“Halo, Ga.”
Sesuai janjinya dengan Ega beberapa hari sebelumnya, sabtu siang itu Ega menghubungi Rhea untuk mengatur janji bertemunya.
“Halo, Rhe. Acara seminarku udah kelar nih. Jadi ketemu kan?”
“Jadi dong. Mau ketemu di mana?” tanya Rhea.
“Share loc aja alamat rumahmu, Rhe. Aku jemput kamu,” jawab Ega.
“Eh? Nggak ketemuan di mana gitu, biar kamunya gampang.”
“Aku bawa mobil kok, Rhe. Dipinjemin sepupuku yang tinggal di sini.”
“Oh gitu? Ya udah abis ini aku share loc, kalo nyasar atau ada apa-apa langsung kabarin aku ya.”
“Iya, santai, Rhe. Kayak aku baru pertama kali ke Jakarta aja.”
Rhea hanya terkekeh mendapati kenyataan itu. Ega bukanlah anak daerah yang baru pertama kali ke Jakarta. Bahkan ia mengenyam pendidikan S1 kedokterannya di salah satu universitas negeri di Jakarta.
Suara klakson mobil terdengar samar dari dalam kamarnya tidak lama setelah Rhea selesai bersiap dengan mengenakan celana white jeans dan crop over top berwarna peach.
“Hai, Pak Dokter.”
Ega menatap Rhea dalam diam.
“Ga! Woi!”
“Ya ampun Rhe, kamu ada masalah?” tanya Ega sambil berjalan ke arah pintu penumpang dan membukakanya untuk Rhea.
“Masalah apa?”
“Itu.” Ega menunjuk rambut Rhea dengan dagunya. “Kamu baru 2 mingguan di sini, dan udah langsung motong rambutmu sependek ini.”
“Oooooh, nggak pendek-pendek banget kok, Ga. Mungkin karena kamu biasa ngelihat rambutku yang panjang, jadi kaget. Aneh ya?”
“Nggak kok, tetep cantik. Cuma ... beda aja.”
Mengabaikan reaksi Ega, Rhea berusaha mengalihkan pembicaraan, “Mau ke mana kita?”
“Ke Kota Tua mau nggak?”
“Kayaknya enak sore atau malem deh, Ga, kalo ke Kota Tua. Jam segini masih panas.”
“Ya udah, malem ya anterin aku ke sana.”
“Mau ngapain emangnya ke Kota Tua?”
“Kamu inget keponakanku, Nata, kan? Dia minta dibeliin oleh-oleh baju dari Jakarta yang ada tulisannya gitu deh. Khas baju-baju kalo kita ke tempat wisata.”
“Udah bisa minta macem-macem dia ya. Banyak kok kalo oleh-oleh begitu di Kota Tua, di Monas juga ada sih. Trus sekarang kita mau ke mana?”
“Nonton aja yuk,” ajak Ega.
“Boleh, boleh. Sejak aku ke sini, aku belum nonton sama sekali.”
Ega melajukan mobilnya seakan tau pasti ke mana ia akan mengajak Rhea pergi menonton.
“Rhe ....” panggil Ega memecahkan keheningan di dalam mobil. “Kamu kangen aku nggak?”
Rhea mengangguk. “Kangen semuanya, kangen Mama Papa, kangen temen-temen.”
Ega tersenyum miris. Masih saja wanita itu tidak menganggapnya lebih dari seorang sahabat.
“Ada yang udah mulai deketin kamu di sini?”
“Nggak usah mulai deh Ga.”
“Aku kan cuma nanya Rhe.”
“Nggak ada lah. Kita mau ke mana bioskop mana?”
“Metropole aja ya. Sekalian kita bisa mampir ke Roemah Kuliner yang ada di atasnya. Kata sepupuku udah direnov dan ambiance-nya bagus.”
Rhea hanya mengangguk.
Tidak bisa dipungkirinya, ia merasa nyaman bersama dengan Ega, tapi ia tak pernah berhasil sekeras apa pun mencoba untuk menyukai lelaki itu lebih dari sahabat.
