Semua mata terpaku pada 1 titik. Disana, Diva berdiri dengan anggunnya.
Semua mata terpesona membuat Adit geram, ingin sekali dia mencongkel mata pria yang melihat kekasihnya dengan tatapan kagum.Diva menggunakan celana hottpans selutut dengan atasan baju crop dibalut rompi selutut tanpa lengan, yang memperlihatkan perut rata serta mulusnya.
"Woah gila cantik banget."
"Mulus banget ya ampun."
"Perutnya rata coy."
"Aaa insecure."
Lapangan indoor mulai gaduh setelah beberapa saat mereka tercengang dengan penampilan Diva yang memukau.
"SAAT INI KITA AKAN SELEKSI, SIAPA YANG LEBIH UNGGUL AKAN TERPILIH MENJADI KETUA DANCE," ucap Bu Rere lantang.
"Silahkan Angel," ucap Bu Rere mempersilahkan Angel memasuki lapangan indoor.
Bisik-bisik mulai terdengar. Mereka tidak menyangka bahwa Angel akan ikut seleksi ini. Pasalnya Angel sudah vakum 1 tahun yang lalu.
Respon murid-murid membuat Angel kesal bukan main. Kenapa dirinya tidak di sambut seheboh Diva? tanyanya dalam hati seraya melirik sinis Diva.
"DIMULAI DARI SIAPA DULU?" tanya Bu Rere.
"DIVAA," seru semuanya bersamaan.
"Bu, biarkan Angel dulu," ucap Diva sopan.
"Heh lo takut kalah sama gue ya?" tanya Angel sinis.
"Enggak kok, lo aja duluan," jawab Diva tenang disertai senyum manis lalu melenggang pergi ke tempat duduk yang telah di sediakan.
"Ish liat aja, gue bakal ngalahin lo," kesal Angel melirik sinis Diva.
"MARI KITA SAKSIKAN PENAMPILAN ANGEL," seru Bu Rere antusias.
"Woooo."
"Angel semangat."
"Lo pasti bisa ngel."
Mendengar ucapan itu semakin membuat Angel mengangkat dagunya angkuh.
"Gue pasti menang," batin Angel menyeringai.
Musik mulai berbunyi, Angel memulai dance dengan mengibas rambutnya yang terurai seraya mengedipkan matanya genit ke arah Adit, bukannya terpesona Adit justru merasa jijik.
"Hahaha liat noh, matanya Angel ngedip ke Adit," ucap Bara ngakak yang tidak sengaja melihat Angel berkedip genit ke arah Adit, sedangkan yang diberi kedipan bergidik ngeri.
"Kedip balik dong dit," sahut Revan menggoda.
"Diem napa jijik gue," jawab Adit ketus.
Tawa mereka langsung meledak kala mendengar jawaban Adit yang sangat ketus."Udah jangan berisik, kita lihat aja penampilan Angel," celetuk Mira ketus dirinya ini risih karena ditatap aneh oleh murid lainnya dan itu ulah ketiga cowok yang sayangnya ditakuti banyak orang.
Cutting me up like a knife 🎶
And i feel it, deep ih my bones 🎶
Kicking a gabut i love even harder 🎶
You wanna know? 🎶
I just wanna dive in the water, with you 🎶
Baby, we can't see the bottom 🎶
It's so easy to fall for each other 🎶
I'm just hoping we catch one another🎶
Musik mengalun dengan indah seiring gerakan dance Angel yang indah.
"Woo angel keren," ucap mereka bertepuk tangan heboh setelah Angel mengelesaikan gerakan dancenya.
Mendapat pujian seperti itu semakin membuat Angel yakin bahwa dia lah yang memenangkan seleksi ini.
"Siap-siap kalah dan malu bitch," ucap Angel ketika berhadapan dengan Diva seraya tersenyum meremehkan.
Tanpa membalas Diva langsung bergegas ke tengah lapangan karena sekarang gilirannya.
