"Mau nemenin Tante ngobrol sebentar?"Rhea kemudian duduk di hadapan wanita itu. "Saya belum memperkenalkan diri, Tante. Saya Rhea.""Oh iya. Saya Ajeng. Seperti yang sudah kamu tau, saya mamanya Naren. Naren pernah cerita tentang saya?"Sebenarnya Rhea cukup kesulitan menjawabnya, ia tidak ingin mengungkapkan kalau Naren masih menyimpan foto keluarga mereka dan membuat wanita di depannya berharap terlalu banyak. Rhea tahu kalau kali ini tidak akan semudah membujuk Naren untuk berbaikan dengan papanya. "Mas Naren pernah cerita sekali waktu itu.""Kalian udah lama kenal?""Dari SMA, Tante. Tapi waktu itu saya pindah ke luar kota, ikut Papa saya pindah dinas. Baru ketemu lagi belum lama, belum ada setahun," jawab Rhea."Naren nggak mau nemuin Tante sebelum kalian tunangan?""Hmm ... Waktu itu saya udah nyoba bujuk Mas buat nemuin Tante. Tapi—""Tante ngerti, Naren pasti nggak mau. Ngomong-ngomong kamu udah lama buka coffee shop ini?""Belum lama kok, Tante. Baru sekitar empat bulan.""S
Rhea tengah menunggu kedatangan calon mertuanya di sebuah restoran sushi yang ada di Pondok Indah Mall, sesuai permintaan mama Naren.Kali ini, rasa gelisahnya melebihi saat bertemu papa Naren atau kakek Naren sekalipun.Naren: Makan siang di mana?Satu pesan dari Naren itu langsung membuat Rhea berdebar. Harus jawab apa?Rhea: Aku makan siang di PIM, MasRhea: Ada janjiNaren: Sama siapa?Rhea: Sama cewek, tenang ajaSetelahnya tidak ada lagi balasan dari Naren. Tak berselang lama, kursi yang ada di depan Rhea bergeser. Saat itu lah Rhea yakin kalau orang yang ditunggunya sudah datang."Siang, Tante," sapa Rhea."Udah lama? Maaf ya, Tante tadi ketemu temen dulu.""Nggak apa-apa kok, Tante. Memang tadi saya berangkat lebih awal dari Bintaro."Keduanya berhenti bicara sesaat setelah selesai memesan beberapa jenis sushi.Dalam diamnya, Ajeng memperhatikan penampilan Rhea yang simple, hanya dengan mengenakan blouse berwarna soft mint dan flagged skirt berwarna putih.Semua gesture Rhea j
Naren mengernyit bingung setelah mendengar pertanyaan calon istrinya itu. "Maksudnya? Kerjaanmu kan ngurus coffee shop, bentar lagi ada dua lagi yang mesti diurus. Itu kerjaan halal dan setauku bukan hal yang gampang loh. Kenapa aku harus malu?"Rhea menghela napas. Di dalam hatinya memang ia sama sekali tidak merasa malu dan di dalam otaknya masih belum bisa mencerna apa yang disampaikan mama Naren saat mereka makan siang."Beneran nggak apa-apa, Mas? Misal nih ya, ada pegawai Candra Group yang dateng ke Amigos, terus aku yang nganterin kopi dia karena pegawaiku lagi keteteran, gimana? Kamu nggak malu?""Sebenernya daripada malu, aku lebih takut kamu kecapekan." Naren lantas menatap Rhea penuh selidik. "Dari mana kamu dapet pikiran kalo aku bakal malu?"Rhea menggeleng sambil tersenyum, berusaha menunjukkan kalau pertanyaannya berasal dari pikirannya yang random. "Jabatanmu di perusahaan bakal makin tinggi, Mas. Aku jadi agak ... kepikiran. itu aja.""Apa kamu mau aku tetep di jabata
Rhea mengetuk pintu di depannya—yang ia tahu sebagai kamar untuk Naren beristirahat di kantor. "Maaas. Aku boleh masuk nggak?"Tidak terdengar jawaban dari Naren. "Mas, aku masuk ya." Dengan memberanikan diri, Rhea membuka pintu yang tidak terkunci itu. Apa sih yang akan terjadi padanya? Paling-paling hanya diusir setelah diamuk oleh Naren.Pemandangan pertama yang dilihat Rhea adalah Naren yang duduk di pinggir ranjang sambil menunduk dan mengepalkan tangan.Rhea mendekat, berjongkok di depan Naren, lalu menangkupkan tangannya di atas tangan Naren yang sedang mengepal erat. "Maaf ya, Mas. Aku belum cerita. Aku bingung gimana mau cerita ke kamu, takut kamu emosi lagi.""Udah," jawab Naren singkat sambil menatap manik mata Rhea tanpa berkedip."Hah?""Kamu udah berhasil bikin aku emosi. Kenapa sih kamu nggak cerita, Rhe? Apa dia yang nyuruh kamu nggak cerita ke aku?"Rhea menggeleng cepat. "Nggak, Mas. Mamamu nggak nyuruh aku buat rahasiain dari kamu. Aku ... aku cuma bingung aja mulai
