“Dek.” Rhea menatap anak bungsunya yang terlihat pucat. “Kenapa, Dek?”Yara menunjuk ke dadanya, ditambah dengan suara napasnya yang tersendat.Dengan panik, Rhea menghubungi Ega untuk mendapatkan pertolongan pertama untuk Yara.Syukurnya, dalam beberapa dering, Ega langung mengangkat sambungan telepon dari Rhea.“Ga. Yara, Ga.”“Kenapa, Rhe? Yara kenapa? Ceritain kondisinya.”“Dia lagi main di deket kolam renang, kucingnya dia kepleset masuk ke kolam renang, Yara ketakutan, trus nangis, sekarang dia pucet banget, napasnya mengi. Aku mesti gimana?”“Bikin Yara duduk tegak, arahin Yara buat narik napas panjang, berulang-ulang sampai normal lagi. Abis itu, kalo udah mulai normal, kasih air anget ya. Aku on the way ke sana.”Rhea memutus sambungan telepon, kemudian melakukan apa yang disarankan Ega. “Dek, ikutin Mama ya. Tarik napas ….”***Mobil Naren memasuki pelataran rumahnya bertepatan dengan sebuah mobil sedan hitam keluar. Dengan penasaran, Naren bertanya kepada security rumahnya.
“Hei Ren,” sapa Dio yang terlihat membawa tumbler dengan merk sebuah gerai kopi ternama.Siapa yang tidak mengenal Narendra di perusahaan tempatnya bekerja. Casanova yang juga menjabat Direktur Legal. Tidak ada seorang pun di perusahaan itu, atau mungkin bahkan di Jakarta, yang memiliki jam terbang pacaran sebanyak dirinya.“Lo masih sama Ratri?” Dio menarik lengan Naren untuk mengajaknya ke tukang bubur yang berada di belakang kantor mereka.Dio yang juga merupakan teman semasa kuliah Naren dan masuk ke perusahaan yang sama—hanya berbeda departemen—tentu saja tahu sepak terjang Narendra.“Ratri?”“Shit! Masih aja lo ya. Abis macarin anak orang trus dilupain begitu aja.”Naren masih terlihat berpikir keras mengingat-ingat siapa sosok Ratri yang dibicarakan Dio.“Adiknya Friska, temen kuliah kita. Friska juga pernah lo pacarin. Pasti lo lupa juga. Udah deh, capek bikin lo inget. Intinya, sekarang lo lagi ada cewek nggak?”“Ada. Danisha.”“Siapa lagi itu Danisha?”Naren mengedikkan bahu
“Rhea kenapa?” tanya Dio yang kaget melihat Rhea tiba-tiba menunduk. “Ada yang jatuh?”“Oh, nggak, Pak. Lagi nyari lap buat kacamata saya, Pak.” Rhea berakting membuka tasnya dan mencari apa yang ia sebut tadi dengan asal.‘Oh shit! Gue nggak mungkin buka kacamata gue, pasti bakal langsung ketahuan.’ Rhea merutuki kebodohannya.“Kai, aku ke toilet dulu ya,” bisik Rhea ke Kaira.“Pak, saya permisi ke toilet sebentar,” ucap Rhea meminta izin kepada atasannya.Rhea merasa sedang beruntung, Naren sama sekali tidak memperhatikan sekitar karena sedang sibuk memainkan ponselnya.Setibanya di dalam toilet, Rhea langsung mengelurkan barang-barang bawaannya yang ada di dalam tas. Dia mengingat-ingat kembali bagaimana penampilannya saat SMA.Rhea seketika tersenyum miris, tidak banyak yang berubah pada dirinya. Bahkan panjang rambutnya masih sama. Satu-satunya yang mungkin bisa jadi penyelamatnya adalah kacamata. Dulu semasa SMA ia tidak memakai kacamata, jadi harusnya Naren tidak akan menyadari
“Sore Mel. Pak Dio ada?”Kedatangan Naren ke Departemen Finance bukan hal yang aneh, tapi juga bukan hal yang lumrah. Para pegawai tahu kalau Naren dan Dio berteman. Karena itu, memang beberapa kali mereka mendapati Naren di ruangan Dio atau sebaliknya.Sekretaris Dio menjawab dengan sapaan yang luar biasa ramah. Senyuman menghiasi bibirnya kala sahabat dari atasannya itu menyapanya. “Ada Pak.”Setelah lelah bekerja seharian, kehadiran Naren layaknya oase di gurun pasir. Bukan hanya bagi Amel, tetapi bagi pegawai wanita di departemen itu, entah itu masih single atau sudah bersuami.Naren mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencoba menemukan sosok yang dia cari, yang sebenarnya menjadi alasannya sore itu untuk datang ke ruangan Dio.“Pak Naren, ada yang bisa dibantu lagi?” tanya Amel, sekretaris Dio.“Oh, nggak, nggak, saya boleh langsung masuk?”“Selagi ngga ada tamu kan biasanya Pak Naren langsung masuk.”Menyadari keanehan sikapnya, Naren memutuskan menghentikan aksi pencariannya d
