Rhea: Kai sarapan di kantin nggak?Kaira: IyaKaira: Udah hampir nyampe kantor kok iniRhea: BarengRhea: Aku udah di parkiranRhea: Yang duluan sampe cari tempat yaKaira: OkRhea melangkah cepat menuju kantin kantor. Masih pagi memang, tapi kalau ia ingin mendapatkan meja ternyaman yang biasanya ia tempati bersama Kaira, maka ia harus bergegas.“Tumben, Rhe. Belakangan ini kamu berangkat pagi,” sindir Kaira begitu menemukan Rhea tengah duduk meminum es teh manis di depannya. Biasanya Kaira yang bertugas mencari meja karena jarak dari kost ke kantornya lumayan dekat.Rhea berusaha memberikan alasan yang paling masuk akal menurutnya karena ia belum menceritakan apa pun tentang hubungannya dengan Naren kepada Kaira. “Macet, males berangkat siang.”“Udah bawa mobil sendiri ya? Pak Naren ke mana emangnya?”Rhea mengedikkan bahu.“Berantem?” tanya Kaira penuh selidik.“Udah putus,” jawab Rhea singkat dan agak lirih, khawatir ada orang lain yang mendengarnya.Kaira menatap Rhea serius. “Ka
Naren masih menatap Danar dengan tatapan intimidatifnya.“Saya nggak ada apa-apa sama Rhea, Pak. Sumpah.” Danar kemudian menunjukkan cincin di jari manis tangan kirinya. “Saya udah tunangan, Pak. Bentar lagi nikah.”Naren mengangguk paham, dan baru tersadar kalau tujuannya ke ruangan Departemen Finance sore itu adalah untuk menemui Rhea—yang kini entah pergi ke mana. Ia berbalik dan melangkah cepat, mencoba menyusul Rhea. Beruntung, wanita itu masih terlihat ketika Naren keluar dari Departemen Finance.Rhea memasuki toilet wanita dengan bersungut-sungut. Sambil mencuci muka dan bercermian, ia berpikir kembali, apakah tingkahnya kekanakan dengan mengabaikan Naren?Tapi hanya itu yang bisa dilakukannya selagi ia menyembuhkan luka dan menata hatinya lagi.Setelah mengambil selembar tisu dan mengusap sisa-sisa air di wajahnya, Rhea menghela napas kemudian mengembuskannya. Ia tahu kemungkinan besar Naren masih mencarinya.“Rhe.”Benar yang diperkirakan Rhea, bahkan lelaki yang dihindarinya
Rhea mengernyitkan dahi. “Panjang nggak yang mau diomongin?” tanya Rhea dengan nada dingin.“Panjang.” Naren mengumpati dirinya sendiri dalam hati. Sudah syukur Rhea mau bicara padanya, dan kini ia seakan tidak tahu malu meminta waktu lebih dari Rhea.“Aku nggak ada waktu kalo gitu.” Rhea mengangkat pesanan makanannya yang menandakan ia harus segera menyantapnya sebelum makanan di tangannya dingin.“Pendek aja kalo gitu.” Naren segera meralat ucapannya, khawatir Rhea meninggalkannya lagi.“Ya udah, silakan ngomong.”“Di sini?”“Iya. Di mana lagi? Kamu nggak berharap aku mempersilakanmu masuk trus nyediain minuman selagi kita ngobrol kan?” Rhea tersenyum hanya dengan menaikkan satu sudut bibirnya.Naren terhenyak mendengar pedasnya ucapan Rhea. Tapi dia bisa berharap apa, di depannya berdiri wanita yang baru beberapa minggu lalu ia sakiti.“Ok. Tujuanku kali ini untuk minta maaf sama kamu.”“Minta maaf buat kesalahan apa?”"Karena aku nggak bilang ke kamu kalau hubungan kita cuma ... u
