-Whatsapp Group Trouble Makers-Prasasta: @Narendra nggak pengen cerita perkembangan hubungan lo sama tetangga depan rumah?Rama: I'm waitingBrian: I'm waiting (2)Narendra: Kalian nggak pada kerja ya? Berisik amat kayak ibu-ibu komplekBrian: Banyak bacot! Cepet cerita!Narendra: Ogah!Brian: Oh, I see, belum bisa naklukkin berarti :pPrasasta: Malu gila, yang katanya casanova, tapi nggak bisa dapetin cewek yang dia sukaRama: Puk! Puk! #sing cintaku bertepuk sebelah tangan ...Narendra: Bangke! Gue nggak cinta ya! Di kamus gue nggak ada definisi cintaBrian: Ya ya yaPrasasta: Awas ketulah sama omonganRama: #sing Semoga waktu akan mengilhami sisi hatimu yang beku ...Narendra: Berisik ah. Gue cuma mau nagih 5 hari sisa waktu pacaran gue dulu sama diaPrasasta: Lah, lo pikir cuti tahunan, yang nggak kepake tahun ini bisa ditagih tahun depanBrian: Wah temen gue gila juga ya!Rama: #sing Terlalu sadis caramu ...Naren meletakkan ponselnya, malas meladeni ocehan teman-temannya. Bisa-
Suara alarm yang memekakkan telinga sengaja dipilih Rhea untuk membangunkannya pagi itu. Niatnya sudah bulat untuk bangun lebih pagi dari biasanya dan berangkat lebih cepat agar Naren tidak memiliki kesempatan untuk mengajaknya berangkat bersama.Dengan tergesa, Rhea segera bersiap dan berangkat. Beruntung niatnya terlaksana. Mobil Naren belum tampak ada di depan rumahnya, tempat yang biasa dipilih Naren untuk sengaja menunggunya.Rhea berhasil sampai kantor dengan aman, tanpa gangguan Naren dan tanpa pandangan penasaran orang-orang. Ia tersenyum senang, tapi tampaknya kebahagiaannya tidak bertahan lama.Semua itu akibat pesan dari Naren di ponselnya.Narendra: Rhe, udah berangkat?Rhea: udah di kantorNarendra: Yaaah padahal saya nungguin kamuNarendra: Ok, then, see youRhea berdecak pelan dan memilih mencari Kaira untuk mengajaknya sarapan.“Rhe, ada yang mau diceritain nggak?” tanya Kaira yang kini telah duduk di depannya menunggu salah satu pedagang di kantin mengantarkan nasi ud
Rhea merenggangkan otot-ototnya setelah menyelesaikan pekerjaannya—pekerjaan yang membuatnya harus pulang lebih lama daripada orang lain. Ia memang bukan orang yang suka menunda pekerjaan.Sebuah tepukan pelan di pundak sempat mengagetkannya.“Kupikir kamu udah pulang.”Rhea mencoba mengingat-ingat wanita yang baru saja mengajaknya bicara itu. Erika. Ya, Rhea ingat sekarang, Erika adalah sekretaris presiden direktur.“Ada apa ya, Mbak?” tanya Rhea bingung.“Pak Adityo, maksa aku buat ngecek kamu udah pulang belum.”“Pak Adityo?”“Iya, kamu dipanggil ke ruangannya.”“Hah?”“Udah, temuin aja, biar aku bisa cepet pulang nih.”Rhea teringat kembali ucapan Naren di lift siang tadi. Namun ia benar-benar tidak memiliki pilihan lain kan? Siapa dia hingga bisa menolak panggilan pemilik perusahaan. Ia berjalan mengekori Erika yang berjalan di depannya.Baru pertama kali Rhea menginjakkan kaki di lantai 3, lantai di mana terdapat ruangan presiden direktur beserta sekretaris dan beberapa asistenn
