“Rhea kenapa?” tanya Dio yang kaget melihat Rhea tiba-tiba menunduk. “Ada yang jatuh?”
“Oh, nggak, Pak. Lagi nyari lap buat kacamata saya, Pak.” Rhea berakting membuka tasnya dan mencari apa yang ia sebut tadi dengan asal.
‘Oh shit! Gue nggak mungkin buka kacamata gue, pasti bakal langsung ketahuan.’ Rhea merutuki kebodohannya.
“Kai, aku ke toilet dulu ya,” bisik Rhea ke Kaira.
“Pak, saya permisi ke toilet sebentar,” ucap Rhea meminta izin kepada atasannya.
Rhea merasa sedang beruntung, Naren sama sekali tidak memperhatikan sekitar karena sedang sibuk memainkan ponselnya.
Setibanya di dalam toilet, Rhea langsung mengelurkan barang-barang bawaannya yang ada di dalam tas. Dia mengingat-ingat kembali bagaimana penampilannya saat SMA.
Rhea seketika tersenyum miris, tidak banyak yang berubah pada dirinya. Bahkan panjang rambutnya masih sama. Satu-satunya yang mungkin bisa jadi penyelamatnya adalah kacamata. Dulu semasa SMA ia tidak memakai kacamata, jadi harusnya Naren tidak akan menyadari siapa dirinya kan. Ia pun mengoleskan lipstik dengan warna lebih cerah, mungkin hal itu juga bisa jadi salah satu kamuflasenya.
‘Rhe ... Rhe ... kepedean amat. Mana pernah dia inget sama pacar-pacarnya yang sekarang jumlahnya entah berapa puluh itu. Calm down Rhe!’ batin Rhea menenangkan diri sendiri.
Setelah berhasil menenangkan diri, Rhea kembali ke tempat duduknya semula dan tidak menemukan Naren di sebelah Dio. Saat itu, Rhea baru benar-benar bisa menghela napasnya dengan lega.
Meskipun dipenuhi rasa penasaran, Rhea menahan dirinya untuk tidak menanyakan keberadaan Naren kepada Dio ataupun Kaira.
Dalam jamuan makan siang itu, Radith selaku Direktur HRD memperkenalkan Rhea dan Kaira kepada Presiden Direktur perusahaan yang menyambut mereka dengan senyuman bangganya.
“Kalian balik ke kantor naik apa?” tanya Dio.
“Naik taksi Pak. Tadi sih berangkatnya dianter sama Mbak Dinda.” jawab Rhea.
“Bareng sama saya aja. Ke kantor juga kan, jangan ngabisin BBM, bahan bakar yang belum terbarukan loh.”
Rhea hanya mengangguk sambil menahan tawanya. ‘Lucu juga ini boss, lumayan lah, nggak terlalu kaku orangnya.’
Rhea dan Kaira berjalan mengekori Dio seperti anak ayam yang mengikuti induknya. Dio berhenti karena disapa seseorang, maka mereka pun berhenti. Dio berhenti di depan lobby, maka mereka pun berhenti di belakangnya.
“Tunggu bentar ya, mobilnya lagi jalan ke sini.”
Keduanya hanya mengangguk lagi.
Sebuah BMW X4 membunhyikan klakson sebagai kode kepada Dio dan berhenti tepat di depan Dio.
“Ayo!” ajak Dio.
Dio membuka pintu mobil penumpang depan, dan membiarkan kedua wanita itu memasuki kursi penumpang belakang.
Rhea dan Kaira saling melirik, dengan pikiran yang sama. Mereka pikir, supir lah yang menjemput Dio, tetapi ternyata dugaan mereka salah. Naren yang duduk di belakang kemudi dan mengumpati Dio yang menjadikannya seperti supir, padahal Dio bisa saja jalan ke parkiran.
“Kan ada cewek-cewek, kasihan jalan ke parkiran.” Dio terbahak dan baru menyadari kalau kedua wanita di belakangnya tampak sedikit kebingungan. “Oh iya, kalian kan belum kenalan. Tadi Naren langsung cabut begitu aja, kebiasaan.” cibirnya.
Naren melajukan mobilnya tanpa mengacuhkan ledekan dari Dio.
