“Rhe.”“Terlalu kebetulan nggak sih kamu ada di sini juga?”“Jingga ... lama banget sih, buruan taro barangnya, kan mau snorkeling kita.” Leny berjalan tergesa keluar dari villa demi menyusul Rhea yang tak kunjung masuk.Seperti Rhea, matanya juga membulat sempurna saat melihat Naren di hadapannya.Kecanggungan yang terjadi di antara mereka benar-benar membuat tidak nyaman.'Mampus gue! Kenapa dia di sini?' batin Leny.“Pak Naren!” seru Agus yang tiba-tiba muncul di belakang Leny.“Kok Mas Agus kenal sama dia?” tanya Rhea penuh selidik.“Pak Naren setiap liburan ke Lombok selalu make jasa saya, Mbak,” terang Agus. “Tapi kok ini tumben bapaknya tiba-tiba udah ada di sini?"Rhea mengernyit bingung."Udah udah, masukin dulu barang lo ke dalam. Kecuali lo mau berduaan di sini."Ucapan Leny seakan menyadarkan Rhea. Ia menyeret kopernya ke dalam villa dan meninggalkan Naren.Leny memastikan Rhea tidak lagi berada di sekitarnya ketika ia berkata pelan kepada Naren, "Berlaku normal aja. Mas A
“Kalian udah makan?”Naren menghampiri villa yang ditempati Rhea dan kedua temannya demi memastikan keadaan mereka.“Belum. Jingga udah tidur. Kita ragu mau bangunin atau gimana,” jawab Amee.“Kalian nggak berminat ikutan night party di sini kan?”Leny menggeleng tegas.“Ya udah kalian nggak usah ke mana-mana. Gue beliin makanan dulu. Siapa tau nanti Rhea bangun pas laper.”Amee dan Leny membiarkan saja Naren pergi dari hadapan mereka.Setengah jam kemudian baru Naren kembali dengan membawa dua kantung kresek berisi penuh makanan.“Malam ini jangan ke mana-mana, isinya juga cuma bule party doang. Kalo mau jalan-jalan besok pagi aja. Biar disiapin sepeda sama Mas Agus,” perintah Naren.Keduanya tidak bisa berkutik, Naren memang luwes dan ramah dalam pergaulan, tapi ada saat-saat ia mengeluarkan aura intimidatifnya. Seperti saat ini dan saat mereka ingin memaki-maki Naren di depan rumah Rhea, yang berakhir gagal total.***-Beberapa hari sebelumnya, yang terjadi ketika Leny dan Amee ber
Rhea masih berusaha menahan dirinya agar tetap berdiri tegak, meskipun rasanya ia kini butuh penopang karena lututnya seperti tak bertulang.Lelaki itu—Brama—masih beramah tamah dengan Naren yang diyakininya bisa membuat hidupnya jauh lebih baik dari saat ini. Ia terus berusaha memberikan kesan baik agar Naren bisa mempercayainya, dan lebih bagus lagi kalau bisa mengajaknya ke Candra Group.Berusaha tidak terlihat, itu lah yang kini sedang diusahakan Rhea. Ia lantas melirik sekitar dan bergeser ke belakang Rafli. Sosok Rafli yang tinggi dan sedikit berisi setidaknya bisa menutupinya dari pandangan Brama, kalau-kalau fokus Brama sudah tidak hanya kepada Naren lagi.Sialnya, Rusdi memercayakan Brama—yang paling muda di antara mereka—untuk menunjukkan tempat yang akan digunakan Naren beserta timnya, sekaligus untuk berkeliling.“Mari, Pak,” ajak Brama kepada Naren.Sebelumnya, Brama hanya melirik sekilas dan mengangguk singkat kepada anggota tim Naren. Hal itu membuat Rhea menghembuskan
