"ADIT."
Teriakan memanggil Adit terdengar sangat nyaring, sedangkan pemilik suara tidak menunjukkan batang hidungnya.
"Adit," panggil Bara di ambang pintu aula.
Ya, ternyata Bara lah pemilik suara nyaring tadi.
Mereka mendengkus kesal. Lagi asik melihat keromantisan ketua danger dan Bara datang sebagai pengganggu.
Dengan santainya Bara mendekat ke arah sepasang kekasih yang masih berpelukan.
"APA INI MISKAH," teriak Bara tidak percaya.
Serius? Ini Adit? Teman kulkasnya? Dan memeluk perempuan?
Saking tidak percayanya Bara sampai melongo.
"Ad-
"Lo kok ninggalin kita sih, Bar," potong Revan kesal yang baru saja sampai bersama Daniel.
"Bar, lo dengerin gue enggak sih," ucap Revan protes.
Daniel heran melihat ekspresi Bara yang melongo dengan mata melotot.
Mengikuti arah pandang Bara, Daniel ikut terdiam terkejut.
Itu sahabat batunya?
Revan semakin kesal melihat Daniel yang ikut terdiam.
"Kal-
Ucapan Revan terpotong saat Daniel menolehkan kepalanya ke arah sepasang kekasih yang sedari tadi tidak melepas pelukannya.
Revan melotot kaget. Semua yang ada di aula tertawa pelan kala melihat ekspresi inti danger.
"KALIAN NGAPAIN?" teriak Revan mengagetkan semuanya.
Bahkan Nisa dkk, Bara, dan Revan pun ikut terjingkat kaget.Karena malu Diva semakin menelusup kan kepalanya ke dada bidang Adit.
Mukanya memerah malu.
Muka Adit berubah datar, menatap tajam ke arah Revan yang sudah membuat gadisnya malu.
Tanpa berkata apa pun Adit menggendong Diva ala koala dan berlalu meninggalkan mereka yang masih melongo tidak percaya.
"Adit malu," bisik Diva mengeratkan pegangannya di leher Adit.
"Enggak papa, ada gue," jawab Adit menenangkan.
**
"Woy mau lo bawa kemana sahabat gue?" seru Mira kencang.
"Itu tadi Adit enggak kerasukan kan?" tanya Revan ngawur.
"MAK GUE PENGEN KAYA ADIT," teriak Bara nyaring dengan menghentak-hentakkan kakinya.
Mereka menutup telinga, percayalah suara Bara sangat nyaring. Mereka hanya takut telinganya akan rusak mendengar teriakan Bara tadi.
"Astaga suara lo, Bar," cetus Revan melirik sinis Bara.
"Nyaring amat, budeg nih," lanjut Mira ketus.
"Harus ke THT ini mah," ucap Tika enteng.
Bara melotot kesal. Padahal suaranya limited edition tapi mereka bersikap seolah suaranya akan merusak telinga mereka. Dasar tidak berprikesuaraan.
Sebelum Bara melontarkan protesannya mereka sudah berlalu pergi Bara sendirian di aula.
Tanpa Bara sadari ternyata seluruh murid sudah keluar aula sedari tadi.
"Gini banget nasib gue," ucap Bara dramatis.
Merasa tidak mendengar suara siapa pun Bara melihat sekeliling yang ternyata hanya tinggal dirinya sendiri di dalam aula.
"Hehe kok gue sendirian ya?" tanya Bara kepada dirinya sendiri seraya mengusap tengkuknya merinding.
Berjalan pelan menuju pintu keluar. "Permisi, Bara ganteng cuma mau lewat," ucapnya sebelum berlari kencang.
**
Sahabat Diva dan Adit berjalan menelusuri koridor dengan tampang kebingungan.
"Kemana sih mereka?" tanya Nisa kesal.
Mereka sedang mencari Adit dan Diva, hampir 15 menit dan mereka belum ketemu.
"Capek gue." Keluh Tika.
"Kita udah kemana aja tadi?" tanya Revan.
"Ke kelas, kantin, dan perpustakaan," jawab Daniel seadanya.
"Rooftop," seru Mira antusias.
Dirinya sangat yakin bahwa mereka pasti ada disana.
"Lah iya, kenapa enggak dari tadi coba," sahut Revan terkekeh.