Melihat Naren yang masih belum membuka mulutnya untuk berkenalan, Dio memilih menjadi penyambung lidah di antara mereka.
“Ini Pak Naren, Direktur Legal. Temen saya dari kuliah jadi jangan kaget kalo kami sedeket ini. Nah sebutin deh nama kalian.”
“Saya Kaira Pak, di Departemen Humas.”
Naren hanya mengangguk singkat sambil melirik ke arah rear view mirror.
Jantung Rhea berdegup kencang saat tanpa sengaja matanya dan mata Naren bertatapan melalui rear view mirror.
Untuk sesaat, Rhea terhanyut pada tatapan itu. Tatapan yang masih tetap sama, dalam dan menenangkan.
"Rhe." Kaira menyikut Rhea yang masih terdiam.
"Eh, nama saya ... Rhea, staf Pak Dio." ucapnya dengan suara yang agak dibuat lebih berat, semoga saja dengan begitu Naren sama sekali tidak dapat mengenalnya.
Naren kembali menatap rear view mirror, kali ini lebih lama. 'Jingga?'
"Fokus Ren. Sayang mobil lo kalo kegores kendaraan lain di jalanan selagi lo ngelirik melulu ke belakang."
Naren mendengus kesal. Matanya masih ingin melirik ke belakang, ke arah seorang gadis yang membuatnya penasaran.
Dio meminta Rhea dan Kaira untuk turun lebih dulu sesampainya di area parkir kantor mereka. Rhea tentu saja menyambut perintah Dio dengan suka cita. Ia pun segera menarik tangan Kaira untuk turun dari mobil.
"Kayaknya ada yang nggak fokus sepanjang perjalanan. Lo ngincer Rhea? Gue lihat mata lo nggak lepas dari dia."
"Nggak. Kan masih ada Danisha," jawab Naren enteng.
"Ya siapa tau buat cadangan setelah Danisha. Ngaku lo! Staf gue itu, nggak usah macem-macem."
"Emang lo bokapnya apa, ngelarang cowok ngedeketin dia. Bawel ah. Udah sana turun. Apa perlu gue bukain pintu dari luar? Biar totalitas gitu kali ini gue jadi sopir lo."
“Tunggu deh, gue tadi itu mau nanya sesuatu.” Dio masih bertahan di kursinya meskipun sudah melepaskan seat belt.
“Apa lagi?”
“Hubungan lo sama bokap lo masih begitu-begitu aja?”
“Iya lah, berharap apa dari seorang bokap yang kayak dia?”
“Trus bokap lo nggak marah gitu ngeliat lo langsung pergi aja tadi?”
“Udah biasa, udah bosen juga gue denger omelan dia. Nggak ada efeknya buat gue.”
Dio menggelengkan kepalanya mengingat Naren yang langsung meninggalkan restoran saat papanya tiba.
Hubungan Naren dan ayahnya memang tidak selayaknya hubungan orang tua dan anak. Lagipula Naren tidak merasa ada yang perlu dicontoh dari orang tuanya, jadi untuk apa dia menjaga hubungan baik dengan orang tuanya. Pun dia masuk ke perusahaan karena permintaan kakeknya. Kalau tidak, mungkin dia akan memilih menjadi pengacara, konsultan hukum, atau bahkan mendirikan law firm-nya sendiri.
“Dio, beneran staf lo tadi namanya Rhea?” tanya Naren memastikan.
“Selama dia bukan anggota BIN atau intel yang lagi nyamar, gue yakin namanya Rhea. Kenapa sih? Naksir?”
“Nggak, mirip seseorang doang, mungkin ingatan gue yang salah. Lagian sejak kapan gue naksir cewek duluan?”
“Ingatan lo emang nggak pernah bener kalo masalah cewek. Tunggu aja karma lo Ren, beneran gue sumpahin lo.”
‘Tapi gue yakin ingatan gue kali ini bener, dia Jingga. Apa bukan? Oh shit! Gue jadi ragu sendiri,’ batin Naren yang semakin bingung.