Melihat respon Diva yang tenang semakin membuatnya geram.**
"Gila gila itu Angel kok bisa bagus ya?" Tika berucap dengan raut heran.
"Gimana kalau Diva kalah?" tanya Nisa cemas.
"Diva memangnya bisa dance ya?" tanya balik Daniel.
"Dulu waktu SMP dia jago, enggak tau kalau sekarang," jawab Mira gelisah.
Mereka bertiga takut kalau Diva kalah dan berakhir Angel yang menjadi ketua mereka. Memikirkannya saja sudah membuat mereka ngeri. Mimpi buruk, begitu pikirnya.
"Gue yakin Diva bisa," celetuk Adit tegas.
Yang disetujui mereka dengan anggukan."Iya, kita harus yakin kalau Diva bisa, kita do'akan saja dari sini," sahut revan bijak.
Bara cengo tidak biasanya Revan bijak begini."Lo ngapain?" tanya Revan heran ketika tangan Bara ada di jidatnya.
"Enggak panas," gumam bara yang masih di dengar oleh mereka.
"Apaan sih, Bar," sahut Daniel yang juga di buat bingung oleh tingkahnya.
Tanpa menjawab pertanyaan mereka Bara lantas berseru heboh, "WOAHH TUMBEN LO BIJAK."
Nisa dkk kompak memalingkan wajah malu.
"Gue enggak kenal," batin ketiganya bersamaan."Sialan gue malu," ucap Daniel bergumam yang pura-pura bermain handphone, padahal hanya geser-geser galeri saja. Ada yang sama? :v
"TADI LO MAKAN APA VAN? GILA PINTER BANGET LO," ucap bara lantang seraya mengguncang tubuh Revan tanpa menghiraukan sekelilingnya.
Karena terlalu malu Adit dengan kasar menarik kerah baju bara agar duduk. Pasalnya Bara itu berdiri dan berbicara dengan hebohnya. Gimana enggak malu tuh.
"Duduk!" perintah Adit tegas.
"Apaan sih dit, gue tuh lagi tanya sama Revan," sahut Bara berontak.
"Lihat sekeliling lo!"
Bara dengan ragu menoleh untuk melihat sekelilingnya dan ternyata mereka semua sedang menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.
Dengan kikuk Bara menoleh ke arah Adit lagi.
"Mereka kenapa?" tanya Bara pelan.
Ealah gak sadar to mas :v
"KARENA LO," jawab para sahabatnya kompak. Bara sampai terlonjat kaget mendengarnya.
"Hehe gue kenapa?" tanya Bara menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Tadi lo heboh sendiri," jawab Nisa berusaha sabar.
Kenapa dia bisa punya temen seperti Bara sih, meresahkan sekali."Minta maaf!" ucap Adit.
Bara kembali menoleh, ternyata mereka masih memperhatikannya. Tatapan mereka membuat Bara bergidik ngeri.
"Mereka kaya zombi," ucapnya meringis dalam hati."Gu-e minta maaf ya," ucap Bara dengan gugup.
Para sahabatnya menahan tawa melihat Bara yang gugup hanya karena melihat tatapan mereka. Padahal kalau tawuran dirinya berani.Melihat anggukan kepala dari semuanya membuat Bara menghela nafas pelan.
Dengan secepat kilat dirinya menghadap ke arah sahabatnya lagi."Gue enggak akan bikin ribut lagi," ucap Bara yakin.
"Kenapa?" tanya Revan dengan bibir berkedut menahan tawa.
"Ngeri gue, mereka kaya zombi iii," jawab Bara pucat pasi.
"HAHAHAHA."
Mereka tidak dapat menahan tawanya kala melihat muka Bara berubah menjadi pucat pasi tanda dirinya ketakutan.
Bahkan Adit pun ikut tersenyum walaupun tipis dan nyaris tidak terlihat, tapi percayalah di dalam hati dirinya sudah tertawa ngakak. Emang bisa begitu ya? :VBara kesal, kenapa mereka tertawa di atas penderitaannya?
