Baru saja Nisa akan menjawab, suara dentingan sendok mengalihkan perhatian semuanya. Pelakunya adalah Diva. Dia sengaja sedikit membanting sendok karena terlalu risih dengan tatapan dua laki-laki yang tak lain adalah Adit dan Daniel.
"Loh, Va, lo mau ke mana?" tanya Mira heran saat melihat Diva bangkit dari duduknya, padahal mereka belum selesai bahkan baru saja mulai.
"Kelas," jawab Diva singkat dan langsung melenggang pergi. Meninggalkan tanda tanya besar untuk sahabatnya.
"Makanannya belum habis loh," tunjuk Tika ke arah makanan Diva yang baru termakan sedikit.
Mereka saling pandang lalu menggeleng dengan kompak. Mereka bingung kenapa Diva menjadi seperti ini. Disuruh bercerita menolak, mau menebak pun mereka juga tidak bisa. Karena ekspresi Diva terlihat biasa saja, tidak ada emosi.
"Diva sebenarnya kenapa sih?" tanya Bara bertopang dagu menatap ke arah perginya Diva.
Akhirnya aku bisa up juga. Huhu sekarang musim hujan, signal jadi hilang Happy reading, Kakak-kakak ❤️
Dengan posisi yang masih membelakangi Adit, Diva mengukir senyum tipis penuh luka. Di posisinya ini, dia juga melihat kedua sahabatnya yang berdiri kaku beberapa langkah di depannya. Perlahan Diva membalikkan badannya, menatap laki-laki yang sudah memberikan banyak rasa kepadanya. "Kenapa harus marah? Gue enggak marah sama sekali. Lagi pula lo enggak punya kesalahan yang harus gue marahin, Adit." "Terus, kenapa lo beda?" tanya Adit menatap Diva sayu. Diva menoleh ke samping lalu menarik napas pelan dan kembali menatap Adit. Namun kali ini tatapannya tidak lagi lembut, melainkan datar. "Apanya yang beda? Gue emang kayak gini. Lo 'kan enggak kenal sama gue, jadi wajar kalau ngerasa gue beda," jawab Diva tenang. Langkah kaki Adit perlahan membawanya mendekat ke arah Diva. "Gue minta maaf kalau ada salah. Gue ... gue ngerasa enggak suka sama sikap lo yang kayak gini, Diva," ucapnya bersungguh-sungguh. "Semua kesalahan lo udah gue maafin ko
Kini giliran mereka yang terdiam. Benar-benar tidak menyangka dengan jawaban Diva yang sedikit menyentil hati mereka. Hati dan perasaan seseorang memang tidak bisa ditebak. Kemarin suka dan sekarang benci. Revan mengkode Bara melalui lirikan mata. Diam-diam dia meringis tidak enak. Berada di situasi seperti ini sangat tidak nyaman. "Va, sorry, gue engg-" "Enggak papa kok," sela Diva memotong ucapan Bara dengan wajah datarnya yang semakin membuat laki-laki itu merasa bersalah. "Gue minta maaf. Gue sama sekali enggak maksud ngomong gitu," cicit Bara. Daniel maju selangkah lalu mengusap rambut Diva lembut. "Pikirin baik-baik sebelum membuat keputusan." Diva hanya mengangguk pelan. Melihat pemandangan di depannya membuat Nisa mengalihkan pandangannya. Hatinya berdenyut sakit. "Ngelihat lo kayak gini malah bikin gue sa
Adit mengalihkan pandangannya seraya menghela napas pelan. Kemudian kembali menatap kedua sahabatnya dengan raut serius. Meskipun ragu, dia akan mengatakannya karena mereka harus tahu kebenarannya."Karin hamil." Adit berkata dengan suara yang begitu pelan. Namun meskipun begitu, Bara dan Revan masih dapat mendengar dengan jelas.Tubuh keduanya mendadak kaku dengan mulut setengah terbuka. Mereka tidak salah dengar 'kan?"Ha ha pasti itu cuma alasan lo biar enggak dimarahi kami 'kan?" tanya Revan tertawa garing.Tawa Bara menguar, seolah apa yang diucapkan Adit adalah hal paling lucu. "Lo emang enggak pantes ngelawak, Dit. Nanti berguru sama gue. Jangan bawa-bawa kehamilan anjir, ngeri gue."Tangan Adit terangkat menepuk bahu kedua sahabatnya diikuti dengan gelengan kepala."Gue enggak lagi ngelawak. Ini beneran, Karin hamil anak gue," ucap Adit berhasil menghentikan tawa Bara.Raut wajah laki-laki yang suka bercanda itu berubah menjad
"Belajar yang rajin ya, Sayang," ucap pria paruh baya kepada seorang gadis cantik. "Siap, Papa," jawabnya setelah mencium punggung tangan Papanya. Dia membalas senyum manis Papanya lalu bergegas keluar dari mobil, karena bel masuk akan segera berbunyi. Melihat mobil yang mengantarnya sudah melesat pergi. Barulah dia menatap sekolah barunya dengan senyum mengembang. Rasanya begitu senang karena bisa kembali sekolah di kota kelahirannya. Gadis itu Adiva Dania Khanza dan yang mengantarkan tadi adalah Afnan - papanya. Setelah puas melihat sekolah barunya, Diva mulai berjalan untuk mencari ruang kepala sekolah. Wajah yang sangat cantik mulus, kulit putih dan body goals membuat Diva menjadi pusat perhatian. Bahkan kaum adam pun tidak segan untuk mengeluarkan gombalan serta siulan menggoda. Meskipun di sekolah mereka banyak perempuan cantik, tetapi pesona Diva jauh lebih kuat, sampai membuat beberapa kaum hawa berdecak sinis karena iri.
