Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong. Ah, entahlah istilah apa yang tepat untuk menggambarkan kondisinya saat ini.
Seperti biasa, Rhea berjalan keluar rumah, mengunci pintu pagar dan langsung membuka ponselnya untuk memesan ojek online. Namun sapaan dari seseorang yang berasal dari seberang rumahnya membuat jantungnya berdegup dengan kencang.
“Rhea.”
Rhea hanya bisa terpaku menatap lelaki di depannya yang sedang membuka pagar rumah untuk mengeluarkan mobilnya yang sudah dalam kondisi menyala.
Dengan gesit, lelaki itu menghampiri Rhea dan merampas ponsel yang ada di tangan Rhea (mungkin terdengar sedikit kasar, tapi memang itu yang benar-benar terjadi). “Bareng aja lah. Lumayan menghemat kan kalo kamu bareng saya.”
Rhea menggeleng cepat.
Lelaki itu berjalan kembali ke arah mobilnya.
“Loh hp saya?”
“Nanti saya balikin di parkiran kantor,” ucap Naren sambil membuka pintu mobil dan mengeluarkan mobilnya.
‘Shit! Ini gimana sih maksudnya? Kenapa ada dia di rumah Bu Laras?’
“Ayo!” teriak lelaki itu kala menemukan Rhea yang masih tertegun di tempat, sementara ia sudah berhasil menutup dan mengunci pintu gerbang dengan sempurna.
Lelaki itu menggeram kesal karena Rhea masih bergeming. “Kamu mau telat ngantor? Kamu nggak mau hpmu balik?”
Dengan terpaksa Rhea mengikuti permainan lelaki itu.
“Saya udah duduk di dalam mobil nih, Pak. Boleh balikin hp saya?”
“Kan saya bilang nanti di parkiran kantor,” jawab Naren sambil tersenyum licik yang membuat Rhea susah payah menelan ludahnya.
“Pak Naren ngapain di rumah Bu Laras?”
“Oh, nama pemilik sebelumnya Bu Laras?”
Otak Rhea mulai berpikir cepat. “Pemilik sebelumnya? Maksudnya rumah itu bukan punya Bu Laras lagi?”
Naren mengedikkan bahu. “Yang jelas sekarang saya yang tinggal di rumah itu.”
“Kok bisa?” tanya Rhea sambil terpekik heran.
“Ya bisa, suami Bu Laras ngejual rumahnya dan saya beli. Udah, simple kan?”
Rhea menoleh ke arah kiri agar Naren tidak dapat membaca ekspresinya. Setelah—menurut Rhea—ekspresinya sudah sedikit terkontrol, ia menghadap ke depan dan menanyakan hal yang masih membuatnya penasaran.
“Maksud saya, kenapa Bapak tiba-tiba beli rumah di komplek perumahan yang sama kayak tempat saya tinggal?”
“Loh memangnya ada larangan buat saya beli rumah di perumahan yang sama kayak kamu?”
“Ya ... nggak, cuma aneh aja.”
“Kebetulan aja ah. Nggak usah kepedean.”
Rhea menatap Naren dengan tatapan horor. ‘Apa-apaan sih laki-laki ini?’
“Pacar kamu nggak pernah nganter kamu berangkat kerja?” tanya Naren begitu melihat Rhea sudah kembali diam tanpa mempertanyakan perihal kepindahannya ke depan rumah wanita itu.
“Dih, ngeledek, pacar yang mana coba,” sahut Rhea bersungut-sungut.
Naren mengulum senyumnya, “Loh ya yang pernah ketemu saya waktu kalian makan sama nonton di Metropole itu.”
Bodohnya Rhea yang lupa mengakui Ega sebagai pacarnya di depan Naren. Dan kini ia terjebak kebohongannya sendiri.
“Oh, dia lagi dinas.”
“Dinas? Bukannya dia dokter? Dinas ke mana?”
‘Shit! Rheaaaaaa ... calm down! Jawab pertanyaan dia dengan bener dong.’ Rhea mengumpati dirinya sendiri yang sering melakukan kebodohan, salah satunya ya seperti ini.
“Oh, maksud saya seminar di luar kota.”
Naren terlihat mengangguk-angguk. “Jangan digigit gitu bibirnya, nanti luka.”
Tangan Rhea melemas seketika, telapak tangannya mulai berkeringat. Otaknya dipenuhi berbagai pertanyaan. Apa Naren mengingatnya? Kenapa Naren menegurnya seperti dulu Naren sering mengingatkannya untuk tidak menggigit bibir?
“Dulu pacar saya sering gigitin bibirnya kalo gugup.” terang Naren, padahal tidak ada seorang pun yang menanyakannya.