Seharusnya mereka membantu dirinya.Begitulah sahabat yang tulus.
Mereka akan tertawa paling keras di depan kita lalu menolongnya, karena lebih baik bersikap apa adanya tapi tulus.Daripada menolong tetapi di dalam hati tertawa.Seperti bersikap baik namun nyatanya munafik."Kalian jahat sama dedek," ucap Bara merajuk.
"Terus lo pikir gue peduli?" tanya Revan mengangkat sebelah alisnya.
"Oh tentu tidak," jawab mereka serempak minus Adit dan Bara.
"Hahahaha."
Tawa mereka semakin meledak, apalagi melihat wajah Bara yang memerah.
Adit mendengus geli melihatnya.
Sebenernya dia ingin tertawa, pasalnya muka bara sangat lucu seperti menahan boker. Tetapi Adit lebih memilih menjaga imagenya daripada meladeni sahabatnya yang aneh itu.Jika menghadapi lawan kita tidak perlu tergesa-gesa. Cukup tenang dan buat lawan mu bungkam dengan keberhasilan mu.Seperti yang dilakukan Diva sekarang. Jika orang lain mungkin sudah gugup, namun Diva tetap tenang dengan senyum manisnya."INI DIA DIVA," ucap Bu Rere keras."Woooo." Sorakan mereka terdengar bersahutan.Gerakan Diva mencepol rambutnya asal membuat semuanya terpekik takjub, dimana ia memperlihatkan leher jenjang putih mulusnya.Semua kaum Adam menelan salivanya susah payah, bahkan pak satpam sampai terjungkal karena terlalu fokus melihat Diva.Disaat semua orang takjub, berbeda dengan Adit yang justru menggeram marah. Dirinya tidak suka berbagi, Diva miliknya untuk sekarang dan selamanya.Gigi Adit bergemelutuk menahan emosi, mereka yang merasakan aura negatif dari Adit langsung mengalihkan pandangan, tidak mau berurusan dengan ketua danger yang terkenal brin
"Sayang, bangun," ujar wanita paruh baya yang merupakan Mama Diva. "Sebentar lagi ma," balasnya dengan suara serak khas bangun tidur. "Bangun Diva, enggak baik anak gadis bangun siang," tegas Mama Githa berkacak pinggang. "Iya, Mama," jawabnya malas. Dengan terpaksa Diva berjalan menuju kamar mandi, dalam keadaan mata belum terbuka dan berjalan sempoyongan. Semalam dia menonton drakor sampai tengah malam alhasil sekarang dirinya sangat mengantuk. Mama Githa yang melihat kelakuan putri bungsunya mendengkus geli. "Jangan merem, Sayang," ucap Mama Githa terkekeh dan keluar dari kamar putrinya. Weekend adalah hari yang selalu di nantikan oleh semua orang, terutama pelajar. Begitupun Diva yang juga bahagia karena dapat melakukan kegiatan selain belajar. Seperti menonton drakor, jalan-jalan, atau tidur seharian. Karena pada dasarnya Diva anak yang raj
Saat ini kedua sejoli yang sedang di mabuk cinta itu dalam perjalanan menuju rumah Adit.Pagi hari tadi orang tuanya berpesan untuk mengajak sang kekasih berkunjung."Adit, gue takut," ucap Diva setelah sampai di pekarangan rumah Adit."Ngapain takut?" tanya Adit datar seraya menaruh helm di spion motor.Diva tidak menjawab.Melihat sang kekasih di rundung kegugupan Adit berinisiatif menenangkan."Enggak papa, ayo," ajak Adit menggenggam tangan mungil Diva."Pulang aja yuk!" ajaknya memelas."Ortu gue enggak makan manusia kok," sahut Adit enteng dengan tetap berjalan mendekati pintu utama keluarga Bagaskara."Bisa serius gak sih!" sungutnya menabok pelan lengan Adit."Seriusnya nanti aja setelah lulus," jawab Adit tenang menatap dalam mata Diva.Diva yang diperlakukan seperti itu men
