-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-“Kak, kita mau pacaran tiga puluh harinya itu … hari sekolah apa hari kalender?”Pertanyaan polos Jingga membuat Naren terbahak. “Hari kalender lah, kan kadang sabtu atau minggu kita jalan juga berdua.”“Oh iya ya, kirain gitu Kak Naren khilaf trus jawabnya hari sekolah.”“Kamu denger dari mana istilah ‘hari sekolah’ sama ‘hari kalender’?”“Dari Papa. Papa ngomongin ‘hari kerja’ sih, cuma kuubah jadi ‘hari sekolah’.”Naren mengacak rambut Jingga. Hanya ketika mereka sudah tidak di wilayah sekolah, Jingga tidak akan melarang Naren mengacak rambutnya. Kalau di lingkungan sekolah, Jingga dengan tangkas menepis tangan Naren. Rambutnya sudah terlalu panjang dan merepotkan kalau harus merapikannya setiap Naren mengacaknya.“Ngga, mau nonton apa?” Naren mencari-cari film dari tumpukan DVD di rak bagian bawah televisi.“Males ah, Kak Naren tidur melulu kalo lagi nonton.”“Kalo filmnya nggak seru ya tidur.”“Apaan. Kak Naren tidur terus ya kalo lagi non
Rahang Naren seketika mengeras. Ia menyambut uluran tangan Fondra dengan tatapan siaga.“Fondra,” ucap laki-laki itu yang kini mengulurkan tangan kepada Rhea.“Rhea.”Ingin rasanya Naren menarik Rhea untuk seketika pergi dari tempat itu. Tapi bukankah ia akan terlihat childish jka benar-benar melakukan hal itu.“Kursinya cuma empat,” ucap Naren dingin.“Tinggal narik kursi kali, Ren.” Dio memberikan kode kepada Fondra untuk menarik kursi kosong.Naren berdecak kesal dan menggeser posisinya agar lebih dekat dengan Rhea. Jangan kira tingkah Naren hanya selesai sampai di situ. Ia bahkan memberikan tatapan awas kepada Fondra, tapi sepertinya Fondra sama sekali tidak menyadarinya karena terlalu fokus memandangi Rhea.“Ren, weekend dateng nggak ke nikahan Dimas?”“Hmm ... lo dateng?”“Dateng lah, mau bareng?” Diam-diam sebenarnya niat Dio adalah mencari teman untuk datang bersama.“Kamu bisa nemenin aku nggak, Rhe?”Pertanyaan Naren yang tiba-tiba dan diucapkan di depan orang banyak, membua
Toska Kopi, coffee shop yang berada di dalam Stasiun Gambir, yang juga menyajikan beberapa jenis makanan berat seperti nasi goreng rawon dan soto betawi, akhirnya mereka pilih sebagai tempat untuk bertukar cerita.Rhea dan Leny duduk di pojok setelah memesan menu untuk mereka bertiga, sambil menunggu Amee yang sedang check in sekaligus print tiket kereta."Kenapa kalian main rahasia-rahasia sih, Len?"Leny mengedikkan bahu. "Nggak rahasia sih sebenernya. Cuma ya ceritanya panjang, dan lagi beberapa minggu setelah itu, dia udah dapet pacar lagi. Jadi ya gue pikir dia cuma shock doang karena ditinggal sama cewek, which is itu lo, biasanya kan dia yang ninggalin cewek."Tidak lama kemudian, Amee datang tergopoh karena merasa bertanggung jawab untuk menceritakan apa yang tanpa sengaja keluar dari mulutnya.***-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-Rabu, hari yang akan diingat Jingga selalu karena itu adalah hari saat ia berpamitan kepada teman-teman sekelasnya. Hari yang biasanya sanga
"Bener kan Ngga, emang Kak Naren tu absurd banget. Itu dia kan?"Rhea memicingkan mata untuk melihat lebih jelas ke arah yang ditunjuk Leny. Kondisi mata minus dan tanpa kacamata sedikit menyulitkan Rhea untuk mengenali sosok itu."Masa sih? Nggak kelihatan gue. Males mau ambil kacamata.""Gue berani taruhan deh kalo itu dia. Lagian kalo bukan dia, ngeri juga kali, Ngga, ada cowok nongkrong di depan gerbang rumah lo gitu."Keduanya terbahak sampai pandangan Rhea benar-benar bisa menangkap sosok Naren. "Iya, itu dia. Ngapain sih?"Tepat saat Leny menghentikan mobilnya, Rhea turun untuk membukakan pintu pagar."Rhe, malem banget sih pulangnya?" sapa Naren yang bergegas berdiri saat melihat Rhea turun."Baru jam sembilan perasaan.""Ya kan udah malem.""Posesif," ledek Leny masih dari dalam mobil dan hanya membuka jendela mobilnya."Siapa?" Naren mencoba melihat sosok di balik kemudi Honda Civic di depannya, namun tidak terlihat."Temen," jawab Rhea sambil mendorong pagar rumahnya."Ck!
