“Sore Mel. Pak Dio ada?”
Kedatangan Naren ke Departemen Finance bukan hal yang aneh, tapi juga bukan hal yang lumrah. Para pegawai tahu kalau Naren dan Dio berteman. Karena itu, memang beberapa kali mereka mendapati Naren di ruangan Dio atau sebaliknya.
Sekretaris Dio menjawab dengan sapaan yang luar biasa ramah. Senyuman menghiasi bibirnya kala sahabat dari atasannya itu menyapanya. “Ada Pak.”
Setelah lelah bekerja seharian, kehadiran Naren layaknya oase di gurun pasir. Bukan hanya bagi Amel, tetapi bagi pegawai wanita di departemen itu, entah itu masih single atau sudah bersuami.
Naren mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencoba menemukan sosok yang dia cari, yang sebenarnya menjadi alasannya sore itu untuk datang ke ruangan Dio.
“Pak Naren, ada yang bisa dibantu lagi?” tanya Amel, sekretaris Dio.
“Oh, nggak, nggak, saya boleh langsung masuk?”
“Selagi ngga ada tamu kan biasanya Pak Naren langsung masuk.”
Menyadari keanehan sikapnya, Naren memutuskan menghentikan aksi pencariannya dan berlalu menuju ruangan Dio.
“Ngapain lo ke sini?” tanya Dio saat melihat Naren masuk ke dalam ruangannya.
“Main.”
Dio mengernyit bingung atas jawaban Naren. “Lagi nggak sibuk lo?”
“Ya sibuk.”
“Lagi bosen lo ya? Nggak ada yang bisa digebet di departemen gue. Cuma Amel doang cewek yang belum nikah. Cewek lainnya udah pada nikah.”
“Serius lo? Staf lo yang baru juga udah nikah?”
Dio berpikir sesaat, dan baru teringat kalau dia memiliki staf baru, pindahan dari kantor cabang. “Oh, Rhea. Lo ke sini mau lihat dia?”
“Nggak lah,” ucap Naren mencoba cuek.
“Oh, ya udah, berarti nggak ada perlunya gue ngasih tau lo status dia udah nikah apa belum.”
‘Sialan, lo pikir gue nggak bisa cari tau sendiri.’ umpat Naren dalam hati.
***
“Kamu ngapain, Rhe?” tanya Danar yang posisi tempat duduknya berada di sebelah Rhea.
Begitu mengetahui Naren memasuki ruangan Departemen Finance sore itu, Rhea langsung menunduk dan perlahan bersembunyi di bawah mejanya.
“Perutku sakit, Mas. Biasa lah cewek, PMS.” Rhea mencoba memasang muka kesakitan.
“Istirahat aja di ruang santai.” Pasalnya perusahaan mereka memang menyediakan ruang santai untuk pegawai yang sedang butuh berpikir jernih atau sekadar istirahat.
“Nggak apa-apa, Mas. Kebiasaan gini kok, bentar lagi juga enakan.”
Rhea mengumpati nasibnya. ‘Ya ampun, harus berapa kali lagi gue bohong. Baru sehari aja udah bohong berkali-kali ditambah main kucing-kucingan gini.’
Setelah berpikir sesaat, Rhea merasa ucapan Danar ada benarnya, bukankah lebih baik kalau dia keluar dari ruangan itu.
Dengan mengendap-endap, Rhea menuju pintu ruangan Departemen Finance. Namun tanpa disadarinya, seseorang dengan suara khas menegurnya, dan sosok yang sedari tadi dihindarinya kini sudah berdiri tegap untuk membuka pintu.
“Jangan nunduk, nanti nabrak.”
‘Oh shit! Suara ini ....’
Rhea tidak perlu menoleh untuk mengetahui si empunya suara. Ia masih mengenali suara itu. Malahan masih sangat jelas mengingatnya. Suara yang dia kagumi semasa SMA, suara yang dulu mampu menenangkannya. “Iya Pak, maaf, permisi,” ucapnya sambil berlari kecil tanpa menoleh.
