“Jadi jawabannya?”Rhea mengerjapkan matanya, oh bahkan dia belum sempat mandi, haruskah menjawab pertanyaan Naren dengan kondisinya sekarang? Mungkin bisa ditunda nanti saat dia tampil lebih ... rapi.“Aku nanya sekali lagi deh. Kamu tau kan kalo aku bukan anak SMA lagi, yang mau kamu ajak pacaran tiga puluh hari?”Debaran jantung Naren kini menggila, bersusah payah ia menelan ludahnya melihat Rhea yang sedang menatapnya serius.“Kamu tau juga kan hubungan kita nggak akan sama lagi kalau kamu cuma mau mainin perasaanku? Bahkan mungkin jadi temen kayak sekarang pun nggak bisa.”Naren mengangguk pelan. “So?”“Nggak cuma buat tiga puluh hari kan?” tegas Rhea lagi. Tampaknya masih sangat sulit menyaksikan seorang Narendra memintanya menjalin hubungan yang serius.Naren tersenyum sambil mengusap puncak kepala Rhea. “Jadi ini hari pertama kita?”Rhea mengernyitkan dahi dan menatap Naren curiga. “Kok kamu masih ngitungin hari sih? Kayak dulu kita pacaran pas SMA.”“Nggak gitu, cuma mastiin
Naren memarkirkan mobilnya di area parkir Intercontonental Bandung Dago Pakar. Dimas, si mempelai lelaki yang mengadakan acara resepsinya di tempat itu, adalah teman Naren dan Dio saat kuliah di fakultas hukum, tentu saja sebelum Dio memutuskan untuk pindah ke fakultas ekonomi.Dengan refleks, Naren mengulurkan tangannya pada Rhea, berharap wanita itu menerimanya dan tetap berada di sisinya selama acara. Meskipun ia selalu merasa telah mengakhiri hubungan dengan cara yang baik-baik, tapi tetap saja kemungkinan ada hati yang dilukainya. Apalagi jumlah mantannya tidak bisa lagi dihitung dengan jari tangannya.“Harus pegangan tangan?” tanya Rhea yang masih ragu.Anggukan mengiakan dari Naren membuat Rhea akhirnya menerima uluran tangan itu. “Kan kamu pake heels, kalo pas lagi nggak balance biar ada pegangan.”Dio menatap Naren dengan heran. Ia kenal siapa Naren dan ia tahu pasti bagaimana Naren biasanya memperlakukan pacarnya. Biasanya Naren akan membatasi sentuhan fisik dengan pacarnya.
Narendra: Hari ini mau pergi berdua nggak?“Gimana, Pak?” tanya Farhan, staf Naren yang duduk di sampingnya, namun pertanyaannya tak juga mendapat jawaban dari Naren. Karenanya, ia mengulangnya sekali lagi dengan (sedikit) mengeraskan suaranya. “Pak Naren. Gimana, Pak?”“Oh, sorry, sorry. Tadi kamu ngomong apa?”Farhan menghela napas, ingin marah pun ia tidak bisa. Naren atasannya sekaligus keluarga pemilik perusahaan. Entah kenapa Farhan benar-benar merasakan perbedaan Naren selama meeting berlangsung, fokusnya seakan terpecah dengan hal lain.Hari kedua Naren resmi berstatus pacar Rhea. Sejak pagi ia berkali-kali mengirim pesan tidak penting pada Rhea. Bahkan di saat meeting seperti ini, ia masih sempat mengutak-atik ponselnya dan mengirim pesan ajakan kencan ke Rhea.Rhea: Sebenernya masih agak capek sih.Rhea: Tapi nggak apa-apa kalau mau makan malam aja, asal jangan jauh-jauh trus pulangnya juga nggak malem-malem.Kini Rhea terbiasa membalas pesan Naren lebih panjang, meskipun ka