**
Terlihat sepasang kekasih yang sedang tertidur dengan pulasnya, dan posisi si cewek berada di pangkuan cowoknya. Tanpa memikirkan sahabatnya yang kebingungan mencari mereka.
Ya, sepasang kekasih yang tertidur dengan posisi intim itu adalah Adit dan Diva.
Tadi sewaktu keluar dari aula Diva tertidur di gendongannya, yang berakhir Adit membawanya ke rooftop. Niat hati hanya ingin menjaga Diva yang tertidur, apalah daya kala kantuk menyerangnya. Membuat ia tertidur dengan memeluk Diva erat.
**
"Gila capek banget." Keluh Tika mengelap peluh di dahinya.
"Demi diva nih gue rela naik tangga sebanyak ini," sambung Mira seraya mengatur nafas.
"Baru kali ini gue ke sini," ucap Nisa lesu.
"Udah si diem, mending kita langsung masuk aja," sela Daniel sebelum mereka mengeluh lebih banyak lagi.
Mereka masuk secara bergantian.
Setelah semuanya masuk, mereka tercengang. Pemandangan yang langka dengan posisi yang intim.
"Ini gimana?" tanya Revan berbisik.
"Bangunin lah, yakali kita diem aja," jawab Mira ngegas.
"Gue setuju sama Mira, posisi mereka tuh intim banget," tutur Nisa menunjuk Diva yang tertidur di pangkuan Adit.
Daniel mengangguk menyetujui. Memang benar, posisi mereka sangat intim untuk seukuran kekasih. Bagaimana pun mereka juga normal yang mempunyai nafsu.
"Yaudah bangunin sana!" Perintah Tika dengan seenak jidat.
"Terus lo mau ngapain?" tanya Revan ketus.
"Gue? ya diem lah," jawabnya enteng yang justru membuat temannya geram.
Ini sih definisi teman enggak ada akhlak. Mereka di suruh bangunin macan, dan dia hanya diam? Enak sekali dirimu Tika.
"Enak aja, lo juga bantu bangunin dong," tukas Mira tidak terima.
"Tinggal bangunin aja kan?" tanya Tika dengan polosnya.
"Apa lo bilang? tinggal bangunin aja? gila lo, ini yang mau kita bangunin adit, Tik," jelas Revan dengan raut tidak percayanya.
"Emang kenapa kalau Adit?" tanya Tika lagi.
"Udah deh, mending lo diem aja," sela Daniel jengah.
Mereka seharusnya bersatu. Karena kita akan membangunkan tidur ketua Danger yang terkenal bringas itu.
"Kalian kan sahabatnya, kenapa enggak kalian aja?" tanya Nisa yang di tujukan ke Revan dan Daniel.
"Bukannya gimana, kita cuma enggak mau ambil resiko. Daniel sebagai sahabat yang paling dekat sama Adit aja enggak berani, apalagi gue," jelas Revan.
"Adit itu tipe cowok yang paling enggak suka di ganggu apalagi saat tidur. Gue pernah satu kali bangunin dia, dan kalian tau apa yang Adit lakuin ke gue?" Sambung Daniel dan bertanya ke Nisa dkk.
Mereka kompak menggeleng tidak tahu.
"Adit mukulin gue sampai gue di larikan ke rumah sakit," jawabnya terus terang.
"Segitu parahnya?" tanya Tika bergidik ngeri.
Daniel mengangguk. Sampai sekarang pun Daniel tidak berani lagi membangunkan Adit. Dia trauma.
"Khem."
Suara deheman seseorang membuat mereka meneguk salivanya susah payah.
Dengan kaku mereka menoleh ke arah sofa. Ternyata Adit sudah bangun dan sedang menatap mereka tajam. Layaknya singa yang kelaparan.
"Hehe, Bos, lo udah bangun?" tanya Revan cengengesan.
"Yaiyalah bangun, orang matanya udah melek gitu," jawab Mira berbisik kesal.
"Ngapain?" tanya Adit dingin.
"Em kita mau manggil Diva, nah iya Diva," balas Nisa gugup.
Ingin sekali dirinya menghilang sekarang. Tidak sanggup jika harus ditatap tajam oleh Adit.
Adit tidak menjawab. Tangannya masih setia mengelus lembut rambut sang kekasih.
Merasa terusik Diva perlahan membuka matanya.