-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-“Kak Naren beneran nggak masalah nih pacaran sama aku?”Keduanya sedang berjalan beriringan menuju kantin, kali ini tanpa Amee dan Leny yang memilih memberikan waktu kepada mereka berdua di hari pertama mereka pacaran.“Emang mau lo cancel permintaan lo?”Jingga terdiam. Terlambat. Jingga terlanjur menyukai Naren. Ia tidak berani menilai perasaannya sebagai rasa ‘cinta’. Cinta monyet, mungkin kata orang.“Hei, nyesel?” tanya Naren yang masih menatap Jingga yang terdiam.“Takut Kak Naren terpaksa. Lagian kenapa aku bisa pede gila gitu minta kakak jadi pacarku! Udah gila aku kayaknya.”“Nggak bisa mundur ya, Ngga.”“Iya, iya. Kalo Kak Naren malu punya pacar aku, nggak apa-apa kok backstreet aja.”“Kenapa mesti malu?”“Siapa lah aku dibanding mantan-mantan Kakak yang cantik-cantik itu.”“Lo tau siapa aja mantan gue emangnya?”Jingga menatap Naren dengan malas. “Ini mau nyombong kalo mantan Kakak banyak apa gimana sih?”Naren terbahak sambil mengac
-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-“Kamu kenapa kepikiran minta aku jadi pacarmu sih, Ngga?” tanya Naren penasaran.“Bisa nggak sih Kak nggak usah nanyain itu. Malu tau.”“Kamu yang pertama loh, Ngga.”Jingga mengernyit bingung.“Kamu cewek pertama yang nembak aku. Biasanya selalu aku yang duluan.”“Wooow! Kok lebih terdengar sebagai celaan ya daripada pujian.”Naren tergelak melihat Jingga yang bertepuk tangan sarkastis. “Padahal bisa loh aku deket kamu terus tanpa kita perlu pacaran. Aku nyaman kok temenan sama kamu. Justru dengan pacaran gini, waktu kita jadi terbatas kan.”‘Tapi waktuku juga nggak banyak lagi, Kak. Aku nggak pengen nyesel,' batin Jingga."Waktu itu, Kak Naren bilang aku spesial. Spesial kenapa sih?""Ada deh."Jingga mengerucutkan bibir mendengar jawaban Naren.Naren sendiri juga tidak bisa menjelaskan apa spesialnya Jingga. Rasanya berbeda, seperti sudah mengenalnya sejak lama, walaupun mereka belum kenal lama.“Emang kenapa sih Kak, cuma mau pacaran tiga p
“Pagi, Rhe ....” Naren dengan santai bersandar di mobilnya demi menunggu Rhea.Rhea yang baru membuka pagar rumahnya kini tampak tak terlalu terkejut dengan keberadaan Naren. Hampir setiap pagi dia menemukan pemandangan serupa.“Kamu mau ngajak aku bareng lagi?”Naren mengangguk dengan santai, bahkan membukakan pintu mobil untuk Rhea.“Nanti muncul gosip lagi. Kayaknya aku naik ojek aja deh.” Padahal puluhan alasan sudah ia siapkan sebelum keluar rumah, tapi kini semuanya lenyap dari otaknya. Hanya alasan tidak mau ada gosip lagi, yang bisa ia gunakan untuk menolak ajakan Naren.“Nggak lah, nanti aku yang urus. Aku bisa bikin aturan larangan bergosip di kantor atau bakal kulaporkan dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan,” jawabnya santai.“Nggak sekalian aja diancam dipecat?” ucap Rhea penuh sarkasme.“Bisa aja sih. Sebenernya perusahaan bisa aja nyari-nyari alasan buat mecat karyawannya. Tapi ribet nanti urusannya sama serikat pekerja. Lagian emangnya kamu tega?”“Ya nggak lah. A
15.30Narendra: Rhe, balik jam berapa? Jadi ikut aku kan?Rhea menghela napas ketika membaca pesan singkat dari Naren. Ia masih belum bisa memutuskan mengiakan ajakan Naren atau tidak. Lagipula Naren masih merahasiakan ke mana ia akan membawa Rhea.15.45Rhea: Disuruh lembur. Ngerapiin laporan keuangan sebelum dikirim ke kantor akuntan publik (KAP).Rhea sampai harus menjelaskan singkatan dari KAP, siapa tahu Naren yang orang hukum itu tidak paham, sekaligus agar Naren merasa pekerjaan Rhea sangat penting sampai-sampai tidak bisa ditinggalkan.Narendra: Beneran nggak bisa ya?Rhea: Sorry.Naren meletakkan ponselnya dengan malas. Padahal ia sudah meminta Bi Sri, ART di rumah keluarganya untuk memasakkan makanan kesukaan Rhea semasa SMA. Mau ditaruh mana mukanya, padahal ia terlanjur pamer ke Bi Sri kalau ia akan mengajak Jingga ke rumah.Bi Sri sendiri sudah kegirangan begitu tahu Jingga yang bertahun-tahun lalu sering main ke rumah majikannya itu akan berkunjung kembali setelah sekian
