"Kalian ngapain disini?" tanya Diva kebingungan melihat sahabatnya berdiri kaku di dekat pintu.
"Hehe kita nyariin lo," jawab Nisa tersenyum kikuk.
"Maafin gue ya," pinta Diva tulus.
Dirinya berasa bersalah karena membuat sahabatnya kebingungan. Sedangkan dia malah tidur di sini.
"Kenapa kamu yang minta maaf?" tanya Adit menyelipkan anak rambut yang menutupi muka Diva.
"Aku merasa bersalah aja," balasnya.
Revan melongo takjub begitupun yang lain ketika mendengar Adit berbicara menggunakan aku - kamu. Apalagi nada bicaranya kepada Diva sangat lembut, lah sedangkan dengan mereka? Sudah seperti ingin menerkam hidup-hidup.
Daniel menggelengkan kepalanya tak percaya. Apakah cinta memang bisa mengubah seseorang? Dirinya jadi ingin mempunyai pacar juga.
"Diva, lo enggak mau turun?," tanya Mira jengah. Disini mereka capek berdiri sedangkan Diva dengan nyaman duduk di pangkuan Adit.
Diva kebingungan dengan maksud Mira. Setelah sadar dia melotot kaget bahkan tanpa memikirkan apapun Diva langsung melompat menjauhi Adit.
Tika langsung mencubit Mira kesal.
"Apaan sih lo," protes Mira menatap tajam Tika seraya mengusap bekas cubitan Tika di lengannya.
"Ngapain lo tanya gitu ke Diva?" tanya Tika greget.
Apa Mira tidak memikirkan nasibnya? Mereka bisa dalam masalah besar jika saja Diva terjatuh akibat melompat tadi.
"Gue kesel lihat posisi mereka, enggak baik tau, Tik," jawab Mira ketus. Dia masih kesal, cubitan Tika tadi sangat sakit bahkan lengannya sekarang berwarna merah.
"Lo sadar apa enggak? ucapan lo bisa bikin kita dalam masalah besar," terang Tika.
"Kalau saja Diva tadi jatuh waktu melompat bisa habis kita sama Adit," sela Nisa saat melihat Mira tidak paham dengan maksud Tika.
Mira membelalakkan matanya. Dirinya baru sadar, dengan kaku dia menoleh ke arah Diva. Seketika dia merasa lega saat tau Diva tidak kenapa-kenapa.
"Jangan lompat, Va!" tegas Adit berjalan menghampiri Diva.
"Hehe maaf, enggak lagi deh," jawab Diva meminta maaf.
"Woy, gue laper," sela Revan dengan keras.
"Ke kantin yuk!" ajak Diva kemudian berjalan mendahului mereka.
**
Kantin menjadi ramai saat mereka memasuki kantin.
"Duduk dimana nih?" tanya Diva celingukan mencari bangku kosong.
Adit mendengkus geli. Tanpa berkata apa pun Adit menarik Diva menuju bangku inti danger.
Ternyata di sana sudah ada Bara yang makan dengan lahap tanpa menyadari kehadiran mereka.
"Aku duduk di sini boleh?" tanya Diva dengan polosnya.
"Boleh, kan kamu pacar aku," jawab Adit tenang yang membuat wajah Diva memanas.
"Sahabat aku boleh?" tanyanya lagi.
"Boleh," balas Adit singkat.
Setelah semuanya duduk. Mereka baru sadar jika ada Bara.
"Bar," panggil Revan.
Bara masih asik dengan makanannya. Mereka bergedik ngeri melihat cara makan Bara yang rakus.
"BARA!" seru Revan kesal.
"Ada apa?" tanya Bara kalem.
Mereka bingung, tumben sekali Bara berbicara dengan kalem.
"Lo kenapa?" tanya Daniel heran. Tidak biasanya Bara bersikap seperti ini.
"Enggak kenapa-kenapa," jawab Bara.
"Halah kaya cewek aja lo, di tanya kenapa jawabnya enggak papa," ejek Revan yang tidak di sahuti oleh Bara. Padahal niat Revan agar Bara membalas ejekannya. Dia heran dengan sikap Bara yang tiba-tiba menjadi kalem.
"Bar, lo kenapa?" tanya Tika heran. Dia lebih suka Bara yang pecicilan daripada kalem seperti ini. Bukannya apa, dia hanya ngeri takut kalau Bara kerasukan.