“Sore Mel. Pak Dio ada?”Kedatangan Naren ke Departemen Finance bukan hal yang aneh, tapi juga bukan hal yang lumrah. Para pegawai tahu kalau Naren dan Dio berteman. Karena itu, memang beberapa kali mereka mendapati Naren di ruangan Dio atau sebaliknya.Sekretaris Dio menjawab dengan sapaan yang luar biasa ramah. Senyuman menghiasi bibirnya kala sahabat dari atasannya itu menyapanya. “Ada Pak.”Setelah lelah bekerja seharian, kehadiran Naren layaknya oase di gurun pasir. Bukan hanya bagi Amel, tetapi bagi pegawai wanita di departemen itu, entah itu masih single atau sudah bersuami.Naren mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencoba menemukan sosok yang dia cari, yang sebenarnya menjadi alasannya sore itu untuk datang ke ruangan Dio.“Pak Naren, ada yang bisa dibantu lagi?” tanya Amel, sekretaris Dio.“Oh, nggak, nggak, saya boleh langsung masuk?”“Selagi ngga ada tamu kan biasanya Pak Naren langsung masuk.”Menyadari keanehan sikapnya, Naren memutuskan menghentikan aksi pencariannya d
Rhea membuka pagar rumahnya dengan was-was. Ia mencoba mengabaikan omongan pemilik salon tentang orang yang menguntit rumahnya beberapa tahun silam, namun ternyata tidaklah mudah. Setelah menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada hal-hal yang mencurigakan di sekitarnya, Rhea membuka pintu pagar dan segera menguncinya dengan gembok.Setelah membuka pintu rumah pun, Rhea kembali melakukan pengamanan lebih, dengan kunci ditambah dengan slot pintu yang selama ini jarang digunakannya.‘Kayaknya harus install CCTV,’ batinnya.Rhea masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan gelisah. Ingin rasanya Rhea menelepon orang tuanya, namun ia tidak ingin orang tuanya khawatir.Tanpa membuang waktu, Rhea mulai membuka ponselnya dan mencari jasa pemasangan CCTV. Belum juga ia menemukan penyedia jasa yang menurutnya cocok, sebuah pesan sukses menyela kegiatannya.Ega: Udah pulang Rhe?Rhea: Udah GaEga: Weekend bisa ketemu?Rhea: Kamu mau ke Jakarta?Ega: Iya, aku ada seminar di JakartaEga:
“Halo, Ga.”Sesuai janjinya dengan Ega beberapa hari sebelumnya, sabtu siang itu Ega menghubungi Rhea untuk mengatur janji bertemunya.“Halo, Rhe. Acara seminarku udah kelar nih. Jadi ketemu kan?”“Jadi dong. Mau ketemu di mana?” tanya Rhea.“Share loc aja alamat rumahmu, Rhe. Aku jemput kamu,” jawab Ega.“Eh? Nggak ketemuan di mana gitu, biar kamunya gampang.”“Aku bawa mobil kok, Rhe. Dipinjemin sepupuku yang tinggal di sini.”“Oh gitu? Ya udah abis ini aku share loc, kalo nyasar atau ada apa-apa langsung kabarin aku ya.”“Iya, santai, Rhe. Kayak aku baru pertama kali ke Jakarta aja.”Rhea hanya terkekeh mendapati kenyataan itu. Ega bukanlah anak daerah yang baru pertama kali ke Jakarta. Bahkan ia mengenyam pendidikan S1 kedokterannya di salah satu universitas negeri di Jakarta.Suara klakson mobil terdengar samar dari dalam kamarnya tidak lama setelah Rhea selesai bersiap dengan mengenakan celana white jeans dan crop over top berwarna peach.“Hai, Pak Dokter.”Ega menatap Rhea dala
