-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-“Yang namanya Jingga, ikut gue!” Seorang kakak kelas dengan garangnya memberi perintah di depan kelas Jingga.Sudah menjadi rahasia umum, ketika ada kakak kelas, berjenis kelamin wanita, datang ke kelas bawahnya dan meminta salah seorang dari mereka keluar, artinya orang yang dipanggil itu akan dilabrak. Seringnya hal ini terjadi karena kakak kelas yang merasa sirik karena kalah pamor. Ada memang beberapa kasus karena adik kelas yang terlalu genit, tapi itu perbandingannya hanya 1:10.Jingga menatap Amee dan Leny, bukan untuk minta pertolongan, cuma penasaran apa kira-kira tingkahnya yang membuat kakak kelas melabraknya.“Mau gue laporin ke guru?” tanya Amee berbisik agar tidak ketahuan kakak kelas yang berdiri di depan pintu menunggu Jingga.“Jangan, iya hari ini bisa selamat, besok-besok makin parah mereka nge-bully gue.”“Lama banget sih!” teriak kakak kelas itu lagi.Jingga berjalan sambil mengikat rambutnya, jaga-jaga kalau nanti terjadi a
“Rhea sekantor sama Naren?” tanya Brian penuh selidik.Dengan terpaksa Rhea mengikuti ajakan ketiga lelaki yang ada di ruangan itu. Pras, Brian, dan Rama memaksa Rhea untuk ikut makan malam bersama mereka, dengan dalih menemani Naren yang sejak siang tidak mau makan, padahal Naren menghabiskan garlic bread yang dibawa mereka saat makan siang.Samar-samar Rhea mengingat para lelaki yang ada di depannya adalah kakak kelasnya saat SMA dulu, tapi ia tak ingat pasti siapa nama mereka, sampai akhirnya ketiganya memperkenalkan diri.“Iya ... Pak.” Rhea tersenyum kaku. Harus seperti apa Rhea memanggil mereka. Hanya nama? Dengan panggilan ‘Kak’? atau analogi dengan panggilannya sekarang untuk Naren, yakni ‘Pak’?“Jangan panggil Pak dong, tua amat, orang kita cuma beda beberapa tahun, kan?”Naren menatap Brian dengan frustasi. Bagaimana bisa dia segampang itu mengatakannya.Rhea hanya mengangguk, tidak ada niatan banyak berkomunikasi dengan keempat lelaki di depannya.“Kamu nggak suka pedes, Rh
-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-Naren berdecak, dia benar-benar tidak berpikir salah satu dari mantannya akhirnya akan membuatnya terperangkap dengan janjinya kepada adik kelas yang bahkan baru beberapa hari dikenalnya.“Iya, lo minta apa? Jajanin seminggu? Atau sebulan? Tas? Baju?”Tawa renyah keluar dari mulut Jingga. “Nanti ya, aku pikirin dulu, Kak.”Naren melirik ke arah kotak bekal Jingga, ada bagian yang seperti tidak disentuhnya. “Itu kenapa nggak dimakan?” tanyanya penasaran.“Mamaku iseng banget ngasih sayur kacang panjang, udah tau aku nggak suka.”“Sini, aku habisin, sayang kan kalo nggak dimakan.” Naren menggeser kotak makan Jingga agar lebih dekat dengannya.“Kak, kok pake sendok bekasku?” Jingga baru saja mengeluarkan tisu basah dari dalam tasnya untuk mengelap sendok yang bekas ia pakai. Tapi pemandangan di depannya malah membuatnya shock. Dengan santai Naren menghabiskan sayur yang tersisa di kotak makan dengan sendok yang bekas dipakai Jingga.“Kamu nggak ra