Naren tersenyum melihat tingkah wanita itu. Namun seketika senyumnya luntur saat menatap layar ponselnya yang baru saja bergetar.
Sebuah pesan masuk dari Danisha benar-benar membuat moodnya jatuh ke dasar jurang. Tapi kenapa? Biasanya dia dengan senang hati meladeni wanita yang sedang berhubungan dengannya.
Danisha: Pulang kerja bisa ketemu, Beb?
Narendra: Ok, di mana?
Danisha: Aku lagi di sekitar Sarinah sih. Kalo di Ra-Cha Sarinah gimana?
Narendra: Ok
Danisha: Kamu jemput aku dulu kan nanti?
Naren menggeram kesal. ‘What’s wrong with me? Biasanya juga jemput dulu baru jalan. Tapi gue lagi males banget. Apa gue tolak aja ya?’
Tapi Naren tidak biasa menolak teman kencannya.
Narendra: Iya, nanti kabarin aja di mana jemputnya.
Helaan napas kesal menjadi satu-satunya penenang. Ia memang hanya menjalin hubungan selama tiga puluh hari, namun ia selalu memperlakukan pasangannya dengan penuh perhatian, layaknya seorang lelaki yang mencintai pasangannya, walau sebenarnya tidak ada perasaan cinta di hatinya.
Naren kembali ke ruangannya dan bersiap untuk menjemput pacar tiga puluh harinya, Danisha.
Bukan hal yang mudah melajukan mobilnya di kemacetan Jakarta. Setelah berjuang selama empat puluh menit, ia tiba di depan Wisma Mandiri.
“Hai Beb, macet ya?” tanya Danisha begitu memasuki mobil Naren.
“Biasa lah, namanya juga Jakarta. Jadi ke Ra-Cha Sarinah?”
“Jadi dong.”
“Ok.” Naren kembali melajukan mobilnya menuju tempat yang diinginkan Danisha.
“Kamu kenapa sih kok diem terus dari tadi?” Danisha mengamati Naren yang sejak memasuki restoran menunjukkan tatapan kosongnya. Bahkan ketika daging dan sayuran sudah siap di atas meja, Naren hanya menatapnya. “Mau aku yang masakiin?”
Restoran itu memang tempat makan dengan model self service. Pelanggan harus mengambil makanan pilihannya sendiri dan memasaknya sendiri.
“Nggak usah, aku bisa kok.”
‘Gue bukan sekadar bisa, tapi jago, kalo cuma urusan masak doang.’ Batin Naren.
“Trus kenapa kamu diem aja? Aku ada salah?”
“Nggak kok, sorry ya, lagi banyak kerjaan di kantor.” Sebuah senyuman yang dilemparkan Naren mampu membuat Danisha takluk seketika. Danisha tidak lagi bertanya-tanya mengapa Naren terlihat lebih diam dari biasanya.
Naren mengulum senyumnya. Rhea. Wajah gadis itu terus terputar di otaknya. Itu lah kenapa ia lebih banyak diam. Fokusnya telah teralihkan sepenuhnya oleh bayangan Rhea.
Belum lagi perdebatan di hati kecilnya, ‘Tapi Rhea bukan Jingga. Atau sebenarnya Rhea itu Jingga?’
***
Rhea memasuki sebuah salon khusus wanita yang tidak jauh dari kediamannya. Sebenarnya ia sudah sering ke salon itu, tapi dulu, semasa sekolah.
“Permisi, mau potong rambut, Mbak.” ucap Rhea kepada seseorang petugas salon yang sedang melayani service creambath untuk pelanggannya.
“Bentar ya, Mbak. Duduk dulu, Mbak. Saya panggilkan ibu pemilik salon yang biasa motong rambut.”
Pegawai itu berlalu meninggalkan Rhea dan seorang pelanggan yang sedang di-creambath. Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya keluar dan memperhatikan Rhea cukup lama.