Usai membeli dua tiket dengan jadwal yang masih cukup lama, Ega mengajak Rhea untuk ke tempat makan yang ada di lantai 2. Sebenarnya ada juga tempat makan yang ada di depan bioskop dengan menu pempeknya yang terkenal, tapi rasanya Ega ingin memiliki sedikit privasi dengan wanita yang sudah disukainya beberapa tahun belakangan ini.
Rhea menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba saat melihat seseorang—yang duduk di sofa tidak jauh darinya berdiri—sedang menatapnya dengan tajam.
“Kenapa, Rhe?” Ega yang menyadari berhentinya langkah Rhea seketika ikut berhenti dan menoleh ke arah Rhea.
“Nggak apa-apa.” Ucap Rhea yang segera mengiringi langkah Ega dan melingkarkan tangannya di lengan Ega.
‘Eh?’ Ega terlihat cukup shock. Tidak pernah ada dalam bayangannya Rhea akan bersikap semanja ini padanya.
“Mau duduk di mana, Rhe?”
“Di sana aja.” jawab Rhea sambil menunjuk meja yang terjauh dari jangkauan seseorang yang belum melepaskan tatapannya.
Ega mengikuti Rhea dengan senyumnya yang mengembang karena gesture sederhana dari Rhea.
“Kamu kenapa gelisah banget?” tanya Ega.
“Ah, nggak kok. Ini pesennya mesti ke stan makanannya ya?”
“Iya. Yuk. Aku taruh jaketku aja di sini buat nandain tempat kita. Kamu mau makan apa?”
“Lihat-lihat dulu deh ya.”
Rhea berhenti di depan sebuah stan makanan, “Aku ini aja deh, soto lamongan nggak pake nasi,” ucapnya.
“Ya udah, aku pesenin, kamu duduk aja.”
“Aku pesenin minumnya aja deh ya, kamu mau apa?”
“Lemon tea aja, less ice.”
Rhea berjalan menuju stan minuman yang terletak di ujung kiri. Selagi ia menunggu minumannya disiapkan, seseorang menepuk bahunya.
“ ... Ng ... Rhea.” Hampir saja ia memanggil wanita di depannya dengan ‘Ngga’. ‘Jingga’. Nama yang dulu biasa ia panggil untuk wanita yang memiliki kemiripan dengan Rhea.
“Siang Pak.”
“Kamu sama siapa tadi?”
“Memangnya saya harus jawab ya, Pak? Kan urusan pribadi saya.”
Naren tersenyum meremehkan. “Ya kan kalo pacar tinggal bilang pacar, temen tinggal bilang temen, saudara tinggal bilang saudara, apa susahnya?”
“Ok, pacar saya, Pak.”
“Ooooh ....”
“Sayang, kamu ngapain? Mau nambah minum?” tanya wanita yang langsung bergelayut manja kepada Naren.
“Nggak, ini temen kantor, lagi ngobrol aja.”
Bertepatan dengan itu, segelas lemon tea less ice dan segelas es kunyit asam telah siap di nampan yang ada di depan Rhea. “Saya permisi balik ke tempat duduk saya ya, Pak.”
“Naren, bisa nggak sih kamu fokus ke aku?” rajuk Danisha saat melihat Naren masih menatap Rhea yang telah duduk manis.
“Aku dari tadi kan fokus ke kamu. Balik ke meja yuk, habisin dulu makanannya.”
Dari kejauhan, tanpa sadar Rhea menatap Naren sambil tersenyum. Jenis senyuman yang hanya mengangkat salah satu sudut bibir hingga terlihat seperti senyuman mencemooh.
‘Pacar yang ke berapa? Nggak berubah ternyata. Kenapa dulu gue tergila-gila sama dia coba?’
“Jingga? Jingga kan?” Seorang wanita mendekati meja yang ditempati Rhea dan menatapnya dengan penasaran.
