"Bang gawat bang," teriak salah satu anggota kelas 10 dengan panik.
Inti danger saat ini berada di warung belakang sekolah. Warung ini merupakan markas ke dua geng Danger.
"Kenapa, Sa?" tanya Daniel heran.
"Geng heroz nyerang sekolah, Bang," jawabnya yang bernama Aksa.
Adit geram, giginya bergemelutuk, dan tangannya mengepal hingga buku jarinya memutih.
"Kumpulin semua yang ada di sini," ucap Adit tegas.
Tidak ada yang bersuara. Karena mereka tahu bahwa Adit saat ini sedang emosi. Mereka tidak mau menerima resiko babak belur di tangan Adit.
"KUMPUL!" seru Adit dengan tegas.
Semuanya langsung lari terbirit-birit mendekati Adit. Bahkan sampai ada yang terjungkal karena tidak memperhatikan jalan saking terburu-burunya.
"SIAP," ucap semuanya lantang.
"Kita menggunakan formasi seperti biasa. Jangan kepancing emosi, saling melindungi dan jika tidak kuat boleh mundur," jelasnya dengan sorot mata yang tajam.
Mereka meneguk salivanya susah payah. Adit sangat mengerikan jika emosi.
"Siap, Ketua," jawab mereka serempak.
Adit berjalan dengan tegas menuju gerbang belakang sekolah yang di ikuti anggota danger.
Pasukan yang dibawa Adit saat ini hanya berjumlah 100 orang dan itu hanya yang satu sekolah dengan Adit.
**
Bugh!
Prang!
"KELUAR LO BAJINGAN," teriak Cakra ketua geng heroz.
"PENGECUT LO," sambung Rizal wakilnya.
"DIMANA LO PENGECUT," teriak Cakra lagi.
"Gue disini." Suara dengan nada dingin langsung mengalihkan perhatian mereka.
Anggota geng heroz yang tadinya melempari sekolah dengan batu pun ikut berhenti.
"Ngapain lo?" tanya Adit dengan suara seraknya.
"Gue mau geng Danger tunduk sama geng heroz," ucap Cakra menantang.
Tangan Adit mengepal begitupun dengan anggota inti danger.
"Enggak akan pernah," sahut Adit tegas.
"Pengecut lo," ejek Cakra menyeringai.
"Lo yang pengecut." Mata Adit berkilat marah, hawa dingin menguar dari tubuhnya.
Semua yang ada di lapangan menelan salivanya susah payah.
Apalagi anggota heroz yang sudah gemetar ketakutan.Gue enggak mau mati, masih pengen nikah."SERANG!" teriak Cakra sebagai bentuk pengalihan rasa takutnya saat merasa hawa mencengkam dari Adit. Geng danger tidak boleh tau bahwa dirinya sedang ketakutan.
"DANGER," seru Adit dengan tangan terkepal ke atas.
"WE HAVE THE WINNER," jawab seluruh inti dan anggota danger lantang.
Baku hantam antara ke dua geng berlangsung sengit.
Anggota heroz banyak yang membawa senjata tajam.
Geng heroz memang terkenal dengan kelicikannya di medan perang.Walaupun selalu menggunakan senjata tajam mereka tetap kalah jika melawan geng danger. Apalagi posisi danger merupakan geng terkuat di Jakarta. Dari situlah anggota heroz terutama Cakra membenci Adit dan danger.
Apapun yang kamu lakukan dengan cara tidak baik maka akan berakhir tidak baik.
Begitu pula dengan geng heroz.Sudah banyak anggota heroz yang tumbang. Sedangkan anggota danger masih terlihat lengkap.
"Lo kalau mukul bilang dulu dong," sungut Bara kesal saat musuhnya membogem dirinya saat lengah.
"Harus bilang dulu ya?" tanya anggota heroz yang diketahui bernama Paijo.
"Iya dong," jawab Bara enteng.
"Gue ulang dari awal ya." Beri tahu Paijo dengan kembali ke posisi awal.
"Bar, gue ijin nonjok muka lo ya?" ucapnya dengan polos.
"Enggak boleh," sahut Bara ketus.
"Harus gantian dong." Lanjutnya tersenyum tengil.
"Oh, boleh deh," jawab Paijo senang.
Bugh!
"Rasain noh, siapa suruh nonjok muka ganteng gue," ejek Bara dan langsung melenggang pergi meninggalkan Paijo yang meringis kesakitan.