“Kamu anaknya Bu Dyah bukan ya?”
Rhea tersenyum kaku, kalau ibu pemilik salon saja bisa mengenalinya bahkan dengan kacamata yang dulu tidak ia kenakan, bagaimana dengan Naren?
“Iya, Tante. Tante masih inget saya?”
“Inget dong, kamu nggak berubah banyak kok. Jingga kan namamu kalo nggak salah?”
“Iya, Tante.”
“Ayok, mau dipotong gimana?”
“Yang bikin pangling, Tante. Biar nggak ada yang ngenalin aku, bisa nggak, Tan?”
Wanita pemilik salon itu terbahak. “Dibotakin mau?”
“Yah jangan dong, Tan. Dipotong bob pendek aja kali ya, Tan, pake layer gitu.”
“Boleh, boleh, cantik gini mah mau dipotong kayak apa juga tetep cantik.”
“Tante nih bisa aja.”
“Papa mamamu balik ke sini juga?”
“Belum, Tan. Nunggu Papa pensiun baru pindah ke sini.”
“Aduuuuh hati-hati loh, kamu anak cewek tinggal sendirian di rumah.”
“Hah, kenapa emangnya, Tan? Sekarang daerah sini jadi rawan?”
“Nggak sih. Ini dulu ya, setelah kalian pindah, ada mobil yang sering wara-wiri di depan rumahmu. Mobil yang sama, di jam yang sama, trus setiap lewat depan rumahmu tu jalannya jadi pelan-pelan gitu."
Rhea ternganga. “Serius Tante?”
“Iya, Tante masih inget banget, soalnya sempet bikin geger satu komplek. Tapi sekarang udah nggak ada kok. Tenang aja. Semoga aman.”
Rhea menggigit bibirnya, mencoba tidak memikirkan ucapan wanita pemilik salon itu.
Rhea membuka pagar rumahnya dengan was-was. Ia mencoba mengabaikan omongan pemilik salon tentang orang yang menguntit rumahnya beberapa tahun silam, namun ternyata tidaklah mudah. Setelah menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada hal-hal yang mencurigakan di sekitarnya, Rhea membuka pintu pagar dan segera menguncinya dengan gembok.Setelah membuka pintu rumah pun, Rhea kembali melakukan pengamanan lebih, dengan kunci ditambah dengan slot pintu yang selama ini jarang digunakannya.‘Kayaknya harus install CCTV,’ batinnya.Rhea masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan gelisah. Ingin rasanya Rhea menelepon orang tuanya, namun ia tidak ingin orang tuanya khawatir.Tanpa membuang waktu, Rhea mulai membuka ponselnya dan mencari jasa pemasangan CCTV. Belum juga ia menemukan penyedia jasa yang menurutnya cocok, sebuah pesan sukses menyela kegiatannya.Ega: Udah pulang Rhe?Rhea: Udah GaEga: Weekend bisa ketemu?Rhea: Kamu mau ke Jakarta?Ega: Iya, aku ada seminar di JakartaEga:
“Halo, Ga.”Sesuai janjinya dengan Ega beberapa hari sebelumnya, sabtu siang itu Ega menghubungi Rhea untuk mengatur janji bertemunya.“Halo, Rhe. Acara seminarku udah kelar nih. Jadi ketemu kan?”“Jadi dong. Mau ketemu di mana?” tanya Rhea.“Share loc aja alamat rumahmu, Rhe. Aku jemput kamu,” jawab Ega.“Eh? Nggak ketemuan di mana gitu, biar kamunya gampang.”“Aku bawa mobil kok, Rhe. Dipinjemin sepupuku yang tinggal di sini.”“Oh gitu? Ya udah abis ini aku share loc, kalo nyasar atau ada apa-apa langsung kabarin aku ya.”“Iya, santai, Rhe. Kayak aku baru pertama kali ke Jakarta aja.”Rhea hanya terkekeh mendapati kenyataan itu. Ega bukanlah anak daerah yang baru pertama kali ke Jakarta. Bahkan ia mengenyam pendidikan S1 kedokterannya di salah satu universitas negeri di Jakarta.Suara klakson mobil terdengar samar dari dalam kamarnya tidak lama setelah Rhea selesai bersiap dengan mengenakan celana white jeans dan crop over top berwarna peach.“Hai, Pak Dokter.”Ega menatap Rhea dala
Amee. Ya, Rhea masih mengingat wanita dengan perawakan kurus di depannya itu. Bagaimana tidak, mereka pernah duduk bersebelahan saat kelas X SMA.Dengan panik, Rhea menarik lengan Amee hingga wanita itu terduduk di sebelahnya sambil membekap mulutnya. “Amee ....”Belum sempat Rhea berbicara, Amee langsung memotong ucapan Rhea, “Ya ampun Jingga ... kangen banget tau nggak sih? Kayak ilang ditelan bumi aja lo.”Rhea tersenyum kaku, sambil melirik ke arah Naren yang kini menatapnya semakin tajam.“Panggil gue Rhea ya, Mee.”“Hah, kenapa? Dulu kan gue manggil lo Jingga. Aneh ah rasanya.”“Eh lo apa kabar?” tanya Rhea berusaha mengalihkan pembicaraan.“Baik. Lo gimana? Kok tiba-tiba ada di Jakarta lagi? Katanya lo pindah ke Batam.”“Iya, gue kerja di sini sekarang.”Ega tampak kebingungan ketika melihat Rhea mengobrol akrab bersama seorang perempuan yang tak dikenalnya. Ia memilih meletakkan nampan berisi dua mangkuk soto dan sepiring nasi di atas meja dan mengangguk ramah ke arah wanita y
Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong. Ah, entahlah istilah apa yang tepat untuk menggambarkan kondisinya saat ini.Seperti biasa, Rhea berjalan keluar rumah, mengunci pintu pagar dan langsung membuka ponselnya untuk memesan ojek online. Namun sapaan dari seseorang yang berasal dari seberang rumahnya membuat jantungnya berdegup dengan kencang.“Rhea.”Rhea hanya bisa terpaku menatap lelaki di depannya yang sedang membuka pagar rumah untuk mengeluarkan mobilnya yang sudah dalam kondisi menyala.Dengan gesit, lelaki itu menghampiri Rhea dan merampas ponsel yang ada di tangan Rhea (mungkin terdengar sedikit kasar, tapi memang itu yang benar-benar terjadi). “Bareng aja lah. Lumayan menghemat kan kalo kamu bareng saya.”Rhea menggeleng cepat.Lelaki itu berjalan kembali ke arah mobilnya.“Loh hp saya?”“Nanti saya balikin di parkiran kantor,” ucap Naren sambil membuka pintu mobil dan mengeluarkan mobilnya.‘Shit! Ini gimana sih maksudnya? Kenapa ada dia di rumah Bu Laras?’“Ayo!”