Amee. Ya, Rhea masih mengingat wanita dengan perawakan kurus di depannya itu. Bagaimana tidak, mereka pernah duduk bersebelahan saat kelas X SMA.Dengan panik, Rhea menarik lengan Amee hingga wanita itu terduduk di sebelahnya sambil membekap mulutnya. “Amee ....”Belum sempat Rhea berbicara, Amee langsung memotong ucapan Rhea, “Ya ampun Jingga ... kangen banget tau nggak sih? Kayak ilang ditelan bumi aja lo.”Rhea tersenyum kaku, sambil melirik ke arah Naren yang kini menatapnya semakin tajam.“Panggil gue Rhea ya, Mee.”“Hah, kenapa? Dulu kan gue manggil lo Jingga. Aneh ah rasanya.”“Eh lo apa kabar?” tanya Rhea berusaha mengalihkan pembicaraan.“Baik. Lo gimana? Kok tiba-tiba ada di Jakarta lagi? Katanya lo pindah ke Batam.”“Iya, gue kerja di sini sekarang.”Ega tampak kebingungan ketika melihat Rhea mengobrol akrab bersama seorang perempuan yang tak dikenalnya. Ia memilih meletakkan nampan berisi dua mangkuk soto dan sepiring nasi di atas meja dan mengangguk ramah ke arah wanita y
Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong. Ah, entahlah istilah apa yang tepat untuk menggambarkan kondisinya saat ini.Seperti biasa, Rhea berjalan keluar rumah, mengunci pintu pagar dan langsung membuka ponselnya untuk memesan ojek online. Namun sapaan dari seseorang yang berasal dari seberang rumahnya membuat jantungnya berdegup dengan kencang.“Rhea.”Rhea hanya bisa terpaku menatap lelaki di depannya yang sedang membuka pagar rumah untuk mengeluarkan mobilnya yang sudah dalam kondisi menyala.Dengan gesit, lelaki itu menghampiri Rhea dan merampas ponsel yang ada di tangan Rhea (mungkin terdengar sedikit kasar, tapi memang itu yang benar-benar terjadi). “Bareng aja lah. Lumayan menghemat kan kalo kamu bareng saya.”Rhea menggeleng cepat.Lelaki itu berjalan kembali ke arah mobilnya.“Loh hp saya?”“Nanti saya balikin di parkiran kantor,” ucap Naren sambil membuka pintu mobil dan mengeluarkan mobilnya.‘Shit! Ini gimana sih maksudnya? Kenapa ada dia di rumah Bu Laras?’“Ayo!”
Naren masuk ke dalam ruangannya dengan senyum mengembang. Bersama Rhea (masih) menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan untuknya.Beda rasanya saat ia bersama dengan pacar tiga puluh harinya yang lain. Bukan berarti ia tidak senang menjalani hubungannya dengan wanita-wanita itu. Hanya saja ... rasanya berbeda. Dan ia sendiri masih kebingungan untuk mendefinisikannya.Ia tersenyum geli saat mengingat bagaimana ia bisa bersinggungan takdir dengan Jingga (yang sekarang mengganti nama panggilannya menjadi Rhea).***-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-Jingga menarik Amee dan Leny menuju kantin yang mulai dipenuhi murid-murid kelaparan.“Buruan sih. Nanti kantinnya penuh, nggak dapet tempat duduk kita.” ucap Jingga dengan tangan kanan menggenggam pergelangan tangan Amee dan tangan kiri menggenggam pergelangan tangan Leny.“Lo laper banget apa gimana sih, Ngga? Ganas amat nariknya.” Leny mendengkus kesal mengikuti langkah tergesa Jingga.Jingga sama sekali tidak mengacuhkan ocehan Leny