Bara menatap mereka satu persatu.
Bulu kuduk mereka tiba-tiba meremang, kecuali Diva dan Adit yang masih anteng.
Diva merasa Bara sedang ketakutan, jadi dia berinisiatif untuk menenangkan.
"Mau kemana?" tanya Adit saat Diva berdiri.
"Ke Bara, enggak papa kan?" jawab Diva bertanya.
"Boleh," jawab Adit tenang, dirinya juga merasa kalau Bara ketakutan. Maka dari itu dia mengizinkan Diva untuk menenangkan.
"Jangan terlalu deket." Lanjutnya yang di angguki Diva.
"Bar," panggil Diva lembut.
Bara menoleh, matanya berkaca-kaca saat Diva duduk di sampingnya.
"Lo kenapa?" tanya Diva tersenyum teduh.
Tangisan Bara langsung pecah membuat mereka semakin merinding. Untung saja kantin dalam keadaan ramai, jadi tidak akan ada yang tau selain mereka kalau Bara menangis.
Tika langsung memepetkan tubuhnya ke arah Mira.
Dengan lembut Diva mengelus punggung Bara menenangkan.
"Nangis aja kalau itu bisa membuat lo tenang," ucap Diva dengan sifat ke ibuannya.
Setelah merasa tangis Bara berhenti Diva membuka suara.
"Mau cerita?" tanyanya lembut.
Mendapat anggukan dari Bara membuat senyum Diva semakin lebar.
"Tadi kalian ninggalin gue sendirian hiks," ucap Bara dengan sesenggukan.
Mereka masih menyimak. Rasa takut dan merinding mereka seakan sirna. Saat ini mereka sangat penasaran dengan cerita Bara.
"Disana sepi, tiba-tiba ada angin. Gue takut," lanjut Bara dengan suara bergetar.
Mereka menjadi merasa bersalah telah membuat sahabatnya itu ketakutan. Mereka sangat tau bahwa Bara takut jika sendirian di dalam ruangan.
"Maafin kita ya," pinta mereka serempak meminta maaf.
" Pulang sekolah kita ke kafe, gue traktir," ucap Adit menghibur Bara.
"Beneran?" seru Bara senang.
"Iya."
"Yeay makan gratis," ucapnya jingkrak-jingkrak.
Mereka memutar bola mata malas. Kalau soal gratisan Bara nomer satu, namun tidak apa-apa yang penting Bara tidak takut lagi.
**
"Kita pulang dulu apa gimana?" tanya Nisa.
Saat ini mereka berada di parkiran. Ya setelah dari kantin tadi ternyata tidak ada pelajaran dan di pulangkan lebih awal.
"Ganti baju dulu aja," jawab Daniel yang di setujui semuanya.
"Yaudah, gue duluan ya," pamit Tika karena sudah di jemput oleh supirnya.
"Iya, bye," jawab Diva melambaikan tangannya.
"Diva, kita juga duluan," ucap Mira mewakili Nisa, karena mereka menggunakan satu mobil.
"Iya, kalian hati-hati," jawab Diva tersenyum manis.
Keduanya berlalu menuju parkiran mobil.
"Yuk!" ajak Adit yang kemudian memakaikan Diva helm.
Diva hanya tersenyum manis melihat kelakuan Adit yang selalu membuatnya terbang dengan hal sederhana.
Setelah selesai Diva naik ke motor Adit. Tanpa aba-aba Diva langsung memeluk pinggang Adit erat.
Adit menunduk guna melihat tangan Diva yang melingkar di perutnya. Dia tersenyum, bukan senyum tipis melainkan senyum manis yang jarang Adit perlihatkan. Namun tidak akan ada yang mengetahuinya karena dia menggunakan helm full face.
"Gue duluan," pamit Adit kepada sahabatnya.
"Iya, Bos," jawab mereka serempak.
"Enak banget tuh adit, bisa dipeluk sama diva," celetuk Bara iri.
"Namanya juga pacaran," sahut Daniel tenang.
Tidak dapat di pungkiri mereka sebenarnya juga ingin berada di posisi adit.
"Gue jadi pengen punya pacar," ucap Revan menerawang seraya tersenyum.
"Mending pulang, daripada halu," jawab Daniel menusuk.