"Bang gawat bang," teriak salah satu anggota kelas 10 dengan panik.Inti danger saat ini berada di warung belakang sekolah. Warung ini merupakan markas ke dua geng Danger."Kenapa, Sa?" tanya Daniel heran."Geng heroz nyerang sekolah, Bang," jawabnya yang bernama Aksa.Adit geram, giginya bergemelutuk, dan tangannya mengepal hingga buku jarinya memutih."Kumpulin semua yang ada di sini," ucap Adit tegas.Tidak ada yang bersuara. Karena mereka tahu bahwa Adit saat ini sedang emosi. Mereka tidak mau menerima resiko babak belur di tangan Adit."KUMPUL!" seru Adit dengan tegas.Semuanya langsung lari terbirit-birit mendekati Adit. Bahkan sampai ada yang terjungkal karena tidak memperhatikan jalan saking terburu-burunya."SIAP," ucap semuanya lantang."Kita menggunakan formasi seperti biasa. Jangan kepanc
"ADIT."Teriakan memanggil Adit terdengar sangat nyaring, sedangkan pemilik suara tidak menunjukkan batang hidungnya."Adit," panggil Bara di ambang pintu aula.Ya, ternyata Bara lah pemilik suara nyaring tadi.Mereka mendengkus kesal. Lagi asik melihat keromantisan ketua danger dan Bara datang sebagai pengganggu.Dengan santainya Bara mendekat ke arah sepasang kekasih yang masih berpelukan."APA INI MISKAH," teriak Bara tidak percaya.Serius? Ini Adit? Teman kulkasnya? Dan memeluk perempuan?Saking tidak percayanya Bara sampai melongo."Ad-"Lo kok ninggalin kita sih, Bar," potong Revan kesal yang baru saja sampai bersama Daniel."Bar, lo dengerin gue enggak sih," ucap Revan protes.Daniel heran melihat ekspresi Bara yang melongo dengan mata melotot.Mengikuti arah pandang Bara, Daniel ikut terdiam terkejut.Itu sahabat batunya?Revan semakin kesal melihat Daniel yang ikut terdi
"Kalian ngapain disini?" tanya Diva kebingungan melihat sahabatnya berdiri kaku di dekat pintu. "Hehe kita nyariin lo," jawab Nisa tersenyum kikuk. "Maafin gue ya," pinta Diva tulus. Dirinya berasa bersalah karena membuat sahabatnya kebingungan. Sedangkan dia malah tidur di sini. "Kenapa kamu yang minta maaf?" tanya Adit menyelipkan anak rambut yang menutupi muka Diva. "Aku merasa bersalah aja," balasnya. Revan melongo takjub begitupun yang lain ketika mendengar Adit berbicara menggunakan aku - kamu. Apalagi nada bicaranya kepada Diva sangat lembut, lah sedangkan dengan mereka? Sudah seperti ingin menerkam hidup-hidup. Daniel menggelengkan kepalanya tak percaya. Apakah cinta memang bisa mengubah seseorang? Dirinya jadi ingin mempunyai pacar juga. "Diva, lo enggak mau turun?," tanya Mira jengah. Disini mereka capek berdiri sedangkan Diva dengan nyaman duduk di pangkuan Adit. Diva kebingungan dengan ma
"Ma," panggil Diva menuruni tangga.Mama Githa yang sedang menonton televisi pun menoleh."Ada apa, Sayang?" tanyanya lembut."Diva mau ke kafe," ucap Diva memberi tahu."Jangan pulang terlalu malam ya, Sayang," ucap Githa memperingati."Siap, Nyonya," jawab Diva dengan gerakan hormat.Githa terkekeh melihat tingkah putrinya.Tin"Ma, Adit sudah jemput. Diva berangkat ya," pamit Diva mencium tangan serta pipi Mama Githa."Iya, hati-hati, Nak," pesan Githa yang di jawab dengan acungan jempol.**"Berangkat sekarang?" tanya Diva saat sudah berada di dekat Adit.Adit memperhatikan pakaian yang di kenakan Diva.Sweater berwarna biru dipadukan dengan jeans putih dan sepatu putihnya. Sederhana memang namun sangat pas jika dipakai Diva. Cantik.
