Share

6 Dia yang Bagaikan Magnet

Amee. Ya, Rhea masih mengingat wanita dengan perawakan kurus di depannya itu. Bagaimana tidak, mereka pernah duduk bersebelahan saat kelas X SMA.

Dengan panik, Rhea menarik lengan Amee hingga wanita itu terduduk di sebelahnya sambil membekap mulutnya. “Amee ....”

Belum sempat Rhea berbicara, Amee langsung memotong ucapan Rhea, “Ya ampun Jingga ... kangen banget tau nggak sih? Kayak ilang ditelan bumi aja lo.”

Rhea tersenyum kaku, sambil melirik ke arah Naren yang kini menatapnya semakin tajam.

“Panggil gue Rhea ya, Mee.”

“Hah, kenapa? Dulu kan gue manggil lo Jingga. Aneh ah rasanya.”

“Eh lo apa kabar?” tanya Rhea berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Baik. Lo gimana? Kok tiba-tiba ada di Jakarta lagi? Katanya lo pindah ke Batam.”

“Iya, gue kerja di sini sekarang.”

Ega tampak kebingungan ketika melihat Rhea mengobrol akrab bersama seorang perempuan yang tak dikenalnya. Ia memilih meletakkan nampan berisi dua mangkuk soto dan sepiring nasi di atas meja dan mengangguk ramah ke arah wanita yang tidak dikenalnya itu.

“Thank you, Ga. Kenalin ini Amee, temenku dulu.”

“Amee.” ucap Amee memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. “Pacarnya Jingga atau temennya Jingga?”

Ega tertegun sesaat.

‘Ah, iya.’ Akhirnya Ega paham kalau teman-teman Rhea dulu memanggilnya Jingga. “Pengennya sih jadi pacar, tapi ditolak melulu.”

“Apa sih, Ga. Temen Mee, temenku di Batam.”

Amee mengerling jahil ke arah Rhea. “Bagi nomer hpmu dong.” Amee menyerahkan ponselnya kepada Rhea bisa memasukkan nomornya.

“Nih. Lo mau pergi?”

“Iya, ada janji gue sama temen. Kita mesti ketemu lagi loh ya, nggak mau tau gue.”

“Iya, kalo lo masih inget rumah gue, dateng aja, gue masih tinggal di rumah yang dulu kok.”

Amee tersenyum gembira menerima ajakan Rhea untuk main ke rumahnya. Dulu, saat mereka SMA, rumah Rhea bisa dikatakan menjadi salah satu basecamp-nya. Orang tua Rhea yang ramah namun tidak kepo dengan urusan anaknya membuat teman-teman dekat Rhea sering mengunjungi rumahnya.

“Dulu kamu dipanggil Jingga?” tanya Ega.

Rhea hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Ega. “Ga, kamu balik ke Batam kapan?”

“Besok malem.”

“Mau kuanter?”

Ega adalah orang yang sangat baik bagi Rhea. Terlalu baik. Apalah artinya ia mengantar Ega sampai ke bandara.

“Nggak usah, nanti kamu sendirian balik dari bandara.”

“Nggak apa-apa kali, ada taksi, ada bus damri, aman lah.”

Ega menggeleng. “Nggak usah Rhe, mana tega aku. Temenin aku seharian ini sama besok. Itu aja udah cukup buatku.”

Rhea mengalah, Ega memang tidak mudah tergoyahkan, seperti Ega yang selalu ada di sisinya meskipun perasaannya tak berbalas.

“Rhe, orang itu ngelihat ke sini terus dari tadi. Arah jam dua dari kamu. Kamu kenal?” tanya Ega. “Tadi kayaknya juga dia ngajak ngomong kamu waktu kamu antre minum.”

“Atasan di kantor, tapi bukan atasan langsung sih.”

“Oh, ngelihatnya intens banget soalnya. Naksir kamu jangan-jangan.”

“Mana ada. Lihat aja dia bawa gandengan.”

“Iya juga ya.” Ega terkekeh, dia memang terbiasa menajamkan insting kalau berada di sekitar Rhea, untuk melindungi wanita itu.

Ega mengecek jam tangannya. “Dua puluh menit lagi filmnya mulai Rhe.”

“Oh iya, ini udah hampir kelar kok.”