“Jadi temen nggak ada peka-pekanya lo ya.” Naren menatap Dio yang tanpa rasa bersalah mengambil posisi duduk di sebelah Naren, bukannya membiarkan Rhea yang duduk di kursi penumpang depan.“Hah, apa?” Dio menampakkan wajah innocent-nya.Rhea hanya diam sambil memperhatikan perdebatan kecil kedua orang di depannya. Ia memilih membuka ponselnya dan bertukar pesan di whatsapp group ‘Diet Mulai Besok’, yang beranggotakan dirinya, Amee, dan Leny.Amee: Jadi lo lagi jalan sama Kak Naren?”Rhea: Iya, tapi nggak berdua doang kok, atasan gue juga ikutLeny: ALASANRhea: Dih, dibilanginLeny: Trus ngapain lo masih sempet-sempetnya chatting sama kita?Rhea: Gue lagi membatasi interaksi gue sama dia nihAmee: Takut jatuh cinta lagi, Sis?Rhea: Diaaam!Leny: Udah ah, gue nggak mau bales lagi, nunggu cerita lo aja besokAmee: Udah ah, gue nggak mau bales lagi, nunggu cerita lo aja besok (2)Rhea: Sadis!Setelah kedua temannya benar-benar tidak ada lagi yang membalas pesannya, Rhea memilih menyapuka
“Dek.” Rhea menatap anak bungsunya yang terlihat pucat. “Kenapa, Dek?”Yara menunjuk ke dadanya, ditambah dengan suara napasnya yang tersendat.Dengan panik, Rhea menghubungi Ega untuk mendapatkan pertolongan pertama untuk Yara.Syukurnya, dalam beberapa dering, Ega langung mengangkat sambungan telepon dari Rhea.“Ga. Yara, Ga.”“Kenapa, Rhe? Yara kenapa? Ceritain kondisinya.”“Dia lagi main di deket kolam renang, kucingnya dia kepleset masuk ke kolam renang, Yara ketakutan, trus nangis, sekarang dia pucet banget, napasnya mengi. Aku mesti gimana?”“Bikin Yara duduk tegak, arahin Yara buat narik napas panjang, berulang-ulang sampai normal lagi. Abis itu, kalo udah mulai normal, kasih air anget ya. Aku on the way ke sana.”Rhea memutus sambungan telepon, kemudian melakukan apa yang disarankan Ega. “Dek, ikutin Mama ya. Tarik napas ….”***Mobil Naren memasuki pelataran rumahnya bertepatan dengan sebuah mobil sedan hitam keluar. Dengan penasaran, Naren bertanya kepada security rumahnya.
Aileen dan Ervin masuk ke dalam rumah sambil terbahak membicarakan uang jajan Ervin yang habis karena harus menyuap semua teman sekelasnya demi melindungi ia yang bolos setengah jam pelajaran olahraga.“Lagian pake cabut.” Aileen puas tertawa.Sedari kecil mereka sadar kalau kondisi keluarga mereka jauh di atas rata-rata. Mereka hidup berkecukupan. Apa yang mereka mau sebenarnya bisa dituruti orang tua mereka, tapi orang tua mereka memilih untuk tidak melakukannya.Sejak kelas 1 SMP mereka masing-masing diberikan uang saku per minggu. Hal itu sudah berlangsung sejak era Aileen, sekarang Ervin, dan mungkin nanti hingga Yara.Dan saat itu masih hari selasa, ketika Ervin menghabiskan jatah seminggunya.“Gantiin kek, Kak. Aku kan bantuin Kakak.”“Enak aja. Nggak ada yang minta bantuan kok,” sahut Aileen cuek, walau tentu saja Aileen tidak akan membiarkan Ervin gigit jari di sekolah karena kehabisan uang jajan.“Ck! Uang tabunganku buat beli PS, Kak.”“Pilih game apa pilih makan di kantin?
