“Maaf ya, Rhe. Tadi aku bohong, biar dia cepet pergi,” ucap Naren sambil membagi fokusnya dengan menyetir.Makan siang itu bisa saja berakhir berantakan seandainya tidak ada Aditama. Kedatangan Intan yang tiba-tiba, mengharuskan Aditama turun tangan dan mengusirnya secara halus. Belum lagi kecanggungan antara Naren dan Rhea setelah Intan pergi, untung saja Aditama bisa mencairan suasana.“Kasih kode dulu dong, biar orang nggak kaget. Lagian ide dari mana sih ngaku-ngaku tunangan?”Naren mengedikkan bahu. “Ya aku juga nggak nyangka kalo dia bakal balik lagi cuma demi mastiin ke kamu.”“Kakek juga bisa-bisanya ngikutin permainanmu.”“Udah luwes manggil Kakek.”“Pak Aditama yang minta ya, bukan karena kamu,” jawab Rhea.“Wajar sih, kakek emang nggak punya cucu cewek. Aku cuma punya dua orang sepupu cowok. Yang satu meninggal waktu kecil, dan yang satunya masih kuliah di Singapura.”“Kenapa kamu cerita ke aku?”“Biar kamu tau aja, kalo kakekku mungkin memang pengen banget cucu cewek.”Rhe
-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-“Kak, kita mau pacaran tiga puluh harinya itu … hari sekolah apa hari kalender?”Pertanyaan polos Jingga membuat Naren terbahak. “Hari kalender lah, kan kadang sabtu atau minggu kita jalan juga berdua.”“Oh iya ya, kirain gitu Kak Naren khilaf trus jawabnya hari sekolah.”“Kamu denger dari mana istilah ‘hari sekolah’ sama ‘hari kalender’?”“Dari Papa. Papa ngomongin ‘hari kerja’ sih, cuma kuubah jadi ‘hari sekolah’.”Naren mengacak rambut Jingga. Hanya ketika mereka sudah tidak di wilayah sekolah, Jingga tidak akan melarang Naren mengacak rambutnya. Kalau di lingkungan sekolah, Jingga dengan tangkas menepis tangan Naren. Rambutnya sudah terlalu panjang dan merepotkan kalau harus merapikannya setiap Naren mengacaknya.“Ngga, mau nonton apa?” Naren mencari-cari film dari tumpukan DVD di rak bagian bawah televisi.“Males ah, Kak Naren tidur melulu kalo lagi nonton.”“Kalo filmnya nggak seru ya tidur.”“Apaan. Kak Naren tidur terus ya kalo lagi non
Rahang Naren seketika mengeras. Ia menyambut uluran tangan Fondra dengan tatapan siaga.“Fondra,” ucap laki-laki itu yang kini mengulurkan tangan kepada Rhea.“Rhea.”Ingin rasanya Naren menarik Rhea untuk seketika pergi dari tempat itu. Tapi bukankah ia akan terlihat childish jka benar-benar melakukan hal itu.“Kursinya cuma empat,” ucap Naren dingin.“Tinggal narik kursi kali, Ren.” Dio memberikan kode kepada Fondra untuk menarik kursi kosong.Naren berdecak kesal dan menggeser posisinya agar lebih dekat dengan Rhea. Jangan kira tingkah Naren hanya selesai sampai di situ. Ia bahkan memberikan tatapan awas kepada Fondra, tapi sepertinya Fondra sama sekali tidak menyadarinya karena terlalu fokus memandangi Rhea.“Ren, weekend dateng nggak ke nikahan Dimas?”“Hmm ... lo dateng?”“Dateng lah, mau bareng?” Diam-diam sebenarnya niat Dio adalah mencari teman untuk datang bersama.“Kamu bisa nemenin aku nggak, Rhe?”Pertanyaan Naren yang tiba-tiba dan diucapkan di depan orang banyak, membua
Toska Kopi, coffee shop yang berada di dalam Stasiun Gambir, yang juga menyajikan beberapa jenis makanan berat seperti nasi goreng rawon dan soto betawi, akhirnya mereka pilih sebagai tempat untuk bertukar cerita.Rhea dan Leny duduk di pojok setelah memesan menu untuk mereka bertiga, sambil menunggu Amee yang sedang check in sekaligus print tiket kereta."Kenapa kalian main rahasia-rahasia sih, Len?"Leny mengedikkan bahu. "Nggak rahasia sih sebenernya. Cuma ya ceritanya panjang, dan lagi beberapa minggu setelah itu, dia udah dapet pacar lagi. Jadi ya gue pikir dia cuma shock doang karena ditinggal sama cewek, which is itu lo, biasanya kan dia yang ninggalin cewek."Tidak lama kemudian, Amee datang tergopoh karena merasa bertanggung jawab untuk menceritakan apa yang tanpa sengaja keluar dari mulutnya.***-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-Rabu, hari yang akan diingat Jingga selalu karena itu adalah hari saat ia berpamitan kepada teman-teman sekelasnya. Hari yang biasanya sanga
"Bener kan Ngga, emang Kak Naren tu absurd banget. Itu dia kan?"Rhea memicingkan mata untuk melihat lebih jelas ke arah yang ditunjuk Leny. Kondisi mata minus dan tanpa kacamata sedikit menyulitkan Rhea untuk mengenali sosok itu."Masa sih? Nggak kelihatan gue. Males mau ambil kacamata.""Gue berani taruhan deh kalo itu dia. Lagian kalo bukan dia, ngeri juga kali, Ngga, ada cowok nongkrong di depan gerbang rumah lo gitu."Keduanya terbahak sampai pandangan Rhea benar-benar bisa menangkap sosok Naren. "Iya, itu dia. Ngapain sih?"Tepat saat Leny menghentikan mobilnya, Rhea turun untuk membukakan pintu pagar."Rhe, malem banget sih pulangnya?" sapa Naren yang bergegas berdiri saat melihat Rhea turun."Baru jam sembilan perasaan.""Ya kan udah malem.""Posesif," ledek Leny masih dari dalam mobil dan hanya membuka jendela mobilnya."Siapa?" Naren mencoba melihat sosok di balik kemudi Honda Civic di depannya, namun tidak terlihat."Temen," jawab Rhea sambil mendorong pagar rumahnya."Ck!