“Bapak bilang apa barusan?” tanya Rhea yang baru saja menjatuhkan ayamnya di atas piring karena terlalu kaget.Naren ingin merutuki mulutnya yang kelepasan memanggil Rhea dengan nama panggilannya semasa SMA. “Makasih, nggaaak sia-sia saya nunggu kamu nggoreng ayam. Enak.” Untung ia bisa merangkai kata-kata untuk mencoba mengaburkan ucapannya yang sebelumnya.Walau masih dipenuhi rasa ragu dan penasaran, Rhea memilih menghabiskan makanannya. Ia tidak ingin berlama-lama dengan Naren di satu ruangan yang sama.“Pak Naren sama Pak Dio katanya temen kuliah, tapi kan kalian beda jurusan, kok bisa?” Otaknya memerintahkannya untuk diam, tapi hatinya tidak tahan lagi dengan keterdiaman di antara mereka.“Dio sempet masuk fakultas hukum setahun. Tapi katanya bukan passion-nya. Tahun berikutnya dia ambil ujian masuk lagi, dan keterima di accounting.”“Pinter dong berarti Pak Dio.”“Itu namanya dia plin plan, atau otaknya nggak cukup mampu menelaah tentang hukum.”Rhea menggeleng melihat sifat Na
"Kenapa sih? Biasa aja ngelihatnya. Saya cuma minta dianterin ke dokter, bukan minta kamu jadi pacar saya.""Bapak minta anterin pacar Bapak aja ya.""Saya udah putus, kemarin.""Oooh udah tiga puluh hari ya?" Rhea berdecak pelan. "Jadi Bapak sakit gara-gara putus sama pacar?""Ya nggak lah, capek banget saya kalo gitu." Naren terdiam begitu menyadari sesuatu. "Tunggu! Kamu tau dari mana saya cuma pacaran tiga puluh hari?" pancingnya."Eh! Pak Dio kayaknya pernah cerita," kilahnya.“Dio nggak mungkin ngebuka aib saya sampe sebegitunya, mentok-mentok dia cuma bilang saya playboy kardus.”Rhea tidak menanggapi ucapan Naren. Mau cari alasan apa? Memang mulutnya saja yang kadang tidak bisa diajak kompromi.“Jadi, kamu mau nganterin saya ke dokter nggak?”“Saya nggak enak, Pak. Kan bukan siapa-siapanya Pak Naren.”Naren mengulum senyumnya, sebenarnya memang ia tidak berniat sama sekali untuk ke dokter. Ia hanya suka melihat reaksi dari Rhea.Rhea memarkirkan mobil Naren di area parkir dire
-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-“Yang namanya Jingga, ikut gue!” Seorang kakak kelas dengan garangnya memberi perintah di depan kelas Jingga.Sudah menjadi rahasia umum, ketika ada kakak kelas, berjenis kelamin wanita, datang ke kelas bawahnya dan meminta salah seorang dari mereka keluar, artinya orang yang dipanggil itu akan dilabrak. Seringnya hal ini terjadi karena kakak kelas yang merasa sirik karena kalah pamor. Ada memang beberapa kasus karena adik kelas yang terlalu genit, tapi itu perbandingannya hanya 1:10.Jingga menatap Amee dan Leny, bukan untuk minta pertolongan, cuma penasaran apa kira-kira tingkahnya yang membuat kakak kelas melabraknya.“Mau gue laporin ke guru?” tanya Amee berbisik agar tidak ketahuan kakak kelas yang berdiri di depan pintu menunggu Jingga.“Jangan, iya hari ini bisa selamat, besok-besok makin parah mereka nge-bully gue.”“Lama banget sih!” teriak kakak kelas itu lagi.Jingga berjalan sambil mengikat rambutnya, jaga-jaga kalau nanti terjadi a
“Rhea sekantor sama Naren?” tanya Brian penuh selidik.Dengan terpaksa Rhea mengikuti ajakan ketiga lelaki yang ada di ruangan itu. Pras, Brian, dan Rama memaksa Rhea untuk ikut makan malam bersama mereka, dengan dalih menemani Naren yang sejak siang tidak mau makan, padahal Naren menghabiskan garlic bread yang dibawa mereka saat makan siang.Samar-samar Rhea mengingat para lelaki yang ada di depannya adalah kakak kelasnya saat SMA dulu, tapi ia tak ingat pasti siapa nama mereka, sampai akhirnya ketiganya memperkenalkan diri.“Iya ... Pak.” Rhea tersenyum kaku. Harus seperti apa Rhea memanggil mereka. Hanya nama? Dengan panggilan ‘Kak’? atau analogi dengan panggilannya sekarang untuk Naren, yakni ‘Pak’?“Jangan panggil Pak dong, tua amat, orang kita cuma beda beberapa tahun, kan?”Naren menatap Brian dengan frustasi. Bagaimana bisa dia segampang itu mengatakannya.Rhea hanya mengangguk, tidak ada niatan banyak berkomunikasi dengan keempat lelaki di depannya.“Kamu nggak suka pedes, Rh
