15.30Narendra: Rhe, balik jam berapa? Jadi ikut aku kan?Rhea menghela napas ketika membaca pesan singkat dari Naren. Ia masih belum bisa memutuskan mengiakan ajakan Naren atau tidak. Lagipula Naren masih merahasiakan ke mana ia akan membawa Rhea.15.45Rhea: Disuruh lembur. Ngerapiin laporan keuangan sebelum dikirim ke kantor akuntan publik (KAP).Rhea sampai harus menjelaskan singkatan dari KAP, siapa tahu Naren yang orang hukum itu tidak paham, sekaligus agar Naren merasa pekerjaan Rhea sangat penting sampai-sampai tidak bisa ditinggalkan.Narendra: Beneran nggak bisa ya?Rhea: Sorry.Naren meletakkan ponselnya dengan malas. Padahal ia sudah meminta Bi Sri, ART di rumah keluarganya untuk memasakkan makanan kesukaan Rhea semasa SMA. Mau ditaruh mana mukanya, padahal ia terlanjur pamer ke Bi Sri kalau ia akan mengajak Jingga ke rumah.Bi Sri sendiri sudah kegirangan begitu tahu Jingga yang bertahun-tahun lalu sering main ke rumah majikannya itu akan berkunjung kembali setelah sekian
“Jadi temen nggak ada peka-pekanya lo ya.” Naren menatap Dio yang tanpa rasa bersalah mengambil posisi duduk di sebelah Naren, bukannya membiarkan Rhea yang duduk di kursi penumpang depan.“Hah, apa?” Dio menampakkan wajah innocent-nya.Rhea hanya diam sambil memperhatikan perdebatan kecil kedua orang di depannya. Ia memilih membuka ponselnya dan bertukar pesan di whatsapp group ‘Diet Mulai Besok’, yang beranggotakan dirinya, Amee, dan Leny.Amee: Jadi lo lagi jalan sama Kak Naren?”Rhea: Iya, tapi nggak berdua doang kok, atasan gue juga ikutLeny: ALASANRhea: Dih, dibilanginLeny: Trus ngapain lo masih sempet-sempetnya chatting sama kita?Rhea: Gue lagi membatasi interaksi gue sama dia nihAmee: Takut jatuh cinta lagi, Sis?Rhea: Diaaam!Leny: Udah ah, gue nggak mau bales lagi, nunggu cerita lo aja besokAmee: Udah ah, gue nggak mau bales lagi, nunggu cerita lo aja besok (2)Rhea: Sadis!Setelah kedua temannya benar-benar tidak ada lagi yang membalas pesannya, Rhea memilih menyapuka
“Naren, tumben kamu pulang ke rumah sini.”“Kakek!” Naren terkesiap saat melihat kakeknya berjalan memasuki ruang makan.Aditama Candra—pemegang saham terbesar Candra Group—yang sudah beberapa tahun mengundurkan diri dari dunia usaha dan memilih mengasingkan diri ke daerah dataran tinggi Dieng. Ia sudah menyerahkan semua urusan perusahaan ke anak sulungnya, Adityo Candra. Meskipun ia merasa jengah dengan kelakuan Adityo yang sering berganti wanita, tapi harus ia akui anak sulungnya itu bertangan dingin dalam mengurus bisnisnya.Ibaratnya, kalau orang-orang menyebut Naren sebagai boss, Adityo yang juga papanya Naren adalah big boss, maka Aditama beyond above big boss.Naren menghampiri kakek yang sangat ia hormati itu, meraih punggung tangan kakeknya dan mengarahkan ke keningnya, kemudian memeluknya. “Kakek kok nggak bilang kalo ke Jakarta?”“Baru sampe tadi pagi kok. Rencananya besok mau ke kantor nengokin papamu sama kamu, eh nggak disangka kamu pulang ke sini.”Naren mengernyit bing