Udah jam makan siang nih, mau tetep ke Ciwidey dulu apa makan dulu?” tanya Naren. “Kalo mau makan sih enakan di Situ Patengan kayaknya, banyak warung makan.”Ia memang cukup hapal daerah itu karena salah satu villa kakeknya berada di daerah Ciwidey. Dulu Naren sering menghabiskan malam di villa kakeknya untuk menghindar dari mantan pacarnya yang masih tidak terima karena ia memutuskan hubungan mereka.“Ngikut aja gue,” jawab Dio.“Gimana, Rhe?”Karena tidak ada jawaban dari Rhea, Naren menoleh dan menemukan Rhea yang sedang tertidur.“Ciwidey dulu aja lah ya, Yo. Nggak bisa lama-lama juga kok di dalem, lima belas menit juga udah mual bau belerang. Soalnya ngelewatin Ciwidey dulu ini.”“Hmm,” jawab Dio singkat sambil menguap.Lima menit kemudian, Naren telah memarkirkan mobilnya di area parkir Kawah Putih Ciwidey. Naren membangunkan Rhea sementara Dio membangunkan adiknya, yang sama-sama masih tertidur pulas.“Rhe, udah sampe.”Usapan tangan Naren di pipinya mampu membangunkan Rhea sek
“Jadi jawabannya?”Rhea mengerjapkan matanya, oh bahkan dia belum sempat mandi, haruskah menjawab pertanyaan Naren dengan kondisinya sekarang? Mungkin bisa ditunda nanti saat dia tampil lebih ... rapi.“Aku nanya sekali lagi deh. Kamu tau kan kalo aku bukan anak SMA lagi, yang mau kamu ajak pacaran tiga puluh hari?”Debaran jantung Naren kini menggila, bersusah payah ia menelan ludahnya melihat Rhea yang sedang menatapnya serius.“Kamu tau juga kan hubungan kita nggak akan sama lagi kalau kamu cuma mau mainin perasaanku? Bahkan mungkin jadi temen kayak sekarang pun nggak bisa.”Naren mengangguk pelan. “So?”“Nggak cuma buat tiga puluh hari kan?” tegas Rhea lagi. Tampaknya masih sangat sulit menyaksikan seorang Narendra memintanya menjalin hubungan yang serius.Naren tersenyum sambil mengusap puncak kepala Rhea. “Jadi ini hari pertama kita?”Rhea mengernyitkan dahi dan menatap Naren curiga. “Kok kamu masih ngitungin hari sih? Kayak dulu kita pacaran pas SMA.”“Nggak gitu, cuma mastiin
Naren memarkirkan mobilnya di area parkir Intercontonental Bandung Dago Pakar. Dimas, si mempelai lelaki yang mengadakan acara resepsinya di tempat itu, adalah teman Naren dan Dio saat kuliah di fakultas hukum, tentu saja sebelum Dio memutuskan untuk pindah ke fakultas ekonomi.Dengan refleks, Naren mengulurkan tangannya pada Rhea, berharap wanita itu menerimanya dan tetap berada di sisinya selama acara. Meskipun ia selalu merasa telah mengakhiri hubungan dengan cara yang baik-baik, tapi tetap saja kemungkinan ada hati yang dilukainya. Apalagi jumlah mantannya tidak bisa lagi dihitung dengan jari tangannya.“Harus pegangan tangan?” tanya Rhea yang masih ragu.Anggukan mengiakan dari Naren membuat Rhea akhirnya menerima uluran tangan itu. “Kan kamu pake heels, kalo pas lagi nggak balance biar ada pegangan.”Dio menatap Naren dengan heran. Ia kenal siapa Naren dan ia tahu pasti bagaimana Naren biasanya memperlakukan pacarnya. Biasanya Naren akan membatasi sentuhan fisik dengan pacarnya.