“Rhea!” seru Hani lumayan kencang sambil menepuk lengan atas Rhea agar wanita itu tersadar dari lamunannya.‘Ck! Ngehayal aja Rhe,’ rutuknya dalam hati.Teh hangat yang tadi disodorkan Brama masih ada di tangannya. Ia meletakkannya di atas meja tanpa berniat sedikit pun untuk menyentuhnya.Brama menatap Rhea yang tidak berani menyentuh minuman darinya. “Teh buatan saya nggak dicobain, Mbak Rhea?”Untungnya Rhea memasang earphone ke telinganya sejak beberapa menit yang lalu, ia berpura-pura sama sekali tidak mendengar ucapan dari Brama.Naren yang sudah ditolak, dijauhi, dan diabaikan Rhea berulang kali, mulai merasakan keanehan pada diri Rhea. Wanita itu juga menghindari Brama, entah karena apa. Haruskah ia senang dengan kenyataan ada orang lain yang diperlakukan layaknya kuman oleh Rhea?“Setelah ini kita balik ke villa dulu aja,” ucap Naren. “Istirahat dulu, data-data yang kita butuhkan udah disiapkan, nanti kita pelajari di sana aja.”Semua bersorak mendengarnya, termasuk Rhea yang
Rhea berlari menaiki anak tangga. Puas rasanya bisa menendang lelaki itu tepat di kemaluannya. Dulu, setelah kejadian tidak mengenakkan itu, orang tua dan sahabat-sahabatnya jadi over protective padanya. Jangankan untuk menampar atau menendang Brama, bahkan untuk bertemu meminta penjelasan pun ia tidak diizinkan.Rhea menutup pintu—lebih seperti membanting karena ia menutupnya sambil berlari dan tidak lupa menguncinya.“Brama, kok kamu di sini?” tanya Naren yang baru keluar dari kamarnya karena mendengar pintu kamar Rhea yang dibanting.Brama yang tengah menaiki anak tangga—sesaat setelah rasa sakitnya mulai mereda—cukup terkejut ketika melihat Naren berada di puncak tangga dan menegurnya. “Hmm ... saya nganter bandrek, Pak. Kebetulan ada bandrek yang enak deket sini.”“Oh, makasih ya. Trus kamu mau ke mana?” Naren menatap Brama penuh curiga. Kalau memang hanya mengantar bandrek, untuk apa lelaki itu sampai berniat naik ke lantai 2?Lagi, Brama tergagap mendengar pertanyaan Naren. Tid
"Kamu belum mau cerita?" Naren mulai melajukan mobilnya, jarak antara gudang dan kantor memang cukup dekat, karena itu ia memilih bertanya langsung sebelum mereka tiba di kantor."Tentang?"Naren menghela napas. Ia tadi menyaksikan sendiri bagaimana Rhea memancarkan tatapan permusuhan kepada Brama dan bagaimana wanita itu selalu menghindar atau menjaga jarak dari Brama. Bagaimana bisa dia masih bertahan pada pendiriannya untuk menyimpan semuanya sendiri."Aku udah ngelihat semuanya, Rhe. Gimana kamu sembunyi di samping atau di belakangku selama ada Brama. Aku nggak bisa ngelindungin kamu kalo kamu nggak cerita.""Aku bisa ngelindungin diri sendiri.""Oh ya? Kamu sadar nggak kalo semalem Brama hampir naik ke lantai 2?"Rhea tertegun sesaat. Ia tidak menyangka kalau malam sebelumnya setelah ia menendang Brama, lelaki itu benar-benar tidak tahu malu dengan berniat menyusulnya. "Tapi kan kamarku kukunci.""Aku nggak bilang kalo Brama mau ke kamarmu loh."'Ah sial! Kejebak!' batin Rhea.Ti
"Jadi belom ada kemajuan?" tanya Pras yang berkunjung ke rumah Naren di kala matahari belum terbit sempurna.Pras, mungkin memang yang paling peka di antara member The Troublemakers. Ia yang pertama kali menyadari kalau perasaan Naren kepada Rhea jauh lebih serius daripada kelihatannya. Ia juga yang pertama kali memaki-maki Naren karena memutuskan Rhea demi obsesi pacaran tiga puluh harinya, dan kini ia satu-satunya yang tahu kalau Naren tengah mendulang karmanya.Naren menjawab pertanyaan Pras dengan gelengan. "Masa ya gue mesti kesiram air panas dulu baru dia bisa kalem di deket gue," imbuh Naren sambil menunjukkan lengannya yang sebenarnya sudah tidak ada bekas luka lagi.Pras puas terbahak melihat kesengsaraan sahabatnya itu. "Sejak kapan sih lo nyadar kalo lo udah ... let's say jatuh cinta sama dia?"Naren mengedikkan bahu. "Mungkin waktu Kakek gue bilang kalau hati gue yang bakalan tau ketika gue jatuh cinta sama seseorang.""Trus kenapa sekarang lo balik ke Jakarta? Kata lo dia
