Saat ini kedua sejoli yang sedang di mabuk cinta itu dalam perjalanan menuju rumah Adit.
Pagi hari tadi orang tuanya berpesan untuk mengajak sang kekasih berkunjung.
"Adit, gue takut," ucap Diva setelah sampai di pekarangan rumah Adit.
"Ngapain takut?" tanya Adit datar seraya menaruh helm di spion motor.
Diva tidak menjawab.
Melihat sang kekasih di rundung kegugupan Adit berinisiatif menenangkan.
"Enggak papa, ayo," ajak Adit menggenggam tangan mungil Diva.
"Pulang aja yuk!" ajaknya memelas.
"Ortu gue enggak makan manusia kok," sahut Adit enteng dengan tetap berjalan mendekati pintu utama keluarga Bagaskara.
"Bisa serius gak sih!" sungutnya menabok pelan lengan Adit.
"Seriusnya nanti aja setelah lulus," jawab Adit tenang menatap dalam mata Diva.
Diva yang diperlakukan seperti itu menjadi salting, seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di perutnya.
"Assalamualaikum," ucap keduanya bersamaan.
"Waalaikumsalam," jawab Mama Adit yang berteriak dari dapur.
"Adit, pacarnya mana?" tanya Bunda Desi tergopoh-gopoh menghampiri mereka berdua.
"Jangan lari, Bun!" peringat Ayah Aryo yang berjalan santai di belakang Bunda Desi dengan tangan di masukkan ke saku celana.
Melihat Bunda Desi mendekat ke arahnya, Diva tersenyum manis.
"Assalamualaikum, Tante," ucap Diva mencium tangan Desi lembut.
"Waalaikumsalam. Cantik banget," ungkap Desi menatap penuh binar ke arah Diva.
"Terima kasih, Tante," jawab Diva canggung.
"Assalamualaikum, Om," ujar Diva yang juga mencium punggung tangan Aryo.
"Waalaikumsalam. Ayo duduk!" ajak Aryo tegas.
Sekarang Diva tahu darimana sifat Adit berasal. Yaitu dari sang Ayah. Adit merupakan duplikat nyata dari Aryo, ucapan tegasnya dan tatapan yang tajam walaupun lebih tajam tatapan Adit.
"Oh ya ampun, Tante lupa ayo duduk sayang," ajak Desi menuntun Diva ke ruang keluarga meninggalkan sepasang bapak dan anak.
Adit masih berdiri di tempat. Memperhatikan bagaimana antusiasnya sang Bunda ketika bertemu Diva. Dirinya hanya tersenyum tipis.
"Di tinggal terus kita," ucap Aryo dengan wajah yang seperti di nistakan.
"Kita? Ayah aja kali," pungkas Adit yang langsung berjalan meninggalkan Ayah Aryo sendirian.
"Dasar anak durhaka, perasaan waktu bikin gue udah baca bismillah deh," gumam Aryo kesal.
Beginilah jika bersama keluarga. Sifat Aryo akan berubah, begitupun Adit yang menjadi lebih jail.
**
"Terima kasih ya," ucap Diva yang berada di depan pintu utama rumahnya.
Tadi setelah berbincang-bincang Diva memutuskan untuk pamit pulang, karena waktu yang sudah hampir maghrib.
Keluarga Adit ternyata sangat menyenangkan dengan sifat yang berbeda.
"Iya," jawab Adit singkat.
"Gue masuk dulu, hati-hati di jalan," kata Diva yang di jawab anggukan oleh Adit.
"Good night, Pacar," ucap Adit yang langsung melesat pergi.
Diva yang masih berada di ambang pintu pun mengulas senyum lebar dengan wajah yang perlahan berwarna merah.
"Good night too, Pacar," gumam Diva tersenyum senang.
**
Hari Senin merupakan hari yang kebanyakan siswa membencinya. Selain karena upacara, pelajaran di hari Senin adalah pelajaran paling banyak dan kebanyakan menguras otak.
Diva berjalan sendirian di koridor. Banyak murid yang berlalu lalang menyapanya apalagi sekarang dia sudah menjadi ketua dance, seketika namanya semakin melambung tinggi.
"Pagi," sapa Diva kepada ketiga sahabatnya yang bergosip di bangku miliknya.
"Pagi juga, Diva," sahut mereka.
"Kalia-"
Ucapan Diva terpotong dengan suara bel yang berarti upacara akan di mulai.