Narendra: RheNarendra: Aku nggak bisa bareng kamu ya pagi iniNarendra: Diminta nemenin Kakek sarapanRhea yang baru selesai mandi dan sedang bersiap di depan meja riasnya mendengkus kesal membaca pesan singkat dari Naren. ‘Apa maksudnya coba? Siapa yang mau bareng sama dia? Gue bisa berangkat sendiri.’Karena kesal, ia mengabaikan saja pesan dari Naren.Narendra: Rhe, kamu nggak kesiangan kan?Narendra: Rhe?“Astaga ... harus banget ya dibales?”Rhea: IyaRhea: Nggak ada yang pengen bareng kamu juga sihNarendra: Nah, gitu dong, nyolot, baru aku tenangMulut Rhea kini menganga sempurnya, tidak percaya melihat balasan pesan dari Naren. “Udah dibales, malah dibilang nyolot.”Narendra: Kakekku seneng warna navy. Tapi pake apa pun kamu cantik kok.Rhea: Shut up!***Narendra: Mau aku samperin atau ketemu di parkiran?Naren tahu kalau Rhea tidak nyaman terlihat sering bersamanya di area kantor. Karena itu dia memilih menanyakan pendapat Rhea terlebih dulu.Rhea: Di parkiran aja.Narendra
Wanita itu terlihat tersenyum lebar dan mengikuti Naren.“Kamu nggak terganggu, Rhe?” tanya Aditama.Rhea mengernyit bingung. “Terganggu kenapa ya, Pak?”Aditama menatap ke arah perginya Naren sambil mengangkat dagu.“Saya sama Pak Naren cuma berteman, Pak. Jadi, nggak mungkin saya terganggu dengan hal seperti itu.”Aditama mengangguk-angguk. “Rhea, saya boleh minta satu hal nggak ke kamu?”‘Ok, mungkin ini saatnya.’ batin Rhea. Setelah dari tadi hanya tercipta obrolan ringan di antara mereka, mungkin ini saatnya obrolan serius itu. Entah apa yang akan diminta lelaki lanjut usia di depannya itu, yang pasti Rhea tidak akan mudah menolaknya.“Panggil saya Kakek aja. Saya nggak punya cucu perempuan. Lagipula kita di luar kantor, dan kamu sepertinya temen spesial buat Naren.”Rhea termangu sesaat, mencoba menelaah permintaan lelaki itu. Bukan hal yang mudah tentu saja, memanggil seseorang yang tidak ada hubungan darah dengannya dengan sebutan ‘Kakek’. Ditambah dengan posisi Aditama sebaga
“Maaf ya, Rhe. Tadi aku bohong, biar dia cepet pergi,” ucap Naren sambil membagi fokusnya dengan menyetir.Makan siang itu bisa saja berakhir berantakan seandainya tidak ada Aditama. Kedatangan Intan yang tiba-tiba, mengharuskan Aditama turun tangan dan mengusirnya secara halus. Belum lagi kecanggungan antara Naren dan Rhea setelah Intan pergi, untung saja Aditama bisa mencairan suasana.“Kasih kode dulu dong, biar orang nggak kaget. Lagian ide dari mana sih ngaku-ngaku tunangan?”Naren mengedikkan bahu. “Ya aku juga nggak nyangka kalo dia bakal balik lagi cuma demi mastiin ke kamu.”“Kakek juga bisa-bisanya ngikutin permainanmu.”“Udah luwes manggil Kakek.”“Pak Aditama yang minta ya, bukan karena kamu,” jawab Rhea.“Wajar sih, kakek emang nggak punya cucu cewek. Aku cuma punya dua orang sepupu cowok. Yang satu meninggal waktu kecil, dan yang satunya masih kuliah di Singapura.”“Kenapa kamu cerita ke aku?”“Biar kamu tau aja, kalo kakekku mungkin memang pengen banget cucu cewek.”Rhe
-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-“Kak, kita mau pacaran tiga puluh harinya itu … hari sekolah apa hari kalender?”Pertanyaan polos Jingga membuat Naren terbahak. “Hari kalender lah, kan kadang sabtu atau minggu kita jalan juga berdua.”“Oh iya ya, kirain gitu Kak Naren khilaf trus jawabnya hari sekolah.”“Kamu denger dari mana istilah ‘hari sekolah’ sama ‘hari kalender’?”“Dari Papa. Papa ngomongin ‘hari kerja’ sih, cuma kuubah jadi ‘hari sekolah’.”Naren mengacak rambut Jingga. Hanya ketika mereka sudah tidak di wilayah sekolah, Jingga tidak akan melarang Naren mengacak rambutnya. Kalau di lingkungan sekolah, Jingga dengan tangkas menepis tangan Naren. Rambutnya sudah terlalu panjang dan merepotkan kalau harus merapikannya setiap Naren mengacaknya.“Ngga, mau nonton apa?” Naren mencari-cari film dari tumpukan DVD di rak bagian bawah televisi.“Males ah, Kak Naren tidur melulu kalo lagi nonton.”“Kalo filmnya nggak seru ya tidur.”“Apaan. Kak Naren tidur terus ya kalo lagi non