Rhea berhenti mengunyah makanannya. Ia berpikir cepat untuk menjawab pertanyaan Naren agar Naren tidak semakin curiga."Di Malang," jawabnya singkat.Naren masih menatap Rhea, seakan meminta jawaban lebih.Tiba-tiba, alunan lagu Lazy Song dari Jason Mraz terdengar nyaring dari ponsel Rhea.Demi apa pun, baru kali ini Rhea hampir melonjak kegirangan hanya gara-gara ada yang meneleponnya. She should say thank you for her/him."Jingga, kamu di rumah?"Rhea tersenyum mendengar suara mamanya, ia hanya berharap Naren tidak mendengar panggilan mamanya kepadanya. "Iya, Ma.""Aman kan? Mama denger kabar dari Tante Juwi yang rumahnya di Blok C. Bener gitu ada maling di komplek?""Katanya sih gitu, Ma.""Aduh, kamu sendirian lagi. Kamu ngungsi aja di rumah temenmu.""Nggak usah khawatir Ma, tadi aku udah cek semua pintu sama jendela rumah, semua ruangan deh, aman sih sejauh ini.""Kamu nggak ngecek sendirian kan? Kalo ada maling yang sembunyi gimana?""Nggak, Ma. Tadi ditemenin ... tetangga." ja
“Rhe, please tidur aja.”Sudah satu jam Naren menatap Rhea yang berbaring dengan gelisah di sofa ruang tengah rumah Rhea.“Kamu tau pasti Rhe, saya nggak bakal ngapa-ngapain kamu.” Naren mendengkus kesal. “Atau kamu mau saya pulang aja?”“Sorry. Masih berat ternyata.” Rhea tersenyum getir dalam kondisi gelap dan hanya mengandalkan flashlight dari ponsel Naren.“Berat kenapa? Sumpah, saya nggak bakal ngapa-ngapain kamu. Tidur lah, besok kita mesti kerja. Saya juga nggak bisa tidur kalo kamu gerak-gerak gelisah gitu terus. Atau sebenernya kamu yang pengen ngapa-ngapain makanya kamu gelisah? Just say it, Rhe. Saya nggak bakal nolak kok.”Rhea mendengus kesal, memilih bangun dan duduk dengan posisi bersandar pada punggung sofa.“Saya udah bertahun-tahun nggak pernah menurunkan kewaspadaan saya di sekitar cowok.”Naren mendengarkannya tanpa berniat memotong ucapan Rhea. Lelaki itu paham ada yang ingin disampaikan Rhea dan itu bukanlah hal yang main-main.“Saya pernah hampir dikerjai mantan
Naren baru tersadar dan seketika melepaskan tangannya yang sejak tadi menggenggam tangan Rhea sambil menarik gadis itu menjauhi papanya.Beberapa mata yang menangkap kejadian itu, diam-diam melirik mereka dengan penasaran. Untung saja lift pegawai tiba-tiba terbuka. Rhea dengan tergesa memasuki lift itu, menekan tombol lantainya berada dan menuju pojok belakang lift demi berusaha menyembunyikan diri, walau tak benar-benar berhasil.Naren mengacak rambutnya dengan frustrasi. Bertemu dengan papanya memang layaknya malapetaka untuknya, tidak ada bagus-bagusnya, setelah ini pasti harinya akan terasa buruk, ditambah lagi Rhea yang kemungkinan besar marah padanya.Rhea menyampirkan blazer di punggung kursi begitu ia sampai di meja kerjanya. Ia mulai menghidupkan layar komputer dan langsung berkutat dengan pekerjaannya, toh sebelumnya ia sudah sarapan dengan Naren.“Pagi, Rhe.” Danar yang baru datang menyapa Rhea dengan hangat.“Pagi, Mas.”“Rhe, hari ini kamu jangan pergi ke mana-mana deh k
“Jadi lo mau ngejar Rhea lagi?”Naren mengedikkan bahu. “Gue kayak ngerasa tertantang gitu buat menggenapkan hubungan gue dulu, sampe tiga puluh hari. Enak aja dia main ninggalin gue, padahal belum tiga puluh hari.”“Trus kalo udah genep tiga puluh hari, lo dapet apa sih emangnya?”“Ya ... nggak dapet apa-apa, tapi at least nggak ada kecacatan dalam hubungan gue sama semua cewek yang pernah gue pacarin.”Dio menggeram kesal. “Lo sadar nggak sih, kalo hubungan tiga puluh hari lo aja itu udah sebuah kecacatan. Kalo lo nggak bisa percaya cinta, kenapa lo ngelibatin orang lain dalam ketidakpercayaan lo itu?”“Gue mau curhat malah diomelin. Ya udah lah gue balik aja,” ucap Naren datar dan meninggalkan Dio dengan perasaan kesalnya.Begitu menutup pintu ruangan Dio, Naren menemukan Rhea yang tengah menyantap makan siang yang tadi dibawakannya. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling dan tidak menemukan ada karyawan lain di ruangan itu.“Enak kan?”“Uhuk ... uhuk ....” Rhea yang tidak menyadar