"Hei, kita mau liburan loh, malah ngelamun." Leny melambaikan tangannya tepat di depan muka Rhea yang hanya diam dengan tatapan kosong.Rhea, Leny, dan Amee, kini tengah berada di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, menanti saat boarding dengan menikmati kopi dan camilan di salah satu coffee shop."Iya nih, kita kan mau ngobatin sakit hati lo, Ngga. Lo yang ikhlas dong, lepaskan semua beban, biar totalitas liburannya."Rhea tersenyum nanar. Bagaimana dia bisa menikmati liburan itu kalau ia selalu membayangkan apa yang akan dihadapinya setelah ia kembali masuk kerja nanti.***-Beberapa hari sebelumnya-“Katanya aku nggak boleh deketin kamu, tapi sekarang malah kamu yang datang sendiri ke sini.” Naren terkekeh menatap reaksi Rhea yang semakin terlihat kesal karena ucapannya.Rhea memicingkan mata dengan kesal saat Naren terkekeh. "Permisi, Pak," ucapnya demi membangun dinding pembatas tak kasat mata."Duduk." Naren bangkit dari kursi kerjanya dan menggiring Rhea ke sofa. Kalau Rhea beru
“Mbak, pada mau naik bukit nggak, Mbak? View-nya bagus banget loh, sayang kalo nggak ke sana.""Mauuu!" teriak ketiganya nyaris bersamaan.Agus tersenyum melihat antusias ketiga wanita yang menjadi tamunya itu. "Kalo gitu kita ke Bukit Marese dulu ya, Mbak. Deket kok dari sini."Benar saja, tidak sampai sepuluh menit, Agus menepikan kendaraannya di dekat sebuah warung.Di tengah teriknya cuaca siang itu, Rhea, Amee, dan Leny disibukkan dengan mengoles sunscreen ke seluruh permukaan kulit yang akan terpapar matahari. Baru setelahnya mereka memulai perjalanan mendaki bukit. Well, entah lah itu bisa disebut mendaki atau tidak, karena pada kenyataannya, dalam waktu lima menit mereka sudah tiba di puncak bukit, dengan view hamparan perbukitan di sekitarnya dan bentangan laut berwarna biru jernih. Untungnya lagi, sedang tidak ada seorang pun di atas bukit itu selain mereka. Siapa pula wisatawan yang mau naik ke atas bukit siang bolong, kecuali mereka tentunya."Saya fotoin yuk, Mbak." Agus
“Rhe.”“Terlalu kebetulan nggak sih kamu ada di sini juga?”“Jingga ... lama banget sih, buruan taro barangnya, kan mau snorkeling kita.” Leny berjalan tergesa keluar dari villa demi menyusul Rhea yang tak kunjung masuk.Seperti Rhea, matanya juga membulat sempurna saat melihat Naren di hadapannya.Kecanggungan yang terjadi di antara mereka benar-benar membuat tidak nyaman.'Mampus gue! Kenapa dia di sini?' batin Leny.“Pak Naren!” seru Agus yang tiba-tiba muncul di belakang Leny.“Kok Mas Agus kenal sama dia?” tanya Rhea penuh selidik.“Pak Naren setiap liburan ke Lombok selalu make jasa saya, Mbak,” terang Agus. “Tapi kok ini tumben bapaknya tiba-tiba udah ada di sini?"Rhea mengernyit bingung."Udah udah, masukin dulu barang lo ke dalam. Kecuali lo mau berduaan di sini."Ucapan Leny seakan menyadarkan Rhea. Ia menyeret kopernya ke dalam villa dan meninggalkan Naren.Leny memastikan Rhea tidak lagi berada di sekitarnya ketika ia berkata pelan kepada Naren, "Berlaku normal aja. Mas A
“Kalian udah makan?”Naren menghampiri villa yang ditempati Rhea dan kedua temannya demi memastikan keadaan mereka.“Belum. Jingga udah tidur. Kita ragu mau bangunin atau gimana,” jawab Amee.“Kalian nggak berminat ikutan night party di sini kan?”Leny menggeleng tegas.“Ya udah kalian nggak usah ke mana-mana. Gue beliin makanan dulu. Siapa tau nanti Rhea bangun pas laper.”Amee dan Leny membiarkan saja Naren pergi dari hadapan mereka.Setengah jam kemudian baru Naren kembali dengan membawa dua kantung kresek berisi penuh makanan.“Malam ini jangan ke mana-mana, isinya juga cuma bule party doang. Kalo mau jalan-jalan besok pagi aja. Biar disiapin sepeda sama Mas Agus,” perintah Naren.Keduanya tidak bisa berkutik, Naren memang luwes dan ramah dalam pergaulan, tapi ada saat-saat ia mengeluarkan aura intimidatifnya. Seperti saat ini dan saat mereka ingin memaki-maki Naren di depan rumah Rhea, yang berakhir gagal total.***-Beberapa hari sebelumnya, yang terjadi ketika Leny dan Amee ber