"Hahaha jleb banget enggak?" tanya Bara tertawa.
Muka Revan memelas dengan memegang dada sebelah kirinya dramatis.
"Kalian enggak jadi ikut ke kafe?" tanya Daniel menaikan sebelah alisnya.
"IKUT DONG,!" seru keduanya kompak.
"Ayo pulang!" ajak Daniel dan berjalan menuju motornya berada.
"Ma," panggil Diva menuruni tangga.Mama Githa yang sedang menonton televisi pun menoleh."Ada apa, Sayang?" tanyanya lembut."Diva mau ke kafe," ucap Diva memberi tahu."Jangan pulang terlalu malam ya, Sayang," ucap Githa memperingati."Siap, Nyonya," jawab Diva dengan gerakan hormat.Githa terkekeh melihat tingkah putrinya.Tin"Ma, Adit sudah jemput. Diva berangkat ya," pamit Diva mencium tangan serta pipi Mama Githa."Iya, hati-hati, Nak," pesan Githa yang di jawab dengan acungan jempol.**"Berangkat sekarang?" tanya Diva saat sudah berada di dekat Adit.Adit memperhatikan pakaian yang di kenakan Diva.Sweater berwarna biru dipadukan dengan jeans putih dan sepatu putihnya. Sederhana memang namun sangat pas jika dipakai Diva. Cantik.
"I - tu," tunjuk Bara gugup.Adit mengikuti arah yang ditunjuk Bara, seketika badannya melemas.Dia merasa tidak becus menjaga Diva.Ternyata Diva juga tertusuk di bagian perut kirinya. Bahkan, sekarang Diva sudah memejamkan mata dengan wajah yang perlahan berubah pucat."Darahnya banyak!" pekik Revan heboh."Cepet bawa ke rumah sakit anjir!" geram Daniel saat Adit hanya terbengong melihat darah yang keluar dari perut Diva.Adit tersadar. Saat akan menggendong Diva dirinya baru ingat bahwa mereka tidak ada yang membawa mobil."Kita kan naik motor," celetuk Bara."Lah iya, gimana dong," sahut Revan panik.Tanpa berkata apa pun Adit langsung menggendong Diva ala bridal style."Mau naik apa?" tanya Daniel bingung."Lari," jawab Adit singkat sebelum dirinya berlari sambil menggendong Diva tanp
Di ruangan Diva saat ini hanya ada Adit. Karena, para sahabat mereka sedang sekolah. Orang tua Diva pun tidak dapat menemani Diva di karenakan ada pekerjaan yang tidak bisa di tinggalkan."Va," panggil Adit yang kesekian kalinya namun tetap tidak ada jawaban dari si empunya nama."Divanya Adit," panggil Adit lembut.Diva memalingkan wajahnya menahan senyum, terdengar sangat lucu jika Adit memanggilnya seperti itu."Maafin dong," pinta Adit memelas."Sayang," bisiknya tepat di telinga Diva.Diva merinding saat hembusan napas Adit sangat terasa di kulitnya, jantungnya berdebar kencang saat mendengar panggilan sayang dari Adit. Padahal ini bukan yang pertama kali Adit memanggil dirinya seperti itu.Dengan cepat Diva menutup seluruh badannya dengan selimut. Dirinya yakin bahwa wajahnya pasti memerah. Sialan, di panggil sayang saja sudah baper.