Udah jam makan siang nih, mau tetep ke Ciwidey dulu apa makan dulu?” tanya Naren. “Kalo mau makan sih enakan di Situ Patengan kayaknya, banyak warung makan.”Ia memang cukup hapal daerah itu karena salah satu villa kakeknya berada di daerah Ciwidey. Dulu Naren sering menghabiskan malam di villa kakeknya untuk menghindar dari mantan pacarnya yang masih tidak terima karena ia memutuskan hubungan mereka.“Ngikut aja gue,” jawab Dio.“Gimana, Rhe?”Karena tidak ada jawaban dari Rhea, Naren menoleh dan menemukan Rhea yang sedang tertidur.“Ciwidey dulu aja lah ya, Yo. Nggak bisa lama-lama juga kok di dalem, lima belas menit juga udah mual bau belerang. Soalnya ngelewatin Ciwidey dulu ini.”“Hmm,” jawab Dio singkat sambil menguap.Lima menit kemudian, Naren telah memarkirkan mobilnya di area parkir Kawah Putih Ciwidey. Naren membangunkan Rhea sementara Dio membangunkan adiknya, yang sama-sama masih tertidur pulas.“Rhe, udah sampe.”Usapan tangan Naren di pipinya mampu membangunkan Rhea sek
“Jadi jawabannya?”Rhea mengerjapkan matanya, oh bahkan dia belum sempat mandi, haruskah menjawab pertanyaan Naren dengan kondisinya sekarang? Mungkin bisa ditunda nanti saat dia tampil lebih ... rapi.“Aku nanya sekali lagi deh. Kamu tau kan kalo aku bukan anak SMA lagi, yang mau kamu ajak pacaran tiga puluh hari?”Debaran jantung Naren kini menggila, bersusah payah ia menelan ludahnya melihat Rhea yang sedang menatapnya serius.“Kamu tau juga kan hubungan kita nggak akan sama lagi kalau kamu cuma mau mainin perasaanku? Bahkan mungkin jadi temen kayak sekarang pun nggak bisa.”Naren mengangguk pelan. “So?”“Nggak cuma buat tiga puluh hari kan?” tegas Rhea lagi. Tampaknya masih sangat sulit menyaksikan seorang Narendra memintanya menjalin hubungan yang serius.Naren tersenyum sambil mengusap puncak kepala Rhea. “Jadi ini hari pertama kita?”Rhea mengernyitkan dahi dan menatap Naren curiga. “Kok kamu masih ngitungin hari sih? Kayak dulu kita pacaran pas SMA.”“Nggak gitu, cuma mastiin
Naren memarkirkan mobilnya di area parkir Intercontonental Bandung Dago Pakar. Dimas, si mempelai lelaki yang mengadakan acara resepsinya di tempat itu, adalah teman Naren dan Dio saat kuliah di fakultas hukum, tentu saja sebelum Dio memutuskan untuk pindah ke fakultas ekonomi.Dengan refleks, Naren mengulurkan tangannya pada Rhea, berharap wanita itu menerimanya dan tetap berada di sisinya selama acara. Meskipun ia selalu merasa telah mengakhiri hubungan dengan cara yang baik-baik, tapi tetap saja kemungkinan ada hati yang dilukainya. Apalagi jumlah mantannya tidak bisa lagi dihitung dengan jari tangannya.“Harus pegangan tangan?” tanya Rhea yang masih ragu.Anggukan mengiakan dari Naren membuat Rhea akhirnya menerima uluran tangan itu. “Kan kamu pake heels, kalo pas lagi nggak balance biar ada pegangan.”Dio menatap Naren dengan heran. Ia kenal siapa Naren dan ia tahu pasti bagaimana Naren biasanya memperlakukan pacarnya. Biasanya Naren akan membatasi sentuhan fisik dengan pacarnya.