Untungnya ucapan Naren itu justru membuat Rhea tertawa terbahak. “Pacar yang ke berapa, Pak?” Rhea kembali terkekeh. “Ups, sorry Pak. Soalnya kata Pak Dio mantan Pak Naren jumlahnya nggak keitung lagi. Kan nggak mungkin Pak Naren inget.” kilahnya.
Naren tidak menjawab, hanya melirik Rhea sekilas.
“Eh, ini pacar Pak Naren nggak marah kalo tau Pak Naren ngasih tumpangan ke saya?”
Naren mengedikkan bahu.
“Ini tanggal berapa Rhe?” tanyanya tiba-tiba.
“Hah?” Rhea melihat jam tangannya. Sejak dulu, memang ia selalu memilih jam tangan digital yang selain bisa menunjukkan waktu, bisa juga menunjukkan tanggal dan hari. “Tanggal 30 Pak.”
Naren menahan senyumnya. Ia takut Rhea menganggapnya aneh karena tiba-tiba tersenyum sendiri. Padahal di otaknya sedang menyusun rencana untuk memutuskan hubungannya dengan pacarnya yang sekarang, Danisha.
“Kamu udah sarapan Rhe?”
Rhea menatap Naren dengan tatapan yang tak terbaca. Oh God, Naren nggak berniat mengajaknya sarapan juga kan? Udah cukup jantungnya yang menggila gara-gara berada semobil dengan Naren.
“Mampir sarapan di McD bentar mau nggak? Lagi pengen banget hash brown nih.” Naren tidak menunggu jawaban Rhea dan berniat tidak memedulikan jawabannya.
Dengan cuek, Naren sudah mengarahkan mobilnya ke gerai McD yang mereka lewati.
“Drive thru aja ya Pak, nanti telat.”
“Ok, lain kali makan di tempat ya.”
“Hah? Lain kali?”
Naren mengangguk. “Kamu kalo kagetan gitu bisa jantungan loh.”
Rasanya Rhea ingin saat itu juga keluar dari mobil Naren dan kabur sejauh-jauhnya, kalau saja ia tidak ingat ponselnya yang masih dibawa Naren.
Naren mengangsurkan sausage wrap dan hash brown untuk Rhea.
“Makasih, Pak.”
“Kamu suka itu kan?”
Rhea ingin menggeleng namun rasanya tidak mungkin karena memang benar sausage wrap dan hash brown adalah menu favoritnya untuk sarapan di McD, akhirnya anggukan pelan yang sanggup ia berikan sebagai jawaban.
“Dimakan aja nggak apa-apa. Saya bukan tipe yang ngelarang orang buat makan di mobil saya kok.”
“Nanti di ruangan aja, Pak.”
Mungkin Rhea tidak sadar bahwa otak Naren terus berputar untuk mencari topik pembicaraan. Naren terlalu takut debaran jantungnya bisa terdengar oleh Rhea.
“Dio sering nyuruh kamu lembur?”
Rhea menggeleng, “Kadang-kadang aja, Pak.”
Tanpa disadari, mobil yang dikemudikan Naren telah memasuki area parkir kantor mereka.
“Pak, boleh kembalikan hp saya?”
Naren mengalah, meletakkannya ke telapak tangan Rhea.
“Saya turun duluan ya, Pak. Nggak enak kalo ada yang ngelihat kita bareng.”
“Rhe.” Naren mencegah Rhea yang hampir membuka pintu mobil. “Nanti sore mau bareng saya lagi? Toh sekarang kita tetanggaan kan.”
“Maaf, Pak. Saya ada janji sama temen. Makasih ya Pak tumpangannya.” Rhea bergegas keluar dengan membawa paper bag yang berisi sarapan dari Naren.
Naren menyunggingkan senyum menyeringainya. Jika ada orang yang melihatnya tersenyum, niscaya orang itu akan lari terbirit-birit. “Jingga ... Jingga ... kamu masih punya utang sama aku, jangan kamu pikir bisa lari begitu aja!”