Amee. Ya, Rhea masih mengingat wanita dengan perawakan kurus di depannya itu. Bagaimana tidak, mereka pernah duduk bersebelahan saat kelas X SMA.Dengan panik, Rhea menarik lengan Amee hingga wanita itu terduduk di sebelahnya sambil membekap mulutnya. “Amee ....”Belum sempat Rhea berbicara, Amee langsung memotong ucapan Rhea, “Ya ampun Jingga ... kangen banget tau nggak sih? Kayak ilang ditelan bumi aja lo.”Rhea tersenyum kaku, sambil melirik ke arah Naren yang kini menatapnya semakin tajam.“Panggil gue Rhea ya, Mee.”“Hah, kenapa? Dulu kan gue manggil lo Jingga. Aneh ah rasanya.”“Eh lo apa kabar?” tanya Rhea berusaha mengalihkan pembicaraan.“Baik. Lo gimana? Kok tiba-tiba ada di Jakarta lagi? Katanya lo pindah ke Batam.”“Iya, gue kerja di sini sekarang.”Ega tampak kebingungan ketika melihat Rhea mengobrol akrab bersama seorang perempuan yang tak dikenalnya. Ia memilih meletakkan nampan berisi dua mangkuk soto dan sepiring nasi di atas meja dan mengangguk ramah ke arah wanita y
Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong. Ah, entahlah istilah apa yang tepat untuk menggambarkan kondisinya saat ini.Seperti biasa, Rhea berjalan keluar rumah, mengunci pintu pagar dan langsung membuka ponselnya untuk memesan ojek online. Namun sapaan dari seseorang yang berasal dari seberang rumahnya membuat jantungnya berdegup dengan kencang.“Rhea.”Rhea hanya bisa terpaku menatap lelaki di depannya yang sedang membuka pagar rumah untuk mengeluarkan mobilnya yang sudah dalam kondisi menyala.Dengan gesit, lelaki itu menghampiri Rhea dan merampas ponsel yang ada di tangan Rhea (mungkin terdengar sedikit kasar, tapi memang itu yang benar-benar terjadi). “Bareng aja lah. Lumayan menghemat kan kalo kamu bareng saya.”Rhea menggeleng cepat.Lelaki itu berjalan kembali ke arah mobilnya.“Loh hp saya?”“Nanti saya balikin di parkiran kantor,” ucap Naren sambil membuka pintu mobil dan mengeluarkan mobilnya.‘Shit! Ini gimana sih maksudnya? Kenapa ada dia di rumah Bu Laras?’“Ayo!”
Naren masuk ke dalam ruangannya dengan senyum mengembang. Bersama Rhea (masih) menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan untuknya.Beda rasanya saat ia bersama dengan pacar tiga puluh harinya yang lain. Bukan berarti ia tidak senang menjalani hubungannya dengan wanita-wanita itu. Hanya saja ... rasanya berbeda. Dan ia sendiri masih kebingungan untuk mendefinisikannya.Ia tersenyum geli saat mengingat bagaimana ia bisa bersinggungan takdir dengan Jingga (yang sekarang mengganti nama panggilannya menjadi Rhea).***-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-Jingga menarik Amee dan Leny menuju kantin yang mulai dipenuhi murid-murid kelaparan.“Buruan sih. Nanti kantinnya penuh, nggak dapet tempat duduk kita.” ucap Jingga dengan tangan kanan menggenggam pergelangan tangan Amee dan tangan kiri menggenggam pergelangan tangan Leny.“Lo laper banget apa gimana sih, Ngga? Ganas amat nariknya.” Leny mendengkus kesal mengikuti langkah tergesa Jingga.Jingga sama sekali tidak mengacuhkan ocehan Leny
“Bapak bilang apa barusan?” tanya Rhea yang baru saja menjatuhkan ayamnya di atas piring karena terlalu kaget.Naren ingin merutuki mulutnya yang kelepasan memanggil Rhea dengan nama panggilannya semasa SMA. “Makasih, nggaaak sia-sia saya nunggu kamu nggoreng ayam. Enak.” Untung ia bisa merangkai kata-kata untuk mencoba mengaburkan ucapannya yang sebelumnya.Walau masih dipenuhi rasa ragu dan penasaran, Rhea memilih menghabiskan makanannya. Ia tidak ingin berlama-lama dengan Naren di satu ruangan yang sama.“Pak Naren sama Pak Dio katanya temen kuliah, tapi kan kalian beda jurusan, kok bisa?” Otaknya memerintahkannya untuk diam, tapi hatinya tidak tahan lagi dengan keterdiaman di antara mereka.“Dio sempet masuk fakultas hukum setahun. Tapi katanya bukan passion-nya. Tahun berikutnya dia ambil ujian masuk lagi, dan keterima di accounting.”“Pinter dong berarti Pak Dio.”“Itu namanya dia plin plan, atau otaknya nggak cukup mampu menelaah tentang hukum.”Rhea menggeleng melihat sifat Na