“Bukan salah aku nggak pamit, kamu yang ngilang. Jadi, kamu ke mana waktu itu?” tanya Rhea dengan tatapan penuh tanya.Naren ikut mengorek kembali kenangannya, ‘Waktu itu ... waktu Zanna tiba-tiba kembali,’ benaknya menemukan potongan memori.“Hmm ... ke mana ya? Lupa,” jawabnya beberapa saat kemudian, mencoba menetralkan ekspresinya.“Iiih, diinget-inget lagi coba, masa ngilang berhari-hari nggak inget ke mana, sampe nggak masuk sekolah loh. Seorang Narendra, mantan ketua OSIS, murid teladan, juara sekolah, nggak masuk sekolah, izinnya alasan keluarga. Tapi aku ke rumahmu, Bi Sri juga nggak tau kamu ke mana.”Naren terkekeh. “Iya iya aku yang salah karena ngilang, sampe kamu nggak bisa pamit.” Naren bangkit dari duduknya. “Aku pulang ya, udah malem, nggak enak sama tetangga.”“Ih bisa aja ngelesnya.”“Beneran, mau besok telat ngantor?”“Iya, iya, pulang gih. Hati-hati.”Naren kembali terbahak. “Itu rumahku kelihatan loh dari sini.”“Oh iya. Ya tetep aja nyeberangnya tengok kanan kiri
Baru kali ini Naren merasakan gelisah ketika berhadapan dengan wanita. Ia mengambil selembar tisu untuk mengusap tangannya yang mulai basah berkeringat.Rhea menatap Naren dengan gamang. Ingin rasanya ia berteriak. Tapi bahkan untuk bicara pun lidahnya sudah terlalu kaku. Hanya harapan yang bisa ia ucapkan dalam hati. 'Don't say it! Please, don't say it!' ulangnya berkali-kali."Rhe .... Aku bahagia waktu sama kamu. Kamu percaya kan?"Rhea tidak mengiakan dan tidak pula membantah."Tapi kayaknya aku ...." Naren tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Ia menarik napas berkali-kali tapi tetap saja terasa berat mengucapkannya. "Hubungan kita ... sampe di sini aja ya."Tidak ada ucapan yang keluar dari mulut Rhea. Tangan kirinya yang berada di balik meja meremat ujung blazer yang dikenakannya.Apa yang didengarnya dari balik pintu ruangan Dio kemarin ternyata benar.***-Sehari sebelumnya-Siang itu Naren datang ke ruangan Departemen Finance untuk menyambangi Rhea. Tapi saat melihat kursi ya
-Narendra is calling--Narendra is calling-Rhea terpaku menatap layar ponselnya. Ia mematikan ponselnya, meletakkannya asal di meja dan kembali bergelung di atas kasurnya.Esok ia harus bangun lebih pagi, jauh lebih pagi daripada biasa. Walaupun ia yakin Naren tidak akan lagi menungguinya di depan rumah seperti hari-hari sebelumnya, tapi tetap saja ia tidak rela membuang waktunya untuk meredam kembali perasaannya karena bertemu lelaki itu.Nyatanya, berulang kali Rhea berusaha memejamkan mata, tapi ia tidak benar-benar bisa terlelap.“Udah jam lima aja sih,” gumamnya, rasanya baru sebentar ia tertidur dan kini ia terbangun kembali. Tidak ada waktu baginya untuk bersantai. Rutinitasnya akan berubah total mulai hari ini.Rhea bergegas menuju dapur untuk membuat sarapan simple untuknya. Kerena kerepotannya berkutat di dapur itu lah, ia tidak sadar kalau waktu sudah menunjukkan pukul 06.30 . Padahal ia hanya membuat nasi mentega, scrambled egg, dan tumis labu. Ok, katakanlah itu bukan me
“Ada yang mau pergi sama Danar buat nemenin auditor rekonsiliasi aset nggak?” tanya Dio di depan semua stafnya.Dengan kompaknya semua stafnya menunduk atau berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya.“Sama saya boleh nggak, Pak? Ya meskipun saya belum tau banyak aset yang di kantor pusat.” Rhea dengan refleks langsung berdiri dan menawarkan diri.Dio menatap Rhea tidak yakin. “Tapi pulangnya malem biasanya, Rhe.”“Nggak masalah, Pak.”“Oke kalo gitu. Ke ruangan saya dulu, Rhe.”Rhea sudah bisa memperkirakan apa yang akan disampaikan Dio. Tentunya bukan masalah rekonsiliasi aset, pasti masalah hubungannya dengan Naren.“Masuk, Rhe,” sahut Dio saat Rhea mengetuk pintu ruangannya.Rhea duduk di kursi yang ada di depan Dio.“Are you ok, Rhe?”“Kelihatannya gimana, Pak?” Rhea terkekeh. “Saya nggak serapuh itu, Pak,” ucap Rhea penuh dusta.Katakanlah ia tidak rapuh, hanya hatinya saja masih (sering) terasa seperti diremas ketika mengingat kelakuan sahabat atasannya itu.Dio menghela napas bera