"Mas beneran nggak mau ikut masuk?" tanya Rhea sebelum ia turun dari mobil Naren.Beberapa hari yang dihabiskannya untuk meyakinkan Naren sampai akhirnya Naren memperbolehkannya bertemu dengan mamanya. Rhea berjanji kalau ia akan aman-aman saja bertemu dengan mama Naren dan akan menyaring semua ucapan yang keluar dari mulut wanita itu.Tapi tentu saja Naren tidak bisa melepaskan Rhea dengan mudah. Ia mengantarkan Rhea sampai depan kediaman mamanya. Dan kini, ia masih terlihat enggan saat melihat Rhea hendak turun dari mobilnya."Aku yang harusnya tanya sama kamu, kamu nggak mau ngubah keputusanmu? Nggak usahlah nemuin dia, buat apa? Ya? Kita jalan-jalan aja ya.""Maaas." Rhea menangkup wajah Naren yang terlihat memelas. "Aku yakin ada sesuatu yang ingin disampaikan mamamu. Sampai aku tau maksudnya apa ngajak ketemu aku terus-terusan, aku nggak akan mundur. Tenang aja, Mas. Aku masuk ke rumah mamamu, bukan ke sarang penyamun. Segitu resahnya.""Aku nggak suka dia ngerendahin kamu." Nar
Rhea menoleh ke belakang, menatap Bayuni dan berpura-pura bingung. "Maksudmu?""Aku tau kamu cerdas, Rhe. Tenang aja. Aku memang kagum sama Naren, dia mungkin salah satu laki-laki yang bisa membuat aku menoleh dua kali.""Hah? Kenapa bawa-bawa aku?" sela Naren. Sejujurnya ia tidak terlalu mengerti apa yang dibicarakan dua wanita di dalam mobilnya itu."Aku lagi muji kamu loh, Ren. Jujur aja, cewek mana yang nggak menghayal jadi pasanganmu waktu pertama kali ketemu.""Aku nggak!" jawab Rhea cepat. "Dia nih, bikin aku nggak bisa jajan tiga hari gara-gara mesti gantiin baju seragamnya yang kena tumpahan es jeruk. Gimana aku bisa menghayal dia jadi pasanganku."Naren terbahak. "Ya kamu nggak hati-hati jalannya. Tapi akhirnya kamu tetep nembak aku duluan kan," goda Naren."Mas! Itu dulu ya, waktu aku masih belum bisa mikir bener." Rhea mengerucutkan bibir karena kesal. Perdebatan mereka membuat Rhea lupa apa yang baru saja disampaikan Bayuni.Helaan napas Bayuni dari kursi belakang bisa di
"Dia masih suka hubungi kamu atau minta ketemu kamu?" tanya Naren tiba-tiba di suatu sore saat menjemput Rhea dari Bintaro.Naren melajukan mobilnya menuju Kelapa Gading, rumah di mana keluarganya malam ini akan berkumpul untuk menyambut kepulangan keluarga tantenya dari Singapura. Padahal tantenya itu baru akan tiba esok hari, tetap saja kakeknya yang rela meninggalkan dinginnya udara Dieng itu, ingin mereka berkumpul sejak malam."Dia siapa?" tanya Rhea polos. "Ega?""Kenapa bawa-bawa Ega?" Sontak Naren menaikkan nadanya beberapa oktaf saat Rhea mambawa nama Ega dalam percakapan mereka."Loh terus maksudnya siapa?""Mantan istri Papa.""Ooh, mamamu?"Naren menahan kesalnya setiap ada orang yang menyebut wanita yang sedang mereka bicarakan itu sebagai mamanya. Tapi tentu saja di depan Rhea ia tidak bisa mengamuk seperti biasanya. "Kenapa sih semua orang nyebut dia 'mamaku'?""Mau kamu bantah kayak apa pun, dia tetep mamamu, Mas. Gimana lagi dong. Kan nggak bisa tuker mama di dunia i
"Ini calon istri kamu, Ren?" tanya Adila, anak kedua Aditama yang memilih tinggal di Singapura dengan keluarganya.Setelah Adila dan keluarganya menyapa Aditama dan Adityo, perhatian mereka teralihkan oleh keberadaan wanita yang menempel di samping Naren."Iya. Mi. Kenalin, Rhea." Naren memang memanggil tantenya dengan panggilan 'Mami' sejak kecil.Rhea mengangguk sopan sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya. "Rhea, Tante."Wanita itu manatap Rhea dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tangan Naren yang melingkari pinggang Rhea pun tidak luput dari perhatiannya."Udah lah, Mi, jangan ngerjain calon istrinya Naren, nanti dia takut sama kamu," ucap suami Adila yang menyeret koper di tangan kirinya.Naren beranjak untuk memeluk lelaki itu sambil menanyakan kabarnya. "Udah sehat, Om?"Lelaki itu mengangguk, juga memperkenalkan dirinya pada Rhea.Tersisa seseorang lelaki seumuran Naren yang menyeret dua koper, tersenyum lebar karena kejahilannya yang sudah dipersiapkan. Bukannya menyapa