"Kenapa sih? Biasa aja ngelihatnya. Saya cuma minta dianterin ke dokter, bukan minta kamu jadi pacar saya.""Bapak minta anterin pacar Bapak aja ya.""Saya udah putus, kemarin.""Oooh udah tiga puluh hari ya?" Rhea berdecak pelan. "Jadi Bapak sakit gara-gara putus sama pacar?""Ya nggak lah, capek banget saya kalo gitu." Naren terdiam begitu menyadari sesuatu. "Tunggu! Kamu tau dari mana saya cuma pacaran tiga puluh hari?" pancingnya."Eh! Pak Dio kayaknya pernah cerita," kilahnya.“Dio nggak mungkin ngebuka aib saya sampe sebegitunya, mentok-mentok dia cuma bilang saya playboy kardus.”Rhea tidak menanggapi ucapan Naren. Mau cari alasan apa? Memang mulutnya saja yang kadang tidak bisa diajak kompromi.“Jadi, kamu mau nganterin saya ke dokter nggak?”“Saya nggak enak, Pak. Kan bukan siapa-siapanya Pak Naren.”Naren mengulum senyumnya, sebenarnya memang ia tidak berniat sama sekali untuk ke dokter. Ia hanya suka melihat reaksi dari Rhea.Rhea memarkirkan mobil Naren di area parkir dire
“Dek.” Rhea menatap anak bungsunya yang terlihat pucat. “Kenapa, Dek?”Yara menunjuk ke dadanya, ditambah dengan suara napasnya yang tersendat.Dengan panik, Rhea menghubungi Ega untuk mendapatkan pertolongan pertama untuk Yara.Syukurnya, dalam beberapa dering, Ega langung mengangkat sambungan telepon dari Rhea.“Ga. Yara, Ga.”“Kenapa, Rhe? Yara kenapa? Ceritain kondisinya.”“Dia lagi main di deket kolam renang, kucingnya dia kepleset masuk ke kolam renang, Yara ketakutan, trus nangis, sekarang dia pucet banget, napasnya mengi. Aku mesti gimana?”“Bikin Yara duduk tegak, arahin Yara buat narik napas panjang, berulang-ulang sampai normal lagi. Abis itu, kalo udah mulai normal, kasih air anget ya. Aku on the way ke sana.”Rhea memutus sambungan telepon, kemudian melakukan apa yang disarankan Ega. “Dek, ikutin Mama ya. Tarik napas ….”***Mobil Naren memasuki pelataran rumahnya bertepatan dengan sebuah mobil sedan hitam keluar. Dengan penasaran, Naren bertanya kepada security rumahnya.
Aileen dan Ervin masuk ke dalam rumah sambil terbahak membicarakan uang jajan Ervin yang habis karena harus menyuap semua teman sekelasnya demi melindungi ia yang bolos setengah jam pelajaran olahraga.“Lagian pake cabut.” Aileen puas tertawa.Sedari kecil mereka sadar kalau kondisi keluarga mereka jauh di atas rata-rata. Mereka hidup berkecukupan. Apa yang mereka mau sebenarnya bisa dituruti orang tua mereka, tapi orang tua mereka memilih untuk tidak melakukannya.Sejak kelas 1 SMP mereka masing-masing diberikan uang saku per minggu. Hal itu sudah berlangsung sejak era Aileen, sekarang Ervin, dan mungkin nanti hingga Yara.Dan saat itu masih hari selasa, ketika Ervin menghabiskan jatah seminggunya.“Gantiin kek, Kak. Aku kan bantuin Kakak.”“Enak aja. Nggak ada yang minta bantuan kok,” sahut Aileen cuek, walau tentu saja Aileen tidak akan membiarkan Ervin gigit jari di sekolah karena kehabisan uang jajan.“Ck! Uang tabunganku buat beli PS, Kak.”“Pilih game apa pilih makan di kantin?