"Jangan dikucek," ucap Adit lembut seraya menjauhkan tangan Diva yang mengucek matanya.
"Hihi iya," jawab Diva tersenyum imut.
"Kalian ngapain disini?" tanya Diva kebingungan ketika melihat para sahabatnya berdiri kaku di dekat pintu.
"Kalian ngapain disini?" tanya Diva kebingungan melihat sahabatnya berdiri kaku di dekat pintu. "Hehe kita nyariin lo," jawab Nisa tersenyum kikuk. "Maafin gue ya," pinta Diva tulus. Dirinya berasa bersalah karena membuat sahabatnya kebingungan. Sedangkan dia malah tidur di sini. "Kenapa kamu yang minta maaf?" tanya Adit menyelipkan anak rambut yang menutupi muka Diva. "Aku merasa bersalah aja," balasnya. Revan melongo takjub begitupun yang lain ketika mendengar Adit berbicara menggunakan aku - kamu. Apalagi nada bicaranya kepada Diva sangat lembut, lah sedangkan dengan mereka? Sudah seperti ingin menerkam hidup-hidup. Daniel menggelengkan kepalanya tak percaya. Apakah cinta memang bisa mengubah seseorang? Dirinya jadi ingin mempunyai pacar juga. "Diva, lo enggak mau turun?," tanya Mira jengah. Disini mereka capek berdiri sedangkan Diva dengan nyaman duduk di pangkuan Adit. Diva kebingungan dengan ma
"Ma," panggil Diva menuruni tangga.Mama Githa yang sedang menonton televisi pun menoleh."Ada apa, Sayang?" tanyanya lembut."Diva mau ke kafe," ucap Diva memberi tahu."Jangan pulang terlalu malam ya, Sayang," ucap Githa memperingati."Siap, Nyonya," jawab Diva dengan gerakan hormat.Githa terkekeh melihat tingkah putrinya.Tin"Ma, Adit sudah jemput. Diva berangkat ya," pamit Diva mencium tangan serta pipi Mama Githa."Iya, hati-hati, Nak," pesan Githa yang di jawab dengan acungan jempol.**"Berangkat sekarang?" tanya Diva saat sudah berada di dekat Adit.Adit memperhatikan pakaian yang di kenakan Diva.Sweater berwarna biru dipadukan dengan jeans putih dan sepatu putihnya. Sederhana memang namun sangat pas jika dipakai Diva. Cantik.
"I - tu," tunjuk Bara gugup.Adit mengikuti arah yang ditunjuk Bara, seketika badannya melemas.Dia merasa tidak becus menjaga Diva.Ternyata Diva juga tertusuk di bagian perut kirinya. Bahkan, sekarang Diva sudah memejamkan mata dengan wajah yang perlahan berubah pucat."Darahnya banyak!" pekik Revan heboh."Cepet bawa ke rumah sakit anjir!" geram Daniel saat Adit hanya terbengong melihat darah yang keluar dari perut Diva.Adit tersadar. Saat akan menggendong Diva dirinya baru ingat bahwa mereka tidak ada yang membawa mobil."Kita kan naik motor," celetuk Bara."Lah iya, gimana dong," sahut Revan panik.Tanpa berkata apa pun Adit langsung menggendong Diva ala bridal style."Mau naik apa?" tanya Daniel bingung."Lari," jawab Adit singkat sebelum dirinya berlari sambil menggendong Diva tanp
Di ruangan Diva saat ini hanya ada Adit. Karena, para sahabat mereka sedang sekolah. Orang tua Diva pun tidak dapat menemani Diva di karenakan ada pekerjaan yang tidak bisa di tinggalkan."Va," panggil Adit yang kesekian kalinya namun tetap tidak ada jawaban dari si empunya nama."Divanya Adit," panggil Adit lembut.Diva memalingkan wajahnya menahan senyum, terdengar sangat lucu jika Adit memanggilnya seperti itu."Maafin dong," pinta Adit memelas."Sayang," bisiknya tepat di telinga Diva.Diva merinding saat hembusan napas Adit sangat terasa di kulitnya, jantungnya berdebar kencang saat mendengar panggilan sayang dari Adit. Padahal ini bukan yang pertama kali Adit memanggil dirinya seperti itu.Dengan cepat Diva menutup seluruh badannya dengan selimut. Dirinya yakin bahwa wajahnya pasti memerah. Sialan, di panggil sayang saja sudah baper.