Teeett
"Kelapangan yuk!" ajak Nisa merapikan pakaiannya.
"Yuk."
Sesampainya di lapangan mereka memasuki barisan kelas.
Upacara di mulai, semua fokus ke arah bendera merah putih yang dikibarkan.
"Panas banget," keluh Tika saat pembina upacara memulai pidatonya.
"Iya anjir," sahut Mira kesal.
"Mana lama banget lagi," sambung Nisa mengelap peluhnya.
"Udah diem," ujar Diva menengahi.
Dirinya juga kepanasan, tapi kita juga harus menghargai pembina upacara yang berpidato dengan menghadap matahari langsung.
**
Di saat yang lain sibuk mengeluh kepanasan. Berbeda dengan ke empat cowok yang justru bersantai menikmati angin sepoi-sepoi, siapa lagi kalau bukan inti danger.
Mereka sekarang berada di rooftop. Bukan rahasia umum lagi jika inti danger tidak mengikuti upacara.
"Bos," panggil Bara yang duduk di pembatas rooftop.
Adit yang sedang bersandar di sofa dengan mata tertutup hanya berdeham.
"Kasihan banget, Bu Bos," ujar Bara memberi tahu.
"Kenapa, Bar?" tanya Revan penasaran.
"Kepanasan tuh," tunjuk Bara ke arah Diva dkk yang kepanasan. Bahkan muka Diva menjadi merah saking panasnya.
"Eh iya anjir, sampai merah gitu," ucap Revan heboh sangking terkejutnya.
Wajar jika muka Diva memerah karena kulit Diva paling putih di antara ketiga temannya.
"Ketiga temannya juga merah," sahut Daniel yang ikut melihat ke arah lapangan.
"Namun Diva paling parah," balas Bara menatap kasihan kearah Diva.
Adit tak menggubris obrolan ketiga sahabatnya. Dirinya sedang menatap Diva, ada rasa tidak tega saat melihat kekasihnya kepanasan.
Saking asiknya membahas tentang Diva dkk mereka tidak sadar bahwa upacara sudah selesai.
"Ke kelas," ucap Adit yang berjalan meninggalkan mereka dengan tas di bahu kanannya.
**
"Panas banget," keluh Tika saat memasuki kelas.
"Berasa kaya di neraka," sahut Mira lesu.
"Emang lo pernah masuk neraka?" tanya Diva mendengkus geli.
"Enggak, Astaghfirullah," jawab Mira panik.
"Haha mangkanya kalau ngomong jangan sembarangan," jawab Nisa tertawa.
"BU ANTING KESINI WOI," teriak Adib ketua kelas ipa 1.
Dengan secepat kilat mereka duduk di tempat masing-masing.
"Selamat pagi anak-anak," sapa Bu Anting dengan wajah sangar.
Beliau merupakan guru terkiller nomer 2 di sekolah ini, beliau mengajar matematika.
"Pagi, Bu," sahut seisi kelas serempak.
"Buka buku halaman 102."
Kriing.
"Sampai disini pelajaran hari ini, selamat pagi," pamit Bu Anting kala bel istirahat berbunyi dan berjalan meninggalkan kelas.
"Pagi," sahut seisi kelas bahagia.
Akhirnya terbebas dari pelajaran yang membuat pusing.
"Ke kantin yuk!" ajak Tika setelah membereskan bukunya.
"Eh ada apaan itu," ucap Diva menunjuk murid-murid yang berlarian penasaran.
"Kita tanya ayo."
"Ini ada apa ya?" tanya Mira kepada gadis yang berlari ketakutan.
"Geng heroz nyerang sekolah kak," jawabnya langsung berlari kencang tanpa menunggu respon dari ke empatnya.
"Geng heroz itu siapa?" tanya Diva bingung.
"Geng heroz itu musuhnya danger va," sahut Nisa.
"Udah ayo kita ke aula, disini enggak aman," ucap Tika panik.
"Adit gimana?" tanya Diva cemas.
"Yaelah va, kalau mau bucin nanti aja, ini ada penyerangan loh," sahut Mira kesal.
Bisa-bisanya Diva memikirkan Adit yang sebagai ketua geng motor, jelas kemampuan bela dirinya patut diacungi jempol. Sedangkan mereka? Boro-boro melawan yang ada teriak-teriak dan nangis kejer.
