"Mas beneran nggak mau ikut masuk?" tanya Rhea sebelum ia turun dari mobil Naren.Beberapa hari yang dihabiskannya untuk meyakinkan Naren sampai akhirnya Naren memperbolehkannya bertemu dengan mamanya. Rhea berjanji kalau ia akan aman-aman saja bertemu dengan mama Naren dan akan menyaring semua ucapan yang keluar dari mulut wanita itu.Tapi tentu saja Naren tidak bisa melepaskan Rhea dengan mudah. Ia mengantarkan Rhea sampai depan kediaman mamanya. Dan kini, ia masih terlihat enggan saat melihat Rhea hendak turun dari mobilnya."Aku yang harusnya tanya sama kamu, kamu nggak mau ngubah keputusanmu? Nggak usahlah nemuin dia, buat apa? Ya? Kita jalan-jalan aja ya.""Maaas." Rhea menangkup wajah Naren yang terlihat memelas. "Aku yakin ada sesuatu yang ingin disampaikan mamamu. Sampai aku tau maksudnya apa ngajak ketemu aku terus-terusan, aku nggak akan mundur. Tenang aja, Mas. Aku masuk ke rumah mamamu, bukan ke sarang penyamun. Segitu resahnya.""Aku nggak suka dia ngerendahin kamu." Nar
Rhea menoleh ke belakang, menatap Bayuni dan berpura-pura bingung. "Maksudmu?""Aku tau kamu cerdas, Rhe. Tenang aja. Aku memang kagum sama Naren, dia mungkin salah satu laki-laki yang bisa membuat aku menoleh dua kali.""Hah? Kenapa bawa-bawa aku?" sela Naren. Sejujurnya ia tidak terlalu mengerti apa yang dibicarakan dua wanita di dalam mobilnya itu."Aku lagi muji kamu loh, Ren. Jujur aja, cewek mana yang nggak menghayal jadi pasanganmu waktu pertama kali ketemu.""Aku nggak!" jawab Rhea cepat. "Dia nih, bikin aku nggak bisa jajan tiga hari gara-gara mesti gantiin baju seragamnya yang kena tumpahan es jeruk. Gimana aku bisa menghayal dia jadi pasanganku."Naren terbahak. "Ya kamu nggak hati-hati jalannya. Tapi akhirnya kamu tetep nembak aku duluan kan," goda Naren."Mas! Itu dulu ya, waktu aku masih belum bisa mikir bener." Rhea mengerucutkan bibir karena kesal. Perdebatan mereka membuat Rhea lupa apa yang baru saja disampaikan Bayuni.Helaan napas Bayuni dari kursi belakang bisa di
"Dia masih suka hubungi kamu atau minta ketemu kamu?" tanya Naren tiba-tiba di suatu sore saat menjemput Rhea dari Bintaro.Naren melajukan mobilnya menuju Kelapa Gading, rumah di mana keluarganya malam ini akan berkumpul untuk menyambut kepulangan keluarga tantenya dari Singapura. Padahal tantenya itu baru akan tiba esok hari, tetap saja kakeknya yang rela meninggalkan dinginnya udara Dieng itu, ingin mereka berkumpul sejak malam."Dia siapa?" tanya Rhea polos. "Ega?""Kenapa bawa-bawa Ega?" Sontak Naren menaikkan nadanya beberapa oktaf saat Rhea mambawa nama Ega dalam percakapan mereka."Loh terus maksudnya siapa?""Mantan istri Papa.""Ooh, mamamu?"Naren menahan kesalnya setiap ada orang yang menyebut wanita yang sedang mereka bicarakan itu sebagai mamanya. Tapi tentu saja di depan Rhea ia tidak bisa mengamuk seperti biasanya. "Kenapa sih semua orang nyebut dia 'mamaku'?""Mau kamu bantah kayak apa pun, dia tetep mamamu, Mas. Gimana lagi dong. Kan nggak bisa tuker mama di dunia i
"Ini calon istri kamu, Ren?" tanya Adila, anak kedua Aditama yang memilih tinggal di Singapura dengan keluarganya.Setelah Adila dan keluarganya menyapa Aditama dan Adityo, perhatian mereka teralihkan oleh keberadaan wanita yang menempel di samping Naren."Iya. Mi. Kenalin, Rhea." Naren memang memanggil tantenya dengan panggilan 'Mami' sejak kecil.Rhea mengangguk sopan sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya. "Rhea, Tante."Wanita itu manatap Rhea dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tangan Naren yang melingkari pinggang Rhea pun tidak luput dari perhatiannya."Udah lah, Mi, jangan ngerjain calon istrinya Naren, nanti dia takut sama kamu," ucap suami Adila yang menyeret koper di tangan kirinya.Naren beranjak untuk memeluk lelaki itu sambil menanyakan kabarnya. "Udah sehat, Om?"Lelaki itu mengangguk, juga memperkenalkan dirinya pada Rhea.Tersisa seseorang lelaki seumuran Naren yang menyeret dua koper, tersenyum lebar karena kejahilannya yang sudah dipersiapkan. Bukannya menyapa