Rhea membuka pagar rumahnya dengan was-was. Ia mencoba mengabaikan omongan pemilik salon tentang orang yang menguntit rumahnya beberapa tahun silam, namun ternyata tidaklah mudah. Setelah menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada hal-hal yang mencurigakan di sekitarnya, Rhea membuka pintu pagar dan segera menguncinya dengan gembok.Setelah membuka pintu rumah pun, Rhea kembali melakukan pengamanan lebih, dengan kunci ditambah dengan slot pintu yang selama ini jarang digunakannya.‘Kayaknya harus install CCTV,’ batinnya.Rhea masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan gelisah. Ingin rasanya Rhea menelepon orang tuanya, namun ia tidak ingin orang tuanya khawatir.Tanpa membuang waktu, Rhea mulai membuka ponselnya dan mencari jasa pemasangan CCTV. Belum juga ia menemukan penyedia jasa yang menurutnya cocok, sebuah pesan sukses menyela kegiatannya.Ega: Udah pulang Rhe?Rhea: Udah GaEga: Weekend bisa ketemu?Rhea: Kamu mau ke Jakarta?Ega: Iya, aku ada seminar di JakartaEga:
“Halo, Ga.”Sesuai janjinya dengan Ega beberapa hari sebelumnya, sabtu siang itu Ega menghubungi Rhea untuk mengatur janji bertemunya.“Halo, Rhe. Acara seminarku udah kelar nih. Jadi ketemu kan?”“Jadi dong. Mau ketemu di mana?” tanya Rhea.“Share loc aja alamat rumahmu, Rhe. Aku jemput kamu,” jawab Ega.“Eh? Nggak ketemuan di mana gitu, biar kamunya gampang.”“Aku bawa mobil kok, Rhe. Dipinjemin sepupuku yang tinggal di sini.”“Oh gitu? Ya udah abis ini aku share loc, kalo nyasar atau ada apa-apa langsung kabarin aku ya.”“Iya, santai, Rhe. Kayak aku baru pertama kali ke Jakarta aja.”Rhea hanya terkekeh mendapati kenyataan itu. Ega bukanlah anak daerah yang baru pertama kali ke Jakarta. Bahkan ia mengenyam pendidikan S1 kedokterannya di salah satu universitas negeri di Jakarta.Suara klakson mobil terdengar samar dari dalam kamarnya tidak lama setelah Rhea selesai bersiap dengan mengenakan celana white jeans dan crop over top berwarna peach.“Hai, Pak Dokter.”Ega menatap Rhea dala
Amee. Ya, Rhea masih mengingat wanita dengan perawakan kurus di depannya itu. Bagaimana tidak, mereka pernah duduk bersebelahan saat kelas X SMA.Dengan panik, Rhea menarik lengan Amee hingga wanita itu terduduk di sebelahnya sambil membekap mulutnya. “Amee ....”Belum sempat Rhea berbicara, Amee langsung memotong ucapan Rhea, “Ya ampun Jingga ... kangen banget tau nggak sih? Kayak ilang ditelan bumi aja lo.”Rhea tersenyum kaku, sambil melirik ke arah Naren yang kini menatapnya semakin tajam.“Panggil gue Rhea ya, Mee.”“Hah, kenapa? Dulu kan gue manggil lo Jingga. Aneh ah rasanya.”“Eh lo apa kabar?” tanya Rhea berusaha mengalihkan pembicaraan.“Baik. Lo gimana? Kok tiba-tiba ada di Jakarta lagi? Katanya lo pindah ke Batam.”“Iya, gue kerja di sini sekarang.”Ega tampak kebingungan ketika melihat Rhea mengobrol akrab bersama seorang perempuan yang tak dikenalnya. Ia memilih meletakkan nampan berisi dua mangkuk soto dan sepiring nasi di atas meja dan mengangguk ramah ke arah wanita y
Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong. Ah, entahlah istilah apa yang tepat untuk menggambarkan kondisinya saat ini.Seperti biasa, Rhea berjalan keluar rumah, mengunci pintu pagar dan langsung membuka ponselnya untuk memesan ojek online. Namun sapaan dari seseorang yang berasal dari seberang rumahnya membuat jantungnya berdegup dengan kencang.“Rhea.”Rhea hanya bisa terpaku menatap lelaki di depannya yang sedang membuka pagar rumah untuk mengeluarkan mobilnya yang sudah dalam kondisi menyala.Dengan gesit, lelaki itu menghampiri Rhea dan merampas ponsel yang ada di tangan Rhea (mungkin terdengar sedikit kasar, tapi memang itu yang benar-benar terjadi). “Bareng aja lah. Lumayan menghemat kan kalo kamu bareng saya.”Rhea menggeleng cepat.Lelaki itu berjalan kembali ke arah mobilnya.“Loh hp saya?”“Nanti saya balikin di parkiran kantor,” ucap Naren sambil membuka pintu mobil dan mengeluarkan mobilnya.‘Shit! Ini gimana sih maksudnya? Kenapa ada dia di rumah Bu Laras?’“Ayo!”