"Biarin aja Va, ayo kita pergi dari sini," ucap mereka bertiga menarik paksa tangan Diva untuk berlindung di aula.
Diva hanya pasrah ketika mereka menarik dirinya. Tidak dapat di pungkiri hatinya saat ini merasa khawatir akan keadaan sang kekasih.
Semoga lo baik-baik aja, gue sayang sama lo, Dit.
"Bang gawat bang," teriak salah satu anggota kelas 10 dengan panik.Inti danger saat ini berada di warung belakang sekolah. Warung ini merupakan markas ke dua geng Danger."Kenapa, Sa?" tanya Daniel heran."Geng heroz nyerang sekolah, Bang," jawabnya yang bernama Aksa.Adit geram, giginya bergemelutuk, dan tangannya mengepal hingga buku jarinya memutih."Kumpulin semua yang ada di sini," ucap Adit tegas.Tidak ada yang bersuara. Karena mereka tahu bahwa Adit saat ini sedang emosi. Mereka tidak mau menerima resiko babak belur di tangan Adit."KUMPUL!" seru Adit dengan tegas.Semuanya langsung lari terbirit-birit mendekati Adit. Bahkan sampai ada yang terjungkal karena tidak memperhatikan jalan saking terburu-burunya."SIAP," ucap semuanya lantang."Kita menggunakan formasi seperti biasa. Jangan kepanc
"ADIT."Teriakan memanggil Adit terdengar sangat nyaring, sedangkan pemilik suara tidak menunjukkan batang hidungnya."Adit," panggil Bara di ambang pintu aula.Ya, ternyata Bara lah pemilik suara nyaring tadi.Mereka mendengkus kesal. Lagi asik melihat keromantisan ketua danger dan Bara datang sebagai pengganggu.Dengan santainya Bara mendekat ke arah sepasang kekasih yang masih berpelukan."APA INI MISKAH," teriak Bara tidak percaya.Serius? Ini Adit? Teman kulkasnya? Dan memeluk perempuan?Saking tidak percayanya Bara sampai melongo."Ad-"Lo kok ninggalin kita sih, Bar," potong Revan kesal yang baru saja sampai bersama Daniel."Bar, lo dengerin gue enggak sih," ucap Revan protes.Daniel heran melihat ekspresi Bara yang melongo dengan mata melotot.Mengikuti arah pandang Bara, Daniel ikut terdiam terkejut.Itu sahabat batunya?Revan semakin kesal melihat Daniel yang ikut terdi
"Kalian ngapain disini?" tanya Diva kebingungan melihat sahabatnya berdiri kaku di dekat pintu. "Hehe kita nyariin lo," jawab Nisa tersenyum kikuk. "Maafin gue ya," pinta Diva tulus. Dirinya berasa bersalah karena membuat sahabatnya kebingungan. Sedangkan dia malah tidur di sini. "Kenapa kamu yang minta maaf?" tanya Adit menyelipkan anak rambut yang menutupi muka Diva. "Aku merasa bersalah aja," balasnya. Revan melongo takjub begitupun yang lain ketika mendengar Adit berbicara menggunakan aku - kamu. Apalagi nada bicaranya kepada Diva sangat lembut, lah sedangkan dengan mereka? Sudah seperti ingin menerkam hidup-hidup. Daniel menggelengkan kepalanya tak percaya. Apakah cinta memang bisa mengubah seseorang? Dirinya jadi ingin mempunyai pacar juga. "Diva, lo enggak mau turun?," tanya Mira jengah. Disini mereka capek berdiri sedangkan Diva dengan nyaman duduk di pangkuan Adit. Diva kebingungan dengan ma
"Ma," panggil Diva menuruni tangga.Mama Githa yang sedang menonton televisi pun menoleh."Ada apa, Sayang?" tanyanya lembut."Diva mau ke kafe," ucap Diva memberi tahu."Jangan pulang terlalu malam ya, Sayang," ucap Githa memperingati."Siap, Nyonya," jawab Diva dengan gerakan hormat.Githa terkekeh melihat tingkah putrinya.Tin"Ma, Adit sudah jemput. Diva berangkat ya," pamit Diva mencium tangan serta pipi Mama Githa."Iya, hati-hati, Nak," pesan Githa yang di jawab dengan acungan jempol.**"Berangkat sekarang?" tanya Diva saat sudah berada di dekat Adit.Adit memperhatikan pakaian yang di kenakan Diva.Sweater berwarna biru dipadukan dengan jeans putih dan sepatu putihnya. Sederhana memang namun sangat pas jika dipakai Diva. Cantik.
