ini.
"Enggak kenapa-kenapa," jawab Bara.
"Halah kaya cewek aja lo, di tanya kenapa jawabnya enggak papa," ejek Revan yang tidak di sahuti oleh Bara. Padahal niat Revan agar Bara membalas ejekannya. Dia heran dengan sikap Bara yang tiba-tiba menjadi kalem.
"Bar, lo kenapa?" tanya Tika heran. Dia lebih suka Bara yang pecicilan daripada kalem seperti ini. Bukannya apa, dia hanya ngeri takut kalau Bara kerasukan.
Bara menatap mereka satu persatu.
Bulu kuduk mereka tiba-tiba meremang, kecuali Diva dan Adit yang masih anteng.
Diva merasa Bara sedang ketakutan, jadi dia berinisiatif untuk menenangkan.
"Mau kemana?" tanya Adit saat Diva berdiri.
"Ke Bara, enggak papa kan?" jawab Diva bertanya.
"Boleh," jawab Adit tenang, dirinya juga merasa kalau Bara ketakutan. Maka dari itu dia mengizinkan Diva untuk menenangkan.
"Jangan terlalu deket." Lanjutnya yang di angguki Diva.
"Bar," panggil Diva lembut.
Bara menoleh, matanya berkaca-kaca saat Diva duduk di sampingnya.
"Lo kenapa?" tanya Diva tersenyum teduh.
Tangisan Bara langsung pecah membuat mereka semakin merinding. Untung saja kantin dalam keadaan ramai, jadi tidak akan ada yang tau selain mereka kalau Bara menangis.
Tika langsung memepetkan tubuhnya ke arah Mira.
Dengan lembut Diva mengelus punggung Bara menenangkan.
"Nangis aja kalau itu bisa membuat lo tenang," ucap Diva dengan sifat ke ibuannya.
Setelah merasa tangis Bara berhenti Diva membuka suara.
"Mau cerita?" tanyanya lembut.
Mendapat anggukan dari Bara membuat senyum Diva semakin lebar.
"Tadi kalian ninggalin gue sendirian hiks," ucap Bara dengan sesenggukan.
Mereka masih menyimak. Rasa takut dan merinding mereka seakan sirna. Saat ini mereka sangat penasaran dengan cerita Bara.
"Disana sepi, tiba-tiba ada angin. Gue takut," lanjut Bara dengan suara bergetar.
Mereka menjadi merasa bersalah telah membuat sahabatnya itu ketakutan. Mereka sangat tau bahwa Bara takut jika sendirian di dalam ruangan.
"Maafin kita ya," pinta mereka serempak meminta maaf.
" Pulang sekolah kita ke kafe, gue traktir," ucap Adit menghibur Bara.
"Beneran?" seru Bara senang.
"Iya."
"Yeay makan gratis," ucapnya jingkrak-jingkrak.
Mereka memutar bola mata malas. Kalau soal gratisan Bara nomer satu, namun tidak apa-apa yang penting Bara tidak takut lagi.
**
"Kita pulang dulu apa gimana?" tanya Nisa.
Saat ini mereka berada di parkiran. Ya setelah dari kantin tadi ternyata tidak ada pelajaran dan di pulangkan lebih awal.
"Ganti baju dulu aja," jawab Daniel yang di setujui semuanya.
"Yaudah, gue duluan ya," pamit Tika karena sudah di jemput oleh supirnya.
"Iya, bye," jawab Diva melambaikan tangannya.
"Diva, kita juga duluan," ucap Mira mewakili Nisa, karena mereka menggunakan satu mobil.
"Iya, kalian hati-hati," jawab Diva tersenyum manis.
Keduanya berlalu menuju parkiran mobil.
"Yuk!" ajak Adit yang kemudian memakaikan Diva helm.
Diva hanya tersenyum manis melihat kelakuan Adit yang selalu membuatnya terbang dengan hal sederhana.
Setelah selesai Diva naik ke motor Adit. Tanpa aba-aba Diva langsung memeluk pinggang Adit erat.