Naren masuk ke dalam ruangannya dengan senyum mengembang. Bersama Rhea (masih) menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan untuknya.Beda rasanya saat ia bersama dengan pacar tiga puluh harinya yang lain. Bukan berarti ia tidak senang menjalani hubungannya dengan wanita-wanita itu. Hanya saja ... rasanya berbeda. Dan ia sendiri masih kebingungan untuk mendefinisikannya.Ia tersenyum geli saat mengingat bagaimana ia bisa bersinggungan takdir dengan Jingga (yang sekarang mengganti nama panggilannya menjadi Rhea).***-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-Jingga menarik Amee dan Leny menuju kantin yang mulai dipenuhi murid-murid kelaparan.“Buruan sih. Nanti kantinnya penuh, nggak dapet tempat duduk kita.” ucap Jingga dengan tangan kanan menggenggam pergelangan tangan Amee dan tangan kiri menggenggam pergelangan tangan Leny.“Lo laper banget apa gimana sih, Ngga? Ganas amat nariknya.” Leny mendengkus kesal mengikuti langkah tergesa Jingga.Jingga sama sekali tidak mengacuhkan ocehan Leny
“Bapak bilang apa barusan?” tanya Rhea yang baru saja menjatuhkan ayamnya di atas piring karena terlalu kaget.Naren ingin merutuki mulutnya yang kelepasan memanggil Rhea dengan nama panggilannya semasa SMA. “Makasih, nggaaak sia-sia saya nunggu kamu nggoreng ayam. Enak.” Untung ia bisa merangkai kata-kata untuk mencoba mengaburkan ucapannya yang sebelumnya.Walau masih dipenuhi rasa ragu dan penasaran, Rhea memilih menghabiskan makanannya. Ia tidak ingin berlama-lama dengan Naren di satu ruangan yang sama.“Pak Naren sama Pak Dio katanya temen kuliah, tapi kan kalian beda jurusan, kok bisa?” Otaknya memerintahkannya untuk diam, tapi hatinya tidak tahan lagi dengan keterdiaman di antara mereka.“Dio sempet masuk fakultas hukum setahun. Tapi katanya bukan passion-nya. Tahun berikutnya dia ambil ujian masuk lagi, dan keterima di accounting.”“Pinter dong berarti Pak Dio.”“Itu namanya dia plin plan, atau otaknya nggak cukup mampu menelaah tentang hukum.”Rhea menggeleng melihat sifat Na
"Kenapa sih? Biasa aja ngelihatnya. Saya cuma minta dianterin ke dokter, bukan minta kamu jadi pacar saya.""Bapak minta anterin pacar Bapak aja ya.""Saya udah putus, kemarin.""Oooh udah tiga puluh hari ya?" Rhea berdecak pelan. "Jadi Bapak sakit gara-gara putus sama pacar?""Ya nggak lah, capek banget saya kalo gitu." Naren terdiam begitu menyadari sesuatu. "Tunggu! Kamu tau dari mana saya cuma pacaran tiga puluh hari?" pancingnya."Eh! Pak Dio kayaknya pernah cerita," kilahnya.“Dio nggak mungkin ngebuka aib saya sampe sebegitunya, mentok-mentok dia cuma bilang saya playboy kardus.”Rhea tidak menanggapi ucapan Naren. Mau cari alasan apa? Memang mulutnya saja yang kadang tidak bisa diajak kompromi.“Jadi, kamu mau nganterin saya ke dokter nggak?”“Saya nggak enak, Pak. Kan bukan siapa-siapanya Pak Naren.”Naren mengulum senyumnya, sebenarnya memang ia tidak berniat sama sekali untuk ke dokter. Ia hanya suka melihat reaksi dari Rhea.Rhea memarkirkan mobil Naren di area parkir dire
-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-“Yang namanya Jingga, ikut gue!” Seorang kakak kelas dengan garangnya memberi perintah di depan kelas Jingga.Sudah menjadi rahasia umum, ketika ada kakak kelas, berjenis kelamin wanita, datang ke kelas bawahnya dan meminta salah seorang dari mereka keluar, artinya orang yang dipanggil itu akan dilabrak. Seringnya hal ini terjadi karena kakak kelas yang merasa sirik karena kalah pamor. Ada memang beberapa kasus karena adik kelas yang terlalu genit, tapi itu perbandingannya hanya 1:10.Jingga menatap Amee dan Leny, bukan untuk minta pertolongan, cuma penasaran apa kira-kira tingkahnya yang membuat kakak kelas melabraknya.“Mau gue laporin ke guru?” tanya Amee berbisik agar tidak ketahuan kakak kelas yang berdiri di depan pintu menunggu Jingga.“Jangan, iya hari ini bisa selamat, besok-besok makin parah mereka nge-bully gue.”“Lama banget sih!” teriak kakak kelas itu lagi.Jingga berjalan sambil mengikat rambutnya, jaga-jaga kalau nanti terjadi a