"I - tu," tunjuk Bara gugup.Adit mengikuti arah yang ditunjuk Bara, seketika badannya melemas.Dia merasa tidak becus menjaga Diva.Ternyata Diva juga tertusuk di bagian perut kirinya. Bahkan, sekarang Diva sudah memejamkan mata dengan wajah yang perlahan berubah pucat."Darahnya banyak!" pekik Revan heboh."Cepet bawa ke rumah sakit anjir!" geram Daniel saat Adit hanya terbengong melihat darah yang keluar dari perut Diva.Adit tersadar. Saat akan menggendong Diva dirinya baru ingat bahwa mereka tidak ada yang membawa mobil."Kita kan naik motor," celetuk Bara."Lah iya, gimana dong," sahut Revan panik.Tanpa berkata apa pun Adit langsung menggendong Diva ala bridal style."Mau naik apa?" tanya Daniel bingung."Lari," jawab Adit singkat sebelum dirinya berlari sambil menggendong Diva tanp
Adit mengalihkan pandangannya seraya menghela napas pelan. Kemudian kembali menatap kedua sahabatnya dengan raut serius. Meskipun ragu, dia akan mengatakannya karena mereka harus tahu kebenarannya."Karin hamil." Adit berkata dengan suara yang begitu pelan. Namun meskipun begitu, Bara dan Revan masih dapat mendengar dengan jelas.Tubuh keduanya mendadak kaku dengan mulut setengah terbuka. Mereka tidak salah dengar 'kan?"Ha ha pasti itu cuma alasan lo biar enggak dimarahi kami 'kan?" tanya Revan tertawa garing.Tawa Bara menguar, seolah apa yang diucapkan Adit adalah hal paling lucu. "Lo emang enggak pantes ngelawak, Dit. Nanti berguru sama gue. Jangan bawa-bawa kehamilan anjir, ngeri gue."Tangan Adit terangkat menepuk bahu kedua sahabatnya diikuti dengan gelengan kepala."Gue enggak lagi ngelawak. Ini beneran, Karin hamil anak gue," ucap Adit berhasil menghentikan tawa Bara.Raut wajah laki-laki yang suka bercanda itu berubah menjad
Kini giliran mereka yang terdiam. Benar-benar tidak menyangka dengan jawaban Diva yang sedikit menyentil hati mereka. Hati dan perasaan seseorang memang tidak bisa ditebak. Kemarin suka dan sekarang benci. Revan mengkode Bara melalui lirikan mata. Diam-diam dia meringis tidak enak. Berada di situasi seperti ini sangat tidak nyaman. "Va, sorry, gue engg-" "Enggak papa kok," sela Diva memotong ucapan Bara dengan wajah datarnya yang semakin membuat laki-laki itu merasa bersalah. "Gue minta maaf. Gue sama sekali enggak maksud ngomong gitu," cicit Bara. Daniel maju selangkah lalu mengusap rambut Diva lembut. "Pikirin baik-baik sebelum membuat keputusan." Diva hanya mengangguk pelan. Melihat pemandangan di depannya membuat Nisa mengalihkan pandangannya. Hatinya berdenyut sakit. "Ngelihat lo kayak gini malah bikin gue sa