-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-Naren berdecak, dia benar-benar tidak berpikir salah satu dari mantannya akhirnya akan membuatnya terperangkap dengan janjinya kepada adik kelas yang bahkan baru beberapa hari dikenalnya.“Iya, lo minta apa? Jajanin seminggu? Atau sebulan? Tas? Baju?”Tawa renyah keluar dari mulut Jingga. “Nanti ya, aku pikirin dulu, Kak.”Naren melirik ke arah kotak bekal Jingga, ada bagian yang seperti tidak disentuhnya. “Itu kenapa nggak dimakan?” tanyanya penasaran.“Mamaku iseng banget ngasih sayur kacang panjang, udah tau aku nggak suka.”“Sini, aku habisin, sayang kan kalo nggak dimakan.” Naren menggeser kotak makan Jingga agar lebih dekat dengannya.“Kak, kok pake sendok bekasku?” Jingga baru saja mengeluarkan tisu basah dari dalam tasnya untuk mengelap sendok yang bekas ia pakai. Tapi pemandangan di depannya malah membuatnya shock. Dengan santai Naren menghabiskan sayur yang tersisa di kotak makan dengan sendok yang bekas dipakai Jingga.“Kamu nggak ra
“Dek.” Rhea menatap anak bungsunya yang terlihat pucat. “Kenapa, Dek?”Yara menunjuk ke dadanya, ditambah dengan suara napasnya yang tersendat.Dengan panik, Rhea menghubungi Ega untuk mendapatkan pertolongan pertama untuk Yara.Syukurnya, dalam beberapa dering, Ega langung mengangkat sambungan telepon dari Rhea.“Ga. Yara, Ga.”“Kenapa, Rhe? Yara kenapa? Ceritain kondisinya.”“Dia lagi main di deket kolam renang, kucingnya dia kepleset masuk ke kolam renang, Yara ketakutan, trus nangis, sekarang dia pucet banget, napasnya mengi. Aku mesti gimana?”“Bikin Yara duduk tegak, arahin Yara buat narik napas panjang, berulang-ulang sampai normal lagi. Abis itu, kalo udah mulai normal, kasih air anget ya. Aku on the way ke sana.”Rhea memutus sambungan telepon, kemudian melakukan apa yang disarankan Ega. “Dek, ikutin Mama ya. Tarik napas ….”***Mobil Naren memasuki pelataran rumahnya bertepatan dengan sebuah mobil sedan hitam keluar. Dengan penasaran, Naren bertanya kepada security rumahnya.
Aileen dan Ervin masuk ke dalam rumah sambil terbahak membicarakan uang jajan Ervin yang habis karena harus menyuap semua teman sekelasnya demi melindungi ia yang bolos setengah jam pelajaran olahraga.“Lagian pake cabut.” Aileen puas tertawa.Sedari kecil mereka sadar kalau kondisi keluarga mereka jauh di atas rata-rata. Mereka hidup berkecukupan. Apa yang mereka mau sebenarnya bisa dituruti orang tua mereka, tapi orang tua mereka memilih untuk tidak melakukannya.Sejak kelas 1 SMP mereka masing-masing diberikan uang saku per minggu. Hal itu sudah berlangsung sejak era Aileen, sekarang Ervin, dan mungkin nanti hingga Yara.Dan saat itu masih hari selasa, ketika Ervin menghabiskan jatah seminggunya.“Gantiin kek, Kak. Aku kan bantuin Kakak.”“Enak aja. Nggak ada yang minta bantuan kok,” sahut Aileen cuek, walau tentu saja Aileen tidak akan membiarkan Ervin gigit jari di sekolah karena kehabisan uang jajan.“Ck! Uang tabunganku buat beli PS, Kak.”“Pilih game apa pilih makan di kantin?