Naren mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi sambil berusaha tetap fokus menyetir, padahal otaknya dipenuhi pertanyaan tentang kondisi Rhea saat ini. Leny tidak menghubunginya lagi sejak telepon terakhirnya, bisa diasumsikan tidak ada hal buruk lagi terjadi setelahnya. Tapi tetap saja ia resah sebelum melihat langsung kondisi Rhea.Apa ada hubungannya dengan Brama? Pertanyaan itu begitu mengganggu pikirannya. Andai saja ia tidak kembali ke Jakarta.Pukul 21.30, akhirnya Naren sampai di villa kakeknya yang berlokasi di Puncak Bogor. Sembilan puluh menit perjalanan yang bagai sembilan jam bagi Naren. Ia langsung turun dari mobil dan menemukan Bi Mar dan Mang Sam sedang duduk di teras villa menunggunya. "Rhea mana?" tanyanya langsung."Mbak Rhea di kamarnya sama Mbak Leny, Mas. Mungkin Mas Naren perlu lihat kondisi dapur dulu sebelum naik ke atas. Soalnya Mbak Leny ngelarang bibi buat ngebersihin, katanya biar Mas Naren bisa ngelihat dulu."Naren mengikuti langkah dua orang keperc
“Dek.” Rhea menatap anak bungsunya yang terlihat pucat. “Kenapa, Dek?”Yara menunjuk ke dadanya, ditambah dengan suara napasnya yang tersendat.Dengan panik, Rhea menghubungi Ega untuk mendapatkan pertolongan pertama untuk Yara.Syukurnya, dalam beberapa dering, Ega langung mengangkat sambungan telepon dari Rhea.“Ga. Yara, Ga.”“Kenapa, Rhe? Yara kenapa? Ceritain kondisinya.”“Dia lagi main di deket kolam renang, kucingnya dia kepleset masuk ke kolam renang, Yara ketakutan, trus nangis, sekarang dia pucet banget, napasnya mengi. Aku mesti gimana?”“Bikin Yara duduk tegak, arahin Yara buat narik napas panjang, berulang-ulang sampai normal lagi. Abis itu, kalo udah mulai normal, kasih air anget ya. Aku on the way ke sana.”Rhea memutus sambungan telepon, kemudian melakukan apa yang disarankan Ega. “Dek, ikutin Mama ya. Tarik napas ….”***Mobil Naren memasuki pelataran rumahnya bertepatan dengan sebuah mobil sedan hitam keluar. Dengan penasaran, Naren bertanya kepada security rumahnya.
Aileen dan Ervin masuk ke dalam rumah sambil terbahak membicarakan uang jajan Ervin yang habis karena harus menyuap semua teman sekelasnya demi melindungi ia yang bolos setengah jam pelajaran olahraga.“Lagian pake cabut.” Aileen puas tertawa.Sedari kecil mereka sadar kalau kondisi keluarga mereka jauh di atas rata-rata. Mereka hidup berkecukupan. Apa yang mereka mau sebenarnya bisa dituruti orang tua mereka, tapi orang tua mereka memilih untuk tidak melakukannya.Sejak kelas 1 SMP mereka masing-masing diberikan uang saku per minggu. Hal itu sudah berlangsung sejak era Aileen, sekarang Ervin, dan mungkin nanti hingga Yara.Dan saat itu masih hari selasa, ketika Ervin menghabiskan jatah seminggunya.“Gantiin kek, Kak. Aku kan bantuin Kakak.”“Enak aja. Nggak ada yang minta bantuan kok,” sahut Aileen cuek, walau tentu saja Aileen tidak akan membiarkan Ervin gigit jari di sekolah karena kehabisan uang jajan.“Ck! Uang tabunganku buat beli PS, Kak.”“Pilih game apa pilih makan di kantin?