Adit menunduk guna melihat tangan Diva yang melingkar di perutnya. Dia tersenyum, bukan senyum tipis melainkan senyum manis yang jarang Adit perlihatkan. Namun tidak akan ada yang mengetahuinya karena dia menggunakan helm full face.
"Gue duluan," pamit Adit kepada sahabatnya.
"Iya, Bos," jawab mereka serempak.
"Enak banget tuh adit, bisa dipeluk sama diva," celetuk Bara iri.
"Namanya juga pacaran," sahut Daniel tenang.
Tidak dapat di pungkiri mereka sebenarnya juga ingin berada di posisi adit.
"Gue jadi pengen punya pacar," ucap Revan menerawang seraya tersenyum.
"Mending pulang, daripada halu," jawab Daniel menusuk.
"Hahaha jleb banget enggak?" tanya Bara tertawa.
Muka Revan memelas dengan memegang dada sebelah kirinya dramatis.
"Kalian enggak jadi ikut ke kafe?" tanya Daniel menaikan sebelah alisnya.
"IKUT DONG,!" seru keduanya kompak.
"Ayo pulang!" ajak Daniel dan berjalan menuju motornya berada.
"Ma," panggil Diva menuruni tangga.Mama Githa yang sedang menonton televisi pun menoleh."Ada apa, Sayang?" tanyanya lembut."Diva mau ke kafe," ucap Diva memberi tahu."Jangan pulang terlalu malam ya, Sayang," ucap Githa memperingati."Siap, Nyonya," jawab Diva dengan gerakan hormat.Githa terkekeh melihat tingkah putrinya.Tin"Ma, Adit sudah jemput. Diva berangkat ya," pamit Diva mencium tangan serta pipi Mama Githa."Iya, hati-hati, Nak," pesan Githa yang di jawab dengan acungan jempol.**"Berangkat sekarang?" tanya Diva saat sudah berada di dekat Adit.Adit memperhatikan pakaian yang di kenakan Diva.Sweater berwarna biru dipadukan dengan jeans putih dan sepatu putihnya. Sederhana memang namun sangat pas jika dipakai Diva. Cantik.
"I - tu," tunjuk Bara gugup.Adit mengikuti arah yang ditunjuk Bara, seketika badannya melemas.Dia merasa tidak becus menjaga Diva.Ternyata Diva juga tertusuk di bagian perut kirinya. Bahkan, sekarang Diva sudah memejamkan mata dengan wajah yang perlahan berubah pucat."Darahnya banyak!" pekik Revan heboh."Cepet bawa ke rumah sakit anjir!" geram Daniel saat Adit hanya terbengong melihat darah yang keluar dari perut Diva.Adit tersadar. Saat akan menggendong Diva dirinya baru ingat bahwa mereka tidak ada yang membawa mobil."Kita kan naik motor," celetuk Bara."Lah iya, gimana dong," sahut Revan panik.Tanpa berkata apa pun Adit langsung menggendong Diva ala bridal style."Mau naik apa?" tanya Daniel bingung."Lari," jawab Adit singkat sebelum dirinya berlari sambil menggendong Diva tanp
Di ruangan Diva saat ini hanya ada Adit. Karena, para sahabat mereka sedang sekolah. Orang tua Diva pun tidak dapat menemani Diva di karenakan ada pekerjaan yang tidak bisa di tinggalkan."Va," panggil Adit yang kesekian kalinya namun tetap tidak ada jawaban dari si empunya nama."Divanya Adit," panggil Adit lembut.Diva memalingkan wajahnya menahan senyum, terdengar sangat lucu jika Adit memanggilnya seperti itu."Maafin dong," pinta Adit memelas."Sayang," bisiknya tepat di telinga Diva.Diva merinding saat hembusan napas Adit sangat terasa di kulitnya, jantungnya berdebar kencang saat mendengar panggilan sayang dari Adit. Padahal ini bukan yang pertama kali Adit memanggil dirinya seperti itu.Dengan cepat Diva menutup seluruh badannya dengan selimut. Dirinya yakin bahwa wajahnya pasti memerah. Sialan, di panggil sayang saja sudah baper.