“Vin, kakak lo dipepet sama kakak kelas di deket gudang buat nyimpen alat olahraga.”Saat itu Ervin masih duduk di kelas 1 SMP ketika mendapat laporan dari temannya. Usianya yang hanya berbeda lima belas bulan dengan kakaknya membuat mereka bersekolah di tempat yang sama, beda satu tingkat.Aileen duduk di kelas 3 SMP dan … memiliki musuh bertebaran. Ervin tidak kaget lagi untuk satu hal ini. Ucapan kakaknya yang sepedas cabe dan kegalakan kakaknya yang mengalahkan satpam komplek, tentu saja membuatnya memiliki banyak musuh, baik dari makhluk berjenis kelamin perempuan, maupun lawan jenis.“Cewek apa cowok yang mepet kakak gue?” Karen Ervin yakin kakaknya itu mampu kalau hanya mengatasi sekumpulan gadis puber yang biasa melabraknya karena gebetan mereka naksir berat dengan Aileen dan segala keangkuhannya.“Cowok, dua orang.”Ervin langsung melemparkan bola basket yang sedang ia mainkan. Kelasnya memang sedang ada jam perlajaran olahraga, karena itu ia bingung kenapa kakaknya bisa dipe
"Ibu ... Neng Aileen, Bu."Ucapan dari ujung sambungan telepon itu membuat Rhea langsung tersadar bahwa ada yang tidak beres dengan anaknya."Aileen kenapa, Mbak?" tanya Rhea kepada baby sitter yang biasa menjemput anak-anaknya saat ia tidak bisa menjemput. Seperti kali ini Rhea terpaksa meminta baby sitter untuk menjemput Aileen dan Ervin karena Yara sedang sakit."Neng Aileen nggak ada di sekolahannya."Jantung Rhea serasa mencelos saat mendengarnya. "Mbak udah nanya ke temen-temennya? Ke gurunya?""Sudah, Bu. Ini sekolahan udah hampir sepi, tapi nggak ada yang tau Neng Aileen di mana.""Ervin gimana?" tanya Rhea berusaha menutupi paniknya."Mas Ervin sudah di mobil, Bu.""Kamu minta supir pulang nganter Ervin ya. Kamu di situ dulu, cari di sekitaran sekolah, tanya sama temen-temennya, saya langsung jalan ke sana.""Iya, Bu."Rhea menghela napas, mencoba menenangkan diri walau rasanya sulit. Setelah menitipkan Yara yang sedang demam pada baby sitter, Rhea segera berlari, mengambil k
"Ya ampun Nareeen, kamu tu nggak bisa nahan apa gimana sih? Kasihan kan Aileen masih nyusu, terus sekarang Rhea isi lagi. Mana kemaren pas Aileen kan operasi. Cek ke dokter, pastiin ini bahaya apa nggak."Pukulan bertubi-tubi dan ocehan panjang lebar didapatkan Naren dari tantenya yang langsung terbang ke Jakarta saat mendengar kabar Rhea hamil (lagi).Sementara Naren yang menjadi bulan-bulanan tantenya hanya tersenyum bangga, bukannya merasa bersalah. "Udah ke dokter kok, Mi. Biar rumahnya rame."Adila menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan kesal. Kemudian ia mendekat ke sisi Rhea yang sedang menyusui Aileen di atas kasur, yang kadang terkikik mendengar perdebatan unfaedah suami dan tantenya."Rhea lagi pengen sesuatu nggak?""Pengen gelato, Mi.""Naren, tuh denger, Rhea pengen gelato.""Di mana, Sayang? Biar Mas cariin."Rhea menggeleng. "Nggak tau aku."Adila mencebik kesal melihat Naren hanya garuk-garuk kepala. "Udah sana, cari aja di google di mana gelato terenak se-Jakar
