Udah jam makan siang nih, mau tetep ke Ciwidey dulu apa makan dulu?” tanya Naren. “Kalo mau makan sih enakan di Situ Patengan kayaknya, banyak warung makan.”Ia memang cukup hapal daerah itu karena salah satu villa kakeknya berada di daerah Ciwidey. Dulu Naren sering menghabiskan malam di villa kakeknya untuk menghindar dari mantan pacarnya yang masih tidak terima karena ia memutuskan hubungan mereka.“Ngikut aja gue,” jawab Dio.“Gimana, Rhe?”Karena tidak ada jawaban dari Rhea, Naren menoleh dan menemukan Rhea yang sedang tertidur.“Ciwidey dulu aja lah ya, Yo. Nggak bisa lama-lama juga kok di dalem, lima belas menit juga udah mual bau belerang. Soalnya ngelewatin Ciwidey dulu ini.”“Hmm,” jawab Dio singkat sambil menguap.Lima menit kemudian, Naren telah memarkirkan mobilnya di area parkir Kawah Putih Ciwidey. Naren membangunkan Rhea sementara Dio membangunkan adiknya, yang sama-sama masih tertidur pulas.“Rhe, udah sampe.”Usapan tangan Naren di pipinya mampu membangunkan Rhea sek
“Jadi jawabannya?”Rhea mengerjapkan matanya, oh bahkan dia belum sempat mandi, haruskah menjawab pertanyaan Naren dengan kondisinya sekarang? Mungkin bisa ditunda nanti saat dia tampil lebih ... rapi.“Aku nanya sekali lagi deh. Kamu tau kan kalo aku bukan anak SMA lagi, yang mau kamu ajak pacaran tiga puluh hari?”Debaran jantung Naren kini menggila, bersusah payah ia menelan ludahnya melihat Rhea yang sedang menatapnya serius.“Kamu tau juga kan hubungan kita nggak akan sama lagi kalau kamu cuma mau mainin perasaanku? Bahkan mungkin jadi temen kayak sekarang pun nggak bisa.”Naren mengangguk pelan. “So?”“Nggak cuma buat tiga puluh hari kan?” tegas Rhea lagi. Tampaknya masih sangat sulit menyaksikan seorang Narendra memintanya menjalin hubungan yang serius.Naren tersenyum sambil mengusap puncak kepala Rhea. “Jadi ini hari pertama kita?”Rhea mengernyitkan dahi dan menatap Naren curiga. “Kok kamu masih ngitungin hari sih? Kayak dulu kita pacaran pas SMA.”“Nggak gitu, cuma mastiin
Naren memarkirkan mobilnya di area parkir Intercontonental Bandung Dago Pakar. Dimas, si mempelai lelaki yang mengadakan acara resepsinya di tempat itu, adalah teman Naren dan Dio saat kuliah di fakultas hukum, tentu saja sebelum Dio memutuskan untuk pindah ke fakultas ekonomi.Dengan refleks, Naren mengulurkan tangannya pada Rhea, berharap wanita itu menerimanya dan tetap berada di sisinya selama acara. Meskipun ia selalu merasa telah mengakhiri hubungan dengan cara yang baik-baik, tapi tetap saja kemungkinan ada hati yang dilukainya. Apalagi jumlah mantannya tidak bisa lagi dihitung dengan jari tangannya.“Harus pegangan tangan?” tanya Rhea yang masih ragu.Anggukan mengiakan dari Naren membuat Rhea akhirnya menerima uluran tangan itu. “Kan kamu pake heels, kalo pas lagi nggak balance biar ada pegangan.”Dio menatap Naren dengan heran. Ia kenal siapa Naren dan ia tahu pasti bagaimana Naren biasanya memperlakukan pacarnya. Biasanya Naren akan membatasi sentuhan fisik dengan pacarnya.