Narendra: Hari ini mau pergi berdua nggak?“Gimana, Pak?” tanya Farhan, staf Naren yang duduk di sampingnya, namun pertanyaannya tak juga mendapat jawaban dari Naren. Karenanya, ia mengulangnya sekali lagi dengan (sedikit) mengeraskan suaranya. “Pak Naren. Gimana, Pak?”“Oh, sorry, sorry. Tadi kamu ngomong apa?”Farhan menghela napas, ingin marah pun ia tidak bisa. Naren atasannya sekaligus keluarga pemilik perusahaan. Entah kenapa Farhan benar-benar merasakan perbedaan Naren selama meeting berlangsung, fokusnya seakan terpecah dengan hal lain.Hari kedua Naren resmi berstatus pacar Rhea. Sejak pagi ia berkali-kali mengirim pesan tidak penting pada Rhea. Bahkan di saat meeting seperti ini, ia masih sempat mengutak-atik ponselnya dan mengirim pesan ajakan kencan ke Rhea.Rhea: Sebenernya masih agak capek sih.Rhea: Tapi nggak apa-apa kalau mau makan malam aja, asal jangan jauh-jauh trus pulangnya juga nggak malem-malem.Kini Rhea terbiasa membalas pesan Naren lebih panjang, meskipun ka
“Dek.” Rhea menatap anak bungsunya yang terlihat pucat. “Kenapa, Dek?”Yara menunjuk ke dadanya, ditambah dengan suara napasnya yang tersendat.Dengan panik, Rhea menghubungi Ega untuk mendapatkan pertolongan pertama untuk Yara.Syukurnya, dalam beberapa dering, Ega langung mengangkat sambungan telepon dari Rhea.“Ga. Yara, Ga.”“Kenapa, Rhe? Yara kenapa? Ceritain kondisinya.”“Dia lagi main di deket kolam renang, kucingnya dia kepleset masuk ke kolam renang, Yara ketakutan, trus nangis, sekarang dia pucet banget, napasnya mengi. Aku mesti gimana?”“Bikin Yara duduk tegak, arahin Yara buat narik napas panjang, berulang-ulang sampai normal lagi. Abis itu, kalo udah mulai normal, kasih air anget ya. Aku on the way ke sana.”Rhea memutus sambungan telepon, kemudian melakukan apa yang disarankan Ega. “Dek, ikutin Mama ya. Tarik napas ….”***Mobil Naren memasuki pelataran rumahnya bertepatan dengan sebuah mobil sedan hitam keluar. Dengan penasaran, Naren bertanya kepada security rumahnya.
Aileen dan Ervin masuk ke dalam rumah sambil terbahak membicarakan uang jajan Ervin yang habis karena harus menyuap semua teman sekelasnya demi melindungi ia yang bolos setengah jam pelajaran olahraga.“Lagian pake cabut.” Aileen puas tertawa.Sedari kecil mereka sadar kalau kondisi keluarga mereka jauh di atas rata-rata. Mereka hidup berkecukupan. Apa yang mereka mau sebenarnya bisa dituruti orang tua mereka, tapi orang tua mereka memilih untuk tidak melakukannya.Sejak kelas 1 SMP mereka masing-masing diberikan uang saku per minggu. Hal itu sudah berlangsung sejak era Aileen, sekarang Ervin, dan mungkin nanti hingga Yara.Dan saat itu masih hari selasa, ketika Ervin menghabiskan jatah seminggunya.“Gantiin kek, Kak. Aku kan bantuin Kakak.”“Enak aja. Nggak ada yang minta bantuan kok,” sahut Aileen cuek, walau tentu saja Aileen tidak akan membiarkan Ervin gigit jari di sekolah karena kehabisan uang jajan.“Ck! Uang tabunganku buat beli PS, Kak.”“Pilih game apa pilih makan di kantin?