“Vin, kakak lo dipepet sama kakak kelas di deket gudang buat nyimpen alat olahraga.”Saat itu Ervin masih duduk di kelas 1 SMP ketika mendapat laporan dari temannya. Usianya yang hanya berbeda lima belas bulan dengan kakaknya membuat mereka bersekolah di tempat yang sama, beda satu tingkat.Aileen duduk di kelas 3 SMP dan … memiliki musuh bertebaran. Ervin tidak kaget lagi untuk satu hal ini. Ucapan kakaknya yang sepedas cabe dan kegalakan kakaknya yang mengalahkan satpam komplek, tentu saja membuatnya memiliki banyak musuh, baik dari makhluk berjenis kelamin perempuan, maupun lawan jenis.“Cewek apa cowok yang mepet kakak gue?” Karen Ervin yakin kakaknya itu mampu kalau hanya mengatasi sekumpulan gadis puber yang biasa melabraknya karena gebetan mereka naksir berat dengan Aileen dan segala keangkuhannya.“Cowok, dua orang.”Ervin langsung melemparkan bola basket yang sedang ia mainkan. Kelasnya memang sedang ada jam perlajaran olahraga, karena itu ia bingung kenapa kakaknya bisa dipe
"Ibu ... Neng Aileen, Bu."Ucapan dari ujung sambungan telepon itu membuat Rhea langsung tersadar bahwa ada yang tidak beres dengan anaknya."Aileen kenapa, Mbak?" tanya Rhea kepada baby sitter yang biasa menjemput anak-anaknya saat ia tidak bisa menjemput. Seperti kali ini Rhea terpaksa meminta baby sitter untuk menjemput Aileen dan Ervin karena Yara sedang sakit."Neng Aileen nggak ada di sekolahannya."Jantung Rhea serasa mencelos saat mendengarnya. "Mbak udah nanya ke temen-temennya? Ke gurunya?""Sudah, Bu. Ini sekolahan udah hampir sepi, tapi nggak ada yang tau Neng Aileen di mana.""Ervin gimana?" tanya Rhea berusaha menutupi paniknya."Mas Ervin sudah di mobil, Bu.""Kamu minta supir pulang nganter Ervin ya. Kamu di situ dulu, cari di sekitaran sekolah, tanya sama temen-temennya, saya langsung jalan ke sana.""Iya, Bu."Rhea menghela napas, mencoba menenangkan diri walau rasanya sulit. Setelah menitipkan Yara yang sedang demam pada baby sitter, Rhea segera berlari, mengambil k
"Ya ampun Nareeen, kamu tu nggak bisa nahan apa gimana sih? Kasihan kan Aileen masih nyusu, terus sekarang Rhea isi lagi. Mana kemaren pas Aileen kan operasi. Cek ke dokter, pastiin ini bahaya apa nggak."Pukulan bertubi-tubi dan ocehan panjang lebar didapatkan Naren dari tantenya yang langsung terbang ke Jakarta saat mendengar kabar Rhea hamil (lagi).Sementara Naren yang menjadi bulan-bulanan tantenya hanya tersenyum bangga, bukannya merasa bersalah. "Udah ke dokter kok, Mi. Biar rumahnya rame."Adila menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan kesal. Kemudian ia mendekat ke sisi Rhea yang sedang menyusui Aileen di atas kasur, yang kadang terkikik mendengar perdebatan unfaedah suami dan tantenya."Rhea lagi pengen sesuatu nggak?""Pengen gelato, Mi.""Naren, tuh denger, Rhea pengen gelato.""Di mana, Sayang? Biar Mas cariin."Rhea menggeleng. "Nggak tau aku."Adila mencebik kesal melihat Naren hanya garuk-garuk kepala. "Udah sana, cari aja di google di mana gelato terenak se-Jakar