"Pulang, Ma," rengek Diva dengan menggoyangkan lengan sang mama layaknya anak kecil yang tidak dibelikan mainan."Luka kamu belum kering, Sayang," tolak Githa halus."Pulang," rengeknya tidak menyerah."Enggak," jawabnya mutlak.Dengan bibir mengerucut Diva perlahan menghentikan gerakannya di lengan Githa."Lebih baik Diva sama Adit aja," gerutu Diva pelan."Terus ... kenapa kamu suruh pulang tadi," ucap Githa mendengkus geli."Supaya istirahat dong, Ma ," jawab Diva.Mama Githa manggut-manggut. "Oh.""Ish, Mama," rengeknya kesal."Apa lagi, Diva?" tanya Mama Githa."Pulang," jawabnya dengan mengeluarkan puppy eyesnya."Enggak," tolak Mama Githa sambil bermain ponselnya."Diva ngambek," cetusnya membalikkan badan.Mama Githa terkekeh dan keluar dari ruangan tanpa sepengetahuan Diva."Kok Diva enggak dibujuk sih, Ma? Diva lagi ngambek loh," ungkapnya kesal.Merasa tidak ada
Ketika Adit memasuki markas semua anggota memandangnya takut. Tetapi dirinya tidak peduli, yang dia butuhkan sekarang yaitu melampiaskan emosinya.Adit memasuki ruang olahraga dengan tergesa-gesa.Setelah mengunci pintu, Adit berjalan mendekati puluhan samsak yang berjejer rapi.Matanya menatap tajam samsak yang menggantung.Bugh!Pukulan demi pukulan Adit layangkan dengan keras tanpa menggunakan sarung tinju di kedua tangannya.Napasnya memburu menatap 8 samsak yang hancur akibat ulahnya."Sisa dua," gumamnya menoleh ke arah pojok.Setelah merasa napasnya mulai teratur Adit berjalan ke arah pojok, dimana tempat samsak yang masih utuh."Hati gue sakit, Va," ucapnya pelan.Dengan brutal Adit memukul kedua samsak yang masih tersisa hingga hancur seperti yang lain.Badan Adit terjatuh, tenaga
Pagi hari di sebuah ruangan yang bernuansa hitam putih terdapat seorang lak-laki yang menggunakan seragam sedang menatap pantulan dirinya di cermin. Dia adalah Adit. Sebenarnya dia malas untuk pergi ke sekolah, tetapi ketiga sahabatnya memaksa dia untuk masuk sekolah. Menghela napas pelan Adit bergegas keluar untuk sarapan. "Pagi," sapa Adit kepada keluarganya yang sudah duduk di kursinya masing-masing. "Tumben kamu lesu bang," celetuk Ayah Aryo heran. "Enggak papa," jawab Adit singkat. "Kalau ada masalah cepat di selesaikan ya, Bang," saran Bunda Desi. "Iya," jawabnya. Mereka mulai memakan sarapannya masing-masing. "Abang," panggil Aca di sela makannya. "Hm," deham Adit tanpa menoleh ke arah adiknya. "Sayang, Abang lagi buru-buru. Jangan di ajak ngobrol
"Va-"Ucapan Adit terpotong melihat Diva berjalan meninggalkan mereka diikuti ke tiga sahabatnya."Nanti ketika istirahat lo harus minta maaf deh, Dit," saran Daniel menepuk pundak Adit pelan."Iya harus, karena perlakuan lo tadi bisa bikin hubungan kalian renggang," sahut Revan."Abangnya Diva keren juga ya, bisa bikin Adit jatuh kaya tadi," celetuk Bara yang mendapat tatapan tajam dari Adit."Gu - e harus ke kelas duluan," ucap Bara gugup kemudian berjalan cepat meninggalkan sahabatnya."Ditatap tajam saja sudah kabur itu anak," ucap Revan terkekeh.Adit menatap tajam Revan."Gue kira mau marahin gue njir," ujar Revan menghela napas lega setelah Adit berjalan meninggalkan mereka berdua."Ke kelas yok," ajak Daniel merangkul pundak Revan.**"Va, nanti cerita ya," pinta Nisa."Iya," jawabnya singkat."Diva meskipun sudah nangis sampai matanya sembab pun tetap cantik ya, lah gue? malah m