Rhea masih berusaha menahan dirinya agar tetap berdiri tegak, meskipun rasanya ia kini butuh penopang karena lututnya seperti tak bertulang.Lelaki itu—Brama—masih beramah tamah dengan Naren yang diyakininya bisa membuat hidupnya jauh lebih baik dari saat ini. Ia terus berusaha memberikan kesan baik agar Naren bisa mempercayainya, dan lebih bagus lagi kalau bisa mengajaknya ke Candra Group.Berusaha tidak terlihat, itu lah yang kini sedang diusahakan Rhea. Ia lantas melirik sekitar dan bergeser ke belakang Rafli. Sosok Rafli yang tinggi dan sedikit berisi setidaknya bisa menutupinya dari pandangan Brama, kalau-kalau fokus Brama sudah tidak hanya kepada Naren lagi.Sialnya, Rusdi memercayakan Brama—yang paling muda di antara mereka—untuk menunjukkan tempat yang akan digunakan Naren beserta timnya, sekaligus untuk berkeliling.“Mari, Pak,” ajak Brama kepada Naren.Sebelumnya, Brama hanya melirik sekilas dan mengangguk singkat kepada anggota tim Naren. Hal itu membuat Rhea menghembuskan
“Dek.” Rhea menatap anak bungsunya yang terlihat pucat. “Kenapa, Dek?”Yara menunjuk ke dadanya, ditambah dengan suara napasnya yang tersendat.Dengan panik, Rhea menghubungi Ega untuk mendapatkan pertolongan pertama untuk Yara.Syukurnya, dalam beberapa dering, Ega langung mengangkat sambungan telepon dari Rhea.“Ga. Yara, Ga.”“Kenapa, Rhe? Yara kenapa? Ceritain kondisinya.”“Dia lagi main di deket kolam renang, kucingnya dia kepleset masuk ke kolam renang, Yara ketakutan, trus nangis, sekarang dia pucet banget, napasnya mengi. Aku mesti gimana?”“Bikin Yara duduk tegak, arahin Yara buat narik napas panjang, berulang-ulang sampai normal lagi. Abis itu, kalo udah mulai normal, kasih air anget ya. Aku on the way ke sana.”Rhea memutus sambungan telepon, kemudian melakukan apa yang disarankan Ega. “Dek, ikutin Mama ya. Tarik napas ….”***Mobil Naren memasuki pelataran rumahnya bertepatan dengan sebuah mobil sedan hitam keluar. Dengan penasaran, Naren bertanya kepada security rumahnya.
Aileen dan Ervin masuk ke dalam rumah sambil terbahak membicarakan uang jajan Ervin yang habis karena harus menyuap semua teman sekelasnya demi melindungi ia yang bolos setengah jam pelajaran olahraga.“Lagian pake cabut.” Aileen puas tertawa.Sedari kecil mereka sadar kalau kondisi keluarga mereka jauh di atas rata-rata. Mereka hidup berkecukupan. Apa yang mereka mau sebenarnya bisa dituruti orang tua mereka, tapi orang tua mereka memilih untuk tidak melakukannya.Sejak kelas 1 SMP mereka masing-masing diberikan uang saku per minggu. Hal itu sudah berlangsung sejak era Aileen, sekarang Ervin, dan mungkin nanti hingga Yara.Dan saat itu masih hari selasa, ketika Ervin menghabiskan jatah seminggunya.“Gantiin kek, Kak. Aku kan bantuin Kakak.”“Enak aja. Nggak ada yang minta bantuan kok,” sahut Aileen cuek, walau tentu saja Aileen tidak akan membiarkan Ervin gigit jari di sekolah karena kehabisan uang jajan.“Ck! Uang tabunganku buat beli PS, Kak.”“Pilih game apa pilih makan di kantin?