Dengan posisi yang masih membelakangi Adit, Diva mengukir senyum tipis penuh luka. Di posisinya ini, dia juga melihat kedua sahabatnya yang berdiri kaku beberapa langkah di depannya. Perlahan Diva membalikkan badannya, menatap laki-laki yang sudah memberikan banyak rasa kepadanya. "Kenapa harus marah? Gue enggak marah sama sekali. Lagi pula lo enggak punya kesalahan yang harus gue marahin, Adit." "Terus, kenapa lo beda?" tanya Adit menatap Diva sayu. Diva menoleh ke samping lalu menarik napas pelan dan kembali menatap Adit. Namun kali ini tatapannya tidak lagi lembut, melainkan datar. "Apanya yang beda? Gue emang kayak gini. Lo 'kan enggak kenal sama gue, jadi wajar kalau ngerasa gue beda," jawab Diva tenang. Langkah kaki Adit perlahan membawanya mendekat ke arah Diva. "Gue minta maaf kalau ada salah. Gue ... gue ngerasa enggak suka sama sikap lo yang kayak gini, Diva," ucapnya bersungguh-sungguh. "Semua kesalahan lo udah gue maafin ko
Baru saja Nisa akan menjawab, suara dentingan sendok mengalihkan perhatian semuanya. Pelakunya adalah Diva. Dia sengaja sedikit membanting sendok karena terlalu risih dengan tatapan dua laki-laki yang tak lain adalah Adit dan Daniel. "Loh, Va, lo mau ke mana?" tanya Mira heran saat melihat Diva bangkit dari duduknya, padahal mereka belum selesai bahkan baru saja mulai. "Kelas," jawab Diva singkat dan langsung melenggang pergi. Meninggalkan tanda tanya besar untuk sahabatnya. "Makanannya belum habis loh," tunjuk Tika ke arah makanan Diva yang baru termakan sedikit. Mereka saling pandang lalu menggeleng dengan kompak. Mereka bingung kenapa Diva menjadi seperti ini. Disuruh bercerita menolak, mau menebak pun mereka juga tidak bisa. Karena ekspresi Diva terlihat biasa saja, tidak ada emosi. "Diva sebenarnya kenapa sih?" tanya Bara bertopang dagu menatap ke arah perginya Diva.
"Pagi, Cantik," sapa Bara kepada Diva yang lewat di depannya dengan senyum lebar.Diva menoleh dan tersenyum tipis. "Pagi, Bar," balasnya kemudian langsung melenggang pergi, tanpa menatap inti dan anggota danger lainnya.Bukan hanya Bara yang merasa heran, tetapi semua yang ada di parkiran juga merasa kalau Diva sedikit berbeda. Biasanya gadis itu akan menyapa dengan riang, bahkan ikut bergabung. Apalagi jika ada Adit.Namun sekarang, gadis cantik itu hanya membalas dengan singkat tanpa melihat ke yang lain. Bahkan ke Adit pun tidak."Diva kenapa cuek gitu ya?" tanya Bara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Apa kalimat sapaannya salah, sampai Diva marah karena dipanggil cantik?"Dia juga enggak nyapa kita. Tumben banget dia enggak semangat gitu, padahal di sini ada Adit," sahut Revan menatap punggung Diva yang semakin menjauh."Mungkin udah enggak mau lagi sama Adit," celetuk Bara asal.Mendengar celetukan sahabatnya, Adit langsung
Diva tersenyum tipis, dengan pelan dia melepas pelukan Tika yang begitu erat. Bukannya tidak senang, tetapi di sebelahnya ada Mira yang sudah tertidur pulas. Dia tidak mau mengganggu sahabatnya itu hanya karena terjepit oleh Tika. "Gue enggak papa kok. Maaf udah buat lo khawatir," jawab Diva merasa bersalah. "Terus lo ke mana? Kenapa enggak balik ke kelas? Kenapa di toilet juga enggak ada?" tanya Tika beruntun. Nisa menghela napas pelan mendengar pertanyaan Tika. Sudah dia duga, gadis itu pasti bertanya secara bertubi-tubi. "Lo enggak bisa tanya satu-satu ya, Tik? Gue pusing dengarnya." "Gue enggak tanya sama lo, jadi lebih baik lo diam aja. Mimpi apa gue bisa punya sahabat kayak lo sama Mira. Gampang emosi dan suka komentar sama apa yang gue lakuin," gerutu Tika memberenggut kesal. Diva menggelengkan kepalanya pelan menyaksikan perdebatan para sahabatnya. Sudah tidak asing lagi jika