“Vin, kakak lo dipepet sama kakak kelas di deket gudang buat nyimpen alat olahraga.”Saat itu Ervin masih duduk di kelas 1 SMP ketika mendapat laporan dari temannya. Usianya yang hanya berbeda lima belas bulan dengan kakaknya membuat mereka bersekolah di tempat yang sama, beda satu tingkat.Aileen duduk di kelas 3 SMP dan … memiliki musuh bertebaran. Ervin tidak kaget lagi untuk satu hal ini. Ucapan kakaknya yang sepedas cabe dan kegalakan kakaknya yang mengalahkan satpam komplek, tentu saja membuatnya memiliki banyak musuh, baik dari makhluk berjenis kelamin perempuan, maupun lawan jenis.“Cewek apa cowok yang mepet kakak gue?” Karen Ervin yakin kakaknya itu mampu kalau hanya mengatasi sekumpulan gadis puber yang biasa melabraknya karena gebetan mereka naksir berat dengan Aileen dan segala keangkuhannya.“Cowok, dua orang.”Ervin langsung melemparkan bola basket yang sedang ia mainkan. Kelasnya memang sedang ada jam perlajaran olahraga, karena itu ia bingung kenapa kakaknya bisa dipe
"Ibu ... Neng Aileen, Bu."Ucapan dari ujung sambungan telepon itu membuat Rhea langsung tersadar bahwa ada yang tidak beres dengan anaknya."Aileen kenapa, Mbak?" tanya Rhea kepada baby sitter yang biasa menjemput anak-anaknya saat ia tidak bisa menjemput. Seperti kali ini Rhea terpaksa meminta baby sitter untuk menjemput Aileen dan Ervin karena Yara sedang sakit."Neng Aileen nggak ada di sekolahannya."Jantung Rhea serasa mencelos saat mendengarnya. "Mbak udah nanya ke temen-temennya? Ke gurunya?""Sudah, Bu. Ini sekolahan udah hampir sepi, tapi nggak ada yang tau Neng Aileen di mana.""Ervin gimana?" tanya Rhea berusaha menutupi paniknya."Mas Ervin sudah di mobil, Bu.""Kamu minta supir pulang nganter Ervin ya. Kamu di situ dulu, cari di sekitaran sekolah, tanya sama temen-temennya, saya langsung jalan ke sana.""Iya, Bu."Rhea menghela napas, mencoba menenangkan diri walau rasanya sulit. Setelah menitipkan Yara yang sedang demam pada baby sitter, Rhea segera berlari, mengambil k
"Ya ampun Nareeen, kamu tu nggak bisa nahan apa gimana sih? Kasihan kan Aileen masih nyusu, terus sekarang Rhea isi lagi. Mana kemaren pas Aileen kan operasi. Cek ke dokter, pastiin ini bahaya apa nggak."Pukulan bertubi-tubi dan ocehan panjang lebar didapatkan Naren dari tantenya yang langsung terbang ke Jakarta saat mendengar kabar Rhea hamil (lagi).Sementara Naren yang menjadi bulan-bulanan tantenya hanya tersenyum bangga, bukannya merasa bersalah. "Udah ke dokter kok, Mi. Biar rumahnya rame."Adila menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan kesal. Kemudian ia mendekat ke sisi Rhea yang sedang menyusui Aileen di atas kasur, yang kadang terkikik mendengar perdebatan unfaedah suami dan tantenya."Rhea lagi pengen sesuatu nggak?""Pengen gelato, Mi.""Naren, tuh denger, Rhea pengen gelato.""Di mana, Sayang? Biar Mas cariin."Rhea menggeleng. "Nggak tau aku."Adila mencebik kesal melihat Naren hanya garuk-garuk kepala. "Udah sana, cari aja di google di mana gelato terenak se-Jakar