“Rhea sekantor sama Naren?” tanya Brian penuh selidik.Dengan terpaksa Rhea mengikuti ajakan ketiga lelaki yang ada di ruangan itu. Pras, Brian, dan Rama memaksa Rhea untuk ikut makan malam bersama mereka, dengan dalih menemani Naren yang sejak siang tidak mau makan, padahal Naren menghabiskan garlic bread yang dibawa mereka saat makan siang.Samar-samar Rhea mengingat para lelaki yang ada di depannya adalah kakak kelasnya saat SMA dulu, tapi ia tak ingat pasti siapa nama mereka, sampai akhirnya ketiganya memperkenalkan diri.“Iya ... Pak.” Rhea tersenyum kaku. Harus seperti apa Rhea memanggil mereka. Hanya nama? Dengan panggilan ‘Kak’? atau analogi dengan panggilannya sekarang untuk Naren, yakni ‘Pak’?“Jangan panggil Pak dong, tua amat, orang kita cuma beda beberapa tahun, kan?”Naren menatap Brian dengan frustasi. Bagaimana bisa dia segampang itu mengatakannya.Rhea hanya mengangguk, tidak ada niatan banyak berkomunikasi dengan keempat lelaki di depannya.“Kamu nggak suka pedes, Rh
-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-Naren berdecak, dia benar-benar tidak berpikir salah satu dari mantannya akhirnya akan membuatnya terperangkap dengan janjinya kepada adik kelas yang bahkan baru beberapa hari dikenalnya.“Iya, lo minta apa? Jajanin seminggu? Atau sebulan? Tas? Baju?”Tawa renyah keluar dari mulut Jingga. “Nanti ya, aku pikirin dulu, Kak.”Naren melirik ke arah kotak bekal Jingga, ada bagian yang seperti tidak disentuhnya. “Itu kenapa nggak dimakan?” tanyanya penasaran.“Mamaku iseng banget ngasih sayur kacang panjang, udah tau aku nggak suka.”“Sini, aku habisin, sayang kan kalo nggak dimakan.” Naren menggeser kotak makan Jingga agar lebih dekat dengannya.“Kak, kok pake sendok bekasku?” Jingga baru saja mengeluarkan tisu basah dari dalam tasnya untuk mengelap sendok yang bekas ia pakai. Tapi pemandangan di depannya malah membuatnya shock. Dengan santai Naren menghabiskan sayur yang tersisa di kotak makan dengan sendok yang bekas dipakai Jingga.“Kamu nggak ra
Rhea berhenti mengunyah makanannya. Ia berpikir cepat untuk menjawab pertanyaan Naren agar Naren tidak semakin curiga."Di Malang," jawabnya singkat.Naren masih menatap Rhea, seakan meminta jawaban lebih.Tiba-tiba, alunan lagu Lazy Song dari Jason Mraz terdengar nyaring dari ponsel Rhea.Demi apa pun, baru kali ini Rhea hampir melonjak kegirangan hanya gara-gara ada yang meneleponnya. She should say thank you for her/him."Jingga, kamu di rumah?"Rhea tersenyum mendengar suara mamanya, ia hanya berharap Naren tidak mendengar panggilan mamanya kepadanya. "Iya, Ma.""Aman kan? Mama denger kabar dari Tante Juwi yang rumahnya di Blok C. Bener gitu ada maling di komplek?""Katanya sih gitu, Ma.""Aduh, kamu sendirian lagi. Kamu ngungsi aja di rumah temenmu.""Nggak usah khawatir Ma, tadi aku udah cek semua pintu sama jendela rumah, semua ruangan deh, aman sih sejauh ini.""Kamu nggak ngecek sendirian kan? Kalo ada maling yang sembunyi gimana?""Nggak, Ma. Tadi ditemenin ... tetangga." ja
“Rhe, please tidur aja.”Sudah satu jam Naren menatap Rhea yang berbaring dengan gelisah di sofa ruang tengah rumah Rhea.“Kamu tau pasti Rhe, saya nggak bakal ngapa-ngapain kamu.” Naren mendengkus kesal. “Atau kamu mau saya pulang aja?”“Sorry. Masih berat ternyata.” Rhea tersenyum getir dalam kondisi gelap dan hanya mengandalkan flashlight dari ponsel Naren.“Berat kenapa? Sumpah, saya nggak bakal ngapa-ngapain kamu. Tidur lah, besok kita mesti kerja. Saya juga nggak bisa tidur kalo kamu gerak-gerak gelisah gitu terus. Atau sebenernya kamu yang pengen ngapa-ngapain makanya kamu gelisah? Just say it, Rhe. Saya nggak bakal nolak kok.”Rhea mendengus kesal, memilih bangun dan duduk dengan posisi bersandar pada punggung sofa.“Saya udah bertahun-tahun nggak pernah menurunkan kewaspadaan saya di sekitar cowok.”Naren mendengarkannya tanpa berniat memotong ucapan Rhea. Lelaki itu paham ada yang ingin disampaikan Rhea dan itu bukanlah hal yang main-main.“Saya pernah hampir dikerjai mantan