Revan yang melihat interaksi Bara pun tidak dapat menahan tawanya.
"Bisa-bisanya gue punya temen modelan kaya Bara," ucap Revan disela tawanya.
Saat ini Revan sedang duduk di punggung salah satu anggota geng heroz yang sudah ia buat pingsan.
Disini lain Daniel sedang melawan 4 anggota heroz secara bersamaan. Tanpa menunggu lama dirinya bisa menumbangkan mereka semua.
"Huh lemah," gumamnya melihat kearah anggota heroz yang terkulai lemah.
Hanya tinggal Adit dan Cakra yang masih bertarung. Namun kondisi Cakra sangat memprihatinkan dengan lebam dimana-mana. Sedangkan Adit masih sama seperti awal, tidak ada luka apapun di tubuhnya.
"Ngapain lo nyerang sekolah gue?" tanya Adit disela baku hantamnya.
"Memangnya enggak boleh?" tanya balik Cakra menantang.
"Lihat sekeliling lo!"
Melihat seluruh anggotanya terkapar tak berdaya membuat Cakra mendengkus sebal. Walaupun seluruh anggotanya sudah habis tetapi dirinya tidak boleh kalah.
"Mereka boleh kalah, tapi gue enggak," ucap Cakra tegas.
"Gue pastikan lo yang akan kalah," lanjutnya penuh percaya diri.
"Dalam mimpi," jawab Adit tersenyum miring.
Adit membabi buta tanpa memberikan Cakra kesempatan membalas pukulannya.
Anak danger yang melihat kebringasan Adit bergidik ngeri.
Memang benar, seseorang yang terlihat tenang akan menjadi mengerikan jika marah.
Sama seperti Adit. Jika di luar Adit memang terlihat cuek dan enggak peduli sekitar tetapi jika ada yang memancing emosinya dia akan berubah menjadi monster.Napas Adit memburu sambil melihat Cakra yang tidak sadarkan diri dengan darah mengucur dari hidungnya.
"Bersihkan!" perintah Adit kepada anggotanya.
"DANGER."
"YES WE WINNER."
"Yeyeye kita menang lagi," ujar Bara bertepuk tangan heboh.
"Kita ke aula," ucap Adit berjalan meninggalkan mereka.
"Ngapain kita ke aula?" tanya Bara kebingungan.
"Diva."
Jawaban singkat Daniel membuat Bara melotot kan matanya kaget. Dirinya baru ingat dengan kekasih bosnya itu.
**
"Udah dong, Va," ucap Mira jengah.
Sedari awal masuk ke aula Diva selalu mondar-mandir, membuat ketiga sahabatnya jengah.
Kalau sudah bucin susah memang.Diva mendengkus sebal, ini sudah ucapan yang ke 20 kali Mira lontarkan. Mereka tidak tahu saja bagaimana rasanya khawatir pada orang tersayang.
"Gue khawatir tahu," ucap Diva menggigit jarinya dan kembali berjalan mondar-mandir.
"Kita pusing, Diva," sahut Tika kesal.
Guru-guru dan para murid terkekeh geli melihat kelakuan mereka.
"Diva, duduk sini," ajak Nisa lembut.
"Enggak," tolaknya tanpa melihat ke arah Nisa yang tersenyum paksa.
Lagi, sudah beberapa kali dirinya mengajak Diva duduk, dan hasilnya selalu di tolak.
"Bunuh sahabat sendiri boleh enggak sih?" tanya Mira frustrasi.
Yang di jawab senyuman paksa oleh Nisa.Suara pintu dibuka secara paksa membuat seisi aula ketakutan. Mereka berfikir jika itu anggota heroz.
Saat pintu sudah terbuka muncul seorang pemuda tampan dengan peluh yang menetes. Semua terpesona dengan visual Adit yang sangat sempurna.
Dengan segera Adit berjalan ke arah Diva yang masih tidak menyadari kehadirannya.
"Va," panggil Adit pelan.
Dengan cepat Diva menoleh kala mendengar suara orang yang sedari tadi dia khawatirkan.
"Adit," serunya senang. Tanpa aba-aba Diva langsung menubruk Adit dengan pelukan.
Adit terkejut, dirinya tidak menyangka Diva akan memeluknya di depan banyak orang seperti sekarang.