"Bu Sukma masih ngejar kita, gimana nih?" tanya Tika di sela larinya. " Gue udah capek anjir." Meskipun napasnya terasa menipis, tetapi Tika juga tidak mau berhenti. Karena kalau berhenti, yang ada dia ketangkap oleh Bu Sukma lalu diberi hukuman. Oh no! Dirinya tidak mau berurusan dengan matahari apalagi toilet. "Gimana kalau ke kelas aja? Gue juga capek, berasa di kejar orang gila, deg-degan parah," sahut Bara setelah melihat ke belakang dan ternyata benar apa yang dikatakan Tika, Bu Sukma masih mengejar mereka berdua dengan penggaris kayu yang diacungkan. Tika mengangguk menyetujui. "Oke, daripada dihukum bersihin toilet yang baunya bikin mual, lebih baik gue berperang sama pelajaran. Dadah, Bara Jelek," pamitnya seraya melambaikan tangan lalu berlari menuju kelasnya. "Sialan lo bocah! Awas aja ya, gue bikin jatuh cinta klepek-klepek lo. Nanti bilangnya 'aku enggak mau pisah sama kamu' atau enggak 'a
"Lo harus bisa atur emosi, Mir," celetuk Revan memecah kesunyian di antara keduanya. Sejak kepergian Daniel dan Nisa, dia sengaja mengajak Mira ke taman belakang. Karena menurutnya, hanya tempat itu yang cocok untuk menenangkan diri. Selain sejuk, tempatnya pun tidak ramai dan hanya segelintir siswa yang berlalu lalang. "Apa pun yang menyangkut sahabat gue, gue enggak bisa tinggal diam, Van. Apalagi ini Diva, sahabat yang paling gue sayang," sahut Mira menatap lurus ke depan. Dia berusaha menahan emosinya supaya tidak meledak. Bagaimana pun juga, di sini ada Revan dan dia tidak mau laki-laki itu menjadi korbannya. Karena yang bermasalah itu Adit, bukan sahabatnya. Huh, rasanya dia ingin menghajar wajah tampannya sampai babak belur, atau kalau perlu menonjok giginya sampai rontok. Supaya menjadi jelek dan otomatis tidak akan ada lagi perempuan yang menyukainya. "Gue tau apa yang lo rasain, tetapi percum
"Kenapa? Lo ingat sesuatu?" tanya Mira melirik Adit dengan tangan yang bersedekap."Enggak, gue cuma ngerasa pernah ada di posisi kayak gini," jawab Adit menatap meja dengan pandangan kosongnya.Jujur, sampai sekarang dia merasa bingung dengan dirinya sendiri. Entah apa yang terjadi sebelumnya, tetapi di beberapa situasi dia merasa familiar. Seolah pernah mengalaminya. Namun dia juga tidak ingat kapan situasi itu terjadi.Kekehan kecil keluar dari mulut Mira. "Lo emang pernah ada di posisi ini, kejadian yang sama tetapi beda tempat. Sayangnya sekarang lo lagi amnesia, jadi enggak inget kejadian menegangkan waktu itu," ujarnya santai."Mir," tegur Nisa menyenggol lengan Mira pelan, memperingati gadis itu agar tidak berbicara macam-macam yang dapat membuat Adit memaksa ingatannya.Ketiga inti danger hanya diam membisu, tidak menegur Mira atau pun menenangkan Adit yang mulai meremas rambutnya."Apa benar yang dibilang dia?" tanya Adit menatap s