"Sayang ...." Naren terdiam sesaat. Sebenarnya ia masih ragu untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya."Kenapa?" Rhea menjawab sambil lalu karena dia juga sedang berkutat memakaikan baju Aileen yang baru saja dimandikan.Sudah seminggu mereka tinggal di kediaman Candra. Rumah itu memang tidak ada yang menempati setelah Aditama pindah ke Dieng dan Adityo memilih tinggal sendiri di rumahnya. Aditama sendiri belum tega menjual atau menyewakan rumah itu. Karenanya, Aditama benar-benar memohon kepada cucu dan cucu menantunya itu agar menempati kediaman keluarga mereka, tidak perlu lagi mencari rumah.Naren mendekat, sambil menowel pipi Aileen dengan gemasnya, mencoba berbicara dengan istrinya. Biasanya mood Rhea lebih bagus kalau Aileen sedang tidak rewel. "Aku nggak tau terlalu cepet atau nggak aku ngomong gini. Tapi kayaknya mulai kita perlu pikirin. Kamu ... setelah ini mau berhenti ngurus Amigos atau gimana?"Rhea melirik suaminya sekilas, tapi kemudian perhatiannya kembali
“Mau kubantuin?” tanya Naren saat melihat istrinya berjalan tertatih menuju kamar mandi.Hari itu Rhea baru saja keluar dari rumah sakit. Dia sudah bisa berjalan tanpa bantuan, tapi memang harus pelan-pelan karena jahitannya masih terasa sakit. Naren mengambil cuti dadakan setelah kelahiran Aileen dan setia menemani Rhea dalam masa pemulihan sambil mencoba mengurus Aileen, walaupun masih terlihat sangat canggung.“Bisa sendiri kok, jagain Aileen aja. Nanti kalo nangis dan kamu nggak bisa nenangin, panggil Mama aja, Mas. Aku agak lama kayaknya di kamar mandi.”Naren mengangguk. “Nggak usah dikunci pintunya, kalo butuh bantuan, teriak aja.”“Iya.”Mereka memang tinggal di rumah orang tua Rhea untuk sementara. Seperti umumnya seorang wanita yang baru melahirkan, Rhea juga ingin berada di dekat mamanya untuk mendapatkan perhatian dan bimbingan dari mamanya. Bukan berarti ART di kediaman Candra tidak ada yang mengerti bagaimana mengurus anak, tapi tetap saja menurut Rhea rasanya berbeda de
Tubuh Rhea melemas dan jantungnya mulai berdebar kencang saat menyadari apa yang terjadi padanya.Ia mencoba untuk tenang, walaupun rasanya sangat sulit. Sekarang baru ia tahu bagaimana rasanya mengkhawatirkan orang lain melebihi dirinya sendiri. Ya, dia jauh lebih khawatir pada keadaan janinnya dibanding dirinya sendiri.Rhea lantas meraih ponsel yang ada di atas meja, mencoba menghubungi dokter kandungannya. Untungnya dokter itu mengangkat panggilannya setelah dering ketiga. Rhea menceritakan semuanya, dan setelah sambungan itu berakhir, ia langsung beralih menekan nomor ponsel suaminya.Naren tidak langsung menjawab teleponnya. Memang saat itu belum masuk jam makan siang, jadi mungkin saja suaminya sedang meeting.Di saat Rhea mengatur napasnya untuk menenangkan diri dan agar tidak terdengar panik, Naren pun mengangkat teleponnya."Iya, Sayang?""Mas lagi apa?""Kerja lah. Masa jalan-jalan ke mall?" jawab Naren terkekeh. "Kenapa?""Mas kira-kira kalo ke sini butuh berapa lama?""Hm
"Sayang, dua minggu lagi perusahaan ngadain dinner party. Perayaan tiga proyek baru kita."Intro pembicaraan yang membuat Rhea bertanya-tanya, apa yang selanjutnya akan diucapkan suaminya."Aku mau ngajak kamu tapi ... udah deket HPL-mu.""HPL-ku kan masih sebulan lagi, Mas.""Iya tapi kan itu riskan banget, tinggal dua minggu sebelum HPL kan.""Jadi aku nggak diajak?" Bukannya Rhea suka datang ke pesta-pesta. Tapi belakangan ini dia suka resah kalau ditinggal Naren, apalagi saat malam hari."Kamu mau ikut? Beneran nggak apa-apa? Nggak bakal kecapekan?""Mau ikut. Anggep aja terakhir sebelum lahiran. Boleh? Atau kamu malu?"Naren mengusapi puncak kepala istrinya. "Ngomong apa sih? Baper banget sejak hamil. Nggak mungkin aku malu ngajak kamu. Aku cuma beneran takut kamu capek."Rhea tidak menjawab lagi. Ia memberi waktu dan membiarkan suaminya mengambil keputusan."Ya udah, kita booking satu kamar aja buat istirahat kalau kamu kecapekan. Tapi kamu tetep nggak boleh pake heels ya. Aku n