"Pulang, Ma," rengek Diva dengan menggoyangkan lengan sang mama layaknya anak kecil yang tidak dibelikan mainan."Luka kamu belum kering, Sayang," tolak Githa halus."Pulang," rengeknya tidak menyerah."Enggak," jawabnya mutlak.Dengan bibir mengerucut Diva perlahan menghentikan gerakannya di lengan Githa."Lebih baik Diva sama Adit aja," gerutu Diva pelan."Terus ... kenapa kamu suruh pulang tadi," ucap Githa mendengkus geli."Supaya istirahat dong, Ma ," jawab Diva.Mama Githa manggut-manggut. "Oh.""Ish, Mama," rengeknya kesal."Apa lagi, Diva?" tanya Mama Githa."Pulang," jawabnya dengan mengeluarkan puppy eyesnya."Enggak," tolak Mama Githa sambil bermain ponselnya."Diva ngambek," cetusnya membalikkan badan.Mama Githa terkekeh dan keluar dari ruangan tanpa sepengetahuan Diva."Kok Diva enggak dibujuk sih, Ma? Diva lagi ngambek loh," ungkapnya kesal.Merasa tidak ada
Ketika Adit memasuki markas semua anggota memandangnya takut. Tetapi dirinya tidak peduli, yang dia butuhkan sekarang yaitu melampiaskan emosinya.Adit memasuki ruang olahraga dengan tergesa-gesa.Setelah mengunci pintu, Adit berjalan mendekati puluhan samsak yang berjejer rapi.Matanya menatap tajam samsak yang menggantung.Bugh!Pukulan demi pukulan Adit layangkan dengan keras tanpa menggunakan sarung tinju di kedua tangannya.Napasnya memburu menatap 8 samsak yang hancur akibat ulahnya."Sisa dua," gumamnya menoleh ke arah pojok.Setelah merasa napasnya mulai teratur Adit berjalan ke arah pojok, dimana tempat samsak yang masih utuh."Hati gue sakit, Va," ucapnya pelan.Dengan brutal Adit memukul kedua samsak yang masih tersisa hingga hancur seperti yang lain.Badan Adit terjatuh, tenaga
Pagi hari di sebuah ruangan yang bernuansa hitam putih terdapat seorang lak-laki yang menggunakan seragam sedang menatap pantulan dirinya di cermin. Dia adalah Adit. Sebenarnya dia malas untuk pergi ke sekolah, tetapi ketiga sahabatnya memaksa dia untuk masuk sekolah. Menghela napas pelan Adit bergegas keluar untuk sarapan. "Pagi," sapa Adit kepada keluarganya yang sudah duduk di kursinya masing-masing. "Tumben kamu lesu bang," celetuk Ayah Aryo heran. "Enggak papa," jawab Adit singkat. "Kalau ada masalah cepat di selesaikan ya, Bang," saran Bunda Desi. "Iya," jawabnya. Mereka mulai memakan sarapannya masing-masing. "Abang," panggil Aca di sela makannya. "Hm," deham Adit tanpa menoleh ke arah adiknya. "Sayang, Abang lagi buru-buru. Jangan di ajak ngobrol
"Va-"Ucapan Adit terpotong melihat Diva berjalan meninggalkan mereka diikuti ke tiga sahabatnya."Nanti ketika istirahat lo harus minta maaf deh, Dit," saran Daniel menepuk pundak Adit pelan."Iya harus, karena perlakuan lo tadi bisa bikin hubungan kalian renggang," sahut Revan."Abangnya Diva keren juga ya, bisa bikin Adit jatuh kaya tadi," celetuk Bara yang mendapat tatapan tajam dari Adit."Gu - e harus ke kelas duluan," ucap Bara gugup kemudian berjalan cepat meninggalkan sahabatnya."Ditatap tajam saja sudah kabur itu anak," ucap Revan terkekeh.Adit menatap tajam Revan."Gue kira mau marahin gue njir," ujar Revan menghela napas lega setelah Adit berjalan meninggalkan mereka berdua."Ke kelas yok," ajak Daniel merangkul pundak Revan.**"Va, nanti cerita ya," pinta Nisa."Iya," jawabnya singkat."Diva meskipun sudah nangis sampai matanya sembab pun tetap cantik ya, lah gue? malah m