“Vin, kakak lo dipepet sama kakak kelas di deket gudang buat nyimpen alat olahraga.”Saat itu Ervin masih duduk di kelas 1 SMP ketika mendapat laporan dari temannya. Usianya yang hanya berbeda lima belas bulan dengan kakaknya membuat mereka bersekolah di tempat yang sama, beda satu tingkat.Aileen duduk di kelas 3 SMP dan … memiliki musuh bertebaran. Ervin tidak kaget lagi untuk satu hal ini. Ucapan kakaknya yang sepedas cabe dan kegalakan kakaknya yang mengalahkan satpam komplek, tentu saja membuatnya memiliki banyak musuh, baik dari makhluk berjenis kelamin perempuan, maupun lawan jenis.“Cewek apa cowok yang mepet kakak gue?” Karen Ervin yakin kakaknya itu mampu kalau hanya mengatasi sekumpulan gadis puber yang biasa melabraknya karena gebetan mereka naksir berat dengan Aileen dan segala keangkuhannya.“Cowok, dua orang.”Ervin langsung melemparkan bola basket yang sedang ia mainkan. Kelasnya memang sedang ada jam perlajaran olahraga, karena itu ia bingung kenapa kakaknya bisa dipe
"Ibu ... Neng Aileen, Bu."Ucapan dari ujung sambungan telepon itu membuat Rhea langsung tersadar bahwa ada yang tidak beres dengan anaknya."Aileen kenapa, Mbak?" tanya Rhea kepada baby sitter yang biasa menjemput anak-anaknya saat ia tidak bisa menjemput. Seperti kali ini Rhea terpaksa meminta baby sitter untuk menjemput Aileen dan Ervin karena Yara sedang sakit."Neng Aileen nggak ada di sekolahannya."Jantung Rhea serasa mencelos saat mendengarnya. "Mbak udah nanya ke temen-temennya? Ke gurunya?""Sudah, Bu. Ini sekolahan udah hampir sepi, tapi nggak ada yang tau Neng Aileen di mana.""Ervin gimana?" tanya Rhea berusaha menutupi paniknya."Mas Ervin sudah di mobil, Bu.""Kamu minta supir pulang nganter Ervin ya. Kamu di situ dulu, cari di sekitaran sekolah, tanya sama temen-temennya, saya langsung jalan ke sana.""Iya, Bu."Rhea menghela napas, mencoba menenangkan diri walau rasanya sulit. Setelah menitipkan Yara yang sedang demam pada baby sitter, Rhea segera berlari, mengambil k
"Ya ampun Nareeen, kamu tu nggak bisa nahan apa gimana sih? Kasihan kan Aileen masih nyusu, terus sekarang Rhea isi lagi. Mana kemaren pas Aileen kan operasi. Cek ke dokter, pastiin ini bahaya apa nggak."Pukulan bertubi-tubi dan ocehan panjang lebar didapatkan Naren dari tantenya yang langsung terbang ke Jakarta saat mendengar kabar Rhea hamil (lagi).Sementara Naren yang menjadi bulan-bulanan tantenya hanya tersenyum bangga, bukannya merasa bersalah. "Udah ke dokter kok, Mi. Biar rumahnya rame."Adila menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan kesal. Kemudian ia mendekat ke sisi Rhea yang sedang menyusui Aileen di atas kasur, yang kadang terkikik mendengar perdebatan unfaedah suami dan tantenya."Rhea lagi pengen sesuatu nggak?""Pengen gelato, Mi.""Naren, tuh denger, Rhea pengen gelato.""Di mana, Sayang? Biar Mas cariin."Rhea menggeleng. "Nggak tau aku."Adila mencebik kesal melihat Naren hanya garuk-garuk kepala. "Udah sana, cari aja di google di mana gelato terenak se-Jakar