“Vin, kakak lo dipepet sama kakak kelas di deket gudang buat nyimpen alat olahraga.”Saat itu Ervin masih duduk di kelas 1 SMP ketika mendapat laporan dari temannya. Usianya yang hanya berbeda lima belas bulan dengan kakaknya membuat mereka bersekolah di tempat yang sama, beda satu tingkat.Aileen duduk di kelas 3 SMP dan … memiliki musuh bertebaran. Ervin tidak kaget lagi untuk satu hal ini. Ucapan kakaknya yang sepedas cabe dan kegalakan kakaknya yang mengalahkan satpam komplek, tentu saja membuatnya memiliki banyak musuh, baik dari makhluk berjenis kelamin perempuan, maupun lawan jenis.“Cewek apa cowok yang mepet kakak gue?” Karen Ervin yakin kakaknya itu mampu kalau hanya mengatasi sekumpulan gadis puber yang biasa melabraknya karena gebetan mereka naksir berat dengan Aileen dan segala keangkuhannya.“Cowok, dua orang.”Ervin langsung melemparkan bola basket yang sedang ia mainkan. Kelasnya memang sedang ada jam perlajaran olahraga, karena itu ia bingung kenapa kakaknya bisa dipe
"Ibu ... Neng Aileen, Bu."Ucapan dari ujung sambungan telepon itu membuat Rhea langsung tersadar bahwa ada yang tidak beres dengan anaknya."Aileen kenapa, Mbak?" tanya Rhea kepada baby sitter yang biasa menjemput anak-anaknya saat ia tidak bisa menjemput. Seperti kali ini Rhea terpaksa meminta baby sitter untuk menjemput Aileen dan Ervin karena Yara sedang sakit."Neng Aileen nggak ada di sekolahannya."Jantung Rhea serasa mencelos saat mendengarnya. "Mbak udah nanya ke temen-temennya? Ke gurunya?""Sudah, Bu. Ini sekolahan udah hampir sepi, tapi nggak ada yang tau Neng Aileen di mana.""Ervin gimana?" tanya Rhea berusaha menutupi paniknya."Mas Ervin sudah di mobil, Bu.""Kamu minta supir pulang nganter Ervin ya. Kamu di situ dulu, cari di sekitaran sekolah, tanya sama temen-temennya, saya langsung jalan ke sana.""Iya, Bu."Rhea menghela napas, mencoba menenangkan diri walau rasanya sulit. Setelah menitipkan Yara yang sedang demam pada baby sitter, Rhea segera berlari, mengambil k
"Ya ampun Nareeen, kamu tu nggak bisa nahan apa gimana sih? Kasihan kan Aileen masih nyusu, terus sekarang Rhea isi lagi. Mana kemaren pas Aileen kan operasi. Cek ke dokter, pastiin ini bahaya apa nggak."Pukulan bertubi-tubi dan ocehan panjang lebar didapatkan Naren dari tantenya yang langsung terbang ke Jakarta saat mendengar kabar Rhea hamil (lagi).Sementara Naren yang menjadi bulan-bulanan tantenya hanya tersenyum bangga, bukannya merasa bersalah. "Udah ke dokter kok, Mi. Biar rumahnya rame."Adila menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan kesal. Kemudian ia mendekat ke sisi Rhea yang sedang menyusui Aileen di atas kasur, yang kadang terkikik mendengar perdebatan unfaedah suami dan tantenya."Rhea lagi pengen sesuatu nggak?""Pengen gelato, Mi.""Naren, tuh denger, Rhea pengen gelato.""Di mana, Sayang? Biar Mas cariin."Rhea menggeleng. "Nggak tau aku."Adila mencebik kesal melihat Naren hanya garuk-garuk kepala. "Udah sana, cari aja di google di mana gelato terenak se-Jakar