-Whatsapp Group Trouble Makers-Prasasta: @Narendra nggak pengen cerita perkembangan hubungan lo sama tetangga depan rumah?Rama: I'm waitingBrian: I'm waiting (2)Narendra: Kalian nggak pada kerja ya? Berisik amat kayak ibu-ibu komplekBrian: Banyak bacot! Cepet cerita!Narendra: Ogah!Brian: Oh, I see, belum bisa naklukkin berarti :pPrasasta: Malu gila, yang katanya casanova, tapi nggak bisa dapetin cewek yang dia sukaRama: Puk! Puk! #sing cintaku bertepuk sebelah tangan ...Narendra: Bangke! Gue nggak cinta ya! Di kamus gue nggak ada definisi cintaBrian: Ya ya yaPrasasta: Awas ketulah sama omonganRama: #sing Semoga waktu akan mengilhami sisi hatimu yang beku ...Narendra: Berisik ah. Gue cuma mau nagih 5 hari sisa waktu pacaran gue dulu sama diaPrasasta: Lah, lo pikir cuti tahunan, yang nggak kepake tahun ini bisa ditagih tahun depanBrian: Wah temen gue gila juga ya!Rama: #sing Terlalu sadis caramu ...Naren meletakkan ponselnya, malas meladeni ocehan teman-temannya. Bisa-
“Dek.” Rhea menatap anak bungsunya yang terlihat pucat. “Kenapa, Dek?”Yara menunjuk ke dadanya, ditambah dengan suara napasnya yang tersendat.Dengan panik, Rhea menghubungi Ega untuk mendapatkan pertolongan pertama untuk Yara.Syukurnya, dalam beberapa dering, Ega langung mengangkat sambungan telepon dari Rhea.“Ga. Yara, Ga.”“Kenapa, Rhe? Yara kenapa? Ceritain kondisinya.”“Dia lagi main di deket kolam renang, kucingnya dia kepleset masuk ke kolam renang, Yara ketakutan, trus nangis, sekarang dia pucet banget, napasnya mengi. Aku mesti gimana?”“Bikin Yara duduk tegak, arahin Yara buat narik napas panjang, berulang-ulang sampai normal lagi. Abis itu, kalo udah mulai normal, kasih air anget ya. Aku on the way ke sana.”Rhea memutus sambungan telepon, kemudian melakukan apa yang disarankan Ega. “Dek, ikutin Mama ya. Tarik napas ….”***Mobil Naren memasuki pelataran rumahnya bertepatan dengan sebuah mobil sedan hitam keluar. Dengan penasaran, Naren bertanya kepada security rumahnya.
Aileen dan Ervin masuk ke dalam rumah sambil terbahak membicarakan uang jajan Ervin yang habis karena harus menyuap semua teman sekelasnya demi melindungi ia yang bolos setengah jam pelajaran olahraga.“Lagian pake cabut.” Aileen puas tertawa.Sedari kecil mereka sadar kalau kondisi keluarga mereka jauh di atas rata-rata. Mereka hidup berkecukupan. Apa yang mereka mau sebenarnya bisa dituruti orang tua mereka, tapi orang tua mereka memilih untuk tidak melakukannya.Sejak kelas 1 SMP mereka masing-masing diberikan uang saku per minggu. Hal itu sudah berlangsung sejak era Aileen, sekarang Ervin, dan mungkin nanti hingga Yara.Dan saat itu masih hari selasa, ketika Ervin menghabiskan jatah seminggunya.“Gantiin kek, Kak. Aku kan bantuin Kakak.”“Enak aja. Nggak ada yang minta bantuan kok,” sahut Aileen cuek, walau tentu saja Aileen tidak akan membiarkan Ervin gigit jari di sekolah karena kehabisan uang jajan.“Ck! Uang tabunganku buat beli PS, Kak.”“Pilih game apa pilih makan di kantin?