Narendra: Hari ini mau pergi berdua nggak?“Gimana, Pak?” tanya Farhan, staf Naren yang duduk di sampingnya, namun pertanyaannya tak juga mendapat jawaban dari Naren. Karenanya, ia mengulangnya sekali lagi dengan (sedikit) mengeraskan suaranya. “Pak Naren. Gimana, Pak?”“Oh, sorry, sorry. Tadi kamu ngomong apa?”Farhan menghela napas, ingin marah pun ia tidak bisa. Naren atasannya sekaligus keluarga pemilik perusahaan. Entah kenapa Farhan benar-benar merasakan perbedaan Naren selama meeting berlangsung, fokusnya seakan terpecah dengan hal lain.Hari kedua Naren resmi berstatus pacar Rhea. Sejak pagi ia berkali-kali mengirim pesan tidak penting pada Rhea. Bahkan di saat meeting seperti ini, ia masih sempat mengutak-atik ponselnya dan mengirim pesan ajakan kencan ke Rhea.Rhea: Sebenernya masih agak capek sih.Rhea: Tapi nggak apa-apa kalau mau makan malam aja, asal jangan jauh-jauh trus pulangnya juga nggak malem-malem.Kini Rhea terbiasa membalas pesan Naren lebih panjang, meskipun ka
“Bukan salah aku nggak pamit, kamu yang ngilang. Jadi, kamu ke mana waktu itu?” tanya Rhea dengan tatapan penuh tanya.Naren ikut mengorek kembali kenangannya, ‘Waktu itu ... waktu Zanna tiba-tiba kembali,’ benaknya menemukan potongan memori.“Hmm ... ke mana ya? Lupa,” jawabnya beberapa saat kemudian, mencoba menetralkan ekspresinya.“Iiih, diinget-inget lagi coba, masa ngilang berhari-hari nggak inget ke mana, sampe nggak masuk sekolah loh. Seorang Narendra, mantan ketua OSIS, murid teladan, juara sekolah, nggak masuk sekolah, izinnya alasan keluarga. Tapi aku ke rumahmu, Bi Sri juga nggak tau kamu ke mana.”Naren terkekeh. “Iya iya aku yang salah karena ngilang, sampe kamu nggak bisa pamit.” Naren bangkit dari duduknya. “Aku pulang ya, udah malem, nggak enak sama tetangga.”“Ih bisa aja ngelesnya.”“Beneran, mau besok telat ngantor?”“Iya, iya, pulang gih. Hati-hati.”Naren kembali terbahak. “Itu rumahku kelihatan loh dari sini.”“Oh iya. Ya tetep aja nyeberangnya tengok kanan kiri
Baru kali ini Naren merasakan gelisah ketika berhadapan dengan wanita. Ia mengambil selembar tisu untuk mengusap tangannya yang mulai basah berkeringat.Rhea menatap Naren dengan gamang. Ingin rasanya ia berteriak. Tapi bahkan untuk bicara pun lidahnya sudah terlalu kaku. Hanya harapan yang bisa ia ucapkan dalam hati. 'Don't say it! Please, don't say it!' ulangnya berkali-kali."Rhe .... Aku bahagia waktu sama kamu. Kamu percaya kan?"Rhea tidak mengiakan dan tidak pula membantah."Tapi kayaknya aku ...." Naren tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Ia menarik napas berkali-kali tapi tetap saja terasa berat mengucapkannya. "Hubungan kita ... sampe di sini aja ya."Tidak ada ucapan yang keluar dari mulut Rhea. Tangan kirinya yang berada di balik meja meremat ujung blazer yang dikenakannya.Apa yang didengarnya dari balik pintu ruangan Dio kemarin ternyata benar.***-Sehari sebelumnya-Siang itu Naren datang ke ruangan Departemen Finance untuk menyambangi Rhea. Tapi saat melihat kursi ya
-Narendra is calling--Narendra is calling-Rhea terpaku menatap layar ponselnya. Ia mematikan ponselnya, meletakkannya asal di meja dan kembali bergelung di atas kasurnya.Esok ia harus bangun lebih pagi, jauh lebih pagi daripada biasa. Walaupun ia yakin Naren tidak akan lagi menungguinya di depan rumah seperti hari-hari sebelumnya, tapi tetap saja ia tidak rela membuang waktunya untuk meredam kembali perasaannya karena bertemu lelaki itu.Nyatanya, berulang kali Rhea berusaha memejamkan mata, tapi ia tidak benar-benar bisa terlelap.“Udah jam lima aja sih,” gumamnya, rasanya baru sebentar ia tertidur dan kini ia terbangun kembali. Tidak ada waktu baginya untuk bersantai. Rutinitasnya akan berubah total mulai hari ini.Rhea bergegas menuju dapur untuk membuat sarapan simple untuknya. Kerena kerepotannya berkutat di dapur itu lah, ia tidak sadar kalau waktu sudah menunjukkan pukul 06.30 . Padahal ia hanya membuat nasi mentega, scrambled egg, dan tumis labu. Ok, katakanlah itu bukan me
“Ada yang mau pergi sama Danar buat nemenin auditor rekonsiliasi aset nggak?” tanya Dio di depan semua stafnya.Dengan kompaknya semua stafnya menunduk atau berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya.“Sama saya boleh nggak, Pak? Ya meskipun saya belum tau banyak aset yang di kantor pusat.” Rhea dengan refleks langsung berdiri dan menawarkan diri.Dio menatap Rhea tidak yakin. “Tapi pulangnya malem biasanya, Rhe.”“Nggak masalah, Pak.”“Oke kalo gitu. Ke ruangan saya dulu, Rhe.”Rhea sudah bisa memperkirakan apa yang akan disampaikan Dio. Tentunya bukan masalah rekonsiliasi aset, pasti masalah hubungannya dengan Naren.“Masuk, Rhe,” sahut Dio saat Rhea mengetuk pintu ruangannya.Rhea duduk di kursi yang ada di depan Dio.“Are you ok, Rhe?”“Kelihatannya gimana, Pak?” Rhea terkekeh. “Saya nggak serapuh itu, Pak,” ucap Rhea penuh dusta.Katakanlah ia tidak rapuh, hanya hatinya saja masih (sering) terasa seperti diremas ketika mengingat kelakuan sahabat atasannya itu.Dio menghela napas bera