Naren masuk ke dalam ruangannya dengan senyum mengembang. Bersama Rhea (masih) menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan untuknya.Beda rasanya saat ia bersama dengan pacar tiga puluh harinya yang lain. Bukan berarti ia tidak senang menjalani hubungannya dengan wanita-wanita itu. Hanya saja ... rasanya berbeda. Dan ia sendiri masih kebingungan untuk mendefinisikannya.Ia tersenyum geli saat mengingat bagaimana ia bisa bersinggungan takdir dengan Jingga (yang sekarang mengganti nama panggilannya menjadi Rhea).***-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-Jingga menarik Amee dan Leny menuju kantin yang mulai dipenuhi murid-murid kelaparan.“Buruan sih. Nanti kantinnya penuh, nggak dapet tempat duduk kita.” ucap Jingga dengan tangan kanan menggenggam pergelangan tangan Amee dan tangan kiri menggenggam pergelangan tangan Leny.“Lo laper banget apa gimana sih, Ngga? Ganas amat nariknya.” Leny mendengkus kesal mengikuti langkah tergesa Jingga.Jingga sama sekali tidak mengacuhkan ocehan Leny
“Bapak bilang apa barusan?” tanya Rhea yang baru saja menjatuhkan ayamnya di atas piring karena terlalu kaget.Naren ingin merutuki mulutnya yang kelepasan memanggil Rhea dengan nama panggilannya semasa SMA. “Makasih, nggaaak sia-sia saya nunggu kamu nggoreng ayam. Enak.” Untung ia bisa merangkai kata-kata untuk mencoba mengaburkan ucapannya yang sebelumnya.Walau masih dipenuhi rasa ragu dan penasaran, Rhea memilih menghabiskan makanannya. Ia tidak ingin berlama-lama dengan Naren di satu ruangan yang sama.“Pak Naren sama Pak Dio katanya temen kuliah, tapi kan kalian beda jurusan, kok bisa?” Otaknya memerintahkannya untuk diam, tapi hatinya tidak tahan lagi dengan keterdiaman di antara mereka.“Dio sempet masuk fakultas hukum setahun. Tapi katanya bukan passion-nya. Tahun berikutnya dia ambil ujian masuk lagi, dan keterima di accounting.”“Pinter dong berarti Pak Dio.”“Itu namanya dia plin plan, atau otaknya nggak cukup mampu menelaah tentang hukum.”Rhea menggeleng melihat sifat Na
"Kenapa sih? Biasa aja ngelihatnya. Saya cuma minta dianterin ke dokter, bukan minta kamu jadi pacar saya.""Bapak minta anterin pacar Bapak aja ya.""Saya udah putus, kemarin.""Oooh udah tiga puluh hari ya?" Rhea berdecak pelan. "Jadi Bapak sakit gara-gara putus sama pacar?""Ya nggak lah, capek banget saya kalo gitu." Naren terdiam begitu menyadari sesuatu. "Tunggu! Kamu tau dari mana saya cuma pacaran tiga puluh hari?" pancingnya."Eh! Pak Dio kayaknya pernah cerita," kilahnya.“Dio nggak mungkin ngebuka aib saya sampe sebegitunya, mentok-mentok dia cuma bilang saya playboy kardus.”Rhea tidak menanggapi ucapan Naren. Mau cari alasan apa? Memang mulutnya saja yang kadang tidak bisa diajak kompromi.“Jadi, kamu mau nganterin saya ke dokter nggak?”“Saya nggak enak, Pak. Kan bukan siapa-siapanya Pak Naren.”Naren mengulum senyumnya, sebenarnya memang ia tidak berniat sama sekali untuk ke dokter. Ia hanya suka melihat reaksi dari Rhea.Rhea memarkirkan mobil Naren di area parkir dire
-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-“Yang namanya Jingga, ikut gue!” Seorang kakak kelas dengan garangnya memberi perintah di depan kelas Jingga.Sudah menjadi rahasia umum, ketika ada kakak kelas, berjenis kelamin wanita, datang ke kelas bawahnya dan meminta salah seorang dari mereka keluar, artinya orang yang dipanggil itu akan dilabrak. Seringnya hal ini terjadi karena kakak kelas yang merasa sirik karena kalah pamor. Ada memang beberapa kasus karena adik kelas yang terlalu genit, tapi itu perbandingannya hanya 1:10.Jingga menatap Amee dan Leny, bukan untuk minta pertolongan, cuma penasaran apa kira-kira tingkahnya yang membuat kakak kelas melabraknya.“Mau gue laporin ke guru?” tanya Amee berbisik agar tidak ketahuan kakak kelas yang berdiri di depan pintu menunggu Jingga.“Jangan, iya hari ini bisa selamat, besok-besok makin parah mereka nge-bully gue.”“Lama banget sih!” teriak kakak kelas itu lagi.Jingga berjalan sambil mengikat rambutnya, jaga-jaga kalau nanti terjadi a