Rhea: Kai sarapan di kantin nggak?Kaira: IyaKaira: Udah hampir nyampe kantor kok iniRhea: BarengRhea: Aku udah di parkiranRhea: Yang duluan sampe cari tempat yaKaira: OkRhea melangkah cepat menuju kantin kantor. Masih pagi memang, tapi kalau ia ingin mendapatkan meja ternyaman yang biasanya ia tempati bersama Kaira, maka ia harus bergegas.“Tumben, Rhe. Belakangan ini kamu berangkat pagi,” sindir Kaira begitu menemukan Rhea tengah duduk meminum es teh manis di depannya. Biasanya Kaira yang bertugas mencari meja karena jarak dari kost ke kantornya lumayan dekat.Rhea berusaha memberikan alasan yang paling masuk akal menurutnya karena ia belum menceritakan apa pun tentang hubungannya dengan Naren kepada Kaira. “Macet, males berangkat siang.”“Udah bawa mobil sendiri ya? Pak Naren ke mana emangnya?”Rhea mengedikkan bahu.“Berantem?” tanya Kaira penuh selidik.“Udah putus,” jawab Rhea singkat dan agak lirih, khawatir ada orang lain yang mendengarnya.Kaira menatap Rhea serius. “Ka
“Dek.” Rhea menatap anak bungsunya yang terlihat pucat. “Kenapa, Dek?”Yara menunjuk ke dadanya, ditambah dengan suara napasnya yang tersendat.Dengan panik, Rhea menghubungi Ega untuk mendapatkan pertolongan pertama untuk Yara.Syukurnya, dalam beberapa dering, Ega langung mengangkat sambungan telepon dari Rhea.“Ga. Yara, Ga.”“Kenapa, Rhe? Yara kenapa? Ceritain kondisinya.”“Dia lagi main di deket kolam renang, kucingnya dia kepleset masuk ke kolam renang, Yara ketakutan, trus nangis, sekarang dia pucet banget, napasnya mengi. Aku mesti gimana?”“Bikin Yara duduk tegak, arahin Yara buat narik napas panjang, berulang-ulang sampai normal lagi. Abis itu, kalo udah mulai normal, kasih air anget ya. Aku on the way ke sana.”Rhea memutus sambungan telepon, kemudian melakukan apa yang disarankan Ega. “Dek, ikutin Mama ya. Tarik napas ….”***Mobil Naren memasuki pelataran rumahnya bertepatan dengan sebuah mobil sedan hitam keluar. Dengan penasaran, Naren bertanya kepada security rumahnya.
Aileen dan Ervin masuk ke dalam rumah sambil terbahak membicarakan uang jajan Ervin yang habis karena harus menyuap semua teman sekelasnya demi melindungi ia yang bolos setengah jam pelajaran olahraga.“Lagian pake cabut.” Aileen puas tertawa.Sedari kecil mereka sadar kalau kondisi keluarga mereka jauh di atas rata-rata. Mereka hidup berkecukupan. Apa yang mereka mau sebenarnya bisa dituruti orang tua mereka, tapi orang tua mereka memilih untuk tidak melakukannya.Sejak kelas 1 SMP mereka masing-masing diberikan uang saku per minggu. Hal itu sudah berlangsung sejak era Aileen, sekarang Ervin, dan mungkin nanti hingga Yara.Dan saat itu masih hari selasa, ketika Ervin menghabiskan jatah seminggunya.“Gantiin kek, Kak. Aku kan bantuin Kakak.”“Enak aja. Nggak ada yang minta bantuan kok,” sahut Aileen cuek, walau tentu saja Aileen tidak akan membiarkan Ervin gigit jari di sekolah karena kehabisan uang jajan.“Ck! Uang tabunganku buat beli PS, Kak.”“Pilih game apa pilih makan di kantin?