“Vin, kakak lo dipepet sama kakak kelas di deket gudang buat nyimpen alat olahraga.”Saat itu Ervin masih duduk di kelas 1 SMP ketika mendapat laporan dari temannya. Usianya yang hanya berbeda lima belas bulan dengan kakaknya membuat mereka bersekolah di tempat yang sama, beda satu tingkat.Aileen duduk di kelas 3 SMP dan … memiliki musuh bertebaran. Ervin tidak kaget lagi untuk satu hal ini. Ucapan kakaknya yang sepedas cabe dan kegalakan kakaknya yang mengalahkan satpam komplek, tentu saja membuatnya memiliki banyak musuh, baik dari makhluk berjenis kelamin perempuan, maupun lawan jenis.“Cewek apa cowok yang mepet kakak gue?” Karen Ervin yakin kakaknya itu mampu kalau hanya mengatasi sekumpulan gadis puber yang biasa melabraknya karena gebetan mereka naksir berat dengan Aileen dan segala keangkuhannya.“Cowok, dua orang.”Ervin langsung melemparkan bola basket yang sedang ia mainkan. Kelasnya memang sedang ada jam perlajaran olahraga, karena itu ia bingung kenapa kakaknya bisa dipe
"Ibu ... Neng Aileen, Bu."Ucapan dari ujung sambungan telepon itu membuat Rhea langsung tersadar bahwa ada yang tidak beres dengan anaknya."Aileen kenapa, Mbak?" tanya Rhea kepada baby sitter yang biasa menjemput anak-anaknya saat ia tidak bisa menjemput. Seperti kali ini Rhea terpaksa meminta baby sitter untuk menjemput Aileen dan Ervin karena Yara sedang sakit."Neng Aileen nggak ada di sekolahannya."Jantung Rhea serasa mencelos saat mendengarnya. "Mbak udah nanya ke temen-temennya? Ke gurunya?""Sudah, Bu. Ini sekolahan udah hampir sepi, tapi nggak ada yang tau Neng Aileen di mana.""Ervin gimana?" tanya Rhea berusaha menutupi paniknya."Mas Ervin sudah di mobil, Bu.""Kamu minta supir pulang nganter Ervin ya. Kamu di situ dulu, cari di sekitaran sekolah, tanya sama temen-temennya, saya langsung jalan ke sana.""Iya, Bu."Rhea menghela napas, mencoba menenangkan diri walau rasanya sulit. Setelah menitipkan Yara yang sedang demam pada baby sitter, Rhea segera berlari, mengambil k
"Ya ampun Nareeen, kamu tu nggak bisa nahan apa gimana sih? Kasihan kan Aileen masih nyusu, terus sekarang Rhea isi lagi. Mana kemaren pas Aileen kan operasi. Cek ke dokter, pastiin ini bahaya apa nggak."Pukulan bertubi-tubi dan ocehan panjang lebar didapatkan Naren dari tantenya yang langsung terbang ke Jakarta saat mendengar kabar Rhea hamil (lagi).Sementara Naren yang menjadi bulan-bulanan tantenya hanya tersenyum bangga, bukannya merasa bersalah. "Udah ke dokter kok, Mi. Biar rumahnya rame."Adila menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan kesal. Kemudian ia mendekat ke sisi Rhea yang sedang menyusui Aileen di atas kasur, yang kadang terkikik mendengar perdebatan unfaedah suami dan tantenya."Rhea lagi pengen sesuatu nggak?""Pengen gelato, Mi.""Naren, tuh denger, Rhea pengen gelato.""Di mana, Sayang? Biar Mas cariin."Rhea menggeleng. "Nggak tau aku."Adila mencebik kesal melihat Naren hanya garuk-garuk kepala. "Udah sana, cari aja di google di mana gelato terenak se-Jakar