Usai makan siang bersama dan mengobrol hingga sore, mereka semua kembali ke kamar masing-masing, bersiap untuk makan malam di luar, atas permintaan Adila yang sudah kangen dengan salah satu restoran favorit keluarga besar mereka sejak bertahun-tahun silam.Karena Naren merasa masih banyak waktu buat bersiap dan ia tidak tahu mau melakukan apa di kamarnya, Naren pikir ia bisa mengobrol dan berduaan dengan Rhea.Tapi saat Naren mengetuk beberapa kali pintu kamar yang ditempati Rhea, Rhea tidak kunjung menyahutinya."Tidur apa ya?" gumam Naren. Kemudian tangannya bergerak memegang handle pintu dan membukanya.Naren menghela napas ketika melihat pintu di depannya langsung terbuka. "Kenapa nggak dikunci sih? Udah tau ada Endra di sini."Naren masuk lebih jauh setelah menutup pintu. Terdengar suara air dari kamar mandi, jadi Naren menunggu saja di atas kasur sambil memainkan ponselnya. Saking asiknya Naren membalas chat di whatsapp group The Troublemakers, ia tidak menyadari kalau suara gem
"Tante tadi dari arisan, kebetulan anak temen Tante pengen ikut Tante ke sini. Nggak apa-apa kan, Rhe? Maaf ya, Tante ganggu kamu terus."'Lagi?' Rhea tersenyum sambil mengangguk. "Nggak apa-apa dong, Tante. Bahkan Tante lebih aktif daripada tim pemasaranku. Hampir setiap minggu kan Tante bawa anak temen Tante ke sini. Siapa tau pada cocok sama makanan dan minuman di sini, biar bisa jadi pelanggan tetap."Tim pemasaran apa? Tidak ada tim pemasaran yang dibentuknya. Semua pemasaran dilakukan Amee karena dia yang ahli di bidang branding produk. Tapi memang apa yang dilakukan Ajeng sedikit banyak membawa tambahan pelanggan buatnya. Buktinya Bayuni sudah berkali-kali mengajak teman-temannya mampir. Di antara semua wanita yang pernah diperkenalkan Ajeng padanya, Bayuni mungkin salah satu yang paling membuat Rhea nyaman, karena Bayuni terang-terangan mengakui perasaannya pada Naren dan terang-terangan juga mengundurkan diri dari jabatan baru yang hampir disandangnya—calon pelakor.Ajeng sem
"Ciyeee ... Mbak Rhea! Duh kita harus manggil ‘Nyonya’ apa gimana nih abis ini?" ledek Nuning yang melihat Rhea menyeduh kopi sendiri untuk Naren yang sedang menunggunya di ruangan."Apa sih, Ning! Kamu aja yang nggak tau kalo selama ini dia udah bos." Rhea menggeleng-gelengkan kepala. Para pegawainya memang belum tahu jabatan Naren selama ini, dan Rhea juga tidak pernah berniat memberi tahu karena menurutnya tidak ada hubungannya dengan bisnisnya."Udah bos tapi masih bisa naik jabatan lagi." Decakan kagum keluar dari Nuning. "Ini udah jabatan tertinggi, Mbak?""Ya ... nggak juga. Jabatan tertinggi itu kayak kakeknya, tinggal ungkang-ungkang kaki sambil makan mie ongklok, tapi duit masuk terus," jawab Rhea sambil terbahak dan meninggalkan Nuning.Rhea masuk ke dalam ruang kerjanya sambil membawa segelas kopi hasil filter V60. Melihat betapa tegangnya Naren, Rhea tahu kalau lelaki itu sebenarnya sedang menanggung beban berat."Diminum dulu, Mas.""Makasih." Naren mengangguk tapi tak j
"Mainin gitar, lagunya 'You are The Reason', bisa kan?""Mas, aku—""Apa? Kamu kan kalo ngerayu perempuan pake gitar," sela Naren sebelum Endra menolak.Endra menghela napas. Bukannya ia tidak bisa melakukan apa yang diminta Naren, tapi ia tidak ingin mencuri perhatian dalam pesta semacam itu, yang berpotensi membuat orang-orang mengenalinya. Ia tidak ingin ada yang mendekatinya dengan tendensi urusan bisnis Candra Group. Ia ingin hidup tenang, menghabiskan waktunya dengan melukis dan merayu wanita dengan kemampuannya bermain gitar."Buat apa sih?""Ada lah, bilang aja aku mau ngomong. Dan inget, jangan terlalu bagus juga! Jangan sampe Rhea terpesona sama kamu.""Dih, kalo itu ya ... gimana ya, pesonaku nggak kalah sama kamu, Mas."Ingin rasanya Naren menoyor kepala Endra, andai saja ia tidak membutuhkan batuan adik sepupunya itu."Ya udah, mau kapan? Jangan kemaleman, cewek yang tadi udah ngasih nomernya ke aku soalnya," balas Endra sambil menyeringai.Naren berdecak. "Buruan tobat.