“Vin, kakak lo dipepet sama kakak kelas di deket gudang buat nyimpen alat olahraga.”Saat itu Ervin masih duduk di kelas 1 SMP ketika mendapat laporan dari temannya. Usianya yang hanya berbeda lima belas bulan dengan kakaknya membuat mereka bersekolah di tempat yang sama, beda satu tingkat.Aileen duduk di kelas 3 SMP dan … memiliki musuh bertebaran. Ervin tidak kaget lagi untuk satu hal ini. Ucapan kakaknya yang sepedas cabe dan kegalakan kakaknya yang mengalahkan satpam komplek, tentu saja membuatnya memiliki banyak musuh, baik dari makhluk berjenis kelamin perempuan, maupun lawan jenis.“Cewek apa cowok yang mepet kakak gue?” Karen Ervin yakin kakaknya itu mampu kalau hanya mengatasi sekumpulan gadis puber yang biasa melabraknya karena gebetan mereka naksir berat dengan Aileen dan segala keangkuhannya.“Cowok, dua orang.”Ervin langsung melemparkan bola basket yang sedang ia mainkan. Kelasnya memang sedang ada jam perlajaran olahraga, karena itu ia bingung kenapa kakaknya bisa dipe
"Ibu ... Neng Aileen, Bu."Ucapan dari ujung sambungan telepon itu membuat Rhea langsung tersadar bahwa ada yang tidak beres dengan anaknya."Aileen kenapa, Mbak?" tanya Rhea kepada baby sitter yang biasa menjemput anak-anaknya saat ia tidak bisa menjemput. Seperti kali ini Rhea terpaksa meminta baby sitter untuk menjemput Aileen dan Ervin karena Yara sedang sakit."Neng Aileen nggak ada di sekolahannya."Jantung Rhea serasa mencelos saat mendengarnya. "Mbak udah nanya ke temen-temennya? Ke gurunya?""Sudah, Bu. Ini sekolahan udah hampir sepi, tapi nggak ada yang tau Neng Aileen di mana.""Ervin gimana?" tanya Rhea berusaha menutupi paniknya."Mas Ervin sudah di mobil, Bu.""Kamu minta supir pulang nganter Ervin ya. Kamu di situ dulu, cari di sekitaran sekolah, tanya sama temen-temennya, saya langsung jalan ke sana.""Iya, Bu."Rhea menghela napas, mencoba menenangkan diri walau rasanya sulit. Setelah menitipkan Yara yang sedang demam pada baby sitter, Rhea segera berlari, mengambil k
"Ya ampun Nareeen, kamu tu nggak bisa nahan apa gimana sih? Kasihan kan Aileen masih nyusu, terus sekarang Rhea isi lagi. Mana kemaren pas Aileen kan operasi. Cek ke dokter, pastiin ini bahaya apa nggak."Pukulan bertubi-tubi dan ocehan panjang lebar didapatkan Naren dari tantenya yang langsung terbang ke Jakarta saat mendengar kabar Rhea hamil (lagi).Sementara Naren yang menjadi bulan-bulanan tantenya hanya tersenyum bangga, bukannya merasa bersalah. "Udah ke dokter kok, Mi. Biar rumahnya rame."Adila menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan kesal. Kemudian ia mendekat ke sisi Rhea yang sedang menyusui Aileen di atas kasur, yang kadang terkikik mendengar perdebatan unfaedah suami dan tantenya."Rhea lagi pengen sesuatu nggak?""Pengen gelato, Mi.""Naren, tuh denger, Rhea pengen gelato.""Di mana, Sayang? Biar Mas cariin."Rhea menggeleng. "Nggak tau aku."Adila mencebik kesal melihat Naren hanya garuk-garuk kepala. "Udah sana, cari aja di google di mana gelato terenak se-Jakar