"Sayang ...." Naren terdiam sesaat. Sebenarnya ia masih ragu untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya."Kenapa?" Rhea menjawab sambil lalu karena dia juga sedang berkutat memakaikan baju Aileen yang baru saja dimandikan.Sudah seminggu mereka tinggal di kediaman Candra. Rumah itu memang tidak ada yang menempati setelah Aditama pindah ke Dieng dan Adityo memilih tinggal sendiri di rumahnya. Aditama sendiri belum tega menjual atau menyewakan rumah itu. Karenanya, Aditama benar-benar memohon kepada cucu dan cucu menantunya itu agar menempati kediaman keluarga mereka, tidak perlu lagi mencari rumah.Naren mendekat, sambil menowel pipi Aileen dengan gemasnya, mencoba berbicara dengan istrinya. Biasanya mood Rhea lebih bagus kalau Aileen sedang tidak rewel. "Aku nggak tau terlalu cepet atau nggak aku ngomong gini. Tapi kayaknya mulai kita perlu pikirin. Kamu ... setelah ini mau berhenti ngurus Amigos atau gimana?"Rhea melirik suaminya sekilas, tapi kemudian perhatiannya kembali
“Mau kubantuin?” tanya Naren saat melihat istrinya berjalan tertatih menuju kamar mandi.Hari itu Rhea baru saja keluar dari rumah sakit. Dia sudah bisa berjalan tanpa bantuan, tapi memang harus pelan-pelan karena jahitannya masih terasa sakit. Naren mengambil cuti dadakan setelah kelahiran Aileen dan setia menemani Rhea dalam masa pemulihan sambil mencoba mengurus Aileen, walaupun masih terlihat sangat canggung.“Bisa sendiri kok, jagain Aileen aja. Nanti kalo nangis dan kamu nggak bisa nenangin, panggil Mama aja, Mas. Aku agak lama kayaknya di kamar mandi.”Naren mengangguk. “Nggak usah dikunci pintunya, kalo butuh bantuan, teriak aja.”“Iya.”Mereka memang tinggal di rumah orang tua Rhea untuk sementara. Seperti umumnya seorang wanita yang baru melahirkan, Rhea juga ingin berada di dekat mamanya untuk mendapatkan perhatian dan bimbingan dari mamanya. Bukan berarti ART di kediaman Candra tidak ada yang mengerti bagaimana mengurus anak, tapi tetap saja menurut Rhea rasanya berbeda de
Tubuh Rhea melemas dan jantungnya mulai berdebar kencang saat menyadari apa yang terjadi padanya.Ia mencoba untuk tenang, walaupun rasanya sangat sulit. Sekarang baru ia tahu bagaimana rasanya mengkhawatirkan orang lain melebihi dirinya sendiri. Ya, dia jauh lebih khawatir pada keadaan janinnya dibanding dirinya sendiri.Rhea lantas meraih ponsel yang ada di atas meja, mencoba menghubungi dokter kandungannya. Untungnya dokter itu mengangkat panggilannya setelah dering ketiga. Rhea menceritakan semuanya, dan setelah sambungan itu berakhir, ia langsung beralih menekan nomor ponsel suaminya.Naren tidak langsung menjawab teleponnya. Memang saat itu belum masuk jam makan siang, jadi mungkin saja suaminya sedang meeting.Di saat Rhea mengatur napasnya untuk menenangkan diri dan agar tidak terdengar panik, Naren pun mengangkat teleponnya."Iya, Sayang?""Mas lagi apa?""Kerja lah. Masa jalan-jalan ke mall?" jawab Naren terkekeh. "Kenapa?""Mas kira-kira kalo ke sini butuh berapa lama?""Hm
"Sayang, dua minggu lagi perusahaan ngadain dinner party. Perayaan tiga proyek baru kita."Intro pembicaraan yang membuat Rhea bertanya-tanya, apa yang selanjutnya akan diucapkan suaminya."Aku mau ngajak kamu tapi ... udah deket HPL-mu.""HPL-ku kan masih sebulan lagi, Mas.""Iya tapi kan itu riskan banget, tinggal dua minggu sebelum HPL kan.""Jadi aku nggak diajak?" Bukannya Rhea suka datang ke pesta-pesta. Tapi belakangan ini dia suka resah kalau ditinggal Naren, apalagi saat malam hari."Kamu mau ikut? Beneran nggak apa-apa? Nggak bakal kecapekan?""Mau ikut. Anggep aja terakhir sebelum lahiran. Boleh? Atau kamu malu?"Naren mengusapi puncak kepala istrinya. "Ngomong apa sih? Baper banget sejak hamil. Nggak mungkin aku malu ngajak kamu. Aku cuma beneran takut kamu capek."Rhea tidak menjawab lagi. Ia memberi waktu dan membiarkan suaminya mengambil keputusan."Ya udah, kita booking satu kamar aja buat istirahat kalau kamu kecapekan. Tapi kamu tetep nggak boleh pake heels ya. Aku n