Namun tak lama dirinya membalas pelukan Diva tak kalah erat. Menghirup dalam aroma strawberry yang menguar dari rambut gadisnya.
Pekikan histeris dari kaum hawa tak membuat kedua sejoli itu melepas pelukannya. Satu kata yang mereka rasakan, nyaman.
Nisa dkk hanya melongo melihat tingkah Diva.
"ADIT."
"ADIT."Teriakan memanggil Adit terdengar sangat nyaring, sedangkan pemilik suara tidak menunjukkan batang hidungnya."Adit," panggil Bara di ambang pintu aula.Ya, ternyata Bara lah pemilik suara nyaring tadi.Mereka mendengkus kesal. Lagi asik melihat keromantisan ketua danger dan Bara datang sebagai pengganggu.Dengan santainya Bara mendekat ke arah sepasang kekasih yang masih berpelukan."APA INI MISKAH," teriak Bara tidak percaya.Serius? Ini Adit? Teman kulkasnya? Dan memeluk perempuan?Saking tidak percayanya Bara sampai melongo."Ad-"Lo kok ninggalin kita sih, Bar," potong Revan kesal yang baru saja sampai bersama Daniel."Bar, lo dengerin gue enggak sih," ucap Revan protes.Daniel heran melihat ekspresi Bara yang melongo dengan mata melotot.Mengikuti arah pandang Bara, Daniel ikut terdiam terkejut.Itu sahabat batunya?Revan semakin kesal melihat Daniel yang ikut terdi
"Kalian ngapain disini?" tanya Diva kebingungan melihat sahabatnya berdiri kaku di dekat pintu. "Hehe kita nyariin lo," jawab Nisa tersenyum kikuk. "Maafin gue ya," pinta Diva tulus. Dirinya berasa bersalah karena membuat sahabatnya kebingungan. Sedangkan dia malah tidur di sini. "Kenapa kamu yang minta maaf?" tanya Adit menyelipkan anak rambut yang menutupi muka Diva. "Aku merasa bersalah aja," balasnya. Revan melongo takjub begitupun yang lain ketika mendengar Adit berbicara menggunakan aku - kamu. Apalagi nada bicaranya kepada Diva sangat lembut, lah sedangkan dengan mereka? Sudah seperti ingin menerkam hidup-hidup. Daniel menggelengkan kepalanya tak percaya. Apakah cinta memang bisa mengubah seseorang? Dirinya jadi ingin mempunyai pacar juga. "Diva, lo enggak mau turun?," tanya Mira jengah. Disini mereka capek berdiri sedangkan Diva dengan nyaman duduk di pangkuan Adit. Diva kebingungan dengan ma
"Ma," panggil Diva menuruni tangga.Mama Githa yang sedang menonton televisi pun menoleh."Ada apa, Sayang?" tanyanya lembut."Diva mau ke kafe," ucap Diva memberi tahu."Jangan pulang terlalu malam ya, Sayang," ucap Githa memperingati."Siap, Nyonya," jawab Diva dengan gerakan hormat.Githa terkekeh melihat tingkah putrinya.Tin"Ma, Adit sudah jemput. Diva berangkat ya," pamit Diva mencium tangan serta pipi Mama Githa."Iya, hati-hati, Nak," pesan Githa yang di jawab dengan acungan jempol.**"Berangkat sekarang?" tanya Diva saat sudah berada di dekat Adit.Adit memperhatikan pakaian yang di kenakan Diva.Sweater berwarna biru dipadukan dengan jeans putih dan sepatu putihnya. Sederhana memang namun sangat pas jika dipakai Diva. Cantik.