"Sayang ...." Naren terdiam sesaat. Sebenarnya ia masih ragu untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya."Kenapa?" Rhea menjawab sambil lalu karena dia juga sedang berkutat memakaikan baju Aileen yang baru saja dimandikan.Sudah seminggu mereka tinggal di kediaman Candra. Rumah itu memang tidak ada yang menempati setelah Aditama pindah ke Dieng dan Adityo memilih tinggal sendiri di rumahnya. Aditama sendiri belum tega menjual atau menyewakan rumah itu. Karenanya, Aditama benar-benar memohon kepada cucu dan cucu menantunya itu agar menempati kediaman keluarga mereka, tidak perlu lagi mencari rumah.Naren mendekat, sambil menowel pipi Aileen dengan gemasnya, mencoba berbicara dengan istrinya. Biasanya mood Rhea lebih bagus kalau Aileen sedang tidak rewel. "Aku nggak tau terlalu cepet atau nggak aku ngomong gini. Tapi kayaknya mulai kita perlu pikirin. Kamu ... setelah ini mau berhenti ngurus Amigos atau gimana?"Rhea melirik suaminya sekilas, tapi kemudian perhatiannya kembali
“Mau kubantuin?” tanya Naren saat melihat istrinya berjalan tertatih menuju kamar mandi.Hari itu Rhea baru saja keluar dari rumah sakit. Dia sudah bisa berjalan tanpa bantuan, tapi memang harus pelan-pelan karena jahitannya masih terasa sakit. Naren mengambil cuti dadakan setelah kelahiran Aileen dan setia menemani Rhea dalam masa pemulihan sambil mencoba mengurus Aileen, walaupun masih terlihat sangat canggung.“Bisa sendiri kok, jagain Aileen aja. Nanti kalo nangis dan kamu nggak bisa nenangin, panggil Mama aja, Mas. Aku agak lama kayaknya di kamar mandi.”Naren mengangguk. “Nggak usah dikunci pintunya, kalo butuh bantuan, teriak aja.”“Iya.”Mereka memang tinggal di rumah orang tua Rhea untuk sementara. Seperti umumnya seorang wanita yang baru melahirkan, Rhea juga ingin berada di dekat mamanya untuk mendapatkan perhatian dan bimbingan dari mamanya. Bukan berarti ART di kediaman Candra tidak ada yang mengerti bagaimana mengurus anak, tapi tetap saja menurut Rhea rasanya berbeda de
Tubuh Rhea melemas dan jantungnya mulai berdebar kencang saat menyadari apa yang terjadi padanya.Ia mencoba untuk tenang, walaupun rasanya sangat sulit. Sekarang baru ia tahu bagaimana rasanya mengkhawatirkan orang lain melebihi dirinya sendiri. Ya, dia jauh lebih khawatir pada keadaan janinnya dibanding dirinya sendiri.Rhea lantas meraih ponsel yang ada di atas meja, mencoba menghubungi dokter kandungannya. Untungnya dokter itu mengangkat panggilannya setelah dering ketiga. Rhea menceritakan semuanya, dan setelah sambungan itu berakhir, ia langsung beralih menekan nomor ponsel suaminya.Naren tidak langsung menjawab teleponnya. Memang saat itu belum masuk jam makan siang, jadi mungkin saja suaminya sedang meeting.Di saat Rhea mengatur napasnya untuk menenangkan diri dan agar tidak terdengar panik, Naren pun mengangkat teleponnya."Iya, Sayang?""Mas lagi apa?""Kerja lah. Masa jalan-jalan ke mall?" jawab Naren terkekeh. "Kenapa?""Mas kira-kira kalo ke sini butuh berapa lama?""Hm
"Sayang, dua minggu lagi perusahaan ngadain dinner party. Perayaan tiga proyek baru kita."Intro pembicaraan yang membuat Rhea bertanya-tanya, apa yang selanjutnya akan diucapkan suaminya."Aku mau ngajak kamu tapi ... udah deket HPL-mu.""HPL-ku kan masih sebulan lagi, Mas.""Iya tapi kan itu riskan banget, tinggal dua minggu sebelum HPL kan.""Jadi aku nggak diajak?" Bukannya Rhea suka datang ke pesta-pesta. Tapi belakangan ini dia suka resah kalau ditinggal Naren, apalagi saat malam hari."Kamu mau ikut? Beneran nggak apa-apa? Nggak bakal kecapekan?""Mau ikut. Anggep aja terakhir sebelum lahiran. Boleh? Atau kamu malu?"Naren mengusapi puncak kepala istrinya. "Ngomong apa sih? Baper banget sejak hamil. Nggak mungkin aku malu ngajak kamu. Aku cuma beneran takut kamu capek."Rhea tidak menjawab lagi. Ia memberi waktu dan membiarkan suaminya mengambil keputusan."Ya udah, kita booking satu kamar aja buat istirahat kalau kamu kecapekan. Tapi kamu tetep nggak boleh pake heels ya. Aku n