Adit terus menarik tangan Diva untuk mengikutinya."Sebenarnya kamu mau bawa aku kemana?" tanya Diva.Adit tidak menjawab."Kebiasaan enggak jawab. Benar-benar seperti bunglon, kadang manis kadang copslay jadi kulkas," gerutu Diva kesal."Aku dengar, Va," celetuk Adit."Oh, kamu dengar ya? bagus dong, aku memang sengaja," sahut Diva melirik sinis Adit.Adit tersenyum tipis melihat tingkah gadisnya. Benar-benar gadis yang lucu."Ngapain kita kesini?" tanya Diva setelah sampai di taman belakang."Duduk dulu," ucap Adit menuntun Diva untuk duduk di bawah pohon mangga agar terhindar dari panasnya matahari."Maafin aku ya, aku benar-benar enggak tahu kalau yang tadi pagi itu Abang kamu," ucap Adit menggenggam ke dua tangan Diva.Diva terdiam. Ternyata Adit membawanya kesini hanya untuk membicarakan hal tadi pag
Adit mengalihkan pandangannya seraya menghela napas pelan. Kemudian kembali menatap kedua sahabatnya dengan raut serius. Meskipun ragu, dia akan mengatakannya karena mereka harus tahu kebenarannya."Karin hamil." Adit berkata dengan suara yang begitu pelan. Namun meskipun begitu, Bara dan Revan masih dapat mendengar dengan jelas.Tubuh keduanya mendadak kaku dengan mulut setengah terbuka. Mereka tidak salah dengar 'kan?"Ha ha pasti itu cuma alasan lo biar enggak dimarahi kami 'kan?" tanya Revan tertawa garing.Tawa Bara menguar, seolah apa yang diucapkan Adit adalah hal paling lucu. "Lo emang enggak pantes ngelawak, Dit. Nanti berguru sama gue. Jangan bawa-bawa kehamilan anjir, ngeri gue."Tangan Adit terangkat menepuk bahu kedua sahabatnya diikuti dengan gelengan kepala."Gue enggak lagi ngelawak. Ini beneran, Karin hamil anak gue," ucap Adit berhasil menghentikan tawa Bara.Raut wajah laki-laki yang suka bercanda itu berubah menjad
Kini giliran mereka yang terdiam. Benar-benar tidak menyangka dengan jawaban Diva yang sedikit menyentil hati mereka. Hati dan perasaan seseorang memang tidak bisa ditebak. Kemarin suka dan sekarang benci. Revan mengkode Bara melalui lirikan mata. Diam-diam dia meringis tidak enak. Berada di situasi seperti ini sangat tidak nyaman. "Va, sorry, gue engg-" "Enggak papa kok," sela Diva memotong ucapan Bara dengan wajah datarnya yang semakin membuat laki-laki itu merasa bersalah. "Gue minta maaf. Gue sama sekali enggak maksud ngomong gitu," cicit Bara. Daniel maju selangkah lalu mengusap rambut Diva lembut. "Pikirin baik-baik sebelum membuat keputusan." Diva hanya mengangguk pelan. Melihat pemandangan di depannya membuat Nisa mengalihkan pandangannya. Hatinya berdenyut sakit. "Ngelihat lo kayak gini malah bikin gue sa