"Sayang ...." Naren terdiam sesaat. Sebenarnya ia masih ragu untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya."Kenapa?" Rhea menjawab sambil lalu karena dia juga sedang berkutat memakaikan baju Aileen yang baru saja dimandikan.Sudah seminggu mereka tinggal di kediaman Candra. Rumah itu memang tidak ada yang menempati setelah Aditama pindah ke Dieng dan Adityo memilih tinggal sendiri di rumahnya. Aditama sendiri belum tega menjual atau menyewakan rumah itu. Karenanya, Aditama benar-benar memohon kepada cucu dan cucu menantunya itu agar menempati kediaman keluarga mereka, tidak perlu lagi mencari rumah.Naren mendekat, sambil menowel pipi Aileen dengan gemasnya, mencoba berbicara dengan istrinya. Biasanya mood Rhea lebih bagus kalau Aileen sedang tidak rewel. "Aku nggak tau terlalu cepet atau nggak aku ngomong gini. Tapi kayaknya mulai kita perlu pikirin. Kamu ... setelah ini mau berhenti ngurus Amigos atau gimana?"Rhea melirik suaminya sekilas, tapi kemudian perhatiannya kembali
“Mau kubantuin?” tanya Naren saat melihat istrinya berjalan tertatih menuju kamar mandi.Hari itu Rhea baru saja keluar dari rumah sakit. Dia sudah bisa berjalan tanpa bantuan, tapi memang harus pelan-pelan karena jahitannya masih terasa sakit. Naren mengambil cuti dadakan setelah kelahiran Aileen dan setia menemani Rhea dalam masa pemulihan sambil mencoba mengurus Aileen, walaupun masih terlihat sangat canggung.“Bisa sendiri kok, jagain Aileen aja. Nanti kalo nangis dan kamu nggak bisa nenangin, panggil Mama aja, Mas. Aku agak lama kayaknya di kamar mandi.”Naren mengangguk. “Nggak usah dikunci pintunya, kalo butuh bantuan, teriak aja.”“Iya.”Mereka memang tinggal di rumah orang tua Rhea untuk sementara. Seperti umumnya seorang wanita yang baru melahirkan, Rhea juga ingin berada di dekat mamanya untuk mendapatkan perhatian dan bimbingan dari mamanya. Bukan berarti ART di kediaman Candra tidak ada yang mengerti bagaimana mengurus anak, tapi tetap saja menurut Rhea rasanya berbeda de
Tubuh Rhea melemas dan jantungnya mulai berdebar kencang saat menyadari apa yang terjadi padanya.Ia mencoba untuk tenang, walaupun rasanya sangat sulit. Sekarang baru ia tahu bagaimana rasanya mengkhawatirkan orang lain melebihi dirinya sendiri. Ya, dia jauh lebih khawatir pada keadaan janinnya dibanding dirinya sendiri.Rhea lantas meraih ponsel yang ada di atas meja, mencoba menghubungi dokter kandungannya. Untungnya dokter itu mengangkat panggilannya setelah dering ketiga. Rhea menceritakan semuanya, dan setelah sambungan itu berakhir, ia langsung beralih menekan nomor ponsel suaminya.Naren tidak langsung menjawab teleponnya. Memang saat itu belum masuk jam makan siang, jadi mungkin saja suaminya sedang meeting.Di saat Rhea mengatur napasnya untuk menenangkan diri dan agar tidak terdengar panik, Naren pun mengangkat teleponnya."Iya, Sayang?""Mas lagi apa?""Kerja lah. Masa jalan-jalan ke mall?" jawab Naren terkekeh. "Kenapa?""Mas kira-kira kalo ke sini butuh berapa lama?""Hm
"Sayang, dua minggu lagi perusahaan ngadain dinner party. Perayaan tiga proyek baru kita."Intro pembicaraan yang membuat Rhea bertanya-tanya, apa yang selanjutnya akan diucapkan suaminya."Aku mau ngajak kamu tapi ... udah deket HPL-mu.""HPL-ku kan masih sebulan lagi, Mas.""Iya tapi kan itu riskan banget, tinggal dua minggu sebelum HPL kan.""Jadi aku nggak diajak?" Bukannya Rhea suka datang ke pesta-pesta. Tapi belakangan ini dia suka resah kalau ditinggal Naren, apalagi saat malam hari."Kamu mau ikut? Beneran nggak apa-apa? Nggak bakal kecapekan?""Mau ikut. Anggep aja terakhir sebelum lahiran. Boleh? Atau kamu malu?"Naren mengusapi puncak kepala istrinya. "Ngomong apa sih? Baper banget sejak hamil. Nggak mungkin aku malu ngajak kamu. Aku cuma beneran takut kamu capek."Rhea tidak menjawab lagi. Ia memberi waktu dan membiarkan suaminya mengambil keputusan."Ya udah, kita booking satu kamar aja buat istirahat kalau kamu kecapekan. Tapi kamu tetep nggak boleh pake heels ya. Aku n