Tok tok tok "Permisi, Bu, saya murid baru," ucap Diva yang berada di ambang pintu. Kelas yang tadinya hening seketika menjadi heboh karena kedatangan Diva. "Sudah cukup dan kamu sini masuk!" perintah guru yang bernama Bu Ita. "Ayo perkenalkan dirimu!" lanjut Bu Ita "Hai guys kenalin nama gue Adiva Daania Khanza, biasa dipanggil Diva. Semoga bisa berteman dengan baik," ucap Diva kala kelas sudah hening. "Apa ada pertanyaan, Anak-anak?" tanya Bu Ita. "Udah punya pacar belum?" "Nomer W******p dong!" "Skincarenya apa?" "Sini sama aa' aja," ucap mereka serempak yang membuat kelas menjadi gaduh. "Sudah-sudah pertanyaan kalian tidak penting. Nak, kamu duduk dengan Annisa ya," ucap Bu Ita kepada Diva. "Iya, Bu." Setelah samp
Sepanjang perjalanan menuju kantin, mereka menjadi pusat perhatian. Adit berjalan paling depan dengan gaya coolnya seperti biasa. Di samping kanannya ada Daniel yang tersenyum membalas sapaan siswi-siswi.Sedangkan Revan merecoki Bara yang sedang menggoda adik kelas. "Woy, Bar, udah napa jangan godain terus," celetuk Daniel saat melihat Bara yang terus mengedipkan sebelah matanya pada siswi yang dilewatinya. "Tau tuh tobat Bar tobat," timpal Revan yang sudah terlanjut kesal dengan tingkah sahabatnya itu. "Wajah gue ganteng jadi gue manfaatin dong," jawab Bara seraya menyisir rambutnya ke belakang, membuat beberapa siswi memekik tertahan. "Hai, Adik cantik." Bara semakin menjadi hingga membuat adik kelas tersebut tersipu malu. "Cantik," lanjut Bara berkedip genit. "Diem, Bar!" geram Adit dengan nada kelewat datar. Dirinya cukup terganggu denga
Jalannya hidup tidak ada yang tau bukan?Sama seperti yang di rasakan Diva saat ini.Jika tadi pagi masih single, beda dengan sekarang yang menyandang gelar pacar ketua geng Dragon.Berita di kantin langsung menyebar luas.Saat ini Diva dan para sahabatnya sedang membereskan alat tulis, karna jam pelajaran telah usai.Memang setelah dari taman belakang mereka memutuskan untuk kembali ke kelas sebelum ketahuan telah menguping."Lo pulang bareng siapa, Va?" tanya Nisa setelah membereskan alat tulisnya."Enggak tau, mungkin naik taxi," jawab Diva tanpa menatap lawan bicaranya."Yaudah yuk kita kedepan aja," sambung Mira yang sedari tadi memperhatikan obrolan kedua sahabatnya."Gue masih gak nyangka tau Va, kalau lo jadi pacarnya Adit," celetuk Tika heboh.Mira yang mendengar celetukan Tika hanya memutar bola matanya malas. Pasalnya sedari tadi
Awali pagimu dengan sarapan.Karna harapan juga butuh energi.Seperti halnya Diva yang saat ini tengah melakukan sarapan bersama orang tuanya.Abang Diva sedang berada di negara Paman Sam untuk melanjutkan studinya."Ma, Pa, Diva berangkat dulu ya," pamit Diva setelah menyelesaikan sarapannya."Kamu di antar supir?" tanya Afnan sambil menatap wajah putri satu-satunya."Iya, Pa," jawab Diva."Yaudah Diva berangkat Ma, Pa," ucap Diva dengan mencium tangan kedua orang tuanya."Hati-hati ya, Sayang," pesan Githa."IYA, MA."**Sesampainya di sekolah Diva menjadi pusat perhatian.Banyak yang terang-terangan menatap dirinya.Apalagi semenjak kejadian di kantin."DIVAAA!"Mendengar ada yang memanggil dirinya Diva mencari sumber suara.Ternyata disana ketiga sahabatnya ber