“Vin, kakak lo dipepet sama kakak kelas di deket gudang buat nyimpen alat olahraga.”Saat itu Ervin masih duduk di kelas 1 SMP ketika mendapat laporan dari temannya. Usianya yang hanya berbeda lima belas bulan dengan kakaknya membuat mereka bersekolah di tempat yang sama, beda satu tingkat.Aileen duduk di kelas 3 SMP dan … memiliki musuh bertebaran. Ervin tidak kaget lagi untuk satu hal ini. Ucapan kakaknya yang sepedas cabe dan kegalakan kakaknya yang mengalahkan satpam komplek, tentu saja membuatnya memiliki banyak musuh, baik dari makhluk berjenis kelamin perempuan, maupun lawan jenis.“Cewek apa cowok yang mepet kakak gue?” Karen Ervin yakin kakaknya itu mampu kalau hanya mengatasi sekumpulan gadis puber yang biasa melabraknya karena gebetan mereka naksir berat dengan Aileen dan segala keangkuhannya.“Cowok, dua orang.”Ervin langsung melemparkan bola basket yang sedang ia mainkan. Kelasnya memang sedang ada jam perlajaran olahraga, karena itu ia bingung kenapa kakaknya bisa dipe
"Ibu ... Neng Aileen, Bu."Ucapan dari ujung sambungan telepon itu membuat Rhea langsung tersadar bahwa ada yang tidak beres dengan anaknya."Aileen kenapa, Mbak?" tanya Rhea kepada baby sitter yang biasa menjemput anak-anaknya saat ia tidak bisa menjemput. Seperti kali ini Rhea terpaksa meminta baby sitter untuk menjemput Aileen dan Ervin karena Yara sedang sakit."Neng Aileen nggak ada di sekolahannya."Jantung Rhea serasa mencelos saat mendengarnya. "Mbak udah nanya ke temen-temennya? Ke gurunya?""Sudah, Bu. Ini sekolahan udah hampir sepi, tapi nggak ada yang tau Neng Aileen di mana.""Ervin gimana?" tanya Rhea berusaha menutupi paniknya."Mas Ervin sudah di mobil, Bu.""Kamu minta supir pulang nganter Ervin ya. Kamu di situ dulu, cari di sekitaran sekolah, tanya sama temen-temennya, saya langsung jalan ke sana.""Iya, Bu."Rhea menghela napas, mencoba menenangkan diri walau rasanya sulit. Setelah menitipkan Yara yang sedang demam pada baby sitter, Rhea segera berlari, mengambil k
"Ya ampun Nareeen, kamu tu nggak bisa nahan apa gimana sih? Kasihan kan Aileen masih nyusu, terus sekarang Rhea isi lagi. Mana kemaren pas Aileen kan operasi. Cek ke dokter, pastiin ini bahaya apa nggak."Pukulan bertubi-tubi dan ocehan panjang lebar didapatkan Naren dari tantenya yang langsung terbang ke Jakarta saat mendengar kabar Rhea hamil (lagi).Sementara Naren yang menjadi bulan-bulanan tantenya hanya tersenyum bangga, bukannya merasa bersalah. "Udah ke dokter kok, Mi. Biar rumahnya rame."Adila menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan kesal. Kemudian ia mendekat ke sisi Rhea yang sedang menyusui Aileen di atas kasur, yang kadang terkikik mendengar perdebatan unfaedah suami dan tantenya."Rhea lagi pengen sesuatu nggak?""Pengen gelato, Mi.""Naren, tuh denger, Rhea pengen gelato.""Di mana, Sayang? Biar Mas cariin."Rhea menggeleng. "Nggak tau aku."Adila mencebik kesal melihat Naren hanya garuk-garuk kepala. "Udah sana, cari aja di google di mana gelato terenak se-Jakar