"Sayang ...." Naren terdiam sesaat. Sebenarnya ia masih ragu untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya."Kenapa?" Rhea menjawab sambil lalu karena dia juga sedang berkutat memakaikan baju Aileen yang baru saja dimandikan.Sudah seminggu mereka tinggal di kediaman Candra. Rumah itu memang tidak ada yang menempati setelah Aditama pindah ke Dieng dan Adityo memilih tinggal sendiri di rumahnya. Aditama sendiri belum tega menjual atau menyewakan rumah itu. Karenanya, Aditama benar-benar memohon kepada cucu dan cucu menantunya itu agar menempati kediaman keluarga mereka, tidak perlu lagi mencari rumah.Naren mendekat, sambil menowel pipi Aileen dengan gemasnya, mencoba berbicara dengan istrinya. Biasanya mood Rhea lebih bagus kalau Aileen sedang tidak rewel. "Aku nggak tau terlalu cepet atau nggak aku ngomong gini. Tapi kayaknya mulai kita perlu pikirin. Kamu ... setelah ini mau berhenti ngurus Amigos atau gimana?"Rhea melirik suaminya sekilas, tapi kemudian perhatiannya kembali
“Mau kubantuin?” tanya Naren saat melihat istrinya berjalan tertatih menuju kamar mandi.Hari itu Rhea baru saja keluar dari rumah sakit. Dia sudah bisa berjalan tanpa bantuan, tapi memang harus pelan-pelan karena jahitannya masih terasa sakit. Naren mengambil cuti dadakan setelah kelahiran Aileen dan setia menemani Rhea dalam masa pemulihan sambil mencoba mengurus Aileen, walaupun masih terlihat sangat canggung.“Bisa sendiri kok, jagain Aileen aja. Nanti kalo nangis dan kamu nggak bisa nenangin, panggil Mama aja, Mas. Aku agak lama kayaknya di kamar mandi.”Naren mengangguk. “Nggak usah dikunci pintunya, kalo butuh bantuan, teriak aja.”“Iya.”Mereka memang tinggal di rumah orang tua Rhea untuk sementara. Seperti umumnya seorang wanita yang baru melahirkan, Rhea juga ingin berada di dekat mamanya untuk mendapatkan perhatian dan bimbingan dari mamanya. Bukan berarti ART di kediaman Candra tidak ada yang mengerti bagaimana mengurus anak, tapi tetap saja menurut Rhea rasanya berbeda de
Tubuh Rhea melemas dan jantungnya mulai berdebar kencang saat menyadari apa yang terjadi padanya.Ia mencoba untuk tenang, walaupun rasanya sangat sulit. Sekarang baru ia tahu bagaimana rasanya mengkhawatirkan orang lain melebihi dirinya sendiri. Ya, dia jauh lebih khawatir pada keadaan janinnya dibanding dirinya sendiri.Rhea lantas meraih ponsel yang ada di atas meja, mencoba menghubungi dokter kandungannya. Untungnya dokter itu mengangkat panggilannya setelah dering ketiga. Rhea menceritakan semuanya, dan setelah sambungan itu berakhir, ia langsung beralih menekan nomor ponsel suaminya.Naren tidak langsung menjawab teleponnya. Memang saat itu belum masuk jam makan siang, jadi mungkin saja suaminya sedang meeting.Di saat Rhea mengatur napasnya untuk menenangkan diri dan agar tidak terdengar panik, Naren pun mengangkat teleponnya."Iya, Sayang?""Mas lagi apa?""Kerja lah. Masa jalan-jalan ke mall?" jawab Naren terkekeh. "Kenapa?""Mas kira-kira kalo ke sini butuh berapa lama?""Hm
"Sayang, dua minggu lagi perusahaan ngadain dinner party. Perayaan tiga proyek baru kita."Intro pembicaraan yang membuat Rhea bertanya-tanya, apa yang selanjutnya akan diucapkan suaminya."Aku mau ngajak kamu tapi ... udah deket HPL-mu.""HPL-ku kan masih sebulan lagi, Mas.""Iya tapi kan itu riskan banget, tinggal dua minggu sebelum HPL kan.""Jadi aku nggak diajak?" Bukannya Rhea suka datang ke pesta-pesta. Tapi belakangan ini dia suka resah kalau ditinggal Naren, apalagi saat malam hari."Kamu mau ikut? Beneran nggak apa-apa? Nggak bakal kecapekan?""Mau ikut. Anggep aja terakhir sebelum lahiran. Boleh? Atau kamu malu?"Naren mengusapi puncak kepala istrinya. "Ngomong apa sih? Baper banget sejak hamil. Nggak mungkin aku malu ngajak kamu. Aku cuma beneran takut kamu capek."Rhea tidak menjawab lagi. Ia memberi waktu dan membiarkan suaminya mengambil keputusan."Ya udah, kita booking satu kamar aja buat istirahat kalau kamu kecapekan. Tapi kamu tetep nggak boleh pake heels ya. Aku n