Rahang Naren seketika mengeras. Ia menyambut uluran tangan Fondra dengan tatapan siaga.“Fondra,” ucap laki-laki itu yang kini mengulurkan tangan kepada Rhea.“Rhea.”Ingin rasanya Naren menarik Rhea untuk seketika pergi dari tempat itu. Tapi bukankah ia akan terlihat childish jka benar-benar melakukan hal itu.“Kursinya cuma empat,” ucap Naren dingin.“Tinggal narik kursi kali, Ren.” Dio memberikan kode kepada Fondra untuk menarik kursi kosong.Naren berdecak kesal dan menggeser posisinya agar lebih dekat dengan Rhea. Jangan kira tingkah Naren hanya selesai sampai di situ. Ia bahkan memberikan tatapan awas kepada Fondra, tapi sepertinya Fondra sama sekali tidak menyadarinya karena terlalu fokus memandangi Rhea.“Ren, weekend dateng nggak ke nikahan Dimas?”“Hmm ... lo dateng?”“Dateng lah, mau bareng?” Diam-diam sebenarnya niat Dio adalah mencari teman untuk datang bersama.“Kamu bisa nemenin aku nggak, Rhe?”Pertanyaan Naren yang tiba-tiba dan diucapkan di depan orang banyak, membua
“Dek.” Rhea menatap anak bungsunya yang terlihat pucat. “Kenapa, Dek?”Yara menunjuk ke dadanya, ditambah dengan suara napasnya yang tersendat.Dengan panik, Rhea menghubungi Ega untuk mendapatkan pertolongan pertama untuk Yara.Syukurnya, dalam beberapa dering, Ega langung mengangkat sambungan telepon dari Rhea.“Ga. Yara, Ga.”“Kenapa, Rhe? Yara kenapa? Ceritain kondisinya.”“Dia lagi main di deket kolam renang, kucingnya dia kepleset masuk ke kolam renang, Yara ketakutan, trus nangis, sekarang dia pucet banget, napasnya mengi. Aku mesti gimana?”“Bikin Yara duduk tegak, arahin Yara buat narik napas panjang, berulang-ulang sampai normal lagi. Abis itu, kalo udah mulai normal, kasih air anget ya. Aku on the way ke sana.”Rhea memutus sambungan telepon, kemudian melakukan apa yang disarankan Ega. “Dek, ikutin Mama ya. Tarik napas ….”***Mobil Naren memasuki pelataran rumahnya bertepatan dengan sebuah mobil sedan hitam keluar. Dengan penasaran, Naren bertanya kepada security rumahnya.
Aileen dan Ervin masuk ke dalam rumah sambil terbahak membicarakan uang jajan Ervin yang habis karena harus menyuap semua teman sekelasnya demi melindungi ia yang bolos setengah jam pelajaran olahraga.“Lagian pake cabut.” Aileen puas tertawa.Sedari kecil mereka sadar kalau kondisi keluarga mereka jauh di atas rata-rata. Mereka hidup berkecukupan. Apa yang mereka mau sebenarnya bisa dituruti orang tua mereka, tapi orang tua mereka memilih untuk tidak melakukannya.Sejak kelas 1 SMP mereka masing-masing diberikan uang saku per minggu. Hal itu sudah berlangsung sejak era Aileen, sekarang Ervin, dan mungkin nanti hingga Yara.Dan saat itu masih hari selasa, ketika Ervin menghabiskan jatah seminggunya.“Gantiin kek, Kak. Aku kan bantuin Kakak.”“Enak aja. Nggak ada yang minta bantuan kok,” sahut Aileen cuek, walau tentu saja Aileen tidak akan membiarkan Ervin gigit jari di sekolah karena kehabisan uang jajan.“Ck! Uang tabunganku buat beli PS, Kak.”“Pilih game apa pilih makan di kantin?