"Sayang ...." Naren terdiam sesaat. Sebenarnya ia masih ragu untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya."Kenapa?" Rhea menjawab sambil lalu karena dia juga sedang berkutat memakaikan baju Aileen yang baru saja dimandikan.Sudah seminggu mereka tinggal di kediaman Candra. Rumah itu memang tidak ada yang menempati setelah Aditama pindah ke Dieng dan Adityo memilih tinggal sendiri di rumahnya. Aditama sendiri belum tega menjual atau menyewakan rumah itu. Karenanya, Aditama benar-benar memohon kepada cucu dan cucu menantunya itu agar menempati kediaman keluarga mereka, tidak perlu lagi mencari rumah.Naren mendekat, sambil menowel pipi Aileen dengan gemasnya, mencoba berbicara dengan istrinya. Biasanya mood Rhea lebih bagus kalau Aileen sedang tidak rewel. "Aku nggak tau terlalu cepet atau nggak aku ngomong gini. Tapi kayaknya mulai kita perlu pikirin. Kamu ... setelah ini mau berhenti ngurus Amigos atau gimana?"Rhea melirik suaminya sekilas, tapi kemudian perhatiannya kembali
“Mau kubantuin?” tanya Naren saat melihat istrinya berjalan tertatih menuju kamar mandi.Hari itu Rhea baru saja keluar dari rumah sakit. Dia sudah bisa berjalan tanpa bantuan, tapi memang harus pelan-pelan karena jahitannya masih terasa sakit. Naren mengambil cuti dadakan setelah kelahiran Aileen dan setia menemani Rhea dalam masa pemulihan sambil mencoba mengurus Aileen, walaupun masih terlihat sangat canggung.“Bisa sendiri kok, jagain Aileen aja. Nanti kalo nangis dan kamu nggak bisa nenangin, panggil Mama aja, Mas. Aku agak lama kayaknya di kamar mandi.”Naren mengangguk. “Nggak usah dikunci pintunya, kalo butuh bantuan, teriak aja.”“Iya.”Mereka memang tinggal di rumah orang tua Rhea untuk sementara. Seperti umumnya seorang wanita yang baru melahirkan, Rhea juga ingin berada di dekat mamanya untuk mendapatkan perhatian dan bimbingan dari mamanya. Bukan berarti ART di kediaman Candra tidak ada yang mengerti bagaimana mengurus anak, tapi tetap saja menurut Rhea rasanya berbeda de
Tubuh Rhea melemas dan jantungnya mulai berdebar kencang saat menyadari apa yang terjadi padanya.Ia mencoba untuk tenang, walaupun rasanya sangat sulit. Sekarang baru ia tahu bagaimana rasanya mengkhawatirkan orang lain melebihi dirinya sendiri. Ya, dia jauh lebih khawatir pada keadaan janinnya dibanding dirinya sendiri.Rhea lantas meraih ponsel yang ada di atas meja, mencoba menghubungi dokter kandungannya. Untungnya dokter itu mengangkat panggilannya setelah dering ketiga. Rhea menceritakan semuanya, dan setelah sambungan itu berakhir, ia langsung beralih menekan nomor ponsel suaminya.Naren tidak langsung menjawab teleponnya. Memang saat itu belum masuk jam makan siang, jadi mungkin saja suaminya sedang meeting.Di saat Rhea mengatur napasnya untuk menenangkan diri dan agar tidak terdengar panik, Naren pun mengangkat teleponnya."Iya, Sayang?""Mas lagi apa?""Kerja lah. Masa jalan-jalan ke mall?" jawab Naren terkekeh. "Kenapa?""Mas kira-kira kalo ke sini butuh berapa lama?""Hm
"Sayang, dua minggu lagi perusahaan ngadain dinner party. Perayaan tiga proyek baru kita."Intro pembicaraan yang membuat Rhea bertanya-tanya, apa yang selanjutnya akan diucapkan suaminya."Aku mau ngajak kamu tapi ... udah deket HPL-mu.""HPL-ku kan masih sebulan lagi, Mas.""Iya tapi kan itu riskan banget, tinggal dua minggu sebelum HPL kan.""Jadi aku nggak diajak?" Bukannya Rhea suka datang ke pesta-pesta. Tapi belakangan ini dia suka resah kalau ditinggal Naren, apalagi saat malam hari."Kamu mau ikut? Beneran nggak apa-apa? Nggak bakal kecapekan?""Mau ikut. Anggep aja terakhir sebelum lahiran. Boleh? Atau kamu malu?"Naren mengusapi puncak kepala istrinya. "Ngomong apa sih? Baper banget sejak hamil. Nggak mungkin aku malu ngajak kamu. Aku cuma beneran takut kamu capek."Rhea tidak menjawab lagi. Ia memberi waktu dan membiarkan suaminya mengambil keputusan."Ya udah, kita booking satu kamar aja buat istirahat kalau kamu kecapekan. Tapi kamu tetep nggak boleh pake heels ya. Aku n