“Pelan-pelan aja, masih lama kok.” Ega mengarahkan tisu untuk mengusap ujung bibir Rhea.

Dengan refleks Rhea meraih tisu itu dan mengusapnya sendiri. Dan anehnya, Rhea langsung melirik Naren, khawatir lelaki itu melihat Ega yang hampir menyentuh bibirnya, meskipun dengan tisu.

‘Ya ampun Rhe. Apa urusannya sama Naren? Kenapa sih dia kayak magnet?’ Kembali ia mengumpati diri sendiri.

Rhea mempercepat proses makannya. Selain karena film yang akan ditontonnya segera dimulai, keberadaan Naren cukup mengganggunya.

“Aku udah.”

“Bentar, aku habisin minumku dulu,” jawab Ega.

“Aku bayar dulu ya.”

“No.” Ega menarik pergelangan tangan Rhea. “Aku aja.”

“Aku kan tuan rumah, Ga.”

Ega berdiri menuju kasir, dengan tangannya yang masih menggenggam pergelangan tangan Rhea.

“Gantian lah, Ga. Kan nonton udah kamu yang bayar.” Rhea masih berusaha merayu Ega.

“Aku nggak pernah diajarin ngebiarin cewek yang bareng sama aku ngebayarin apa yang kumakan Rhe.”

Rhea menghembuskan napas, lagi-lagi ia gagal membuat Ega goyah akan keinginannya.

“Iya, tau deh yang dokter, uangnya banyak.”

“Mana ada, banyakan juga pengusaha.”

Rhea mendengar seseorang terkikik di belakangnya. Ia hampir berteriak kaget saat melihat Naren berdiri tegap di belakangnya dengan jarak yang hanya sejengkal.

“Kamu sudah mau balik?” tanya Naren dengan gaya santainya.

“Mau nonton dulu, Pak.” jawab Rhea singkat. “Saya permisi dulu, Pak.” Rhea segera menarik tangan Ega untuk menjauh. Untung saja Ega sudah selesai membayar makanan mereka.

“Kenapa sih, Rhe? Kan nggak sopan ninggalin atasanmu begitu aja.”

“Bukan atasan langsung ini. Lagian kan ini hari libur.”

“Trus kalo hari libur dia bukan atasanmu?”

“Ya bukan dong. Dia juga nggak berhak nanya-nanya privasiku.”

“Mukamu merah tau, Rhe. Kamu suka sama dia ya?” Ega mungkin baru mengenal Rhea beberapa tahun, namun dari dalamnya perasaannya pada Rhea, Ega bisa tahu kalau ada sesuatu yang aneh dengan Rhea.

“Nggak. Apaan sih. Jadi nonton nggak nih? Jangan bikin aku nggak mood deh, Ga.”

“Iya, iya, sorry.” Ega merengkuh pundak Rhea. Hanya sejauh itu yang bisa dilakukannya. Gesture terdekatnya dengan Rhea yang membuat wanita itu bisa menerimanya tanpa ada perasaan tidak nyaman.

“Eh, kita ketemu lagi.” ucap Naren yang telah (lagi-lagi) berdiri di belakang Rhea.

Rhea yang sudah kangen dengan rasa popcorn caramel XXI memutuskan memesan popcorn dan minum tanpa menunggu Ega yang sedang ke toilet. Tanpa disangkanya, Naren akan muncul lagi di dekatnya.

Rhea hanya mengangguk singkat menghadapi Naren.

“Kamu mau nonton film apa?”

“Nggak tau saya, Pak. Tiketnya dibawa pacar saya.” dustanya.

“Wah pacarmu otoriter juga ya, masa film yang mau ditonton aja nggak didiskusikan sama pasangan.” ledeknya.

“Tapi dia setia, Pak.”

“Loh kamu pikir saya nggak setia? Saya nggak pernah punya pacar dua apalagi tiga di satu waktu loh.”

“Saya nggak ngomongin Bapak kok.”

Rhea mendengus kesal, ‘Ya memang lo nggak selingkuh, tapi mantan pacar lo bejibun.’ batinnya kesal. Oh, wait, kenapa dia harus kesal padahal dia juga menjadi salah satu nama dari deretan mantan pacar Narendra.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status