“Vin, kakak lo dipepet sama kakak kelas di deket gudang buat nyimpen alat olahraga.”Saat itu Ervin masih duduk di kelas 1 SMP ketika mendapat laporan dari temannya. Usianya yang hanya berbeda lima belas bulan dengan kakaknya membuat mereka bersekolah di tempat yang sama, beda satu tingkat.Aileen duduk di kelas 3 SMP dan … memiliki musuh bertebaran. Ervin tidak kaget lagi untuk satu hal ini. Ucapan kakaknya yang sepedas cabe dan kegalakan kakaknya yang mengalahkan satpam komplek, tentu saja membuatnya memiliki banyak musuh, baik dari makhluk berjenis kelamin perempuan, maupun lawan jenis.“Cewek apa cowok yang mepet kakak gue?” Karen Ervin yakin kakaknya itu mampu kalau hanya mengatasi sekumpulan gadis puber yang biasa melabraknya karena gebetan mereka naksir berat dengan Aileen dan segala keangkuhannya.“Cowok, dua orang.”Ervin langsung melemparkan bola basket yang sedang ia mainkan. Kelasnya memang sedang ada jam perlajaran olahraga, karena itu ia bingung kenapa kakaknya bisa dipe
"Ibu ... Neng Aileen, Bu."Ucapan dari ujung sambungan telepon itu membuat Rhea langsung tersadar bahwa ada yang tidak beres dengan anaknya."Aileen kenapa, Mbak?" tanya Rhea kepada baby sitter yang biasa menjemput anak-anaknya saat ia tidak bisa menjemput. Seperti kali ini Rhea terpaksa meminta baby sitter untuk menjemput Aileen dan Ervin karena Yara sedang sakit."Neng Aileen nggak ada di sekolahannya."Jantung Rhea serasa mencelos saat mendengarnya. "Mbak udah nanya ke temen-temennya? Ke gurunya?""Sudah, Bu. Ini sekolahan udah hampir sepi, tapi nggak ada yang tau Neng Aileen di mana.""Ervin gimana?" tanya Rhea berusaha menutupi paniknya."Mas Ervin sudah di mobil, Bu.""Kamu minta supir pulang nganter Ervin ya. Kamu di situ dulu, cari di sekitaran sekolah, tanya sama temen-temennya, saya langsung jalan ke sana.""Iya, Bu."Rhea menghela napas, mencoba menenangkan diri walau rasanya sulit. Setelah menitipkan Yara yang sedang demam pada baby sitter, Rhea segera berlari, mengambil k
"Ya ampun Nareeen, kamu tu nggak bisa nahan apa gimana sih? Kasihan kan Aileen masih nyusu, terus sekarang Rhea isi lagi. Mana kemaren pas Aileen kan operasi. Cek ke dokter, pastiin ini bahaya apa nggak."Pukulan bertubi-tubi dan ocehan panjang lebar didapatkan Naren dari tantenya yang langsung terbang ke Jakarta saat mendengar kabar Rhea hamil (lagi).Sementara Naren yang menjadi bulan-bulanan tantenya hanya tersenyum bangga, bukannya merasa bersalah. "Udah ke dokter kok, Mi. Biar rumahnya rame."Adila menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan kesal. Kemudian ia mendekat ke sisi Rhea yang sedang menyusui Aileen di atas kasur, yang kadang terkikik mendengar perdebatan unfaedah suami dan tantenya."Rhea lagi pengen sesuatu nggak?""Pengen gelato, Mi.""Naren, tuh denger, Rhea pengen gelato.""Di mana, Sayang? Biar Mas cariin."Rhea menggeleng. "Nggak tau aku."Adila mencebik kesal melihat Naren hanya garuk-garuk kepala. "Udah sana, cari aja di google di mana gelato terenak se-Jakar