"I - tu," tunjuk Bara gugup.Adit mengikuti arah yang ditunjuk Bara, seketika badannya melemas.Dia merasa tidak becus menjaga Diva.Ternyata Diva juga tertusuk di bagian perut kirinya. Bahkan, sekarang Diva sudah memejamkan mata dengan wajah yang perlahan berubah pucat."Darahnya banyak!" pekik Revan heboh."Cepet bawa ke rumah sakit anjir!" geram Daniel saat Adit hanya terbengong melihat darah yang keluar dari perut Diva.Adit tersadar. Saat akan menggendong Diva dirinya baru ingat bahwa mereka tidak ada yang membawa mobil."Kita kan naik motor," celetuk Bara."Lah iya, gimana dong," sahut Revan panik.Tanpa berkata apa pun Adit langsung menggendong Diva ala bridal style."Mau naik apa?" tanya Daniel bingung."Lari," jawab Adit singkat sebelum dirinya berlari sambil menggendong Diva tanp
Di ruangan Diva saat ini hanya ada Adit. Karena, para sahabat mereka sedang sekolah. Orang tua Diva pun tidak dapat menemani Diva di karenakan ada pekerjaan yang tidak bisa di tinggalkan."Va," panggil Adit yang kesekian kalinya namun tetap tidak ada jawaban dari si empunya nama."Divanya Adit," panggil Adit lembut.Diva memalingkan wajahnya menahan senyum, terdengar sangat lucu jika Adit memanggilnya seperti itu."Maafin dong," pinta Adit memelas."Sayang," bisiknya tepat di telinga Diva.Diva merinding saat hembusan napas Adit sangat terasa di kulitnya, jantungnya berdebar kencang saat mendengar panggilan sayang dari Adit. Padahal ini bukan yang pertama kali Adit memanggil dirinya seperti itu.Dengan cepat Diva menutup seluruh badannya dengan selimut. Dirinya yakin bahwa wajahnya pasti memerah. Sialan, di panggil sayang saja sudah baper.
"Pulang, Ma," rengek Diva dengan menggoyangkan lengan sang mama layaknya anak kecil yang tidak dibelikan mainan."Luka kamu belum kering, Sayang," tolak Githa halus."Pulang," rengeknya tidak menyerah."Enggak," jawabnya mutlak.Dengan bibir mengerucut Diva perlahan menghentikan gerakannya di lengan Githa."Lebih baik Diva sama Adit aja," gerutu Diva pelan."Terus ... kenapa kamu suruh pulang tadi," ucap Githa mendengkus geli."Supaya istirahat dong, Ma ," jawab Diva.Mama Githa manggut-manggut. "Oh.""Ish, Mama," rengeknya kesal."Apa lagi, Diva?" tanya Mama Githa."Pulang," jawabnya dengan mengeluarkan puppy eyesnya."Enggak," tolak Mama Githa sambil bermain ponselnya."Diva ngambek," cetusnya membalikkan badan.Mama Githa terkekeh dan keluar dari ruangan tanpa sepengetahuan Diva."Kok Diva enggak dibujuk sih, Ma? Diva lagi ngambek loh," ungkapnya kesal.Merasa tidak ada
Ketika Adit memasuki markas semua anggota memandangnya takut. Tetapi dirinya tidak peduli, yang dia butuhkan sekarang yaitu melampiaskan emosinya.Adit memasuki ruang olahraga dengan tergesa-gesa.Setelah mengunci pintu, Adit berjalan mendekati puluhan samsak yang berjejer rapi.Matanya menatap tajam samsak yang menggantung.Bugh!Pukulan demi pukulan Adit layangkan dengan keras tanpa menggunakan sarung tinju di kedua tangannya.Napasnya memburu menatap 8 samsak yang hancur akibat ulahnya."Sisa dua," gumamnya menoleh ke arah pojok.Setelah merasa napasnya mulai teratur Adit berjalan ke arah pojok, dimana tempat samsak yang masih utuh."Hati gue sakit, Va," ucapnya pelan.Dengan brutal Adit memukul kedua samsak yang masih tersisa hingga hancur seperti yang lain.Badan Adit terjatuh, tenaga
Pagi hari di sebuah ruangan yang bernuansa hitam putih terdapat seorang lak-laki yang menggunakan seragam sedang menatap pantulan dirinya di cermin. Dia adalah Adit. Sebenarnya dia malas untuk pergi ke sekolah, tetapi ketiga sahabatnya memaksa dia untuk masuk sekolah. Menghela napas pelan Adit bergegas keluar untuk sarapan. "Pagi," sapa Adit kepada keluarganya yang sudah duduk di kursinya masing-masing. "Tumben kamu lesu bang," celetuk Ayah Aryo heran. "Enggak papa," jawab Adit singkat. "Kalau ada masalah cepat di selesaikan ya, Bang," saran Bunda Desi. "Iya," jawabnya. Mereka mulai memakan sarapannya masing-masing. "Abang," panggil Aca di sela makannya. "Hm," deham Adit tanpa menoleh ke arah adiknya. "Sayang, Abang lagi buru-buru. Jangan di ajak ngobrol