"Sayang ...." Naren terdiam sesaat. Sebenarnya ia masih ragu untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya."Kenapa?" Rhea menjawab sambil lalu karena dia juga sedang berkutat memakaikan baju Aileen yang baru saja dimandikan.Sudah seminggu mereka tinggal di kediaman Candra. Rumah itu memang tidak ada yang menempati setelah Aditama pindah ke Dieng dan Adityo memilih tinggal sendiri di rumahnya. Aditama sendiri belum tega menjual atau menyewakan rumah itu. Karenanya, Aditama benar-benar memohon kepada cucu dan cucu menantunya itu agar menempati kediaman keluarga mereka, tidak perlu lagi mencari rumah.Naren mendekat, sambil menowel pipi Aileen dengan gemasnya, mencoba berbicara dengan istrinya. Biasanya mood Rhea lebih bagus kalau Aileen sedang tidak rewel. "Aku nggak tau terlalu cepet atau nggak aku ngomong gini. Tapi kayaknya mulai kita perlu pikirin. Kamu ... setelah ini mau berhenti ngurus Amigos atau gimana?"Rhea melirik suaminya sekilas, tapi kemudian perhatiannya kembali
“Mau kubantuin?” tanya Naren saat melihat istrinya berjalan tertatih menuju kamar mandi.Hari itu Rhea baru saja keluar dari rumah sakit. Dia sudah bisa berjalan tanpa bantuan, tapi memang harus pelan-pelan karena jahitannya masih terasa sakit. Naren mengambil cuti dadakan setelah kelahiran Aileen dan setia menemani Rhea dalam masa pemulihan sambil mencoba mengurus Aileen, walaupun masih terlihat sangat canggung.“Bisa sendiri kok, jagain Aileen aja. Nanti kalo nangis dan kamu nggak bisa nenangin, panggil Mama aja, Mas. Aku agak lama kayaknya di kamar mandi.”Naren mengangguk. “Nggak usah dikunci pintunya, kalo butuh bantuan, teriak aja.”“Iya.”Mereka memang tinggal di rumah orang tua Rhea untuk sementara. Seperti umumnya seorang wanita yang baru melahirkan, Rhea juga ingin berada di dekat mamanya untuk mendapatkan perhatian dan bimbingan dari mamanya. Bukan berarti ART di kediaman Candra tidak ada yang mengerti bagaimana mengurus anak, tapi tetap saja menurut Rhea rasanya berbeda de
Tubuh Rhea melemas dan jantungnya mulai berdebar kencang saat menyadari apa yang terjadi padanya.Ia mencoba untuk tenang, walaupun rasanya sangat sulit. Sekarang baru ia tahu bagaimana rasanya mengkhawatirkan orang lain melebihi dirinya sendiri. Ya, dia jauh lebih khawatir pada keadaan janinnya dibanding dirinya sendiri.Rhea lantas meraih ponsel yang ada di atas meja, mencoba menghubungi dokter kandungannya. Untungnya dokter itu mengangkat panggilannya setelah dering ketiga. Rhea menceritakan semuanya, dan setelah sambungan itu berakhir, ia langsung beralih menekan nomor ponsel suaminya.Naren tidak langsung menjawab teleponnya. Memang saat itu belum masuk jam makan siang, jadi mungkin saja suaminya sedang meeting.Di saat Rhea mengatur napasnya untuk menenangkan diri dan agar tidak terdengar panik, Naren pun mengangkat teleponnya."Iya, Sayang?""Mas lagi apa?""Kerja lah. Masa jalan-jalan ke mall?" jawab Naren terkekeh. "Kenapa?""Mas kira-kira kalo ke sini butuh berapa lama?""Hm
"Sayang, dua minggu lagi perusahaan ngadain dinner party. Perayaan tiga proyek baru kita."Intro pembicaraan yang membuat Rhea bertanya-tanya, apa yang selanjutnya akan diucapkan suaminya."Aku mau ngajak kamu tapi ... udah deket HPL-mu.""HPL-ku kan masih sebulan lagi, Mas.""Iya tapi kan itu riskan banget, tinggal dua minggu sebelum HPL kan.""Jadi aku nggak diajak?" Bukannya Rhea suka datang ke pesta-pesta. Tapi belakangan ini dia suka resah kalau ditinggal Naren, apalagi saat malam hari."Kamu mau ikut? Beneran nggak apa-apa? Nggak bakal kecapekan?""Mau ikut. Anggep aja terakhir sebelum lahiran. Boleh? Atau kamu malu?"Naren mengusapi puncak kepala istrinya. "Ngomong apa sih? Baper banget sejak hamil. Nggak mungkin aku malu ngajak kamu. Aku cuma beneran takut kamu capek."Rhea tidak menjawab lagi. Ia memberi waktu dan membiarkan suaminya mengambil keputusan."Ya udah, kita booking satu kamar aja buat istirahat kalau kamu kecapekan. Tapi kamu tetep nggak boleh pake heels ya. Aku n