"Sayang ...." Naren terdiam sesaat. Sebenarnya ia masih ragu untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya."Kenapa?" Rhea menjawab sambil lalu karena dia juga sedang berkutat memakaikan baju Aileen yang baru saja dimandikan.Sudah seminggu mereka tinggal di kediaman Candra. Rumah itu memang tidak ada yang menempati setelah Aditama pindah ke Dieng dan Adityo memilih tinggal sendiri di rumahnya. Aditama sendiri belum tega menjual atau menyewakan rumah itu. Karenanya, Aditama benar-benar memohon kepada cucu dan cucu menantunya itu agar menempati kediaman keluarga mereka, tidak perlu lagi mencari rumah.Naren mendekat, sambil menowel pipi Aileen dengan gemasnya, mencoba berbicara dengan istrinya. Biasanya mood Rhea lebih bagus kalau Aileen sedang tidak rewel. "Aku nggak tau terlalu cepet atau nggak aku ngomong gini. Tapi kayaknya mulai kita perlu pikirin. Kamu ... setelah ini mau berhenti ngurus Amigos atau gimana?"Rhea melirik suaminya sekilas, tapi kemudian perhatiannya kembali
“Mau kubantuin?” tanya Naren saat melihat istrinya berjalan tertatih menuju kamar mandi.Hari itu Rhea baru saja keluar dari rumah sakit. Dia sudah bisa berjalan tanpa bantuan, tapi memang harus pelan-pelan karena jahitannya masih terasa sakit. Naren mengambil cuti dadakan setelah kelahiran Aileen dan setia menemani Rhea dalam masa pemulihan sambil mencoba mengurus Aileen, walaupun masih terlihat sangat canggung.“Bisa sendiri kok, jagain Aileen aja. Nanti kalo nangis dan kamu nggak bisa nenangin, panggil Mama aja, Mas. Aku agak lama kayaknya di kamar mandi.”Naren mengangguk. “Nggak usah dikunci pintunya, kalo butuh bantuan, teriak aja.”“Iya.”Mereka memang tinggal di rumah orang tua Rhea untuk sementara. Seperti umumnya seorang wanita yang baru melahirkan, Rhea juga ingin berada di dekat mamanya untuk mendapatkan perhatian dan bimbingan dari mamanya. Bukan berarti ART di kediaman Candra tidak ada yang mengerti bagaimana mengurus anak, tapi tetap saja menurut Rhea rasanya berbeda de
Tubuh Rhea melemas dan jantungnya mulai berdebar kencang saat menyadari apa yang terjadi padanya.Ia mencoba untuk tenang, walaupun rasanya sangat sulit. Sekarang baru ia tahu bagaimana rasanya mengkhawatirkan orang lain melebihi dirinya sendiri. Ya, dia jauh lebih khawatir pada keadaan janinnya dibanding dirinya sendiri.Rhea lantas meraih ponsel yang ada di atas meja, mencoba menghubungi dokter kandungannya. Untungnya dokter itu mengangkat panggilannya setelah dering ketiga. Rhea menceritakan semuanya, dan setelah sambungan itu berakhir, ia langsung beralih menekan nomor ponsel suaminya.Naren tidak langsung menjawab teleponnya. Memang saat itu belum masuk jam makan siang, jadi mungkin saja suaminya sedang meeting.Di saat Rhea mengatur napasnya untuk menenangkan diri dan agar tidak terdengar panik, Naren pun mengangkat teleponnya."Iya, Sayang?""Mas lagi apa?""Kerja lah. Masa jalan-jalan ke mall?" jawab Naren terkekeh. "Kenapa?""Mas kira-kira kalo ke sini butuh berapa lama?""Hm
"Sayang, dua minggu lagi perusahaan ngadain dinner party. Perayaan tiga proyek baru kita."Intro pembicaraan yang membuat Rhea bertanya-tanya, apa yang selanjutnya akan diucapkan suaminya."Aku mau ngajak kamu tapi ... udah deket HPL-mu.""HPL-ku kan masih sebulan lagi, Mas.""Iya tapi kan itu riskan banget, tinggal dua minggu sebelum HPL kan.""Jadi aku nggak diajak?" Bukannya Rhea suka datang ke pesta-pesta. Tapi belakangan ini dia suka resah kalau ditinggal Naren, apalagi saat malam hari."Kamu mau ikut? Beneran nggak apa-apa? Nggak bakal kecapekan?""Mau ikut. Anggep aja terakhir sebelum lahiran. Boleh? Atau kamu malu?"Naren mengusapi puncak kepala istrinya. "Ngomong apa sih? Baper banget sejak hamil. Nggak mungkin aku malu ngajak kamu. Aku cuma beneran takut kamu capek."Rhea tidak menjawab lagi. Ia memberi waktu dan membiarkan suaminya mengambil keputusan."Ya udah, kita booking satu kamar aja buat istirahat kalau kamu kecapekan. Tapi kamu tetep nggak boleh pake heels ya. Aku n