Dengan posisi yang masih membelakangi Adit, Diva mengukir senyum tipis penuh luka. Di posisinya ini, dia juga melihat kedua sahabatnya yang berdiri kaku beberapa langkah di depannya. Perlahan Diva membalikkan badannya, menatap laki-laki yang sudah memberikan banyak rasa kepadanya. "Kenapa harus marah? Gue enggak marah sama sekali. Lagi pula lo enggak punya kesalahan yang harus gue marahin, Adit." "Terus, kenapa lo beda?" tanya Adit menatap Diva sayu. Diva menoleh ke samping lalu menarik napas pelan dan kembali menatap Adit. Namun kali ini tatapannya tidak lagi lembut, melainkan datar. "Apanya yang beda? Gue emang kayak gini. Lo 'kan enggak kenal sama gue, jadi wajar kalau ngerasa gue beda," jawab Diva tenang. Langkah kaki Adit perlahan membawanya mendekat ke arah Diva. "Gue minta maaf kalau ada salah. Gue ... gue ngerasa enggak suka sama sikap lo yang kayak gini, Diva," ucapnya bersungguh-sungguh. "Semua kesalahan lo udah gue maafin ko
Baru saja Nisa akan menjawab, suara dentingan sendok mengalihkan perhatian semuanya. Pelakunya adalah Diva. Dia sengaja sedikit membanting sendok karena terlalu risih dengan tatapan dua laki-laki yang tak lain adalah Adit dan Daniel. "Loh, Va, lo mau ke mana?" tanya Mira heran saat melihat Diva bangkit dari duduknya, padahal mereka belum selesai bahkan baru saja mulai. "Kelas," jawab Diva singkat dan langsung melenggang pergi. Meninggalkan tanda tanya besar untuk sahabatnya. "Makanannya belum habis loh," tunjuk Tika ke arah makanan Diva yang baru termakan sedikit. Mereka saling pandang lalu menggeleng dengan kompak. Mereka bingung kenapa Diva menjadi seperti ini. Disuruh bercerita menolak, mau menebak pun mereka juga tidak bisa. Karena ekspresi Diva terlihat biasa saja, tidak ada emosi. "Diva sebenarnya kenapa sih?" tanya Bara bertopang dagu menatap ke arah perginya Diva.
"Pagi, Cantik," sapa Bara kepada Diva yang lewat di depannya dengan senyum lebar.Diva menoleh dan tersenyum tipis. "Pagi, Bar," balasnya kemudian langsung melenggang pergi, tanpa menatap inti dan anggota danger lainnya.Bukan hanya Bara yang merasa heran, tetapi semua yang ada di parkiran juga merasa kalau Diva sedikit berbeda. Biasanya gadis itu akan menyapa dengan riang, bahkan ikut bergabung. Apalagi jika ada Adit.Namun sekarang, gadis cantik itu hanya membalas dengan singkat tanpa melihat ke yang lain. Bahkan ke Adit pun tidak."Diva kenapa cuek gitu ya?" tanya Bara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Apa kalimat sapaannya salah, sampai Diva marah karena dipanggil cantik?"Dia juga enggak nyapa kita. Tumben banget dia enggak semangat gitu, padahal di sini ada Adit," sahut Revan menatap punggung Diva yang semakin menjauh."Mungkin udah enggak mau lagi sama Adit," celetuk Bara asal.Mendengar celetukan sahabatnya, Adit langsung
Diva tersenyum tipis, dengan pelan dia melepas pelukan Tika yang begitu erat. Bukannya tidak senang, tetapi di sebelahnya ada Mira yang sudah tertidur pulas. Dia tidak mau mengganggu sahabatnya itu hanya karena terjepit oleh Tika. "Gue enggak papa kok. Maaf udah buat lo khawatir," jawab Diva merasa bersalah. "Terus lo ke mana? Kenapa enggak balik ke kelas? Kenapa di toilet juga enggak ada?" tanya Tika beruntun. Nisa menghela napas pelan mendengar pertanyaan Tika. Sudah dia duga, gadis itu pasti bertanya secara bertubi-tubi. "Lo enggak bisa tanya satu-satu ya, Tik? Gue pusing dengarnya." "Gue enggak tanya sama lo, jadi lebih baik lo diam aja. Mimpi apa gue bisa punya sahabat kayak lo sama Mira. Gampang emosi dan suka komentar sama apa yang gue lakuin," gerutu Tika memberenggut kesal. Diva menggelengkan kepalanya pelan menyaksikan perdebatan para sahabatnya. Sudah tidak asing lagi jika