"Pulang, Ma," rengek Diva dengan menggoyangkan lengan sang mama layaknya anak kecil yang tidak dibelikan mainan."Luka kamu belum kering, Sayang," tolak Githa halus."Pulang," rengeknya tidak menyerah."Enggak," jawabnya mutlak.Dengan bibir mengerucut Diva perlahan menghentikan gerakannya di lengan Githa."Lebih baik Diva sama Adit aja," gerutu Diva pelan."Terus ... kenapa kamu suruh pulang tadi," ucap Githa mendengkus geli."Supaya istirahat dong, Ma ," jawab Diva.Mama Githa manggut-manggut. "Oh.""Ish, Mama," rengeknya kesal."Apa lagi, Diva?" tanya Mama Githa."Pulang," jawabnya dengan mengeluarkan puppy eyesnya."Enggak," tolak Mama Githa sambil bermain ponselnya."Diva ngambek," cetusnya membalikkan badan.Mama Githa terkekeh dan keluar dari ruangan tanpa sepengetahuan Diva."Kok Diva enggak dibujuk sih, Ma? Diva lagi ngambek loh," ungkapnya kesal.Merasa tidak ada
Ketika Adit memasuki markas semua anggota memandangnya takut. Tetapi dirinya tidak peduli, yang dia butuhkan sekarang yaitu melampiaskan emosinya.Adit memasuki ruang olahraga dengan tergesa-gesa.Setelah mengunci pintu, Adit berjalan mendekati puluhan samsak yang berjejer rapi.Matanya menatap tajam samsak yang menggantung.Bugh!Pukulan demi pukulan Adit layangkan dengan keras tanpa menggunakan sarung tinju di kedua tangannya.Napasnya memburu menatap 8 samsak yang hancur akibat ulahnya."Sisa dua," gumamnya menoleh ke arah pojok.Setelah merasa napasnya mulai teratur Adit berjalan ke arah pojok, dimana tempat samsak yang masih utuh."Hati gue sakit, Va," ucapnya pelan.Dengan brutal Adit memukul kedua samsak yang masih tersisa hingga hancur seperti yang lain.Badan Adit terjatuh, tenaga
Pagi hari di sebuah ruangan yang bernuansa hitam putih terdapat seorang lak-laki yang menggunakan seragam sedang menatap pantulan dirinya di cermin. Dia adalah Adit. Sebenarnya dia malas untuk pergi ke sekolah, tetapi ketiga sahabatnya memaksa dia untuk masuk sekolah. Menghela napas pelan Adit bergegas keluar untuk sarapan. "Pagi," sapa Adit kepada keluarganya yang sudah duduk di kursinya masing-masing. "Tumben kamu lesu bang," celetuk Ayah Aryo heran. "Enggak papa," jawab Adit singkat. "Kalau ada masalah cepat di selesaikan ya, Bang," saran Bunda Desi. "Iya," jawabnya. Mereka mulai memakan sarapannya masing-masing. "Abang," panggil Aca di sela makannya. "Hm," deham Adit tanpa menoleh ke arah adiknya. "Sayang, Abang lagi buru-buru. Jangan di ajak ngobrol
"Va-"Ucapan Adit terpotong melihat Diva berjalan meninggalkan mereka diikuti ke tiga sahabatnya."Nanti ketika istirahat lo harus minta maaf deh, Dit," saran Daniel menepuk pundak Adit pelan."Iya harus, karena perlakuan lo tadi bisa bikin hubungan kalian renggang," sahut Revan."Abangnya Diva keren juga ya, bisa bikin Adit jatuh kaya tadi," celetuk Bara yang mendapat tatapan tajam dari Adit."Gu - e harus ke kelas duluan," ucap Bara gugup kemudian berjalan cepat meninggalkan sahabatnya."Ditatap tajam saja sudah kabur itu anak," ucap Revan terkekeh.Adit menatap tajam Revan."Gue kira mau marahin gue njir," ujar Revan menghela napas lega setelah Adit berjalan meninggalkan mereka berdua."Ke kelas yok," ajak Daniel merangkul pundak Revan.**"Va, nanti cerita ya," pinta Nisa."Iya," jawabnya singkat."Diva meskipun sudah nangis sampai matanya sembab pun tetap cantik ya, lah gue? malah m
Adit terus menarik tangan Diva untuk mengikutinya."Sebenarnya kamu mau bawa aku kemana?" tanya Diva.Adit tidak menjawab."Kebiasaan enggak jawab. Benar-benar seperti bunglon, kadang manis kadang copslay jadi kulkas," gerutu Diva kesal."Aku dengar, Va," celetuk Adit."Oh, kamu dengar ya? bagus dong, aku memang sengaja," sahut Diva melirik sinis Adit.Adit tersenyum tipis melihat tingkah gadisnya. Benar-benar gadis yang lucu."Ngapain kita kesini?" tanya Diva setelah sampai di taman belakang."Duduk dulu," ucap Adit menuntun Diva untuk duduk di bawah pohon mangga agar terhindar dari panasnya matahari."Maafin aku ya, aku benar-benar enggak tahu kalau yang tadi pagi itu Abang kamu," ucap Adit menggenggam ke dua tangan Diva.Diva terdiam. Ternyata Adit membawanya kesini hanya untuk membicarakan hal tadi pag