"I - tu," tunjuk Bara gugup.Adit mengikuti arah yang ditunjuk Bara, seketika badannya melemas.Dia merasa tidak becus menjaga Diva.Ternyata Diva juga tertusuk di bagian perut kirinya. Bahkan, sekarang Diva sudah memejamkan mata dengan wajah yang perlahan berubah pucat."Darahnya banyak!" pekik Revan heboh."Cepet bawa ke rumah sakit anjir!" geram Daniel saat Adit hanya terbengong melihat darah yang keluar dari perut Diva.Adit tersadar. Saat akan menggendong Diva dirinya baru ingat bahwa mereka tidak ada yang membawa mobil."Kita kan naik motor," celetuk Bara."Lah iya, gimana dong," sahut Revan panik.Tanpa berkata apa pun Adit langsung menggendong Diva ala bridal style."Mau naik apa?" tanya Daniel bingung."Lari," jawab Adit singkat sebelum dirinya berlari sambil menggendong Diva tanp
Di ruangan Diva saat ini hanya ada Adit. Karena, para sahabat mereka sedang sekolah. Orang tua Diva pun tidak dapat menemani Diva di karenakan ada pekerjaan yang tidak bisa di tinggalkan."Va," panggil Adit yang kesekian kalinya namun tetap tidak ada jawaban dari si empunya nama."Divanya Adit," panggil Adit lembut.Diva memalingkan wajahnya menahan senyum, terdengar sangat lucu jika Adit memanggilnya seperti itu."Maafin dong," pinta Adit memelas."Sayang," bisiknya tepat di telinga Diva.Diva merinding saat hembusan napas Adit sangat terasa di kulitnya, jantungnya berdebar kencang saat mendengar panggilan sayang dari Adit. Padahal ini bukan yang pertama kali Adit memanggil dirinya seperti itu.Dengan cepat Diva menutup seluruh badannya dengan selimut. Dirinya yakin bahwa wajahnya pasti memerah. Sialan, di panggil sayang saja sudah baper.
"Pulang, Ma," rengek Diva dengan menggoyangkan lengan sang mama layaknya anak kecil yang tidak dibelikan mainan."Luka kamu belum kering, Sayang," tolak Githa halus."Pulang," rengeknya tidak menyerah."Enggak," jawabnya mutlak.Dengan bibir mengerucut Diva perlahan menghentikan gerakannya di lengan Githa."Lebih baik Diva sama Adit aja," gerutu Diva pelan."Terus ... kenapa kamu suruh pulang tadi," ucap Githa mendengkus geli."Supaya istirahat dong, Ma ," jawab Diva.Mama Githa manggut-manggut. "Oh.""Ish, Mama," rengeknya kesal."Apa lagi, Diva?" tanya Mama Githa."Pulang," jawabnya dengan mengeluarkan puppy eyesnya."Enggak," tolak Mama Githa sambil bermain ponselnya."Diva ngambek," cetusnya membalikkan badan.Mama Githa terkekeh dan keluar dari ruangan tanpa sepengetahuan Diva."Kok Diva enggak dibujuk sih, Ma? Diva lagi ngambek loh," ungkapnya kesal.Merasa tidak ada
Ketika Adit memasuki markas semua anggota memandangnya takut. Tetapi dirinya tidak peduli, yang dia butuhkan sekarang yaitu melampiaskan emosinya.Adit memasuki ruang olahraga dengan tergesa-gesa.Setelah mengunci pintu, Adit berjalan mendekati puluhan samsak yang berjejer rapi.Matanya menatap tajam samsak yang menggantung.Bugh!Pukulan demi pukulan Adit layangkan dengan keras tanpa menggunakan sarung tinju di kedua tangannya.Napasnya memburu menatap 8 samsak yang hancur akibat ulahnya."Sisa dua," gumamnya menoleh ke arah pojok.Setelah merasa napasnya mulai teratur Adit berjalan ke arah pojok, dimana tempat samsak yang masih utuh."Hati gue sakit, Va," ucapnya pelan.Dengan brutal Adit memukul kedua samsak yang masih tersisa hingga hancur seperti yang lain.Badan Adit terjatuh, tenaga