"Bu Sukma masih ngejar kita, gimana nih?" tanya Tika di sela larinya. " Gue udah capek anjir." Meskipun napasnya terasa menipis, tetapi Tika juga tidak mau berhenti. Karena kalau berhenti, yang ada dia ketangkap oleh Bu Sukma lalu diberi hukuman. Oh no! Dirinya tidak mau berurusan dengan matahari apalagi toilet. "Gimana kalau ke kelas aja? Gue juga capek, berasa di kejar orang gila, deg-degan parah," sahut Bara setelah melihat ke belakang dan ternyata benar apa yang dikatakan Tika, Bu Sukma masih mengejar mereka berdua dengan penggaris kayu yang diacungkan. Tika mengangguk menyetujui. "Oke, daripada dihukum bersihin toilet yang baunya bikin mual, lebih baik gue berperang sama pelajaran. Dadah, Bara Jelek," pamitnya seraya melambaikan tangan lalu berlari menuju kelasnya. "Sialan lo bocah! Awas aja ya, gue bikin jatuh cinta klepek-klepek lo. Nanti bilangnya 'aku enggak mau pisah sama kamu' atau enggak 'a
"Lo harus bisa atur emosi, Mir," celetuk Revan memecah kesunyian di antara keduanya. Sejak kepergian Daniel dan Nisa, dia sengaja mengajak Mira ke taman belakang. Karena menurutnya, hanya tempat itu yang cocok untuk menenangkan diri. Selain sejuk, tempatnya pun tidak ramai dan hanya segelintir siswa yang berlalu lalang. "Apa pun yang menyangkut sahabat gue, gue enggak bisa tinggal diam, Van. Apalagi ini Diva, sahabat yang paling gue sayang," sahut Mira menatap lurus ke depan. Dia berusaha menahan emosinya supaya tidak meledak. Bagaimana pun juga, di sini ada Revan dan dia tidak mau laki-laki itu menjadi korbannya. Karena yang bermasalah itu Adit, bukan sahabatnya. Huh, rasanya dia ingin menghajar wajah tampannya sampai babak belur, atau kalau perlu menonjok giginya sampai rontok. Supaya menjadi jelek dan otomatis tidak akan ada lagi perempuan yang menyukainya. "Gue tau apa yang lo rasain, tetapi percum
"Kenapa? Lo ingat sesuatu?" tanya Mira melirik Adit dengan tangan yang bersedekap."Enggak, gue cuma ngerasa pernah ada di posisi kayak gini," jawab Adit menatap meja dengan pandangan kosongnya.Jujur, sampai sekarang dia merasa bingung dengan dirinya sendiri. Entah apa yang terjadi sebelumnya, tetapi di beberapa situasi dia merasa familiar. Seolah pernah mengalaminya. Namun dia juga tidak ingat kapan situasi itu terjadi.Kekehan kecil keluar dari mulut Mira. "Lo emang pernah ada di posisi ini, kejadian yang sama tetapi beda tempat. Sayangnya sekarang lo lagi amnesia, jadi enggak inget kejadian menegangkan waktu itu," ujarnya santai."Mir," tegur Nisa menyenggol lengan Mira pelan, memperingati gadis itu agar tidak berbicara macam-macam yang dapat membuat Adit memaksa ingatannya.Ketiga inti danger hanya diam membisu, tidak menegur Mira atau pun menenangkan Adit yang mulai meremas rambutnya."Apa benar yang dibilang dia?" tanya Adit menatap s