"Sayang ...." Naren terdiam sesaat. Sebenarnya ia masih ragu untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya."Kenapa?" Rhea menjawab sambil lalu karena dia juga sedang berkutat memakaikan baju Aileen yang baru saja dimandikan.Sudah seminggu mereka tinggal di kediaman Candra. Rumah itu memang tidak ada yang menempati setelah Aditama pindah ke Dieng dan Adityo memilih tinggal sendiri di rumahnya. Aditama sendiri belum tega menjual atau menyewakan rumah itu. Karenanya, Aditama benar-benar memohon kepada cucu dan cucu menantunya itu agar menempati kediaman keluarga mereka, tidak perlu lagi mencari rumah.Naren mendekat, sambil menowel pipi Aileen dengan gemasnya, mencoba berbicara dengan istrinya. Biasanya mood Rhea lebih bagus kalau Aileen sedang tidak rewel. "Aku nggak tau terlalu cepet atau nggak aku ngomong gini. Tapi kayaknya mulai kita perlu pikirin. Kamu ... setelah ini mau berhenti ngurus Amigos atau gimana?"Rhea melirik suaminya sekilas, tapi kemudian perhatiannya kembali
“Mau kubantuin?” tanya Naren saat melihat istrinya berjalan tertatih menuju kamar mandi.Hari itu Rhea baru saja keluar dari rumah sakit. Dia sudah bisa berjalan tanpa bantuan, tapi memang harus pelan-pelan karena jahitannya masih terasa sakit. Naren mengambil cuti dadakan setelah kelahiran Aileen dan setia menemani Rhea dalam masa pemulihan sambil mencoba mengurus Aileen, walaupun masih terlihat sangat canggung.“Bisa sendiri kok, jagain Aileen aja. Nanti kalo nangis dan kamu nggak bisa nenangin, panggil Mama aja, Mas. Aku agak lama kayaknya di kamar mandi.”Naren mengangguk. “Nggak usah dikunci pintunya, kalo butuh bantuan, teriak aja.”“Iya.”Mereka memang tinggal di rumah orang tua Rhea untuk sementara. Seperti umumnya seorang wanita yang baru melahirkan, Rhea juga ingin berada di dekat mamanya untuk mendapatkan perhatian dan bimbingan dari mamanya. Bukan berarti ART di kediaman Candra tidak ada yang mengerti bagaimana mengurus anak, tapi tetap saja menurut Rhea rasanya berbeda de
Tubuh Rhea melemas dan jantungnya mulai berdebar kencang saat menyadari apa yang terjadi padanya.Ia mencoba untuk tenang, walaupun rasanya sangat sulit. Sekarang baru ia tahu bagaimana rasanya mengkhawatirkan orang lain melebihi dirinya sendiri. Ya, dia jauh lebih khawatir pada keadaan janinnya dibanding dirinya sendiri.Rhea lantas meraih ponsel yang ada di atas meja, mencoba menghubungi dokter kandungannya. Untungnya dokter itu mengangkat panggilannya setelah dering ketiga. Rhea menceritakan semuanya, dan setelah sambungan itu berakhir, ia langsung beralih menekan nomor ponsel suaminya.Naren tidak langsung menjawab teleponnya. Memang saat itu belum masuk jam makan siang, jadi mungkin saja suaminya sedang meeting.Di saat Rhea mengatur napasnya untuk menenangkan diri dan agar tidak terdengar panik, Naren pun mengangkat teleponnya."Iya, Sayang?""Mas lagi apa?""Kerja lah. Masa jalan-jalan ke mall?" jawab Naren terkekeh. "Kenapa?""Mas kira-kira kalo ke sini butuh berapa lama?""Hm
"Sayang, dua minggu lagi perusahaan ngadain dinner party. Perayaan tiga proyek baru kita."Intro pembicaraan yang membuat Rhea bertanya-tanya, apa yang selanjutnya akan diucapkan suaminya."Aku mau ngajak kamu tapi ... udah deket HPL-mu.""HPL-ku kan masih sebulan lagi, Mas.""Iya tapi kan itu riskan banget, tinggal dua minggu sebelum HPL kan.""Jadi aku nggak diajak?" Bukannya Rhea suka datang ke pesta-pesta. Tapi belakangan ini dia suka resah kalau ditinggal Naren, apalagi saat malam hari."Kamu mau ikut? Beneran nggak apa-apa? Nggak bakal kecapekan?""Mau ikut. Anggep aja terakhir sebelum lahiran. Boleh? Atau kamu malu?"Naren mengusapi puncak kepala istrinya. "Ngomong apa sih? Baper banget sejak hamil. Nggak mungkin aku malu ngajak kamu. Aku cuma beneran takut kamu capek."Rhea tidak menjawab lagi. Ia memberi waktu dan membiarkan suaminya mengambil keputusan."Ya udah, kita booking satu kamar aja buat istirahat kalau kamu kecapekan. Tapi kamu tetep nggak boleh pake heels ya. Aku n